로그인“Kalau Bumi tidak bisa menikahi kamu, harusnya Langit bisa menggantikannya.” Baskara mengatakan itu sembari menatap sosok Langit Akasa Mahadewa—kembaran Bumi yang keluar dari area pemakaman.
Tanisha kontan melirik sosok tersebut. Sang pemilik wajah yang sama persis dengan wajah calon suaminya yang telah meninggal dunia. Namun, wajah itu tampak lebih tegas dengan sorot tajam dan dingin yang menjadi andalannya setiap menatap siapa pun. “Jangan gila, Pa!” seru Tanisha yang sudah kembali mengalihkan atensi pada sang ayah. “Keluarga Mahadewa masih berduka. Seharusnya, kita cukup mengucapkan belasungkawa. Bukan malah memikirkan pernikahanku yang gagal!” Tanisha kembali menambahkan. Entah apa yang akan ayahnya lakukan jika mengetahui kesuciannya telah terenggut semalam sebelum pernikahannya berlangsung. Insiden tersebut lebih pantas disebut aib dibanding dengan kecelakaan yang menimpa Bumi. Sebab, tak ada yang memalukan dari suatu kematian. Mungkin, ini adalah teguran untuk Tanisha. Sebab, ia memilih tetap melanjutkan pernikahannya yang berada di depan mata padahal jelas-jelas dirinya tak suci lagi. Bumi pasti merasa tertipu jika benar-benar menikahinya. Dengan begini, Tanisha tak perlu menipu siapa pun. “Kamu pikir mudah mempersiapkan semuanya? Biaya, waktu, dan segalanya dipertaruhkan di sini. Kalau Langit yang menggantikan Bumi, setidaknya usaha kita tidak sia-sia!” Baskara bersikeras mempertahkan argumennya. Tanisha seakan ingin meledak menghadapi ayahnya yang seperti ini. Ia benar-benar khawatir orang-orang mendengar pembicaraan mereka. Jika ada yang mendengar pembicaraan ini, mereka pasti menganggap keluarganya tak memiliki empati. Namun tampaknya, ayahnya tak mau berhenti. “Kita pulang saja ya, Pa?” pinta Tanisha sembari menggandeng lengan sang ayah. Tanisha khawatir jika dirinya dan Baskara kembali ke gerombolan keluarga besar Mahadewa, ayahnya malah mengutarakan keinginan gila itu. Tanisha benar-benar lelah dan ingin pulang secepatnya. Toh, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Baskara jika memberi tanggapan lagi dan membiarkan Tanisha memimpin langkah. Tanisha sudah mulai lega. Setidaknya, ayahnya sudah tidak lagi mempertahankan argumennya. Tentang pernikahan yang berantakan ini bisa dibicarakan nanti. Namun, tiba-tiba ada yang memanggil mereka. Suara bariton yang familiar itu membuat Tanisha menegang selama beberapa saat. Ia mengenal suara itu. Langit Akasa Mahadewa menghampiri mereka. Dan sepertinya, lelaki itu juga mendengar apa yang ia dan ayahnya bicarakan. “Atas nama keluarga, saya minta maaf atas insiden ini. Tidak ada yang menginginkan musibah seperti ini,” ucap Langit dingin. “Saya tidak bermaksud menguping. Namun, obrolan kalian terlalu keras,” sindir lelaki itu dengan seulas senyum sinis yang menghiasi wajahnya. “Mas langit, saya minta maaf kalau obrolan kami menyinggung Mas langit dan keluarga. Kami tahu, semua yang ada di sini masih berduka. Tolong jangan hiraukan apa yang Mas Langit dengar barusan. Kami hanya—” Mengabaikan pembelaan yang Tanisha lakukan, Langit lebih memilih berbicara dengan Baskara. “Pak Baskara tidak perlu khawatir. Saya akan menggantikan adik saya.” *** Langit tak sekadar membual. Lelaki itu benar-benar merealisasikan ucapannya. Entah apa yang lelaki itu katakan pada keluarganya, seminggu kemudian mereka mendatangi kediaman orang tua Tanisha untuk melamar. Dan sebulan kemudian pernikahan tersebut akhirnya terlaksana. Tak ada hujatan yang menghampiri Langit dan keluarganya. Mereka malah disanjung. Bukan hanya oleh para politisi, tetapi juga oleh masyarakat. Bahkan yang berada di media masa. Sebab, Langit dianggap pahlawan karena