Home / Romansa / Dikontrak Cinta Dosen Duda / 2. Chapter 2 : Butuh Sosok Seorang Ibu

Share

2. Chapter 2 : Butuh Sosok Seorang Ibu

Author: Raynasha
last update Last Updated: 2025-02-24 08:27:48

Damar baru saja menyelesaikan rapat internal pagi ini. Setelahnya ia berniat untuk pergi ke kampus. 

Tapi saat hendak beranjak, sang asisten tiba-tiba bersuara. “Bapak sudah mau pergi?” tanyanya hati-hati.

“Ya.”

Sejenak sang asisten ragu untuk mengatakan, karena bosnya itu terlihat sedang tidak bagus moodnya. 

“Ada yang mau kamu katakan?” Damar sepertinya paham, jika asistennya itu sedang ingin mengatakan sesuatu. 

“Anu Pak, tadi … Ibu mengabari jika Bapak harus pulang sekarang,” ucap Aidan—asisten Damar.

Kening Damar berkerut. Kemudian pria itu melihat ponselnya, banyak sekali panggilan masuk dari ibunya. 

Ia kembali menghela napas pelan. “Apa kamu tahu, beliau mau apa?” tanyanya pada sang asisten.

“Ini tentang Non—”

Belum sempat Aidan menjelaskan, ponsel bosnya itu sudah berdering. 

“Ya, Bu. Ada masalah?” tanya Damar. 

“Lebih baik kamu cepat pulang sekarang, Damar. Anakmu demam!”

“Ya, aku segera pulang.”

Damar langsung menatap sang asisten. “Kamu pastikan pekerjaan mereka selesai hari ini. Aku tunggu laporan kamu nanti malam.”

“B-baik Pak!”

Damar langsung berderap cepat, meninggalkan kantornya. Pikirannya sudah sangat kacau, dan ia teringat hari ini harus mengisi dua kelas di kampus tempatnya mengajar. 

Pria itu mendesah pelan, lalu kembali meraih ponselnya. Ia mengirimkan pesan grup kepada mahasiswanya. 

Menghela napas berat, Damar kembali melajukan mobilnya. Hari ini benar-benar terasa lelah untuknya. 

Dan setelah dua puluh menit berkendara, sedan mewah milik Damar memasuki pelataran rumah orang tuanya. 

Pria itu memberikan kunci mobilnya pada salah satu pelayan yang bertugas membuka pintu gerbang. 

“Aden sudah ditunggu sama Ibu di dalam,” ucap pria paruh baya yang berjaga di depan pintu.

Damar mengangguk kecil, lalu langkahnya kembali bergerak membawanya menuju pintu utama rumah mewah itu. 

Pandangannya menyapu ke penjuru ruangan. Ia menatap anak tangga, kemudian langsung menuju ke kamar putrinya. 

Begitu tiba di kamar putrinya, pria itu langsung membuka pintu. Tatapannya langsung tertuju kepada gadis kecil yang sedang terbaring, dengan plester penurun panas di dahinya. 

“Kenapa bisa begini, Bu?” tanya Damar pelan, begitu ia berada di hadapan ibunya. Ia melirik putrinya, yang sedang memejamkan matanya dengan kening yang berkerut.

Bu Mustika menggeleng. “Ibu keluar dulu, kamu lebih baik lihat Ola dulu. Dia kayaknya lebih butuh kamu dari pada eyangnya.”

Wanita paruh baya itu menepuk pelan bahu putranya, kemudian ia beranjak keluar meninggalkan pasangan ayah dan anak itu. 

Sepeninggal sang ibu, Damar duduk di tepi ranjang. Ia memperhatikan putrinya. Wajah gadis kecil itu terlihat pucat. 

Jemarinya membenahi anak rambut yang sedikit menutupi wajah cantik gadis kecil itu. Perasaan Damar tidak karuan. 

Setelahnya Damar memilih untuk mengecup lembut kening putrinya. 

“Cepat sembuh Princess nya Papa …” kata Damar pelan. 

Kemudian ia melihat kelopak mata putrinya bergerak. Perlahan gadis kecil itu membuka matanya, dan menangkap sosok Damar. 

“Hei, anak Papa …” Damar tersenyum lembut, ia mengusap salah satu sisi wajah sang putri.

“Papa …” gadis kecil itu berkata lirih. “Kenapa aku nggak punya Mama? Kenapa aku nggak kayak teman-temanku yang lain?” tanya gadis itu dengan suara yang sedikit bergetar, seperti akan menangis.

“Sayang …” tenggorokan Damar tiba-tiba terasa tercekat. Perasaannya tidak menentu, apalagi saat melihat tatapan putrinya yang penuh harap itu.

