“Apa yang terjadi denganku?” gumam Tanisha sembari menyentuh kepalanya yang berdenyut nyeri.
Pandangannya mengabur dengan denyut nyeri yang semakin lama kian menyiksa. Bukan itu saja, tubuhnya memanas, padahal dirinya berada di ruangan penuh AC dengan suhu rendah. Dan rasa tak nyaman itu mulai menjalar ke area intimnya. “Panas! Panas!” Wanita itu kembali meracau dengan mata setengah terpejam. Ia berusaha tetap membuka mata dan terus melangkah. Tanisha tak tahu apa yang terjadi padanya. Ia belum pernah seperti ini sebelumnya. Tanisha sedang bersenang-senang bersama beberapa temannya di salah satu club malam VIP. Lalu, tiba-tiba keanehan mulai terasa di tubuhnya hingga membuatnya nekat menjauh dari hingar-bingar musik yang memekak telinga. Tanisha melangkah tanpa tujuan. Ia hanya tak ingin ada yang melihatnya dengan kondisi seperti ini. Ditambah lagi, musik EDM yang memenuhi ruangan membuat kepalanya terasa akan pecah. Dengan langkah sempoyongan, ia menjauh dari sana. Memasuki lift dan menekan tombol secara acak. Ia yakin tak akan kuat jika menaiki tangga. Lift yang sempit membuat tubuhnya semakin gerah. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Rambut indahnya yang tergerai hingga punggung sudah lepek dan berantakan. Tanisha mengipas-ngipas wajahnya, berharap gerahnya akan memudar. Namun, keinginan untuk melucuti pakaiannya sendiri malah semakin kuat. “Tunggu!” Seorang lelaki datang dan menahan pintu lift yang nyaris menutup. Langkahnya pun sempoyongan, seperti orang mabuk berat. Tanisha yang berdiri di sudut lift tak menghiraukan keberadaan lelaki itu. Ia hanya ingin secepatnya menjauh dari semua orang. Brak! Tiba-tiba lift tersebut berguncang. Tanisha yang memang sudah beberapa kali nyaris kehilangan pijatan tak sengaja menabrak lelaki asing itu. Sang lelaki spontan merengkuh Tanisha yang nyaris terjerembab. Tatapan keduanya yang sama-sama sayu pun terkunci selama beberapa saat. “Ma-maaf. Aku tidak sengaja,” ucap Tanisha lirih. Ia hendak bergerak menjauh, namun tubuhnya kembali oleng hingga wajahnya menyentuh dada lelaki itu. Aroma maskulin yang familiar membuat Tanisha spontan mendongak. Ia berusaha meneliti wajah lelaki yang kini menatapnya. Wajah tampan itu tampak agak familiar. Sayangnya, pandangan Tanisha yang mengabur tak dapat membantunya mengenali wajah itu. Tangannya yang lancang menyentuh wajah sang lelaki. “Ka-kamu ... kenapa wajahmu tidak asing?” Sang lelaki mendengus kasar dan menghempas jemari Tanisha dari wajahnya. “Berusaha menggodaku eh? Menyingkirlah!” Ting! Begitu pintu lift terbuka, lelaki itu bergegas keluar dengan langkah sempoyongan. Panas yang menggelora di tubuh Tanisha kian terasa. Bukan hanya mengaburkan pandangan, tetapi juga akal sehatnya. Hingga tanpa sadar wanita itu mengikuti dan mengejar lelaki yang tak dikenalnya. “To-tolong bantu aku!” Tanpa tahu malu, Tanisha menarik tangan lelaki itu. Membuat keduanya nyaris terjerembab. “Kumohon, aku sudah tidak tahan!” “Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang membayarmu untuk menggodaku?” Suara baruton itu terdengar begitu sinis dan penuh cemooh. Tentu saja Tanisha tersinggung. Ia bukan wanita bayaran seperti yang lelaki itu katakan. Seharusnya, itu bisa menjadi pukulan telak untuk membuatnya segera menyingkir dari sana. Namun, yang Tanisha lakukan malah sebaliknya. Akal sehatnya telah hilang sepenuhnya. Yang ada di pikirannya sekarang hanya bagaimana cara menghilang rasa tak nyaman di tubuhnya. Ini sangat menyiksa dan Tanisha tak bisa menahannya lebih lama lagi. “Tolong. Panas sekali! Aku sudah tidak kuat!” Tak peduli dengan upaya penolakan yang lelaki itu lakukan, Tanisha bergerak semaunya. Mempertemukan bibir mereka tanpa permisi. Tak peduli dengan konsekuensi yang akan terjadi setelah ini. Dan sentuhannya bersambut. Sang penolak malah bergerak lebih aktif. Sembari saling menyentuh, keduanya tanpa sadar terus bergerak hingga masuk ke salah satu kamar yang pintunya terbuka. Keduanya sama-sama tak menyadari mengapa ada pintu yang terbuka tanpa akses. Dan akhirnya, terjadilah sesuatu yang tak diinginkan. *** “Sshhh!” Dengan mata yang masih, Tanisha menggerakkan tubuhnya