Damar terdiam saat mendengar pertanyaan dari gadis kecil itu. Ia menatap putrinya yang juga menatapnya dengan mata berbinar.
Rasanya Damar benar-benar berdosa sekali kepada putrinya. Apakah anaknya itu benar-benar menginginkan seorang ibu sungguhan?
“Papa? kok diam aja?” gadis kecil itu meletakkan telapak tangannya di salah satu sisi wajah sang ayah.
“Hm?” Damar tersenyum. “Ola tadi tanya apa sama Papa, Nak?”
“Eyang bilang, sebentar lagi aku bakal punya Mama. Apa itu benar, Pa?”
“Eyang bilang begitu?” tanya Damar, dan putrinya itu mengangguk cepat. “Memangnya Ola pengen punya Mama baru?”
“Mau!” gadis kecil itu berseru. “Biar kayak teman-teman aku, Pa. Mereka semuanya ada Mama dan Papa. Cuma Ola aja yang nggak punya Mama,” raut wajahnya langsung berubah menjadi send
Tolong siapapun ingatkan Kinanti untuk mengatupkan bibirnya. Karena yang terjadi saat ini adalah, gadis itu ternganga lantaran mendengar ajakan sang dosen.Kinanti tidak salah dengar, kan?Atau ia sedang berhalusinasi sekarang?“Aduh!” gadis itu mengaduh karena mencubit pergelangan tangannya sendiri.Sementara Damar yang melihat tingkah Kinanti, merasa heran. Apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu?“Kenapa kamu?” tanya Damar.“Bapak … barusan ngajak saya pulang bareng, kan?” bukannya menjawab pertanyaan dosennya, gadis itu malah kembali bertanya.“Iya,” jawab Damar pendek.“Ini serius, Pak? jadi, saya nggak salah degar kan?”“Iya, Kinanti.”“Wah!” gadis itu kembali terkejut, karena ter
“Siapa Kinanti?”Damar terkejut dengan pertanyaan sang ibu. Pria itu langsung menutupi ponselnya dan kembali mengatur ekspresinya.“Damar? kenapa nggak dijawab? siapa Kinanti?” cecar sang ibu.“Mahasiswi Damar di kampus, Bu.”Kening Bu Mustika semakin berkerut. “Kamu antar mahasiswa kamu pulang? kenapa?” tanyanya heran.Kenapa?Pertanyaan itu juga baru saja masuk ke dalam benak Damar. Sebelumnya ia tidak memikirkan apapun, dan baru tersadar saat ibunya bertanya.Apa yang ia lakukan tadi?Kenapa harus melakukan hal itu?Ini sama sekali bukan gaya Damar. Karena ia adalah salah satu orang tidak ingin direpotkan oleh orang lain—yang tidak ada hubungan apapun dalam hidupnya.“Damar?”Lamuna
“Eh?” Kinanti jelas terkejut dengan ucapan Damar barusan.“Berikan pada saya, Kinanti.”“T-tapi …”Karena tidak sabar, Damar akhirnya terpaksa mengambil tas itu dari tangan Kinanti. “Ini untuk saya, kan?” tanyanya.Kinanti mengangguk.“Terimakasih, lain kali tidak perlu begini. Saya ikhlas mengantarkan kamu pulang,” ujar pria. “Saya terima pemberian kamu, Kinanti.”Setelah mengatakan itu, damar langsung pergi meninggalkan Kinanti yang masih diam mematung.Sementara Kinanti menatap kepergian Damar dengan tatapan yang rumit. Ia masih tidak menyangka, jika dosennya itu akan menerima pemberiannya.Tunggu!Bukannya pria itu tidak ada jadwal mengajar ke kampus?Lalu untuk apa Damar pergi ke kampus?