“Aku juga mau punya Mama kayak teman-temanku, Pa!” gadis kecil itu berseru, dan air matanya mulai tumpah. Ia tersedu pelan.

Damar kehabisan kata-katanya. Ia merasa sedih, kemudian pria itu memeluk putrinya. Berusaha untuk menenangkan gadis kecil itu. 

Dan tak lama setelahnya, ia merasa helaan napas sang putri mulai teratur. Benar saja, anaknya itu sudah kembali terlelap, karena tadi sempat menangis. 

***

Damar menemui sang ibu, yang kini sedang duduk di ruang keluarga bersama ayahnya. Ia mengambil duduk di salah satu sofa single. 

“Jadi, apa yang buat dia tiba-tiba demam begini? Seingatku tadi pagi masih baik-baik saja?” tanya Damar pelan, ia menatap ayah dan ibunya bergantian.

Bu Mustika menggeleng pelan. “Ibu nggak tahu. Tadi pagi memang baik-baik saja. Cuma tadi tiba-tiba, Ibu dihubungi sama pihak sekolah. Dia udah pingsan. Dan sebelum pingsan tadi katanya sempat bertengkar dengan teman satu kelasnya.”

“Bertengkar?” kening Damar berkerut. “Kenapa bisa mereka bisa bertengkar?” tanyanya.

“Damar …” Bu Mustika menghela napas pelan. “Tadi Ibu sempat tanya sama pihak sekolah, terutama sama Miss nya. Katanya mereka memang sering bertengkar. Awal mulanya, anak kamu sering diledek oleh temannya itu karena nggak punya ibu.”

Damar terkejut saat mendengar penuturan sang ibu. Pantas saja akhir-akhir ini putrinya itu sering menanyakan perihal ibu. Dan baru saja, ia juga mendapati pertanyaan yang serupa. 

Ternyata karena di sekolah putrinya itu mendapat rundungan dari teman-temannya. 

“Aku akan buat peringatan kepada pihak sekolah,” ucap Damar. 

Bu Mustika mengangguk. “Kamu benar,” ujarnya. “Tapi apa setelahnya bisa membuat keadaan anakmu membaik? Selamanya dia akan terus menanyakan kenapa dia nggak punya Mama seperti teman-temannya.”

“Aku bisa mengatasinya Bu!” tegas Damar.

“Dengan cara apa, Damar?” tanya Bu Mustika cepat. “Beritahu Ibu, dengan cara apa kamu akan mengatasi masalah ini?” cecarnya.

Seketika Damar terdiam. 

“Damar … salah satu alasan Ibu menyuruhmu menikah lagi, ya karena ini! Bukan hanya Ibu, tapi anakmu juga. Dia lebih membutuhkan sosok seorang ibu. Meskipun dia tidak pernah kekurangan kasih sayang, tetap saja akan ada bagian yang kosong di dalam hidupnya,” ucap sang ibu mengungkapkan kenyataan yang tidak terlihat oleh Damar selama ini.

“Aku bisa—”

“Ibu tahu kamu bisa,” sela Bu Mustika cepat. “Tapi Damar, tetap saja semuanya terasa berbeda. Itulah kenapa Ibu selalu menyuruh kamu untuk menikah.”

Kini Damar memijit pelipisnya pelan. Rasa frustasi menyergap dirinya, hingga tidak ada jawaban yang bisa ia jadikan alasan lagi. Selama ini ia mengira putrinya baik-baik saja. Nyatanya gadis kecil itu justru yang lebih membutuhkan sosok seorang ibu di sisinya. 

Seketika rasa bersalah membuat damar tersadar jika dirinya selama ini telah egois dan menganggap sudah melakukan yang terbaik untuk anaknya.

Selama ini ia terlalu jumawa, bisa membesarkan putrinya sendiri. Memberi gadis kecil itu pengertian setiap hari. Nyatanya, anaknya justru selalu mengalami hal yang berat. 

Damar merasakan sentuhan lembut di lengannya. Ia menoleh dan menatap sang ibu, yang kini tengah menatapnya—penuh harap. 

“Demi anak kamu, wujudkan impian dia untuk memiliki keluarga yang utuh.”

Damar terdiam, pikirannya tidak karuan. Ia merasakan ada sedikit goyah di dalam hatinya. 

Menghela napas pelan, Damar mengangguk dan tersenyum tipis menatap sang ibu. 

“Baiklah, Damar akan coba untuk menikah,” putus Damar.

Bu Mustika tersenyum senang. “Kamu mau menikah dengan Mega?”

