“Baru pulang, Mas?” tanya Tanisha dengan senyum lembut yang tersungging di bibirnya. Berbanding terbalik dengan nada bicaranya yang cukup menusuk.
Tanisha tak pernah berniat untuk menunggu hingga suaminya pulang. Namun, anehnya ia selalu terjaga saat lelaki itu kembali. Entah se pagi apa pun itu. Termasuk sekarang. Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul tiga pagi dan suaminya baru tiba di rumah. Rumah? Tanisha tidak tahu apakah hunian mewah ini pantas disebut rumah atau tidak. Tentunya dirinya tidak tinggal berdua saja dengan sang suami. Ada banyak pekerja yang berseliweran di jam-jam tertentu. Namun, tetap saja kehampaan yang terasa tak berkurang sama sekali. Satu minggu Tanisha dan Langit resmi menjadi pasangan suami-istri. Mereka menempati kamar yang sama. Namun, jika dihitung-hitung, selama seminggu ini Tanisha yang lebih banyak menempatinya. Sedangkan Langit seolah-olah memiliki kesibukan di luar sana yang tak ada habis-habisnya. Sehingga setiap harinya, lelaki itu akan pulang ketika matahari nyaris kembali terbit. Tak ada rutinitas selayaknya pasutri baru pada umumnya. Bahkan, Langit enggan mengambil cuti satu hari pun. Tanisha dan Langit memang tidur satu ranjang. Namun, hanya untuk beberapa jam sebelum lelaki itu kembali pergi saat pagi-pagi buta. “Kamu belum tidur?” Langit spontan bertanya. Lelaki itu tampak agak terkejut mendapati istrinya masih terjaga. Namun, hanya beberapa detik saja sebelum menetralkan ekspresinya. “Cuma nggak sengaja kebangun. Kebetulan Mas pulang. Mau aku buatkan kopi?” jawab Tanisha terdengar agak sarkas, padahal tidak. Biasanya, Tanisha akan tetap berpura-pura tidur meskipun selalu terbangun setiap Langit masuk ke kamar ini. Namun, malam ini ia sengaja bersandar di kepala ranjang dengan separuh tubuhnya yang berbalut selimut. Seakan sedang menunggu kepulangan sang suami. “Nggak perlu. Silakan tidur. Lain kali, nggak perlu nunggu saya pulang. Saya tahu kamu selalu bangun setiap saya pulang,” tutur Langit seraya melepas kacamatanya dan meletakkan benda tersebut di meja rias Tanisha. Tanpa sadar, Tanisha mendengus geli. “Sebenarnya, aku nggak pernah nunggu Mas pulang. Cuma, jam tidur aku agak berantakan. Jadi, sering kebangun jam segini.” Tanisha pikir aktingnya sudah cukup baik. Namun, sepertinya itu hanya berlaku untuk di dunianya saja. Sedangkan Langit terlalu jeli untuk ia kelabui. Padahal tak ada maksud apa-apa. Ia memang kebetulan bangun saja. Sama seperti sekarang. “Kalau begitu, silakan tidur lagi. Saya hanya ingin bersih-bersih dan setelah itu tidur juga.” Langit sudah membuka pintu toilet, namun ucapan Tanisha membuatnya menoleh lagi. “Mungkin Mas keberatan ada orang asing yang menempati kamar ini juga. Aku bisa pindah dari sini.” Inilah salah satu alasan mengapa Tanisha ingin ‘menyambut’ kepulangan Langit. Ia menduga jika keberadaannya di kamar ini membuat sang pemilik kamar tak betah sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Jadi, ia mencoba menawarkan opsi lain. Toh, di rumah ini hanya ada para pekerja yang Langit bayar. Tak mungkin mereka berani membocorkan apa yang terjadi di dalam ke pihak luar. Jadi, tak masalah jika dirinya dan Langit tidak menempati kamar yang sama. Yang terpenting, saat berada di luar, mereka terlihat harmonis. “Oh iya, Mas. Kalau Mas ingin bertemu perempuan itu, tolong hati-hati. Bukan hanya nama baik Mas dan keluarga Mas yang perlu dijaga. Tapi, nama baik keluargaku juga,” peringat Tanisha tanpa mengubah nada bicaranya. “Jangan aneh-aneh. Kamu istri saya. Kamu harus tidur di tempat yang sama