Dua hari setelahnya …Kinanti merasa ada yang aneh dengan Damar. Sebetulnya tidak bisa dianggap aneh juga sih, tapi gadis itu merasa jika sikap sang dosen mendadak seperti sedang menghindarinya.Kinanti sadar ini adalah pemikiran anehnya, dan seharusnya ia tidak boleh berpikiran seperti itu. Karena memang pada kenyataannya, mereka tidak sedekat itu. Dan hubungan mereka hanya pura-pura.“Ish! ngapain juga gue pusing mikirin dia, sih? masa perkara puding dibilang enak, gue langsung baper? murah betul hati mungilku ini.”KInanti menggelengkan kepalanya. Memang aneh dirinya itu. Hanya karena bentuk perhatian sekecil itu, langsung terbawa perasaan dan memikirkan yang tidak seharusnya ia pikirkan.“Lo kenapa deh, Ki?”Pertanyaan itu membuat Kinanti sedikit terkejut. Ia kemudian menoleh ke samping, dan ternyata dau temannya itu sedang
Damar menelan ludah saat mendengar ucapan sang ibu. “Aku tidak janji, Bu—”“Ya sudah, kalau begitu biar Ibu yang mendatangi Mega.”“Bu—”“Ibu sudah lelah Damar!” Bu Mustika memijit pelipisnya pelan. “Sudah berapa kali kamu bohongi Ibu? dan sekarang Ibu nggak mau kecolongan lagi. Sudah saatnya kamu menikah lagi.”Setelah mengatakan itu, Bu Mustika langsung beranjak dan meninggalkan putranya.Damar meraup wajahnya kasar. Padahal seharusnya ia tidak perlu merasa pusing seperti sekarang. Toh, sekarang sudah ada Kinanti, yang bersedia untuk bersandiwara di depan keluarganya—terutama ibunya.Tapi, kenapa Damar berat sekali untuk melakukan itu?***Keesokan harinya, Damar datang lebih awal ke kampus. Jika biasanya pria itu akan pergi ke kanto
Kening Kinanti berkerut saat membaca pesan dari Damar. Bahkan ia berkali-berkali memastikan nama si pengirim.Gadis itu hanya takut jika ia salah membaca atau mungkin dosen tampan itu salah kirim.“Ini salah kirim nggak, sih? masa iya, Beliau mau jemput gue?” gumam Kinanti.Kemudian datang lagi pesan lainnya dari Damar.[Bagaimana Kinanti?]“Ah, jadi dia beneran ngajak ketemu, ya?”Dan Kinanti pun mengirimkan pesan balasan untuk Damar.[Ada, Pak. Tapi kayaknya Bapak nggak perlu jemput saya nggak, sih? hehe][Saya jemput kamu]“Huft …” Kinanti membuang napas pelan. “Mau bahas apa ya, kira-kira?”Lalu Kinanti pun memilih untuk menyimpan semua pertanyaan yang ada dalam benaknya, dan gadis itu segera untuk bersiap.
“Bagaimana Kinanti?”Kinanti masih terdiam. Begitu banyak pertanyaan yang bersarang dalam benaknya. Terutama ketakutannya jika nanti keluarga Damar justru malah semakin mendesak mereka, untuk benar-benar segera menikah.“H-hari Minggu besok banget ya, Pak?” tanya Kinanti.“Ya,” jawab Damar. “Apa kamu keberatan?” tanyanya, karena melihat Kinanti yang nampak ragu.“Gimana ya, Pak? sebenarnya saya agak takut, sih …” aku Kinanti.Satu alis Damar terangkat. “Takut? apa yang kamu takutkan?”Kinanti menghela napas pelan, ia sendiri bingung dengan perasaannya yang mendadak ragu seperti sekarang.“Nanti kalau orang tua Bapak malah nyuruh kita nikah kita nikah beneran, gimana?” tanya Kinanti.Damar mengusap wajahnya menggunakan tangan kan