“Kecuali dengan dia!” sanggah Damar cepat, tanpa mencoba memikirkannya sedetikpun.

Damar tidak akan bisa menggantikan sosok sang istri dengan adiknya. Walaupun wajah mereka hampir mirip, tapi bagi Damar itu merupakan salah satu alasan dirinya tidak bisa menyetujuinya.

Dia sudah menganggap Mega adiknya sendiri, jadi dia tidak mungkin merasakan ketertarikan lawan jenis. Dan itu berarti, posisi Mega hanya akan menjadi pengganti istrinya. Damar tidak mungkin mengambil jati diri adiknya, hanya untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri.

Walaupun, sebenarnya dirinya bisa merasakan ketertarikan Mega pada dirinya, bahkan sang ibu juga merasakannya. Hal itu bisa terlihat dari upaya Mega yang selalu mendekati Daar dengan berbagai alasan, namun selalu ditanggapi Damar dengan datar.

“Lalu dengan siapa kamu akan menikah? Apa kamu sudah punya calonnya?” tanya Bu Mustika yang penasaran, karena jawaban Damar yang menolak dengan cepat.

“Itu biar jadi urusan Damar, Bu. Yang penting sekarang, Ibu nggak perlu khawatir.”

Bisa Damar lihat sebuah raut lega di wajah sang ibu. Sementara pria itu, kini merasa pusing karena harus memikirkan bagaimana caranya ia menikah.

“Sebenarnya apa yang aku pikirkan?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   82. Chapter 82

    “Besok kamu kelas pagi?” tanya Damar, saat dalam perjalanan mengantar Kinanti pulang ke kosnya.“Jam 8 sih, Mas,” jawab perempuan cantik itu. “Mas besok ada jadwal di kampus juga?” tanyanya.“Ada, tapi cuma sebentar. Paling cuma sampai jam 10,” pria itu menjawab pelan. Fokusnya masih pada kemudi, meski sesekali ia melirik sang kekasih yang duduk di sampingnya. “Kamu nanti kabari saja selesai jam berapa, biar Aidan yang jemput kamu,” lanjutnya lagi.Kinanti yang tengah bermain ponsel, mengalihkan pandangannya sejenak. “Mas … nggak bisa jemput, ya?” tanyanya.“Iya,” Damar mengangguk kecil. “Aku harus cek berkas, dan juga ada lunch bareng klien siangnya.”Kinanti mengangguk-angguk paham. Ia tidak masalah dengan hal itu, dan mengerti akan kesibukan sang kekasih.Karena hanya diam, Damar melirik Kinanti. Ia khawatir, perempuan itu akan marah dengannya karena berhalangan untuk menjemput.“Ini … kamu nggak apa-apa kan, Sayang? bukan lagi ngambek?” tanya pria itu.“Hah?” kening Kinanti berker

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   81. Chapter 81

    Rangga ikut bangkit, saat wanita di depannya juga bangkit. Dengan gerakan seolah tanpa disengaja, ia sedikit menabrak wanita itu, hingga minumannya tumpah dan mengenai tas wanita itu. “Oh, maaf,” kata Rangga pelan. “Saya tidak sengaja. Saya bantu bersihkan?” tawarnya. Wanita itu mendongak menatap Rangga, yang kini tengah tersenyum manis padanya. Namun di balik itu semua, ia justru penasaran dengan tatapan Rangga, yang sepertinya menyimpan sesuatu. Maka wanita itu pun mengangguk kecil, menerima ajakan Rangga. Mereka keluar dari tempat itu, tentu saja dengan gerakan yang tidak sampai mencuri perhatian siapapun—terutama Damar dan Kinanti. Begitu merasa berada di tempat yang aman, barulah Mega melontarkan pertanyaan. “Kenapa kamu bawa saya ke sini? kita nggak saling kenal, kan?” tanyanya. Alih-alih langsung menjawab, Rangga justru tersenyum kecil. Ia kembali melihat sekitar, memastikan sekali lagi, jika mereka betul-betul sudah aman. “Kita memang nggak saling kenal,tapi saya yakin