dengan saya. Tidurlah, jangan ngelantur. Saya baru pulang karena banyak urusan yang harus saya selesaikan,” jawab Langit dingin. “Aku nggak pernah menganggap apa yang Mas lakukan sekadar bermain-main. Aku tahu Mas sibuk. Makanya, aku nggak mau mengganggu waktu istirahat Mas yang sangat berharga.” Tanisha sungguh-sungguh ingin pindah kamar jika kehadirannya memang mengganggu Langit. “Nggak ada yang merasa terganggu dan kamu harus tetap tidur di sini!” tegas Langit sebelum melenggang memasuki toilet tanpa menoleh lagi. Sayang sekali, Tanisha bukan termasuk wanita yang penurut. Jadi, daripada kembali tidur seperti perintah Langit, ia malah beranjak dari ranjang. Tanpa membawa apa pun selain ponsel, Tanisha keluar dari kamar utama dan pindah ke salah satu kamar tamu terdekat. Tak butuh waktu lama, Tanisha langsung terlelap di sana. Sepertinya ketenangan kamar ini membuatnya lebih nyaman. Alarm dari ponselnya yang berbunyi nyaring memaksanya kembali terjaga. Padahal sepertinya baru sebentar dirinya terlelap. “M-mas Langit?!” pekik Tanisha saat mendapati Langit sudah duduk di sampingnya. Rambut lelaki itu masih acak-acakan, tampak seperti orang baru bangun tidur. Langit menoleh sekilas dan berdiri, mengabaikan keterkejutan Tanisha. Lelaki itu berdeham pelan. “Besok malam ada makan malam bersama beberapa ketua umum partai. Kamu harus mendampingi saya.” “Nanti siang, asisten saya akan menemui kamu. Kamu bisa memilih sendiri pakaian untuk acara itu. Saya akan menjemput kamu jam tujuh malam. Saya harap kamu sudah siap.” Setelah mengatakan itu, Langit langsung melenggang pergi. Tanisha terkekeh pelan. Ternyata hanya itu. “Baiklah. Sudah waktunya aku menjalankan peran sebagai istri.” Langit tidak mengambil cuti sama sekali dan membatalkan agenda bulan madu yang seharusnya sudah terlaksana. Oleh karena itu, Tanisha pun memilih melanjutkan pekerjaannya. Ada beberapa job kecil yang ia ambil untuk mengisi waktu luangnya. Tanisha memilih menggunakan toilet yang ada di kamar tamu, tak ingin mengganggu sang suami. Begitu ia turun ke ruang makan yang berada di lantai satu, hanya dirinya yang tersisa. Langit pasti sudah pergi, tanpa pamit, seperti biasa. Tak masalah, Tanisha mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tanisha ingin menyelesaikan sarapannya dengan cepat karena agenda pemotretannya akan dilaksanakan satu jam lagi. Namun, begitu menyuap sarapannya, perutnya tiba-tiba bergejolak. Ia berhenti, memilih menunggu hingga perutnya membaik. Namun, gejolak itu malah semakin terasa. “Ibu sakit?” tanya salah seorang pelayan yang melintas di ruang makan. Mengabaikan pertanyaan tersebut, Tanisha yang sudah tidak bisa menahan mualnya langsung berlari ke toilet terdekat. Hanya cairan bening yang ia muntahkan. Menyisakan pahit di ujung lidahnya dan membuat kepalanya berkunang-kunang. Setelah perutnya membaik, Tanisha pun beranjak pelan-pelan dari toilet. Tak sengaja ia melirik kalender yang menggantung di dinding. Saat menyadari sesuatu, langkahnya kontan terhenti. Tubuhnya menegang, matanya terbelalak. “Tidak mungkin,” gumam Tanisha sembari menepis pikiran aneh yang sempat terlintas di kepalanya. “Aku hanya kurang enak badan.” Ia berusaha menyakinkan diri seraya bergegas pergi dari sana. Tanisha terlambat datang bulan. Seharusnya itu tak menjadi masalah besar karena tamu bulanannya memang seringkali datang tak beraturan. Terutama jika job-nya sedang padat. Namun, ada sesuatu yang membuatnya khawatir. Tetapi, semoga saja itu tak akan menjadi penghalang baginya. Demi menghilangkan pikiran negatifnya, Tanisha