Damar baru saja menyelesaikan rapat internal pagi ini. Setelahnya ia berniat untuk pergi ke kampus.
Tapi saat hendak beranjak, sang asisten tiba-tiba bersuara. “Bapak sudah mau pergi?” tanyanya hati-hati.
“Ya.”
Sejenak sang asisten ragu untuk mengatakan, karena bosnya itu terlihat sedang tidak bagus moodnya.
“Ada yang mau kamu katakan?” Damar sepertinya paham, jika asistennya itu sedang ingin mengatakan sesuatu.
“Anu Pak, tadi … Ibu mengabari jika Bapak harus pulang sekarang,” ucap Aidan—asisten Damar.
Kening Damar berkerut. Kemudian pria itu melihat ponselnya, banyak sekali panggilan masuk dari ibunya.
Ia kembali menghela napas pelan. “Apa kamu tahu, beliau mau apa?” tanyanya pada sang asisten.
“Ini tentang Non—”
Belum sempat Aidan menjelaskan, ponsel bosnya itu sudah berdering.
“Ya, Bu. Ada masalah?” tanya Damar.
“Lebih baik kamu cepat pulang sekarang, Damar. Anakmu demam!”
“Ya, aku segera pulang.”
Damar langsung menatap sang asisten. “Kamu pastikan pekerjaan mereka selesai hari ini. Aku tunggu laporan kamu nanti malam.”
“B-baik Pak!”
Damar langsung berderap cepat, meninggalkan kantornya. Pikirannya sudah sangat kacau, dan ia teringat hari ini harus mengisi dua kelas di kampus tempatnya mengajar.
Pria itu mendesah pelan, lalu kembali meraih ponselnya. Ia mengirimkan pesan grup kepada mahasiswanya.
Menghela napas berat, Damar kembali melajukan mobilnya. Hari ini benar-benar terasa lelah untuknya.
Dan setelah dua puluh menit berkendara, sedan mewah milik Damar memasuki pelataran rumah orang tuanya.
Pria itu memberikan kunci mobilnya pada salah satu pelayan yang bertugas membuka pintu gerbang.
“Aden sudah ditunggu sama Ibu di dalam,” ucap pria paruh baya yang berjaga di depan pintu.
Damar mengangguk kecil, lalu langkahnya kembali bergerak membawanya menuju pintu utama rumah mewah itu.
Pandangannya menyapu ke penjuru ruangan. Ia menatap anak tangga, kemudian langsung menuju ke kamar putrinya.
Begitu tiba di kamar putrinya, pria itu langsung membuka pintu. Tatapannya langsung tertuju kepada gadis kecil yang sedang terbaring, dengan plester penurun panas di dahinya.
“Kenapa bisa begini, Bu?” tanya Damar pelan, begitu ia berada di hadapan ibunya. Ia melirik putrinya, yang sedang memejamkan matanya dengan kening yang berkerut.
Bu Mustika menggeleng. “Ibu keluar dulu, kamu lebih baik lihat Ola dulu. Dia kayaknya lebih butuh kamu dari pada eyangnya.”
Wanita paruh baya itu menepuk pelan bahu putranya, kemudian ia beranjak keluar meninggalkan pasangan ayah dan anak itu.
Sepeninggal sang ibu, Damar duduk di tepi ranjang. Ia memperhatikan putrinya. Wajah gadis kecil itu terlihat pucat.
Jemarinya membenahi anak rambut yang sedikit menutupi wajah cantik gadis kecil itu. Perasaan Damar tidak karuan.
Setelahnya Damar memilih untuk mengecup lembut kening putrinya.
“Cepat sembuh Princess nya Papa …” kata Damar pelan.
Kemudian ia melihat kelopak mata putrinya bergerak. Perlahan gadis kecil itu membuka matanya, dan menangkap sosok Damar.
“Hei, anak Papa …” Damar tersenyum lembut, ia mengusap salah satu sisi wajah sang putri.
“Papa …” gadis kecil itu berkata lirih. “Kenapa aku nggak punya Mama? Kenapa aku nggak kayak teman-temanku yang lain?” tanya gadis itu dengan suara yang sedikit bergetar, seperti akan menangis.
“Sayang …” tenggorokan Damar tiba-tiba terasa tercekat. Perasaannya tidak menentu, apalagi saat melihat tatapan putrinya yang penuh harap itu.
