LOGIN“Kalau kamu ingin mempermalukan papa, jangan sekarang! Kecuali kalau kamu bisa mengganti seluruh biaya yang keluar untuk persiapan pernikahan ini!” seru Baskara Prameswara—ayah Tanisha.
“Aku tidak pernah punya niatan untuk melarikan diri.” Tanisha yang sedang dirias berusaha membela diri. Tanisha melirik beberapa orang yang sedang merias wajahnya juga mempersiapkan gaun yang akan dirinya gunakan. Seharusnya, mereka tak perlu mendengarkan ini. Sayangnya, ayahnya yang sedang marah tak akan memedulikan citra diri. Sungguh. Tak pernah terlintas dalam pikiran Tanisha untuk melarikan diri. Meskipun dirinya dijodohkan dengan lelaki yang tidak dicintainya. Ia berusaha menerima pernikahan yang kini berada di depan matanya. Hanya saja, semalam terjadi insiden di luar prediksi. Tadinya, Tanisha ingin langsung pulang setelah menghadiri party semalam sebagai formalitas. Sayangnya, ia malah terjebak di sana hingga pagi hari. Untungnya, Tanisha masih memiliki waktu untuk pulang sebelum pesta pernikahannya digelar. Begitu tiba, berbagai makian tertuju padanya. “Kamu pikir bisa membodohi papa?! Kalau kamu tidak mau menikah dengan Bumi, harusnya kamu bilang dari awal! Bukan membuat drama menjelang pernikahan kalian berlangsung! Mau ditaruh di mana muka papa kalau pernikahan ini berantakan?!” Baskara kembali menyemburkan amarahnya. Tanisha memejamkan matanya sejenak dan menghela napas pelan. “Aku minta maaf. Semalam ada insiden tak terduga. Papa jangan khawatir. Aku tidak mungkin kabur dari pernikahanku sendiri.” Tanisha tak mungkin menceritakan apa.yang terjadi semalam pada ayahnya. Apalagi di depan orang-orang yang membantunya mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya. Jika ia memang ingin melarikan diri, tentu saja sekarang dirinya tak ada di sini. Di saat suasana kian memanas, Adinda Tanjaya—ibu Tanisha muncul. Adinda telah siap lebih dulu, begitu pun dengan Baskara. Dan malah sang pengantin yang belum siap karena tiba-tiba menghilang dan tidak bisa dihubungi sejak semalam. “Sudah, Pa. Lebih baik papa temani tamu-tamu yang sudah datang. Biar mama yang menemani Tanisha. Papa tidak boleh terbawa emosi, ini hari bahagia putri kita,” tutur Adinda sembari menyentuh bahu sang suami yang menegang kaku. “Ingat, pernikahan ini bukan hanya tentang kamu dan Bumi. Jangan membuat onar!” peringat Baskara sebelum melenggang pergi. Seulas senyum miris kembali tersungging di bibir Tanisha. Benar. Pernikahan ini bukan hanya tentang dirinya dan sang calon suami. Sebab, yang terpenting adalah citra orang tua mereka yang telah bersahabat sejak lama. Dan kini tengah berkoalisi demi mendongkrak popularitas di dunia politik. Tanisha mengamati sang ibu yang tampak ingin berbicara, namun belum mengatakan apa pun. Hingga dirinya selesai dirias dengan segala perintilan yang telah terpasang di tubuhnya, barulah Adinda bersuara. Tentunya wanita paruh baya itu mengusir beberapa perias yang ada di sana terlebih dahulu. “Semalam kamu dari mana?” tanya Adinda sembari menutup pintu rapat. “Produser film terbaruku membuat pesta kecil.” Tanisha sudah menjelaskannya sejak menginjakkan kaki di salah satu hotel milik keluarganya ini. Namun, sepertinya semua orang belum puas mencercanya. Tanisha terdiam sejenak dan berdeham pelan. “Sebenarnya aku hanya ingin mampir sebentar. Tapi, ada sedikit kendala yang membuatku harus menginap di sana. Aku sama sekali tidak punya niatan untuk kabur, Ma. Aku hanya—” “Ini kendala yang kamu maksud?” tebak Adinda sembari menunjukkan jejak kemerahan yang terlihat di tulang selangka putrinya. Sontak saja, itu membuat Tanisha