memilih langsung bertolak ke lokasi photoshoot nya tanpa mengisi perut. Ia hampir terlambat dan lebih baik sarapannya ditunda saja. Sayangnya, ketenangan yang diharapkan tak kunjung datang meskipun photoshoot nya telah selesai. Alhasil, Tanisha pun nekat mendatangi salah satu rumah sakit untuk memeriksakan diri. Ia tak ingin hanya menggunakan alat. Jadi, Tanisha memilih memeriksakan diri secara langsung. Agar semuanya jelas dan tentunya ia berharap urusannya dengan sang dokter akan selesai setelah ini. “Keluhannya apa, Bu?” tanya petugas rumah sakit yang mendata Tanisha. “Saya hanya ingin konsultasi program kehamilan,” jawab Tanisha tenang. Ia telah mempersiapkan jawabannya. Seluruh kegiatannya diawasi, Tanisha tahu itu. Jadi, ia memilih bermain aman. Toh, ini baru dugaannya saja. Jadi, sebelum terjadi huru-hara, lebih baik tak perlu ada yang tahu. Dokter memiliki kode etik tersendiri dan tak mungkin membocorkan data pasien. Sayangnya, kenyataan yang terjadi tak sesuai keinginannya. Begitu dokter mengucapkan selamat, Tanisha merasa lemas seketika. Seharusnya tidak seperti ini. Jejak malam itu tak boleh tersisa.Tanisha tahu cepat atau lambat rahasianya akan terbongkar. Akan tetapi, ia tak menyangka jika rahasianya akan terbongkar secepat ini. Disaat dirinya belum mempersiapkan apa pun untuk menghadapi semuanya. Bahkan, ia tidak tahu harus menjelaskan apa.“Baru seminggu kalian menikah dan kamu udah hamil? Kamu mau menipu keluarga saya?!”Keramahan yang semula Wulan tampakkan langsung lenyap seketika. Senyum ramah dan sorot teduh yang Wulan tampilkan pun telah menghilang. Berganti dengan sorot sinis penuh penghakiman. Dan Tanisha hanya bisa menerima perlakuan tersebut karena dirinya memang bersalah. Tanisha bukan tidak berusaha membatalkan pernikahan ini. Akan tetapi, jika papanya telah memutuskan sesuatu, keputusan tersebut tidak bisa diganggu gugat. Tanisha pun tak berani mengatakan alasannya secara gamblang hingga akhirnya hanya bisa pasrah dengan keputusan orang tuanya. Wulan langsung meminta Langit pulang. Bukan hanya Langit, ayah mertua Tanisha juga hadir, lengkap dengan orang tua Tan
“Saya akan terima anak itu.”“Kita baru menikah. Perceraian hanya akan membuat nama kita menjadi buruk “Hingga kini, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di benak Tanisha. Bukannya senang, mendengarnya malah membuat dada Tanisha semakin terasa terimpit. Ia tidak berharap Langit sudi menerima anaknya. Wanita itu ingin Langit menceraikannya. Sejak awal, pernikahannya dengan Langit adalah kesalahan. Langit hanya menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjaga nama baik keluarga mereka. Lalu, sekarang lelaki itu juga ingin bertanggungjawab atas janin dalam kandungannya. Mungkin, Tanisha akan merasa tersanjung jika Langit benar-benar tulus. Sayangnya, tak ada yang tahu rencana lelaki itu sebenarnya. Dan yang paling penting, Langit memiliki seseorang yang lelaki itu jaga. Walaupun mereka tak lagi menjadi sepasang kekasih. Ah, Tanisha tidak yakin hubungan keduanya benar-benar berakhir. Tak ada yang tahu. Apalagi setelah Langit menganggapnya wanita murahan. “Aku pikir kamu bene