“Aku juga mau punya Mama kayak teman-temanku, Pa!” gadis kecil itu berseru, dan air matanya mulai tumpah. Ia tersedu pelan.
Damar kehabisan kata-katanya. Ia merasa sedih, kemudian pria itu memeluk putrinya. Berusaha untuk menenangkan gadis kecil itu.
Dan tak lama setelahnya, ia merasa helaan napas sang putri mulai teratur. Benar saja, anaknya itu sudah kembali terlelap, karena tadi sempat menangis.
***
Damar menemui sang ibu, yang kini sedang duduk di ruang keluarga bersama ayahnya. Ia mengambil duduk di salah satu sofa single.
“Jadi, apa yang buat dia tiba-tiba demam begini? Seingatku tadi pagi masih baik-baik saja?” tanya Damar pelan, ia menatap ayah dan ibunya bergantian.
Bu Mustika menggeleng pelan. “Ibu nggak tahu. Tadi pagi memang baik-baik saja. Cuma tadi tiba-tiba, Ibu dihubungi sama pihak sekolah. Dia udah pingsan. Dan sebelum pingsan tadi katanya sempat bertengkar dengan teman satu kelasnya.”
“Bertengkar?” kening Damar berkerut. “Kenapa bisa mereka bisa bertengkar?” tanyanya.
“Damar …” Bu Mustika menghela napas pelan. “Tadi Ibu sempat tanya sama pihak sekolah, terutama sama Miss nya. Katanya mereka memang sering bertengkar. Awal mulanya, anak kamu sering diledek oleh temannya itu karena nggak punya ibu.”
Damar terkejut saat mendengar penuturan sang ibu. Pantas saja akhir-akhir ini putrinya itu sering menanyakan perihal ibu. Dan baru saja, ia juga mendapati pertanyaan yang serupa.
Ternyata karena di sekolah putrinya itu mendapat rundungan dari teman-temannya.
“Aku akan buat peringatan kepada pihak sekolah,” ucap Damar.
Bu Mustika mengangguk. “Kamu benar,” ujarnya. “Tapi apa setelahnya bisa membuat keadaan anakmu membaik? Selamanya dia akan terus menanyakan kenapa dia nggak punya Mama seperti teman-temannya.”
“Aku bisa mengatasinya Bu!” tegas Damar.
“Dengan cara apa, Damar?” tanya Bu Mustika cepat. “Beritahu Ibu, dengan cara apa kamu akan mengatasi masalah ini?” cecarnya.
Seketika Damar terdiam.
“Damar … salah satu alasan Ibu menyuruhmu menikah lagi, ya karena ini! Bukan hanya Ibu, tapi anakmu juga. Dia lebih membutuhkan sosok seorang ibu. Meskipun dia tidak pernah kekurangan kasih sayang, tetap saja akan ada bagian yang kosong di dalam hidupnya,” ucap sang ibu mengungkapkan kenyataan yang tidak terlihat oleh Damar selama ini.
“Aku bisa—”
“Ibu tahu kamu bisa,” sela Bu Mustika cepat. “Tapi Damar, tetap saja semuanya terasa berbeda. Itulah kenapa Ibu selalu menyuruh kamu untuk menikah.”
Kini Damar memijit pelipisnya pelan. Rasa frustasi menyergap dirinya, hingga tidak ada jawaban yang bisa ia jadikan alasan lagi. Selama ini ia mengira putrinya baik-baik saja. Nyatanya gadis kecil itu justru yang lebih membutuhkan sosok seorang ibu di sisinya.
Seketika rasa bersalah membuat damar tersadar jika dirinya selama ini telah egois dan menganggap sudah melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Selama ini ia terlalu jumawa, bisa membesarkan putrinya sendiri. Memberi gadis kecil itu pengertian setiap hari. Nyatanya, anaknya justru selalu mengalami hal yang berat.
Damar merasakan sentuhan lembut di lengannya. Ia menoleh dan menatap sang ibu, yang kini tengah menatapnya—penuh harap.
“Demi anak kamu, wujudkan impian dia untuk memiliki keluarga yang utuh.”
Damar terdiam, pikirannya tidak karuan. Ia merasakan ada sedikit goyah di dalam hatinya.
