Share

Jejak Malam Itu

Author: Young Lady
last update Last Updated: 2025-07-25 18:55:35

“Baru pulang, Mas?” tanya Tanisha dengan senyum lembut yang tersungging di bibirnya. Berbanding terbalik dengan nada bicaranya yang cukup menusuk.

Tanisha tak pernah berniat untuk menunggu hingga suaminya pulang. Namun, anehnya ia selalu terjaga saat lelaki itu kembali. Entah se pagi apa pun itu. Termasuk sekarang. Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul tiga pagi dan suaminya baru tiba di rumah.

Rumah?

Tanisha tidak tahu apakah hunian mewah ini pantas disebut rumah atau tidak. Tentunya dirinya tidak tinggal berdua saja dengan sang suami. Ada banyak pekerja yang berseliweran di jam-jam tertentu. Namun, tetap saja kehampaan yang terasa tak berkurang sama sekali.

Satu minggu Tanisha dan Langit resmi menjadi pasangan suami-istri. Mereka menempati kamar yang sama. Namun, jika dihitung-hitung, selama seminggu ini Tanisha yang lebih banyak menempatinya. Sedangkan Langit seolah-olah memiliki kesibukan di luar sana yang tak ada habis-habisnya.

Sehingga setiap harinya, lelaki itu akan pulang ketika matahari nyaris kembali terbit. Tak ada rutinitas selayaknya pasutri baru pada umumnya. Bahkan, Langit enggan mengambil cuti satu hari pun. Tanisha dan Langit memang tidur satu ranjang. Namun, hanya untuk beberapa jam sebelum lelaki itu kembali pergi saat pagi-pagi buta.

“Kamu belum tidur?” Langit spontan bertanya. Lelaki itu tampak agak terkejut mendapati istrinya masih terjaga. Namun, hanya beberapa detik saja sebelum menetralkan ekspresinya.

“Cuma nggak sengaja kebangun. Kebetulan Mas pulang. Mau aku buatkan kopi?” jawab Tanisha terdengar agak sarkas, padahal tidak.

Biasanya, Tanisha akan tetap berpura-pura tidur meskipun selalu terbangun setiap Langit masuk ke kamar ini. Namun, malam ini ia sengaja bersandar di kepala ranjang dengan separuh tubuhnya yang berbalut selimut. Seakan sedang menunggu kepulangan sang suami.

“Nggak perlu. Silakan tidur. Lain kali, nggak perlu nunggu saya pulang. Saya tahu kamu selalu bangun setiap saya pulang,” tutur Langit seraya melepas kacamatanya dan meletakkan benda tersebut di meja rias Tanisha.

Tanpa sadar, Tanisha mendengus geli. “Sebenarnya, aku nggak pernah nunggu Mas pulang. Cuma, jam tidur aku agak berantakan. Jadi, sering kebangun jam segini.”

Tanisha pikir aktingnya sudah cukup baik. Namun, sepertinya itu hanya berlaku untuk di dunianya saja. Sedangkan Langit terlalu jeli untuk ia kelabui. Padahal tak ada maksud apa-apa. Ia memang kebetulan bangun saja. Sama seperti sekarang.

“Kalau begitu, silakan tidur lagi. Saya hanya ingin bersih-bersih dan setelah itu tidur juga.” Langit sudah membuka pintu toilet, namun ucapan Tanisha membuatnya menoleh lagi.

“Mungkin Mas keberatan ada orang asing yang menempati kamar ini juga. Aku bisa pindah dari sini.”

Inilah salah satu alasan mengapa Tanisha ingin ‘menyambut’ kepulangan Langit. Ia menduga jika keberadaannya di kamar ini membuat sang pemilik kamar tak betah sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Jadi, ia mencoba menawarkan opsi lain.

Toh, di rumah ini hanya ada para pekerja yang Langit bayar. Tak mungkin mereka berani membocorkan apa yang terjadi di dalam ke pihak luar. Jadi, tak masalah jika dirinya dan Langit tidak menempati kamar yang sama. Yang terpenting, saat berada di luar, mereka terlihat harmonis.

“Oh iya, Mas. Kalau Mas ingin bertemu perempuan itu, tolong hati-hati. Bukan hanya nama baik Mas dan keluarga Mas yang perlu dijaga. Tapi, nama baik keluargaku juga,” peringat Tanisha tanpa mengubah nada bicaranya.