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   80. Chapter 80

    “Udah lah, ikhlasin aja itu si Kinanti.”Kalimat itu berasal dari salah seorang sahabat Rangga. Tentu saja, membuat pemuda itu langsung menoleh, dan memberikan tatapan tajamnya. “Ikhlasin?” ulang Rangga. “Enak aja, gue susah payah dapatkan dia. Masa ujungnya dia sama orang tua itu?”Kedua sahabat Rangga saling melempar pandangan. Mereka merasa, jika Rangga ini sepertinya sudah gila. Masalahnya, penyebab putusnya hubungan Rangga dan Kinanti, ya karena ulah pemuda itu sendiri. Dan sekarang, tiba-tiba merasa tak senang, Kinanti berhubungan dengan laki-laki lain. Aneh betul memang si Rangga ini. “Ya, lo juga bego, anjir!” salah satu teman Rangga yang lain, ikut menyahut. “Udah tahu susah dapatinnya, malah selingkuh. Kan, goblok!”Rangga berdecak kesal. Apalagi jika diingatkan kembali, tentang alasan hubungannya dengan Kinanti berakhir.Ya, memang betul salah dirinya, tapi bisakah untuk tidak mengingatkannya? Rangga paham betul, jika dirinya salah. Tapi tetap saja ia tidak mau mengak

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   79. Chapter 79

    Rangga tersenyum miring, menatap pria yang ada di hadapannya. Meski begitu, dalam hatinya mengumpati pria itu—Damar.Bisa-bisanya, pria yang dari segi usia saja, jauh di atasnya. Apalagi dari segi status. Jelas Rangga lebih unggul. Rangga lebih muda, dan mungkin hanya satu tahun di atas Kinanti. Secara status jelas, ia adalah seorang pria lajang—lebih tepatnya bujangan. Sedangkan Damar? pria itu dilihat dari perbedaan usia saja, jauh di atas Kinanti. Dan lagi, pria itu berstatus duda dengan satu anak. Artinya, sangat tidak cocok dengan Kinanti, yang masih gadis. Meski dari segi finansial, Damar jelas jauh lebih unggul dibanding Rangga. Tapi tetap saja, itu semua tidak bisa menjadi landasan untuk keduanya menjalin hubungan asmara. Apalagi mengingat Damar yang juga berprofesi sebagai dosen, di kampus yang sama dengannya. Rasanya sangat tidak etis, jika ada hubungan asmara antara mahasiswi dan dosennya. Dan Rangga sangat yakin, jika ada sesuatu yang mendasari hubungan mereka. Kare

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   78. Chapter 78

    “Kangen nggak sama Tante?” Kinanti tersenyum lembut, kepada gadis kecil yang sejak tadi memeluk lehernya. “Kangen!” sahut gadis cilik itu. Matanya berbinar, saat menatap Kinanti. “Tante jarang banget main ke sini. Kan, Ola jadi kangen?” Kinanti tertawa kecil, saat melihat wajah Ola yang sedikit memberengut. Ditambah lagi, bibir gadis kecil itu yang sedikit mengerucut dengan pipi yang menggembung. Sangat menggemaskan! Dan Kinanti tidak tahan, untuk tidak mencium pipi Ola. “Aduh, anak Tante gemesin banget, sih?” kata perempuan itu. “Maaf, ya? akhir-akhir ini Tante memang lagi sibuk banget di kampus. Kuliah Tante lagi banyak tugas.”Ola menghela napas pelan. “Tapi hari ini kita beneran main kan, Tante?” tanyanya. “Iya, dong,” Kinanti mencubit pelan. “Pokoknya, hari ini kita main sampai puas. Oke?”Ola mengangguk senang, kemudian tatapannya beralih kepada sang ayah yang ikut tersenyum. “Papa ikut nggak?” tanya gadis kecil itu. Damar tersenyum tipis. “Nanti Papa nyusul aja, ya? soa

  • Dikontrak Cinta Dosen Duda   77. Chapter 77

    “Kinan, Sayang? kok malah ngelamun?”Kinanti mengerjap cepat, kemudian menggeleng pelan dan tersenyum kecil pada Damar. Ia baru tersadar, jika sejak tadi tengah melamun. Sampai akhirnya mendengar suara Damar. “Eh? enggak, aku nggak melamun kok, Mas,” elaknya. “Tadi cuma kepikiran tugas kuliah aja.”Damar menghela napas pelan. “Pelan-pelan saja, nggak perlu terlalu diforsir. Kalau butuh bantuan, bilang sama aku. Hm?”Kinanti mengangguk cepat, karena tak ingin membuat pria tampan itu semakin khawatir kepadanya. Sementara Damar, diam-diam menghubungi asistennya. [Tolong suruh Eric, mengawasi Rangga. Dia tampak mencurigakan][Siap, Pak]Pria tampan itu menghela napas pelan. Ia menatap Kinanti yang kini tengah mencuci piring, bekas makan mereka.Ia berderap pelan, kemudian memeluk perempuannya dari belakang. “Kenapa kamu cuci piringnya, hm?”Kinanti meringis, karena suara Damar terasa seperti menggelitiki tengkuknya. “Mas, geli, ih!”Bukannya berhenti, Dama malah semakin menggelitiki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status