Menghela napas pelan, Damar mengangguk dan tersenyum tipis menatap sang ibu.
“Baiklah, Damar akan coba untuk menikah,” putus Damar.
Bu Mustika tersenyum senang. “Kamu mau menikah dengan Mega?”
“Kecuali dengan dia!” sanggah Damar cepat, tanpa mencoba memikirkannya sedetikpun.
Damar tidak akan bisa menggantikan sosok sang istri dengan adiknya. Walaupun wajah mereka hampir mirip, tapi bagi Damar itu merupakan salah satu alasan dirinya tidak bisa menyetujuinya.
Dia sudah menganggap Mega adiknya sendiri, jadi dia tidak mungkin merasakan ketertarikan lawan jenis. Dan itu berarti, posisi Mega hanya akan menjadi pengganti istrinya. Damar tidak mungkin mengambil jati diri adiknya, hanya untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri.
Walaupun, sebenarnya dirinya bisa merasakan ketertarikan Mega pada dirinya, bahkan sang ibu juga merasakannya. Hal itu bisa terlihat dari upaya Mega yang selalu mendekati Daar dengan berbagai alasan, namun selalu ditanggapi Damar dengan datar.
“Lalu dengan siapa kamu akan menikah? Apa kamu sudah punya calonnya?” tanya Bu Mustika yang penasaran, karena jawaban Damar yang menolak dengan cepat.
“Itu biar jadi urusan Damar, Bu. Yang penting sekarang, Ibu nggak perlu khawatir.”
Bisa Damar lihat sebuah raut lega di wajah sang ibu. Sementara pria itu, kini merasa pusing karena harus memikirkan bagaimana caranya ia menikah.
“Sebenarnya apa yang aku pikirkan?!”
Kinanti mengerjap cepat beberapa kali. Jantungnya berdentum keras. Dan saat hendak membuka suara, Damar lebih dahulu bersuara.“Iya, Pak Arga,” kata Damar pelan. “Pak Arga ada perlu apa?” tanyanya.Pria yang bernama Arga itu berdehem canggung. “Ah, anu … saya mau ada kasih undangan ke Pak Damar. Mungkin Bapak berkenan hadir, dengan membawa pasangan, mungkin?” sesekali pria itu melirik ke arah Kinanti yang nampak membuang wajah.Damar menerima undangan yang baru saja disodorkan pada dirinya. Membaca sekilas nama yang tertera dalam undangan tersevut.“Pak Arga jadi dengan yang waktu itu?” tanya pria itu.Arga mengangguk pelan. “Iya, Pak. Dan semoga Bapak juga segera menyusul jejak saya,” katanya dengan kekehan kecil.Dan atas kalimat yang terlontar dari mulut Arga itu membuat Kinanti terbatuk, karena tersedak salivanya sendiri.Damar dengan sigap langsung memberikan gelas berisi air putih, yang ada di atas mejanya, kepada Kinanti.“Minum dulu,” kata Damar lembut.Dengan ragu, Kinanti me
Kalau boleh jujur, rasanya Kinanti sudah tidak sanggup berdiri. Lututnya terasa lemas seperti jelly. Perempuan itu sadar, jika apa yang baru saja Damar lakukan itu salah atau malah—benar?Kinanti terdiam, tidak berani menatap Damar yang saat ini tengah menatapnya. Semua kalimat yang hendak ia suarakan, rasanya tertelan kembali bersama salivanya. “Sudah malam, istirahat lah,” kata Damar lembut—betulan lembut. Bahkan, Kinanti sampai harus mendongak, demi memastikan jika tadi yang bersuara adalah Damar. “Kenapa, hm?” tanya Damar lagi. “Apa kamu mau tidur di mobil saya saja?” ujarnya menggoda gadis muda yang duduk di sampingnya. “Pak, tadi—”“Apa kamu sudah lupa, yang baru saja saya katakan, Kinan? atau—” Damar menatap lekat perempuan cantik itu, bibirnya mengulas senyuman tipis. “—kamu sedang berusaha untuk mengkode saya, supaya mengulangi yang barusan?”Kinanti mendelik, menatap horor sang dosen. Tapi rona merah yang ada di wajahnya, tidak dapat disembunyikan. Dan akhirnya perempu