“Jangan aneh-aneh. Kamu istri saya. Kamu harus tidur di tempat yang sama dengan saya. Tidurlah, jangan ngelantur. Saya baru pulang karena banyak urusan yang harus saya selesaikan,” jawab Langit dingin.

“Aku nggak pernah menganggap apa yang Mas lakukan sekadar bermain-main. Aku tahu Mas sibuk. Makanya, aku nggak mau mengganggu waktu istirahat Mas yang sangat berharga.” Tanisha sungguh-sungguh ingin pindah kamar jika kehadirannya memang mengganggu Langit.

“Nggak ada yang merasa terganggu dan kamu harus tetap tidur di sini!” tegas Langit sebelum melenggang memasuki toilet tanpa menoleh lagi.

Sayang sekali, Tanisha bukan termasuk wanita yang penurut. Jadi, daripada kembali tidur seperti perintah Langit, ia malah beranjak dari ranjang. Tanpa membawa apa pun selain ponsel, Tanisha keluar dari kamar utama dan pindah ke salah satu kamar tamu terdekat.

Tak butuh waktu lama, Tanisha langsung terlelap di sana. Sepertinya ketenangan kamar ini membuatnya lebih nyaman. Alarm dari ponselnya yang berbunyi nyaring memaksanya kembali terjaga. Padahal sepertinya baru sebentar dirinya terlelap.

“M-mas Langit?!” pekik Tanisha saat mendapati Langit sudah duduk di sampingnya. Rambut lelaki itu masih acak-acakan, tampak seperti orang baru bangun tidur.

Langit menoleh sekilas dan berdiri, mengabaikan keterkejutan Tanisha. Lelaki itu berdeham pelan. “Besok malam ada makan malam bersama beberapa ketua umum partai. Kamu harus mendampingi saya.”

“Nanti siang, asisten saya akan menemui kamu. Kamu bisa memilih sendiri pakaian untuk acara itu. Saya akan menjemput kamu jam tujuh malam. Saya harap kamu sudah siap.” Setelah mengatakan itu, Langit langsung melenggang pergi.

Tanisha terkekeh pelan. Ternyata hanya itu. “Baiklah. Sudah waktunya aku menjalankan peran sebagai istri.”

Langit tidak mengambil cuti sama sekali dan membatalkan agenda bulan madu yang seharusnya sudah terlaksana. Oleh karena itu, Tanisha pun memilih melanjutkan pekerjaannya. Ada beberapa job kecil yang ia ambil untuk mengisi waktu luangnya.

Tanisha memilih menggunakan toilet yang ada di kamar tamu, tak ingin mengganggu sang suami. Begitu ia turun ke ruang makan yang berada di lantai satu, hanya dirinya yang tersisa. Langit pasti sudah pergi, tanpa pamit, seperti biasa. Tak masalah, Tanisha mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Tanisha ingin menyelesaikan sarapannya dengan cepat karena agenda pemotretannya akan dilaksanakan satu jam lagi. Namun, begitu menyuap sarapannya, perutnya tiba-tiba bergejolak. Ia berhenti, memilih menunggu hingga perutnya membaik. Namun, gejolak itu malah semakin terasa.

“Ibu sakit?” tanya salah seorang pelayan yang melintas di ruang makan.

Mengabaikan pertanyaan tersebut, Tanisha yang sudah tidak bisa menahan mualnya langsung berlari ke toilet terdekat. Hanya cairan bening yang ia muntahkan. Menyisakan pahit di ujung lidahnya dan membuat kepalanya berkunang-kunang.

Setelah perutnya membaik, Tanisha pun beranjak pelan-pelan dari toilet. Tak sengaja ia melirik kalender yang menggantung di dinding. Saat menyadari sesuatu, langkahnya kontan terhenti. Tubuhnya menegang, matanya terbelalak.

“Tidak mungkin,” gumam Tanisha sembari menepis pikiran aneh yang sempat terlintas di kepalanya.

“Aku hanya kurang enak badan.” Ia berusaha menyakinkan diri seraya bergegas pergi dari sana.

