“Kapan sih, kamu mau menikah?!” pertanyaan itu sekonyong-konyong datang, saat seorang pria berusia tiga puluh empat tahun, baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah.
Damar yang terlihat sudah lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, dan ingin segera bertemu dengan putri kecilnya. Malah disambut dengan sebuah pertanyaan—yang bahkan ia sendiri sudah terlalu muak untuk menjawabnya.
Pria itu bergeming menatap sang ibu. Tidak ada niatan untuk membalas pertanyaan itu, karena ia sudah tahu jika hal itu tidak akan berakhir dengan satu pertanyaan jika dia menjawabnya.
“Damar …!” Bu Mustika menatap putranya lurus. “Kamu dengar Ibu nggak, sih?!” tanyanya dengan nada frustasi.
“Dengar Bu,” jawab Damar pelan mengalah. Kemudian ia duduk di salah satu sofa single di seberang sisi sang ibu berdiri, sambil melonggarkan dasinya dan melepas kancing lengannya serta menggulung lengan bajunya itu hingga ke siku.
“Ya terus kapan?” Bu Mustika ikut mengambil duduk, di sofa panjang dekat dengan tempat duduk Damar. “Kapan kamu nikah, Damar?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Menghela napas pelan, Damar menatap ibunya. “Aku kan sudah menikah, Bu? Apa Ibu lupa, kalau aku sudah punya istri?”
“Damar …” Bu Mustika tidak bisa berkata-kata, dia tidak menyangka dengan apa yang dipikirkan oleh anak semata wayangnya itu.
“Bu, aku sudah bukan anak kecil lagi! Aku cuma mau hidup bersama anakku. Aku nggak perlu untuk menikah lagi, karena aku sudah merasa cukup!” Damar mencoba meredam suaranya yang hampir meninggi.
Kini giliran sang ibu yang menghela napas. Rasanya sudah lelah sekali, menyuruh putranya itu untuk menikah. Entah apa yang membuat anaknya itu sulit untuk membuka hati bagi wanita lain.
Damar menyentuh punggung tangan sang ibu. “Sudah ya? Ibu nggak perlu khawatir lagi. Aku sudah bisa urus diri aku sendiri dan anak aku.”
“Kamu benar-benar keras kepala, Damar!” teriak Bu Mustika kesal.
“Bu—,” Damar mencoba menenangkan sang ibu.
“Ibu dan Bapakmu itu sudah tua, Damar. Setiap hari kami selalu memikirkan nasibmu dan juga anakmu. Bagaimana kalau kami sudah nggak ada, siapa yang bakal merawat kamu? Merawat anak kamu?!” ungkap Bu Mustika dengan sepenuh hati.
Damar terdiam, inginnya mengumpat tapi ia tahan. Sudah lelah bekerja seharian penuh, dan masih harus menghadapi ibunya yang lagi-lagi menanyakan hal yang sama—berulang kali.
“Sudah lima tahun berlalu, dan kamu masih betah menyendiri. Apa kamu tidak iri dengan teman-teman kamu?! Mereka semua sudah memiliki pasangan. Sedangkan kamu?”
Damar kembali menghembuskan napas kasar. “Aku juga sudah punya pasangan Bu!” sanggah Damar, yang membuat Bu Mustika menatap nanar ke arah sang anak.
“Astaga,” Bu Mustika menunduk. Kepalanya mendadak pening sekali. “Ini sudah lima tahun Damar. Kamu nggak seharusnya terus menerus berkabung. Istrimu juga di sana pasti akan mengerti, kalau kamu butuh seorang pendamping!”
“Ibu!” pekik Damar yang tidak suka dengan ucapan sang ibu.
“Kenapa? Yang Ibu katakan itu memang benar!” tantang Bu Mustika untuk menyadarkan anaknya.
“Damar lelah, Bu!” ucap Damar berusaha mengakhiri perdebatan itu.