menggantikan Bumi yang telah tiada. Tak bisa dipungkiri, keluarga Mahadewa memang sangat mahir membuat nama mereka semakin melambung. Entah itu menggunakan buzzer di sosial media atau pendukung sungguhan. Semuanya memuji mereka. Hanya segelintir orang yang kontra dan tentunya akan tenggelam oleh para pendukung. “Mbak Tanisha beruntung sekali. Semoga pernikahan ini bisa mengobati duka atas meninggalnya Mas Bumi. Saya yakin, Mas Langit adalah jodoh terbaik untuk mbak. Saya tidak bermaksud mendahului, tapi selamat atas pernikahannya, Mbak,” tutur desainer yang membantu Tanisha memakai kebaya rancangannya. Tanisha berusaha mengangkat kedua sudut bibirnya dan yang tersungging hanyalah senyum kaku. “Terima kasih, Tante. Maaf ya, aku jadi merepotkan. Tante harus bolak-balik membantuku.” Desainer yang merancang busananya adalah langganan keluarganya. Tanisha sudah cukup akrab dengan sang desainer. Tanisha masih menggunakan pakaian yang sama. Hanya Langit yang perlu melakukan fitting lagi karena lelaki itu lebih tinggi dari Bumi. “Jangan bicara begitu. Tante senang bisa membantu kamu. Jangan tegang ya? Tante yakin acara hari ini pasti lancar. Untuk sekarang, jangan terlalu memikirkan insiden sebulan lalu.” Sang desainer berusaha menenangkan Tanisha nn yang tampak gugup. “Terima kasih, Tante.” Tanisha berusaha tetap tenang, namun dadanya malah semakin bergemuruh. Kegelisahan yang ia rasakan lebih pekat dibanding sebelumnya. Kekhawatiran insiden buruk kembali terulang juga perasaan tak menentu karena sosok yang akan menikahinya adalah orang yang sangat antipati padanya. Tanisha dan Langit hanya bertemu ketika lelaki itu memboyong keluarga besarnya untuk melanjutkan perjodohan ini. Ketika fitting baju pengantin pun, Langit memilih melakukannya seorang diri. Sedangkan untuk persiapan lainnya, semuanya menggunakan persiapan yang sudah ada. Tanisha tak pernah berkomunikasi empat mata dengan Langit setelah lelaki itu mengatakan bersedia menikahinya. Jika boleh jujur, Tanisha lebih berharap perjodohan ini dibatalkan saja. Toh, sebenarnya ia tidak memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat. Ceklek. “Sudah siap? Ayo, semuanya sudah menunggu kamu,” tutur Adinda yang baru saja memasuki ruang rias Tanisha. “Orang-orang mungkin berpikir kamu masih berduka. Tapi, jangan tunjukkan wajah penuh kesedihan itu. Senyum. Tunjukkan seberapa beruntungnya kamu menjadi menantu Mahadewa,” bisik Adinda setelah menggiring putrinya keluar dari ruangan tersebut. “Jangan khawatir, Ma. Aku bisa menempatkan diri,” jawab Tanisha datar. Ekspresi keduanya kontan berubah begitu berbelok ke area ballroom yang telah dipenuhi tamu undangan. Senyum manis nan memikat tersungging di bibir keduanya. Adinda membimbing Tanisha duduk di samping Langit yang bahkan tak melirik Tanisha sama sekali. Prosesi pernikahan tersebut berlangsung cepat dan Tanisha tak bisa menikmati acara tersebut sama sekali. Dibanding disebut pesta pernikahan, acara hari ini lebih pantas disamakan dengan acara ramah tamah para politisi dan kolega bisnis kedua orang tua mereka. Hanya segelintir tamu yang benar-benar Tanisha kenal. Sedangkan sisanya adalah kenalan para orang tua. Tanisha tak tahu berapa banyak tamu yang diundang. Kakinya sudah mulai kebas karena terlalu lama berdiri. Tamu yang datang silih berganti membuatnya tak bisa duduk sama sekali. “Buka saja high heels mu,” ucap Langit tiba-tiba. Tanisha sedikit tersentak. Sejak resmi menjadi suami-istri, baru sekarang Langit membuka suara. Tanisha melirik lelaki yang berdiri di sampingnya melalui ekor matanya. Langit masih memasang ekspresi dingin andalannya. Tanisha nyaris tidak percaya jika