Tanisha terlambat datang bulan. Seharusnya itu tak menjadi masalah besar karena tamu bulanannya memang seringkali datang tak beraturan. Terutama jika job-nya sedang padat. Namun, ada sesuatu yang membuatnya khawatir. Tetapi, semoga saja itu tak akan menjadi penghalang baginya.

Demi menghilangkan pikiran negatifnya, Tanisha memilih langsung bertolak ke lokasi photoshoot nya tanpa mengisi perut. Ia hampir terlambat dan lebih baik sarapannya ditunda saja. Sayangnya, ketenangan yang diharapkan tak kunjung datang meskipun photoshoot nya telah selesai.

Alhasil, Tanisha pun nekat mendatangi salah satu rumah sakit untuk memeriksakan diri. Ia tak ingin hanya menggunakan alat. Jadi, Tanisha memilih memeriksakan diri secara langsung. Agar semuanya jelas dan tentunya ia berharap urusannya dengan sang dokter akan selesai setelah ini.

“Keluhannya apa, Bu?” tanya petugas rumah sakit yang mendata Tanisha.

“Saya hanya ingin konsultasi program kehamilan,” jawab Tanisha tenang. Ia telah mempersiapkan jawabannya.

Seluruh kegiatannya diawasi, Tanisha tahu itu. Jadi, ia memilih bermain aman. Toh, ini baru dugaannya saja. Jadi, sebelum terjadi huru-hara, lebih baik tak perlu ada yang tahu. Dokter memiliki kode etik tersendiri dan tak mungkin membocorkan data pasien.

Sayangnya, kenyataan yang terjadi tak sesuai keinginannya. Begitu dokter mengucapkan selamat, Tanisha merasa lemas seketika. Seharusnya tidak seperti ini. Jejak malam itu tak boleh tersisa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilamar Adiknya, Dinikahi Kakaknya   Serangan Musuh Lama

    Panggilan resmi itu tiba tanpa suara. Tanpa aba-aba. Tanpa tanda. Tanpa jeda untuk bernapas.Naskah panggilan tertutup dengan lambang kenegaraan yang tercetak tebal di bagian atasnya—diserahkan langsung oleh petugas khusus berseragam gelap yang datang ke rumah Baskara dengan langkah berat dan sorot mata kaku.Sementara itu, di ruang keluarga rumah Langit, Tanisha sedang membaca ulang artikel berita yang hari ini meledak di sosial media:“Baskara Prameswara Diduga Terlibat Proyek Kayu Ilegal – Pemerintah Siapkan Pemanggilan Resmi.”Mulut Tanisha terasa getir. Tangannya gemetar ketika ia meletakkan ponsel ke meja. Langit duduk di seberangnya, masih memakai kemeja kerja, lengan digulung ke siku, wajahnya dingin tapi tegang.“Saya baru dapat kabar,” ucap Langit pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel. “Pemanggilannya resmi. Papa kamu diminta hadir hari Jumat.”Tanisha menelan napas. Terlalu cepat. Terlalu mendadak. Terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas.“Papa…” Suaranya

  • Dilamar Adiknya, Dinikahi Kakaknya   Terjerat

    “Beritanya sudah naik semua.”Kalimat itu jatuh di ruang rapat seperti palu yang menghantam meja. Layar besar di dinding menampilkan potongan headline dari berbagai portal daring—judulnya berbeda, nadanya sama.MENHUT DIDUGA TERKAIT PROYEK ILEGAL KAYU GELONDONGAN.JEJAK POLITIK MENGARAH KE LINGKARAN KEKUASAAN.Langit berdiri dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, punggungnya lurus, rahangnya mengeras. Matanya tidak berkedip, menatap satu per satu paragraf yang menyebut nama Baskara Prameswara—mertuanya—tanpa ragu, tanpa basa-basi.Ramdan menoleh ke arah Langit. “Mereka nggak pakai kata ‘dugaan’ lagi, Pak. Narasinya udah diarahkan. Opini publik digiring.”Langit menarik napas perlahan. “Siapa yang pertama kali dorong isu ini?”“Anonim. Tapi setelah kami telusuri, sumber awalnya dari akun-akun yang terhubung ke dua perusahaan logging besar. Mereka nggak muncul di depan, tapi polanya kelihatan.”Langit tersenyum tipi

  • Dilamar Adiknya, Dinikahi Kakaknya   Kamu Mencurigai Saya?