“Ibu jauh lebih lelah, Damar. Apa kamu nggak memikirkan orang tua dan anak kamu? Mau sampai kapan kamu begini terus, Damar?” tanya Bu Mustika dengan suara tercekat.
Damar mengusap wajahnya menggunakan tangan kanannya. Rasa lelahnya kini bertambah menjadi dua kali lipat.
“Damar …,” Bu Mustika memegang lengan putranya. “Kalau kamu memang nggak mau melakukan ini demi Ibu, maka lakukanlah demi anakmu!”
“Bu, kami baik-baik saja. Hidup kami juga berjalan seperti biasanya. Ibu nggak perlu mengkhawatirkan apapun lagi, sekalipun aku memutuskan untuk tidak menikah lagi!” jawab Damar tegas, seakan tidak ada yang bisa merubah keputusannya.
“Tapi—”
“Sudah ya Bu, Damar ke kamar dulu!”
Pria itu memilih untuk beranjak dari duduknya, dan meninggalkan sang ibu. Ia tidak ingin terus menerus memperdebatkan hal yang sama dengan ibunya.
***
Di dalam kamarnya, Damar duduk di tepi ranjang. Ia menatap ranjang berukuran king size itu dengan nanar. Rasanya memang kosong dan hampa.
Hidupnya kini hanya ia pusatkan kepada putrinya saja. Damar merasa tidak ada salahnya hidup menduda, selama tidak merugikan orang lain.
Lagi pula, pintu hati Damar sudah tertutup untuk wanita manapun. Ia tidak ingin menyakiti hati perempuan lain, dengan masih menyimpan perasaan untuk mendiang sang istri.
Pria itu mengambil sebuah bingkai foto yang ada di atas nakas. Foto itu adalah, foto pertama yang ia ambil bersama mendiang istrinya. Saat itu mereka baru saja meresmikan hubungan mereka.
Damar mengusap gambar wanita yang sedang tersenyum cantik ke arah kamera. Dengan senyum getir, Damar menatap ke arah mata yang terlihat penuh cinta itu.
“Aku nggak harus nikah lagi kan, Sayang?” gumamnya lirih. “Aku cuma mau sehidup semati sama kamu. Anak kita juga baik-baik saja selama ini.”
“Kenapa semua orang menyuruhku untuk menikah? Nggak ada yang salah kan, kalau aku tetap seperti ini, sampai Tuhan menakdirkan kita untuk bertemu lagi? Iya kan, Sayang?”
Mata Damar mulai berkabut. Ada gejolak yang membuatnya semakin mendekap erat bingkai foto itu.
“Apa kamu nggak bisa balik lagi ke sini, Sayang? Temani aku dan anak kita. Kami sangat merindukan kamu. Terutama aku.”
Begitulah seorang Raden Damar Soemitro, yang selalu mengagungkan cintanya hanya untuk mendiang sang istri.