lelaki itu baru saja mengajaknya bicara. Langit memberi isyarat pada salah satu ajudannya untuk mendekat ke pelaminan. “Bawakan sandal untuk istri saya.” “Tidak usah, Mas. Acaranya juga sebentar lagi selesai.” Tanisha yang mendengarnya spontan menolak. Langit mengabaikan ucapan Tanisha dan meminta ajudannya pergi. Tamu yang hendak menyalami mereka mulai ramai lagi. Padahal malam sudah semakin larut. Namun, tamu-tamu ini tak ada habisnya. Dan yang tampak menikmati acara hanya orang tua mereka. Begitu ajudan Langit datang membawakan sandal hotel untuk Tanisha, orang-orang kembali memuji lelaki itu. Betapa baik dan romantisnya seorang Langit Akasa Mahadewa pada sang istri. Tanisha pun hampir merasa tersanjung. Namun, perkataan lelaki itu tetap begitu mereka memasuki kamar pengantin membuatnya tertampar kenyataan. “Saya menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga saya. Jadi, tolong jangan berharap lebih,” ucap Langit sembari melepas jas yang melekat di tubuhnya. “Saya ingin hanya melakukan ini lebih awal. Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu datang,” lanjut Langit tanpa mmenatap Tanisha. “Aku ngerti, Mas,” jawab Tanisha yang duduk di pinggir ranjang. “Mas Langit mau ke mana?” Menyadari Langit seperti hendak pergi lagi, Tanisha pun spontan bertanya. “Saya ada urusan. Kamu tidur duluan saja.” Langit langsung menyambar ponselnya yang tergeletak di atas nakas benda pipih itu berdering. Sebelum Langit mengambilnya, Tanisha tak sengaja melihat satu nama yang tertera di sana. Tania Wijaya. Tanisha melupakan satu hal. Suaminya memiliki kekasih.Panggilan resmi itu tiba tanpa suara. Tanpa aba-aba. Tanpa tanda. Tanpa jeda untuk bernapas.Naskah panggilan tertutup dengan lambang kenegaraan yang tercetak tebal di bagian atasnya—diserahkan langsung oleh petugas khusus berseragam gelap yang datang ke rumah Baskara dengan langkah berat dan sorot mata kaku.Sementara itu, di ruang keluarga rumah Langit, Tanisha sedang membaca ulang artikel berita yang hari ini meledak di sosial media:“Baskara Prameswara Diduga Terlibat Proyek Kayu Ilegal – Pemerintah Siapkan Pemanggilan Resmi.”Mulut Tanisha terasa getir. Tangannya gemetar ketika ia meletakkan ponsel ke meja. Langit duduk di seberangnya, masih memakai kemeja kerja, lengan digulung ke siku, wajahnya dingin tapi tegang.“Saya baru dapat kabar,” ucap Langit pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel. “Pemanggilannya resmi. Papa kamu diminta hadir hari Jumat.”Tanisha menelan napas. Terlalu cepat. Terlalu mendadak. Terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas.“Papa…” Suaranya
“Beritanya sudah naik semua.”Kalimat itu jatuh di ruang rapat seperti palu yang menghantam meja. Layar besar di dinding menampilkan potongan headline dari berbagai portal daring—judulnya berbeda, nadanya sama.MENHUT DIDUGA TERKAIT PROYEK ILEGAL KAYU GELONDONGAN.JEJAK POLITIK MENGARAH KE LINGKARAN KEKUASAAN.Langit berdiri dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, punggungnya lurus, rahangnya mengeras. Matanya tidak berkedip, menatap satu per satu paragraf yang menyebut nama Baskara Prameswara—mertuanya—tanpa ragu, tanpa basa-basi.Ramdan menoleh ke arah Langit. “Mereka nggak pakai kata ‘dugaan’ lagi, Pak. Narasinya udah diarahkan. Opini publik digiring.”Langit menarik napas perlahan. “Siapa yang pertama kali dorong isu ini?”“Anonim. Tapi setelah kami telusuri, sumber awalnya dari akun-akun yang terhubung ke dua perusahaan logging besar. Mereka nggak muncul di depan, tapi polanya kelihatan.”Langit tersenyum tipi