“Kenapa, Ki?” tanya Anggita, saat melihat perubahan ekspresi dari temannya itu.Kinanti mengeleng pelan, tapi tangannya menyerahkan ponselnya kepada temannya.Anggita menerima ponsel Kinanti, kemudian membaca pesan dari Damar. Dan menurut gadis itu itu, tidak ada yang aneh dengan isi pesan tersebut.“Menurut lo, Pak Damar berlebihan nggak sih, Git?” tanya Kinanti.“Enggak ah,” jawab Anggita. “Ini namanya gentleman. Beliau mau, lo itu proper pas ketemu sama keluarganya nanti.”Masa iya begitu?“Lagian, lo nggak usah mikir aneh-aneh deh, Ki. Yang dilakukan sama Pak Damar itu sangat wajar, as a gentleman,” ujar Anggita.“Masa sih? bukannya ini berlebihan, ya?” tanya Kinanti. “Maksud gue, hubungan kami kan nggak seserius itu, Git?”Anggita
Kinanti benar-benar menuruti keinginan Ola. Ia membawa gadis kecil itu, ke makam mendiang sang ibu.Dengan diantar oleh Damar, perempuan cantik itu setia membawa Ola dalam gendongan.Sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di komplek pemakaman itu, Damar terus memperhatikan Kinanti yang kini berada di depannya.Perasaannya benar-benar rumit sekarang. Ia tidak tahu, jika kedekatan Kinanti dengan putrinya, akan memberikan efek yang membuat Damar berada dalam sebuah dilema.Pria itu merasa perasaannya kepada Kinanti hanyalah rasa kagum saja—tidak lebih dari itu.Setidaknya itu yang Damar yakini saat ini—entah bagaimana nanti.“Nah, sudah sampai.”Suara Kinanti, membuat Damar tersadar dari lamunannya. Dan ternyata mereka telah tiba di depan pusara istri Damar.Sementara Kinanti dapat melihat buket bunga mawar merah dan putih yang begitu cantik, masih tersandar begitu saja di dipan bau nisan.Perempuan itu mengira jika bunga itu adalah pemberian Damar. Ia tersenyum samar, ad
“Apa maksud kamu?”Damar menatap lekat adik sepupunya—Adrian. Pria itu tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh adik sepupunya.Apa maksudnya?“Apa maksud kamu Restu Adrian Dwijaya?” tanya Damar lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.Adrian mendengus pelan. Perhatiannya tertuju pada bingkai foto, yang terletak dengan manis di atas meja Damar.Sudah bisa ditebak jika itu adalah bingkai foto Damar bersama mendiang istrinya.“Mas, hubungan kalian ini hanya pura-pura. Jadi Mas nggak perlu mendalami peran,” kata Adrian.“Apa maksud kamu?” Damar terus mencecar pertanyaan yang sama. “Apa kamu cemburu?” tembaknya.“Cemburu?” Adrian bahkan melongo saat mendapat tuduhan tak berdasar itu. “Kenapa Mas bisa ambil kesimpulan seperti itu?” tanyanya tak habis pikir.“Ya, apalagi?” Damar menaikkan satu alisnya. “Kamu terlalu ikut campur dengan urusan Mas dan Kinan,” ujarnya pelan.“Aku sahabat dia, kalau Mas lupa,” balas Adrian. “Aku kenal dia dari kecil, dan dia udah kayak saudara
Kinanti merasa senang sekali saat berbincang dengan Alif dan juga neneknya. Sepasang nenek dan juga cucunya, yang kebetulan tengah beristirahat di depan ruko fotocopy yang ada di dekat kampus Kinanti.“Terus, setelah ini Nenek sama Alif mau ke mana lagi?” tanya Kinanti dengan senyum cerah yang tak pernah luntur sejak tadi.“Ya pulang,” jawab si nenek. “Nanti si Alif juga sebentar lagi dijemput sama ayahnya,” lanjutnya.Kinanti mengangguk-angguk paham. Kemudian pandangan gadis itu tidak sengaja menangkap sebuah mobil, yang sangat familiar untuknya. Kening perempuan cantik itu mengernyit samar. Rasanya sangat tidak mungkin, jika itu adalah mobil Damar. ‘Ngapain?’ tanya Kinanti dalam hati. Kalaupun memang benar itu adalah Damar, lalu kenapa pria itu hanya diam di sana? Bukannya masuk ke dalam kampus. Kinanti menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan hal yang berat-berat. “Kamu kenapa?” tanya si nenek. “Eh?” Kinanti sedikit terkesiap. “Nggak apa-apa kok, Nek. Aku nggak apa-apa,”