***
“Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa
“Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki
Ditanya begitu, membuat Kinanti kembali teringat beberapa waktu lalu, di saat pertama kali Rangga mendekati dirinya. *flashback on*Awalnya Kinanti tidak begitu tertarik dengan pemuda itu. Karena gosip tentang Rangga yang terkenal playboy, sudah menyebar ke seluruh penjuru kampus. Tapi rupanya pemuda tampan itu memiliki sifat yang pantang menyerah. Ia begitu gigih mendekati Kinanti. Hingga suatu waktu, Kinanti tak sengaja diganggu oleh beberapa preman, saat dirinya baru saja pulang kerja kelompok. Kinanti tidak takut, jika hanya melawan satu orang saja. Tapi ini ada empat, dan mereka semua terlihat sedang mabuk. “Nggak usah macam-macam!” seru Kinanti. Ia menutupi dirinya, menggunakan kedua lengannya. Keempat pria itu terkekeh, matanya memindai Kinanti dari atas hingga ke bawah. “Nggak usah takut, Cantik. Kami nggak bakal macam-macam, justru kami ingin buat kamu bahagia,” kata salah seorang dari preman itu. Jantung Kinanti berdebar, keringat dingin mulai menjalar di sekujur tub
Rangga benar-benar merasa terhina, atas apa yang baru saja Anggita katakan. Pemuda tampan itu mengetatkan rahangnya. Kemudian ia menatap punggung Anggita yang belum terlalu jauh. “Lo lihat aja nanti, gue bakal bikin teman lo itu, bertekuk lutut di hadapan gue!” Rangga berseru, penuh dengan semangat. Kepercayaan dirinya semakin meningkat. Ia yakin, akan bisa mendapatkan Kinanti kembali. Memangnya ada perempuan yang sanggup menolaknya? Persetan dengan Damar, ia tidak takut dengannya. Secara fisik dan materi, memang dosen itu jauh lebih unggul. Tapi soal usia dan status? Jelas Rangga yang lebih unggul. Rangga masih muda, perjaka, dan juga tampan.Sedangkan Damar? Selisih usia dengan Kinanti saja, 10 tahun lebih. Belum lagi status pria itu, duda satu anak. Ia yakin sekali, orang tua Kinanti tidak akan setuju dengan hubungan mereka. Senyum di wajah tampan Rangga, kembali terbit. “Lihat aja, gue atau dosen duda itu yang bisa dapatkan Kinanti?”***“Mas kok nggak pernah bilang, kal
Kening Kinanti berkerut, menatap laki-laki yang masih duduk di atas motornya, dengan tatapan tak senang. Dan perempuan itu kembali melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia menghela napas panjang. Apalagi saat melihat pemuda yang tadi duduk di atas motor, kini turun dari motornya dan berderap mendekatinya. “Mau ngapain sih, lo?!” gadis itu bertanya dengan galak. Laki-laki yang tak lain adalah Rangga, terkekeh pelan. “Lo nih, lucunya nggak ilang-ilang ya, Ki?” katanya. Kinanti menjauhkan tubuhnya, saat melihat akan ada pergerakan dari tangan Rangga, yang mencoba untuk mendekatinya. Perempuan itu menatap lurus ke depan, seolah mantannya ini adalah makhluk tak kasat mata. Dalam hati Rangga, merasa mantannya ini pasti sengaja untuk membuatnya merasa kesal. Padahal yang terjadi, adalah ia merasa semakin gemas. “Lo nungguin siapa, deh?” tanya Rangga. “Ojol, ya? Udah cancel aja, bareng sama gue,” katanya. Kinanti melirik mantannya dari atas sampai ke bawah. “Gue?
“Lo nggak ada niatan buat pisahin mereka, kan?”Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Ya, tergantung,” katanya pelan. Temannya itu mengerutkan keningnya. “Tergantung gimana, maksud lo?” tanyanya.“Ya, kalau mereka nggak putus-putus, terpaksa gue yang bikin mereka putus.”“Gila ya, lo!” seru teman Rangga. “Saingan lo Pak Damar, dosen yang paling populer di kampus ini. Yakin lo?”Rangga hanya mengedikkan bahunya, tapi senyuman tak luntur dari wajahnya.Jika dulu ia bisa dengan mudah menaklukan Kinanti, makas sekarang pun seharusnya begitu.Lagipula, Kinanti paling hanya ingin memanasi dirinya saja—menurut Rangga.Dan Rangga jelas tidak peduli, jika harus bersaing dengan Damar. Dosen idola di kampusnya.Yang terpenting, Kinanti harus kembali luluh kepadanya—bagaimanapun caranya.***Kinanti baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya hari ini, dan sesuai perjanjian, seharusnya Damar akan menjemputnya.“Pulang sama siapa, Ki?” tanya Adrian, yang duduk di sebelah bangku Kinanti.“Mas