menegang. Ia melirik bagian yang ditunjuk ibunya. Rupanya ia kecolongan. Padahal sebelum para perias membantunya tadi, Tanisha sudah berusaha menutupi jejak-jejak itu menggunakan concealer. Namun, ternyata masih ada yang terlewat. Decak samar lolos dari bibir Adinda yang biasanya selalu bertutur kata lembut dan bersahaja itu. Ia langsung mengambil concealer dan menutupi jejak kemerahan di tulang selangka putrinya. Memastikan jejak tersebut tak akan terlihat lagi sekalipun dilihat dari jarak dekat. “Berhenti bermain-main, Tanisha. Mama tidak mau melihatmu seperti ini lagi. Jangan coreng nama baik keluarga kita dengan kelakuanmu. Tidak mudah menjadi bagian dari keluarga Mahadewa. Mereka bisa mendepakmu kapan saja,” peringat Adinda sembari merapikan melati yang terpasang di kepala Tanisha. Adinda telah mengatakan itu berulang kali. Bolehkah Tanisha mengatakan jika dirinya sudah muak mendengar peringatan tersebut? Tanisha tahu bagaimana dirinya harus bersikap. Adinda tak perlu mengingatkan itu berulang kali. Pesta pernikahannya belum dimulai dan rasanya ia sudah sangat lelah. Padahal pastinya hari ini akan menjadi hari yang panjang. Sebab, pesta ini diselenggarakan hingga tengah malam. “Senyum. Ini hari bahagiamu. Jangan sampai ada yang berpikir ada unsur pemaksaan dalam pernikahan ini.” Ekspresi Adinda kembali berubah penuh kelembutan. Wanita paruh baya itu menegakkan tubuhnya dan menatap snaf putri dari pantulan cermin di hadapan mereka. “Persiapkan dirimu. Nanti mama jemput kalau akadnya akan dimulai.” Bersamaan dengan kepergian ibunya, Tanisha merasa sesak yang membelenggu dadanya memudar. Ia tatap pantulan dirinya dari cermin. Penampilannya sudah luar biasa. Sayangnya, kekosongan di dadanya tetap terasa. Meskipun begitu, dirinya tak bisa mundur. Keriuhan yang terjadi di luar membuat Tanisha mengernyit heran. Terdengar langkah orang berlari juga suara yang saling bersahutan. Menyadari ada yang tidak beres di luar sana, Tanisha langsung menyingsingkan kebayanya dan melangkah keluar. “Apa yang terjadi?” tanya Tanisha pada salah satu ajudan ayahnya yang kebetulan melintas. “Mobil yang Pak Bumi tumpangi masuk jurang. Sekarang Pak Bumi sedang dilarikan di rumah sakit.” Informasi tersebut membuat Tanisha nyaris kehilangan pijakan jika tidak berpegangan pada pintu. Setelah ajudan itu pergi, ia bergegas mencari anggota keluarganya yang ternyata telah bersiap ke rumah sakit. Mereka melarang Tanisha ikut, khawatir terjadi hal-hal buruk lagi. Namun, Tanisha tetap memaksa ikut serta. Meskipun tak memilih perasaan sedikit pun pada calon suaminya, kekhawatiran itu tetap ada. Tanisha sudah menganggap Bumi seperti kakaknya sendiri. Ia ingin memastikan jika lelaki itu baik-baik saja. Bumi terlalu baik padanya selama ini. Sebelum sampai di rumah sakit, ada buruk kembali datang. Bumi menghembuskan napas terakhirnya tepat ketika tiba di rumah sakit. Hari yang seharusnya penuh suka cita ini berubah menjadi hari yang kelam. Tak ada tangis haru, hanya tersisa duka yang menyelimuti jiwa. Bumi menggunakan mobil pengantin bersama seorang sopir dan ajudan. Sopir dan ajudan lelaki itu tewas di tempat, sedangkan Bumi tewas begitu tiba di rumah sakit. Dan sebentar lagi, prosesi pemakaman Bumi akan dilangsungkan. Warna silver yang seharusnya menjadi dress code pernikahan ini telah berganti menjadi warna hitam, senada dengan duka mendalam yang terasa. Tamu yang tadinya datang untuk mengucapkan selamat pada pengantin yang berbahagia malah turut berbelasungkawa. “Bagaimana bisa mereka membiarkan Bumi hanya ditemani dua orang?! Sedangkan keluarga