perlahan-lahan. Mengubah posisi yang semula telungkup menjadi telentang. Tubuhnya remuk redam. Terutama bagian bawah tubuhnya. Denyut nyeri yang terasa membuatnya meringis berulang kali. Tanisha memyingkap rambut panjang yang menutupi wajahnya dan mengerjap pelan. Pandangannya yang semula mengabur lama-kelamaan menjadi jernih. Namun, denyut nyeri yang menyerang kepalanya tak kunjung reda. Sama seperti nyeri di tubuhnya. “Kenapa aku ada di sini?” gumam Tanisha dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya berpendar menatap sekeliling ruangan yang ditempatinya. Ini bukan kamarnya. Ia tersentak dan spontan mengubah posisi menjadi duduk. Ketika itulah Tanisha menyadari jika tubuhnya polos di balik selimut ini. Sedangkan pakaiannya berserakan di lantai. Deg! “Apa yang aku lakukan semalam?” gumam Tanisha syok. Wajahnya memucat. Tanisha menolak mempercayai dugaannya sendiri. Namun, melihat keadaannya yang seperti ini malah kian memperkuat dugaannya. Ditambah lagi, ketika menyingkap selimut, ia mendapati noda merah yang mengotori seprei putih ini. Tanisha membekap mulutnya dengan mata membulat sempurna. Sudah. Ia tak bisa mengelak lagi. Semalam, dirinya telah melakukan sesuatu yang melanggar batas dan moral. Kesucian yang dirinya jaga selama ini malah direnggut oleh orang asing. “Ya ampun. Aku akan menikah hari ini,” lirih Tanisha putus asa. Matanya berkaca-kaca, namun tak ada air mata yang meluruh. “Harusnya aku memang tidak pergi ke mana-mana kemarin,” sesal Tanisha sembari menjambak rambutnya sendiri. Banyak orang yang mengatakan jika calon pengantin seharusnya tak bepergian jika tidak benar-benar pnting menjelang hari pernikahan. Namun, Tanisha mengabaikannya. Sebab, agenda pekerjaannya belum selesai dan semalam ia menghadiri party yang diadakan oleh produser film terbarunya. Pernikahannya memang cukup mendadak dan tak sesuai dengan agenda pekerjaannya. Tanisha baru bisa mengambil cuti untuk hari ini hingga seminggu ke depan. Sebab, ada kontrak yang belum dirinya selesaikan dan tak mungkin dibatalkan karena ada penalti sangat mahal yang harus dibayar. Awalnya, semuanya berjalan lancar hingga tiba-tiba Tanisha merasakan keanehan pada tubuhnya setelah ia menenggak alkohol. Dan setelah itu ia bertemu seseorang. Kemudian, mereka melakukan hal-hal gila yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Sayangnya, sosok yang seharusnya ia mintai pertanggungjawaban telah menghilang entah ke mana. Tak ada jejaknya yang tersisa. Namun, saat melirik nakas, Tanisha menemukan segepok uang dan secarik kertas di atasnya. ‘Urusan kita selesai! Jangan mencoba-coba membocorkan apa yang terjadi semalam.’ Itulah yang tertulis pada secarik kertas tersebut. “Dia pikir aku wanita bayaran?!” Emosi Tanisha mendidih. Ia tak terima dianggap wanita bayaran oleh seseorang yang telah mengambil kesuciannya. Mengabaikan kertas dan uang tersebut, Tanisha bergegas mencari ponselnya yang entah berada di mana. Ia berharap ponselnya tidak hilang. Ponselnya yang bergetar membantunya menemukan benda pipih itu. Dan sesuai dugaannya, ada puluhan panggilan tak terjawab dan pesan dari keluarganya.Tanisha tahu cepat atau lambat rahasianya akan terbongkar. Akan tetapi, ia tak menyangka jika rahasianya akan terbongkar secepat ini. Disaat dirinya belum mempersiapkan apa pun untuk menghadapi semuanya. Bahkan, ia tidak tahu harus menjelaskan apa.“Baru seminggu kalian menikah dan kamu udah hamil? Kamu mau menipu keluarga saya?!”Keramahan yang semula Wulan tampakkan langsung lenyap seketika. Senyum ramah dan sorot teduh yang Wulan tampilkan pun telah menghilang. Berganti dengan sorot sinis penuh penghakiman. Dan Tanisha hanya bisa menerima perlakuan tersebut karena dirinya memang bersalah. Tanisha bukan tidak berusaha membatalkan pernikahan ini. Akan tetapi, jika papanya telah memutuskan sesuatu, keputusan tersebut tidak bisa diganggu gugat. Tanisha pun tak berani mengatakan alasannya secara gamblang hingga akhirnya hanya bisa pasrah dengan keputusan orang tuanya. Wulan langsung meminta Langit pulang. Bukan hanya Langit, ayah mertua Tanisha juga hadir, lengkap dengan orang tua Tan