Kinanti benar-benar menuruti keinginan Ola. Ia membawa gadis kecil itu, ke makam mendiang sang ibu.Dengan diantar oleh Damar, perempuan cantik itu setia membawa Ola dalam gendongan.Sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di komplek pemakaman itu, Damar terus memperhatikan Kinanti yang kini berada di depannya.Perasaannya benar-benar rumit sekarang. Ia tidak tahu, jika kedekatan Kinanti dengan putrinya, akan memberikan efek yang membuat Damar berada dalam sebuah dilema.Pria itu merasa perasaannya kepada Kinanti hanyalah rasa kagum saja—tidak lebih dari itu.Setidaknya itu yang Damar yakini saat ini—entah bagaimana nanti.“Nah, sudah sampai.”Suara Kinanti, membuat Damar tersadar dari lamunannya. Dan ternyata mereka telah tiba di depan pusara istri Damar.Sementara Kinanti dapat melihat buket bunga mawar merah dan putih yang begitu cantik, masih tersandar begitu saja di dipan bau nisan.Perempuan itu mengira jika bunga itu adalah pemberian Damar. Ia tersenyum samar, ad
“Apa maksud kamu?”Damar menatap lekat adik sepupunya—Adrian. Pria itu tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh adik sepupunya.Apa maksudnya?“Apa maksud kamu Restu Adrian Dwijaya?” tanya Damar lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Adrian mendengus pelan. Perhatiannya tertuju pada bingkai foto, yang terletak dengan manis di atas meja Damar.Sudah bisa ditebak jika itu adalah bingkai foto Damar bersama mendiang istrinya.“Mas, hubungan kalian ini hanya pura-pura. Jadi Mas nggak perlu mendalami peran,” kata Adrian.“Apa maksud kamu?” Damar terus mencecar pertanyaan yang sama. “Apa kamu cemburu?” tembaknya.“Cemburu?” Adrian bahkan melongo saat mendapat tuduhan tak berdasar itu. “Kenapa Mas bisa ambil kesimpulan seperti itu?” tanyanya tak habis pikir.“Ya, apalagi?” Damar menaikkan satu alisnya. “Kamu terlalu ikut campur dengan urusan Mas dan Kinan,” ujarnya pelan.“Aku sahabat dia, kalau Mas lupa,” balas Adrian. “Aku kenal dia dari kecil, dan dia udah kayak saudara
Kinanti merasa senang sekali saat berbincang dengan Alif dan juga neneknya. Sepasang nenek dan juga cucunya, yang kebetulan tengah beristirahat di depan ruko fotocopy yang ada di dekat kampus Kinanti.“Terus, setelah ini Nenek sama Alif mau ke mana lagi?” tanya Kinanti dengan senyum cerah yang tak pernah luntur sejak tadi.“Ya pulang,” jawab si nenek. “Nanti si Alif juga sebentar lagi dijemput sama ayahnya,” lanjutnya.Kinanti mengangguk-angguk paham. Kemudian pandangan gadis itu tidak sengaja menangkap sebuah mobil, yang sangat familiar untuknya. Kening perempuan cantik itu mengernyit samar. Rasanya sangat tidak mungkin, jika itu adalah mobil Damar. ‘Ngapain?’ tanya Kinanti dalam hati. Kalaupun memang benar itu adalah Damar, lalu kenapa pria itu hanya diam di sana? Bukannya masuk ke dalam kampus. Kinanti menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan hal yang berat-berat. “Kamu kenapa?” tanya si nenek. “Eh?” Kinanti sedikit terkesiap. “Nggak apa-apa kok, Nek. Aku nggak apa-apa,”
Sementara di dalam ruang kerjanya, Damar sedang serius memperhatikan layar ponselnya , yang menunjukkan ruang pesannya bersama Kinanti.Ini aneh. Dan Damar sadar itu, jika sikapnya akhir-akhir ini memang sangat aneh.“Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan?” gumam pria tampan itu.Ia sendiri bingung dengan apa yang sedang dilakukannya. Akhir-akhir ini dirinya kerap memikirkan Kinanti, tanpa sebab.Atau mungkin ini karena dirinya ikut terbawa perasaan saja, saat melihat interaksi Kinanti dan juga putrinya.Pria tampan itu mengangguk pelan. “Iya, pasti karena itu,” ucapnya seolah menjawab pertanyaan yang sejak tadi ada dalam benaknya.Tapi … apa hanya itu?Bukan karena yang lain?Dan tatapan Damar tertuju pada bingkai foto, yang terpajang manis di atas meja kerjanya. Tanpa sadar pria itu tersenyum lembut saat menatap sosok yang ada dalam foto itu.Tangan Damar terulur untuk mengambil bingkai foto itu. Ia mengusap dengan lembut wajah cantik yang tengah tersenyum, menghadap kamera.Itu ad