Berita itu muncul pertama kali bukan dari media arus utama.Bukan dari konferensi pers.Bukan dari rilis resmi kementerian.Melainkan dari sebuah unggahan akun anonim di media sosial, dengan narasi panjang, potongan data mentah, dan satu kalimat pembuka yang langsung menusuk:“Kalau kita bicara soal banjir dan kebakaran, jangan lupa siapa yang selama ini mengatur hutan.”Nama Baskara Prameswara disebut di sana.Tidak frontal. Tidak menuduh langsung. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang membaca mengernyit dan mulai mengaitkan potongan-potongan yang selama ini tercecer.Langit membaca berita itu dalam diam, duduk di ruang kerjanya dengan ponsel tergeletak di atas meja. Layar memperlihatkan unggahan yang sudah dibagikan ribuan kali hanya dalam hitungan jam.Ada tangkapan layar dokumen proyek.Ada potongan pidato lama.Ada foto-foto yang diambil dari sudut jauh, entah kapan, entah di mana.Dan ada sat
Berita itu tidak lagi sekadar lalu-lalang di kolom kecil media daring. Sejak pagi, layar televisi di ruang keluarga menampilkan gambar yang sama berulang-ulang: asap hitam membumbung dari salah satu gedung perkantoran di pusat kota, petugas pemadam berlarian, dan headline yang kian membesar.“Kebakaran Misterius Diduga Berkaitan dengan Dokumen Proyek Kehutanan.”Tanisha mematikan televisi lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya—bukan karena kebakaran itu sendiri, tapi karena ia tahu betul, setiap berita yang menyerempet kata kehutanan dan proyek besar selalu berarti satu hal: Langit akan semakin sibuk, semakin jauh, dan semakin berada di wilayah yang tak bisa ia jangkau.Ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Langit masuk.“Saya rapat hari ini. Jangan ke mana-mana.”Tanisha menghela napas. Ia tidak membalas. Bukan karena marah, hanya karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak kejadian-kejadian belak
Berita tentang kebakaran itu tidak turun dari layar ponsel sejak pagi.Tanisha melihatnya saat sedang duduk di ruang tengah, televisi menyala tanpa benar-benar ia perhatikan, sampai potongan gambar drone memperlihatkan gedung perkantoran yang hangus sebagian. Api sudah padam, tapi sisa asap hitam masih membubung, seolah ada sesuatu yang belum selesai di sana.Gedung itu tidak asing.Tanisha ingat betul, di sanalah beberapa kantor konsultan dan perusahaan holding beroperasi—perusahaan yang namanya sering disebut samar di berita ekonomi, tapi jarang benar-benar dibedah. Terlalu besar, terlalu kuat, terlalu dekat dengan lingkar kekuasaan.“Katanya korsleting,” gumam penyiar berita. “Namun pihak kepolisian belum menutup kemungkinan adanya unsur kesengajaan.”Tanisha menurunkan volume televisi ketika langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langit baru keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di r
Berita tentang kebakaran itu naik lebih cepat dari yang diperkirakan Langit.Pagi baru saja berjalan setengah jam ketika layar televisi di ruang keluarga rumah mereka menampilkan breaking news berwarna merah menyala. Tanisha yang sedang duduk di sofa, mengaduk teh hangat dengan gerakan pelan, langsung menoleh begitu kata kebakaran terdengar dari mulut pembawa berita.“Telah terjadi kebakaran hebat di salah satu gedung perkantoran kawasan pusat kota. Api diduga berasal dari lantai atas gedung, tepatnya area arsip dan server internal perusahaan—”Tanisha spontan menegakkan punggung. Gedung itu tidak asing. Ia mengenali bentuk fasadnya, bahkan dari sudut pengambilan gambar yang buram.Itu gedung yang kemarin berdiri tak jauh dari restoran tempat ia makan siang bersama Langit.Ia menoleh ke arah suaminya.Langit berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap televisi, satu tangan dimasukkan ke saku celana. Sejak berita itu muncul, i