Sementara di dalam ruang kerjanya, Damar sedang serius memperhatikan layar ponselnya , yang menunjukkan ruang pesannya bersama Kinanti.Ini aneh. Dan Damar sadar itu, jika sikapnya akhir-akhir ini memang sangat aneh.“Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan?” gumam pria tampan itu.Ia sendiri bingung dengan apa yang sedang dilakukannya. Akhir-akhir ini dirinya kerap memikirkan Kinanti, tanpa sebab.Atau mungkin ini karena dirinya ikut terbawa perasaan saja, saat melihat interaksi Kinanti dan juga putrinya.Pria tampan itu mengangguk pelan. “Iya, pasti karena itu,” ucapnya seolah menjawab pertanyaan yang sejak tadi ada dalam benaknya.Tapi … apa hanya itu?Bukan karena yang lain?Dan tatapan Damar tertuju pada bingkai foto, yang terpajang manis di atas meja kerjanya. Tanpa sadar pria itu tersenyum lembut saat menatap sosok yang ada dalam foto itu.Tangan Damar terulur untuk mengambil bingkai foto itu. Ia mengusap dengan lembut wajah cantik yang tengah tersenyum, menghadap kamera.Itu ad
“Ini enak banget sih,” kata Anggita saat menyantap nasi pecel pemberian Kinanti. “Tahu aja lo, kalau gue belum sarapan.”Ya, pada akhirnya Kinanti memutuskan untuk membawa nasi pecel itu ke kampus, lalu diberikannya kepada si sahabat.Karena Kinanti benar-benar kekenyangan sekarang. Makanan yang diberikan oleh Damar, habis tak bersisa—kecuali hanya meninggalkan kotak makan, yang emang tidak bisa dimakan.“Lo udah sarapan emang, Ki?” tanya Anggita.“Udah,” jawab Kinanti pendek.Anggita mengangguk-angguk. “Iya sih, karena nggak mungkin kalau lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan,” ujarnya. “Kenapa nggak mungkin?”“Ya, aneh aja nggak, sih? Lo belum sarapan, tapi malah kasih gue sarapan.”Dan tepat saat itu Anggita mendapat sebuah sentilan di dahinya. Gadis itu mengaduh pelan, kemudian meringis saat melihat wajah kesal Kinanti. “Kita temenan bukan sehari dua hari, ya! gue slengkat kaki lo, kalau ngomong begitu lagi!”“Iya, iya. Bercanda gue,” kata Anggita.Lalu tak lama setelah
“Ini buat saya, Pak?”Kinanti benar-benar bingung, saat tiba-tiba mendapati Damar berada di depan kosnya.Damar mengangguk. “Sebagai tanda terimakasih saya, untuk yang kemarin.”Ah, itu lagi.“Tapi saya rasa ini nggak perlu, Pak,” kata Kinanti.Damar menggeleng pelan, tapi wajahnya mengulas senyum tipis. “Nggak apa-apa. Kamu memang pantas mendapatkan itu.”Meskipun masih dilanda rasa bingung, tapi Kinanti tetap tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada dosennya itu.Ya, perempuan manapun pasti akan senang saat mendapatkan hadiah—termasuk Kinanti.“Terimakasih sekali lagi, Pak,” ujar Kinanti.“Sama-sama Kinanti,” jawab Damar.Ah, Kinanti benar-benar tidak biasa dengan Damar yang terlihat begitu baik dan manis. Karena selama ini yang ia kenal adalah, Damar yang dingin, dan juga selalu melemparkan kalimat pedas.Sementara jantung gadis itu sudah berulah sejak tadi. Karena benar-benar tidak ada yang memberitahunya jika, Damar bisa setampan ini saat sedang tersenyum.Dan Kinanti takut,