“Ini enak banget sih,” kata Anggita saat menyantap nasi pecel pemberian Kinanti. “Tahu aja lo, kalau gue belum sarapan.”Ya, pada akhirnya Kinanti memutuskan untuk membawa nasi pecel itu ke kampus, lalu diberikannya kepada si sahabat.Karena Kinanti benar-benar kekenyangan sekarang. Makanan yang diberikan oleh Damar, habis tak bersisa—kecuali hanya meninggalkan kotak makan, yang emang tidak bisa dimakan.“Lo udah sarapan emang, Ki?” tanya Anggita.“Udah,” jawab Kinanti pendek.Anggita mengangguk-angguk. “Iya sih, karena nggak mungkin kalau lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan,” ujarnya. “Kenapa nggak mungkin?”“Ya, aneh aja nggak, sih? Lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan.”Dan tepat saat itu Anggita mendapat sebuah sentilan di dahinya. Gadis itu mengaduh pelan, kemudian meringis saat melihat wajah kesal Kinanti. “Kita temenan bukan sehari dua hari, ya! gue slengkat kaki lo, kalau ngomong begitu lagi!”“Iya, iya. Bercanda gue,” kata Anggita.Lalu tak lama setelah
“Ini buat saya, Pak?”Kinanti benar-benar bingung, saat tiba-tiba mendapati Damar berada di depan kosnya.Damar mengangguk. “Sebagai tanda terimakasih saya, untuk yang kemarin.”Ah, itu lagi.“Tapi saya rasa ini nggak perlu, Pak,” kata Kinanti.Damar menggeleng pelan, tapi wajahnya mengulas senyum tipis. “Nggak apa-apa. Kamu memang pantas mendapatkan itu.”Meskipun masih dilanda rasa bingung, tapi Kinanti tetap tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada dosennya itu.Ya, perempuan manapun pasti akan senang saat mendapatkan hadiah—termasuk Kinanti.“Terimakasih sekali lagi, Pak,” ujar Kinanti.“Sama-sama Kinanti,” jawab Damar.Ah, Kinanti benar-benar tidak biasa dengan Damar yang terlihat begitu baik dan manis. Karena selama ini yang ia kenal adalah, Damar yang dingin, dan juga selalu melemparkan kalimat pedas.Sementara jantung gadis itu sudah berulah sejak tadi. Karena benar-benar tidak ada yang memberitahunya jika, Damar bisa setampan ini saat sedang tersenyum.Dan Kinanti takut,
Kinanti mengerjap lambat, tapi tatapannya masih tertuju pada pria yang duduk di belakang kemudi.“Kinanti?”Dan aras panggilan itu Kinanti kembali tersadar dari lamunan. Perempuan cantik itu sedikit terkesiap saat tersadar.“I—ya, Pak?”“Kamu melamun?” tanya Damar dengan kening yang berkerut.“Huh? E—nggak, saya nggak melamun, kok!” jawab Kinanti. “Bapak tadi bilang apa?” tanyanya kemudian.Damar menghela napas pelan. “Saya tadi bilang terimakasih,” ujarnya pelan.“Terimakasih untuk—-apa?”Damar menyandarkan punggungnya pada kursi, pria itu meraup udara sebanyak yang ia mampu. Ada sesak yang tidak bisa dijelaskan saat kembali mengingat kejadian tadi.“Pak Damar?” panggil Kinanti dengan hati-hati. “Terimakasih untuk yang tadi,” jawab Damar pelan. “Tidak perlu—”“Perlu!” sahut Damar cepat. Kemudian pria itu menoleh menatap Kinanti. “Saya perlu ucapkan itu, Kinanti. Karena berkat kamu, saya dapat melihat senyuman Ola yang sudah lama hilang.”Kinanti kembali mengerjap lambat, entah kenap