besarnya malah dikawal banyak ajudan! Padahal seharusnya, Bumi yang mendapat pengawalan lebih ketat!” sembur Baskara setelah prosesi pemakaman Bumi selesai. Tanisha spontan melirik sekelilingnya. Saat ini, mereka semua masih berada di area pemakaman. Meskipun sudah cukup jauh dari rombongan yang mengantar Bumi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tetap saja, ada kemungkinan ucapan sang ayah didengar orang lain. “Kita masih di makam, Pa.” Tanisha berusaha mengingatkan sang ayah. “Ini musibah, Pa. Tidak ada yang mengharapkan kejadian seperti ini. Tidak ada yang bisa disalahkan,” imbuh Tanisha pelan. Tak ingin memancing keributan. Suasana duka yang menyelimuti masih sangat pekat. Adinda masih menemani calon mertuanya yang masih histeris di area pemakaman. Oleh karena itu, Tanisha yang diseret oleh ayahnya menjauh dari sana. Dan Tanisha sudah bisa menebak jika ayahnya akan kembali meluapkan amarah. Tak ada yang menginginkan kejadian seperti ini terjadi. Apalagi sampai memakan korban jiwa. Namun, tidak ada yang bisa melawan takdir. Yang sekarang bisa mereka lakukan hanya menerima keadaan. Akan tetapi, ayahnya memiliki persepsi berbeda. “Pernikahan kalian berantakan! Mau ditaruh di mana muka papa?!” “Pa, semua orang pasti mengerti. Aku dan Mas Bumi memang tidak berjodoh.” Tanisha berusaha meredam emosi ayahnya. “Kalau Bumi tidak bisa menikahi kamu, harusnya Langit bisa menggantikannya.”Tanisha tidak pernah mengira dunia akan bergerak secepat ini. Baru beberapa hari lalu ia berdiri sebagai salah satu aktris muda dengan masa depan paling bersinar di industri hiburan. Kini, ia menatap layar ponselnya sendiri seperti menatap pisau yang terarah tepat ke dadanya.Notifikasi berita, komentar netizen, rilis resmi brand, potongan video, kutipan opini—semuanya terasa seperti tembakan bertubi-tubi.Cancel culture.Tanpa ampun. Tanpa menunggu klarifikasi. Tanpa memedulikan kebenaran.Pagi ini, ia bahkan belum sempat menarik napas dengan benar ketika notifikasi pertama muncul.“Brand kosmetik YUME memutuskan tidak lagi bekerja sama dengan Tanisha Prameswara.”Ada press release-nya. Ditulis rapi. Seolah hubungan mereka berakhir karena kesepakatan mutual. Padahal belum ada sepatah kata pun yang sampai ke telinganya sebelum ini.Tanisha menatap layar beberapa detik. Nafasnya menggantung. Perutnya terasa mual—dan kali ini b
Tanisha kembali terbangun untuk kesekian kalinya malam itu. Bukan karena mimpi buruk, bukan pula karena mual, tapi karena dadanya terasa penuh. Ada sesuatu di dalam dirinya yang gelisah — sesuatu yang tidak menemukan tempat untuk beristirahat.Kamar di rumah aman itu sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan kipas langit-langit terdengar seperti berputar pelan untuk sengaja menegaskan kesepian.Tanisha duduk, memeluk lutut, dan menatap jam digital kecil di samping ranjang. 03.18 AM.Belum masuk pagi. Tapi malam sudah terasa terlalu panjang.Ia turun dari kasur perlahan, memasuki kamar mandi. Air mengalir ke wastafel, ia basuh wajah. Saat menatap cermin, ia melihat pantulan seseorang yang tidak ia kenal:mata sembab, kulit pucat, bibir kering.Ia menelan ludah. “Aku kenapa jadi begini…” gumamnya parau.Begitu keluar dari kamar mandi, ia mendengar langkah pelan di luar. Tanisha membuka pintu kamar. Ruang tengah gelap, tapi lampu dari dapur