“Saya belum pernah menyentuh kamu. Dan kamu ... hamil?”Pertanyaan tersebut sangat menusuk hati Tanisha. Namun, di sini dirinya memang patut dihakimi. Pernikahannya tak berjalan selayaknya pasangan pada umumnya. Dan kini dirinya dinyatakan hamil. Parahnya, usia pernikahannya baru menginjak satu minggu. Biasanya, Tanisha selalu bisa membalas tatapan tajam Langit dengan berani. Tetapi, sekarang dirinya hanya bisa menatap ke bawah dengan kegugupan luar biasa yang melingkupi hatinya. Langit pasti marah besar dan merasa tertipu. Padahal selama ini ayahnya selalu berkoar-koar jika putrinya mahir menjaga diri. Tanisha pun tak ingin seperti ini. Sayangnya, malam naas itu terjadi tanpa permisi, tanpa jejak, terkecuali janin yang kini bersemayam di rahimnya. Tanisha belum sempat memikirkan cara untuk menghadapi kehamilannya dan Langit malah sudah mengetahui kenyataan itu. “Siapa ayahnya?” Tak kunjung mendapat jawaban dari Tanisha, Langit kembali melontarkan pertanyaan. “Aku nggak tau,” jawa
“Harusnya aku melakukan pencegahan sejak awal,” sesal Tanisha sembari mencengkram hasil tes kehamilannya. Dirinya dinyatakan positif hamil. Statusnya memang menikah. Namun, suaminya tak pernah menyentuhnya sama sekali. Dan pernikahannya baru menginjak satu minggu. Sudah jelas jika kehamilannya adalah imbas dari insiden malam itu. Sampai sekarang, Tanisha bahkan belum bisa mengenali wajah sosok yang bersamanya malam itu. Dan kini, hasil perbuatan mereka malah bersemayam di perutnya. Langit serta keluarga lelaki itu pasti akan merasa tertipu dan marah besar, begitupun dengan keluarganya. Tanisha mengangkat kepalanya yang ia tumpukan pada setir mobil dan langsung merobek hasil tes kehamilannya. Tak boleh ada jejak yang tersisa. Untuk keputusan yang akan ia ambil ke depannya, akan dirinya pikirkan nanti. Yang terpenting, tak boleh ada yang mengetahuinya. Tanisha menyentuh perutnya dengan mata berkaca-kaca. “Maaf. Tapi, aku belum bisa menerima kamu.”Seandainya bukan akibat insiden mal
“Baru pulang, Mas?” tanya Tanisha dengan senyum lembut yang tersungging di bibirnya. Berbanding terbalik dengan nada bicaranya yang cukup menusuk. Tanisha tak pernah berniat untuk menunggu hingga suaminya pulang. Namun, anehnya ia selalu terjaga saat lelaki itu kembali. Entah se pagi apa pun itu. Termasuk sekarang. Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul tiga pagi dan suaminya baru tiba di rumah. Rumah?Tanisha tidak tahu apakah hunian mewah ini pantas disebut rumah atau tidak. Tentunya dirinya tidak tinggal berdua saja dengan sang suami. Ada banyak pekerja yang berseliweran di jam-jam tertentu. Namun, tetap saja kehampaan yang terasa tak berkurang sama sekali. Satu minggu Tanisha dan Langit resmi menjadi pasangan suami-istri. Mereka menempati kamar yang sama. Namun, jika dihitung-hitung, selama seminggu ini Tanisha yang lebih banyak menempatinya. Sedangkan Langit seolah-olah memiliki kesibukan di luar sana yang tak ada habis-habisnya. Sehingga setiap harinya, lelaki itu
“Kalau Bumi tidak bisa menikahi kamu, harusnya Langit bisa menggantikannya.” Baskara mengatakan itu sembari menatap sosok Langit Akasa Mahadewa—kembaran Bumi yang keluar dari area pemakaman. Tanisha kontan melirik sosok tersebut. Sang pemilik wajah yang sama persis dengan wajah calon suaminya yang telah meninggal dunia. Namun, wajah itu tampak lebih tegas dengan sorot tajam dan dingin yang menjadi andalannya setiap menatap siapa pun. “Jangan gila, Pa!” seru Tanisha yang sudah kembali mengalihkan atensi pada sang ayah. “Keluarga Mahadewa masih berduka. Seharusnya, kita cukup mengucapkan belasungkawa. Bukan malah memikirkan pernikahanku yang gagal!” Tanisha kembali menambahkan. Entah apa yang akan ayahnya lakukan jika mengetahui kesuciannya telah terenggut semalam sebelum pernikahannya berlangsung. Insiden tersebut lebih pantas disebut aib dibanding dengan kecelakaan yang menimpa Bumi. Sebab, tak ada yang memalukan dari suatu kematian. Mungkin, ini adalah teguran untuk Tanisha