    Berita itu muncul pertama kali bukan dari media arus utama.Bukan dari konferensi pers.Bukan dari rilis resmi kementerian.Melainkan dari sebuah unggahan akun anonim di media sosial, dengan narasi panjang, potongan data mentah, dan satu kalimat pembuka yang langsung menusuk:“Kalau kita bicara soal banjir dan kebakaran, jangan lupa siapa yang selama ini mengatur hutan.”Nama Baskara Prameswara disebut di sana.Tidak frontal. Tidak menuduh langsung. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang membaca mengernyit dan mulai mengaitkan potongan-potongan yang selama ini tercecer.Langit membaca berita itu dalam diam, duduk di ruang kerjanya dengan ponsel tergeletak di atas meja. Layar memperlihatkan unggahan yang sudah dibagikan ribuan kali hanya dalam hitungan jam.Ada tangkapan layar dokumen proyek.Ada potongan pidato lama.Ada foto-foto yang diambil dari sudut jauh, entah kapan, entah di mana.Dan ada sat

  • Dilamar Adiknya, Dinikahi Kakaknya   Tidak Benar-Benar Bersih

    Berita itu tidak lagi sekadar lalu-lalang di kolom kecil media daring. Sejak pagi, layar televisi di ruang keluarga menampilkan gambar yang sama berulang-ulang: asap hitam membumbung dari salah satu gedung perkantoran di pusat kota, petugas pemadam berlarian, dan headline yang kian membesar.“Kebakaran Misterius Diduga Berkaitan dengan Dokumen Proyek Kehutanan.”Tanisha mematikan televisi lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya—bukan karena kebakaran itu sendiri, tapi karena ia tahu betul, setiap berita yang menyerempet kata kehutanan dan proyek besar selalu berarti satu hal: Langit akan semakin sibuk, semakin jauh, dan semakin berada di wilayah yang tak bisa ia jangkau.Ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Langit masuk.“Saya rapat hari ini. Jangan ke mana-mana.”Tanisha menghela napas. Ia tidak membalas. Bukan karena marah, hanya karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak kejadian-kejadian belak

  • Dilamar Adiknya, Dinikahi Kakaknya   Abu Selalu Bicara

    Berita tentang kebakaran itu tidak turun dari layar ponsel sejak pagi.Tanisha melihatnya saat sedang duduk di ruang tengah, televisi menyala tanpa benar-benar ia perhatikan, sampai potongan gambar drone memperlihatkan gedung perkantoran yang hangus sebagian. Api sudah padam, tapi sisa asap hitam masih membubung, seolah ada sesuatu yang belum selesai di sana.Gedung itu tidak asing.Tanisha ingat betul, di sanalah beberapa kantor konsultan dan perusahaan holding beroperasi—perusahaan yang namanya sering disebut samar di berita ekonomi, tapi jarang benar-benar dibedah. Terlalu besar, terlalu kuat, terlalu dekat dengan lingkar kekuasaan.“Katanya korsleting,” gumam penyiar berita. “Namun pihak kepolisian belum menutup kemungkinan adanya unsur kesengajaan.”Tanisha menurunkan volume televisi ketika langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langit baru keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di r

  • Dilamar Adiknya, Dinikahi Kakaknya   Sabotase

    Berita tentang kebakaran itu naik lebih cepat dari yang diperkirakan Langit.Pagi baru saja berjalan setengah jam ketika layar televisi di ruang keluarga rumah mereka menampilkan breaking news berwarna merah menyala. Tanisha yang sedang duduk di sofa, mengaduk teh hangat dengan gerakan pelan, langsung menoleh begitu kata kebakaran terdengar dari mulut pembawa berita.“Telah terjadi kebakaran hebat di salah satu gedung perkantoran kawasan pusat kota. Api diduga berasal dari lantai atas gedung, tepatnya area arsip dan server internal perusahaan—”Tanisha spontan menegakkan punggung. Gedung itu tidak asing. Ia mengenali bentuk fasadnya, bahkan dari sudut pengambilan gambar yang buram.Itu gedung yang kemarin berdiri tak jauh dari restoran tempat ia makan siang bersama Langit.Ia menoleh ke arah suaminya.Langit berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap televisi, satu tangan dimasukkan ke saku celana. Sejak berita itu muncul, i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status