Tanisha tidak mengerti. Tidak mengerti kenapa ia berada di rumah ini. Tidak mengerti kenapa semuanya terasa salah. Tidak mengerti kenapa semua orang diam.Rumah ini sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara mobil lewat. Tidak ada langkah tetangga. Tidak ada televisi menyala di ruang tengah. Rumah itu seperti disobek dari dunia yang normal, lalu ditempelkan di tempat yang tidak bisa ditemukan siapa pun.Di halaman belakang, hanya ada pohon kamboja tua yang berdiri sendirian. Daunnya melambai pelan. Seolah ikut berbisik.Tanisha berdiri di dekat jendela kamar yang diberikan untuknya. Memandang keluar, memeluk dirinya sendiri.Sudah satu hari satu malam ia berada di sini, tetapi ia tidak tahu ini rumah siapa. Ia tidak tahu ada di mana. Ia tidak tahu alasan sebenarnya kenapa ia dipindahkan.Yang ia tahu hanya satu hal: ia tidak bersama Langit.Dan ketidakhadiran lelaki itu membuat suasana terasa lebih padat, pelan, dan menakutkan.Pin
Kabar penangkapan Baskara Prameswara masih memenuhi semua layar. Televisi di ruang keluarga rumah Langit menayangkan ulang rekaman saat sang menteri keluar dari gedung Kementerian Kehutanan dengan wajah tegang, diapit penyidik yang menjawab rentetan pertanyaan wartawan. Beberapa stasiun swasta memasang tulisan tebal di bagian bawah layar:“Penangkapan Baskara Prameswara: Dugaan Keterlibatan dalam Proyek Ilegal Kayu Sumatera.”Tidak ada suara selain televisi dan detak jam dinding yang terdengar sangat kuat di telinga Tanisha. Ia duduk diam di sofa, tubuhnya terasa dingin meski ruangan ini hangat. Dadanya naik turun pelan, seperti sedang menahan sesuatu di dalam.Sejak semalam ia tidak tidur. Setiap kali memejamkan mata, ia kembali melihat wajah papanya dalam benaknya — wajah yang selama ini tegar, sekarang tercabik-cabik skandal. Wajah penuh bangga, kini berlumur berita buruk.Langit berdiri di sisi jendela, memegang ponselnya. Suaranya datar saat
Berita itu menabrak Tanisha seperti ombak hitam yang datang tanpa suara, tetapi mematikan. Baskara Prameswara ditangkap.Siaran televisi, portal berita, media sosial—semuanya menyebut nama ayahnya. Bukan lagi sekadar rumor, bukan lagi opini publik. Ini resmi. Polisi keluar dari gedung Kementerian Kehutanan sore itu membawa Baskara dengan tangan diborgol, wajahnya ditutup masker, diapit petugas.Tanisha terdiam lama di depan layar televisi ruang keluarga. Tubuhnya terasa kaku, seolah tulangnya tak lagi menempel pada daging. Jantungnya berdetak kacau, tenggorokannya kering, matanya panas.Ia ingin menyangkal. Ia ingin bilang ini cuma salah paham. Ia ingin bilang ini tidak nyata. Tapi bagaimana caranya, jika dunia di sekelilingnya jelas-jelas terbakar?Langit berdiri satu meter di belakangnya, diam. Tatapannya pada layar televisi tampak gelap, tapi wajahnya stabil. Dinginnya bukan ketidakpedulian. Itu cara dia bertahan.Suara reporter terden
Rumah Langit terasa lebih sunyi dari biasanya malam itu. Bukan sunyi yang nyaman—melainkan sunyi yang seperti menahan napas panjang, menunggu sesuatu pecah kapan saja.Di ruang tengah, Tanisha duduk di sofa dengan punggung tegak, namun kedua tangannya saling menggenggam begitu erat hingga buku jarinya memucat. Televisi di depannya menyala, tapi suaranya dimatikan—yang terdengar hanyalah bunyi jam dinding yang berdetak perlahan, menusuk.Di layar, acara berita menampilkan potongan gambar Baskara Prameswara keluar dari ruang pemeriksaan resmi Kementerian. Wajahnya tampak tegang, namun tetap berwibawa—seolah tak satu pun tuduhan bisa membuatnya runtuh.Namun Tanisha tahu, apa pun itu… papanya sedang diserang dari segala arah.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Langit muncul dengan segelas air dan sepiring kecil roti panggang. Pria itu menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah Tanisha. Ia diam. Seperti biasa, tak banyak kata dari bibirnya. Tapi s