Kinanti mengerjap lambat, tapi tatapannya masih tertuju pada pria yang duduk di belakang kemudi.“Kinanti?”Dan aras panggilan itu Kinanti kembali tersadar dari lamunan. Perempuan cantik itu sedikit terkesiap saat tersadar.“I—ya, Pak?”“Kamu melamun?” tanya Damar dengan kening yang berkerut.“Huh? E—nggak, saya nggak melamun, kok!” jawab Kinanti. “Bapak tadi bilang apa?” tanyanya kemudian.Damar menghela napas pelan. “Saya tadi bilang terimakasih,” ujarnya pelan.“Terimakasih untuk—-apa?”Damar menyandarkan punggungnya pada kursi, pria itu meraup udara sebanyak yang ia mampu. Ada sesak yang tidak bisa dijelaskan saat kembali mengingat kejadian tadi.“Pak Damar?” panggil Kinanti dengan hati-hati. “Terimakasih untuk yang tadi,” jawab Damar pelan. “Tidak perlu—”“Perlu!” sahut Damar cepat. Kemudian pria itu menoleh menatap Kinanti. “Saya perlu ucapkan itu, Kinanti. Karena berkat kamu, saya dapat melihat senyuman Ola yang sudah lama hilang.”Kinanti kembali mengerjap lambat, entah kenap
Damar berderap cepat, begitu ia tiba di rumah. Kunci mobil langsung ia serahkan pada salah satu pelayan, sementara dirinya sudah ingin cepat masuk ke dalam. Dan saat ia tiba di ruang makan, ada perasaan lain yang tiba-tiba menelusup ke dalam dada. Apalagi setelah melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Di hadapannya kini terlihat putrinya sedang asik bermain bersama dengan Kinanti. Gadis cilik itu rupanya ingin dibacakan sebuah dongeng oleh Kinanti. “Dan pada akhirnya, mereka hidup dengan bahagia. Tamat!” ujar Kinanti, seraya menutup buku cerita yang ada di tangannya. “Wah, pasti senang sekali ya, kalau punya Mama dan Papa?” ujar Ola dengan polosnya. Kinanti tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi kanan gadis cilik itu. “Kenapa ngomong begitu, Sayang?” tanyanya dengan lembut. “Ola capek, Tante. Tiap hari di sekolah selalu diledek sama teman-teman,” gadis kecil itu sedikit menggembungkan pipinya. “Mereka selalu bilang, katanya Ola itu kasihan nggak punya Mama.
Damar tahu, jika saat ini ibunya sudah mulai menyukai Kinanti. Dan itu artinya, dirinya sudah tidak lagi khawatir, akan kembali didesak untuk menikahi adik iparnya—Mega.Rencananya tidak sia-sia. Kendati tak didesak untuk menikahi sang adik ipar, tetap saja ada desakan untuk Damar segera menikahi Kinanti. Dan itu tentu saja kembali membuat pria itu kembali pusing. Waktunya dengan Kinanti memang masih lumayan panjang. Tapi itu tidak menutup kemungkinan, jika ibunya akan terus mendesaknya. “M—menikah?” cicit Damar. Bu Mustika mengangguk. “Iya lah. Memangnya mau apa lagi? Kamu itu sudah terlalu tua, Damar. Sedangkan Kinanti? Dia masih sangat muda, pasti banyak laki-laki yang menyukai dia.”“Dia masih kuliah, Bu.”“Hampir selesai, kan? Tahun depan?” sahut Bu Mustika. “Minimal tunangan dulu, jadi kalian benar-benar ada ikatan. Biar nanti setelah lulus, kalian bisa langsung menikah.”Damar terdiam, tidak menyahuti. Hingga ibunya itu kembali bersuara. “Atau kalian langsung menikah saja