“Saya akan terima anak itu.”“Kita baru menikah. Perceraian hanya akan membuat nama kita menjadi buruk “Hingga kini, ucapan Langit masih terngiang-ngiang di benak Tanisha. Bukannya senang, mendengarnya malah membuat dada Tanisha semakin terasa terimpit. Ia tidak berharap Langit sudi menerima anaknya. Wanita itu ingin Langit menceraikannya. Sejak awal, pernikahannya dengan Langit adalah kesalahan. Langit hanya menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjaga nama baik keluarga mereka. Lalu, sekarang lelaki itu juga ingin bertanggungjawab atas janin dalam kandungannya. Mungkin, Tanisha akan merasa tersanjung jika Langit benar-benar tulus. Sayangnya, tak ada yang tahu rencana lelaki itu sebenarnya. Dan yang paling penting, Langit memiliki seseorang yang lelaki itu jaga. Walaupun mereka tak lagi menjadi sepasang kekasih. Ah, Tanisha tidak yakin hubungan keduanya benar-benar berakhir. Tak ada yang tahu. Apalagi setelah Langit menganggapnya wanita murahan. “Aku pikir kamu bene
“Saya belum pernah menyentuh kamu. Dan kamu ... hamil?”Pertanyaan tersebut sangat menusuk hati Tanisha. Namun, di sini dirinya memang patut dihakimi. Pernikahannya tak berjalan selayaknya pasangan pada umumnya. Dan kini dirinya dinyatakan hamil. Parahnya, usia pernikahannya baru menginjak satu minggu. Biasanya, Tanisha selalu bisa membalas tatapan tajam Langit dengan berani. Tetapi, sekarang dirinya hanya bisa menatap ke bawah dengan kegugupan luar biasa yang melingkupi hatinya. Langit pasti marah besar dan merasa tertipu. Padahal selama ini ayahnya selalu berkoar-koar jika putrinya mahir menjaga diri. Tanisha pun tak ingin seperti ini. Sayangnya, malam naas itu terjadi tanpa permisi, tanpa jejak, terkecuali janin yang kini bersemayam di rahimnya. Tanisha belum sempat memikirkan cara untuk menghadapi kehamilannya dan Langit malah sudah mengetahui kenyataan itu. “Siapa ayahnya?” Tak kunjung mendapat jawaban dari Tanisha, Langit kembali melontarkan pertanyaan. “Aku nggak tau,” jawa
“Harusnya aku melakukan pencegahan sejak awal,” sesal Tanisha sembari mencengkram hasil tes kehamilannya. Dirinya dinyatakan positif hamil. Statusnya memang menikah. Namun, suaminya tak pernah menyentuhnya sama sekali. Dan pernikahannya baru menginjak satu minggu. Sudah jelas jika kehamilannya adalah imbas dari insiden malam itu. Sampai sekarang, Tanisha bahkan belum bisa mengenali wajah sosok yang bersamanya malam itu. Dan kini, hasil perbuatan mereka malah bersemayam di perutnya. Langit serta keluarga lelaki itu pasti akan merasa tertipu dan marah besar, begitupun dengan keluarganya. Tanisha mengangkat kepalanya yang ia tumpukan pada setir mobil dan langsung merobek hasil tes kehamilannya. Tak boleh ada jejak yang tersisa. Untuk keputusan yang akan ia ambil ke depannya, akan dirinya pikirkan nanti. Yang terpenting, tak boleh ada yang mengetahuinya. Tanisha menyentuh perutnya dengan mata berkaca-kaca. “Maaf. Tapi, aku belum bisa menerima kamu.”Seandainya bukan akibat insiden mal
“Baru pulang, Mas?” tanya Tanisha dengan senyum lembut yang tersungging di bibirnya. Berbanding terbalik dengan nada bicaranya yang cukup menusuk. Tanisha tak pernah berniat untuk menunggu hingga suaminya pulang. Namun, anehnya ia selalu terjaga saat lelaki itu kembali. Entah se pagi apa pun itu. Termasuk sekarang. Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul tiga pagi dan suaminya baru tiba di rumah. Rumah?Tanisha tidak tahu apakah hunian mewah ini pantas disebut rumah atau tidak. Tentunya dirinya tidak tinggal berdua saja dengan sang suami. Ada banyak pekerja yang berseliweran di jam-jam tertentu. Namun, tetap saja kehampaan yang terasa tak berkurang sama sekali. Satu minggu Tanisha dan Langit resmi menjadi pasangan suami-istri. Mereka menempati kamar yang sama. Namun, jika dihitung-hitung, selama seminggu ini Tanisha yang lebih banyak menempatinya. Sedangkan Langit seolah-olah memiliki kesibukan di luar sana yang tak ada habis-habisnya. Sehingga setiap harinya, lelaki itu
“Kalau Bumi tidak bisa menikahi kamu, harusnya Langit bisa menggantikannya.” Baskara mengatakan itu sembari menatap sosok Langit Akasa Mahadewa—kembaran Bumi yang keluar dari area pemakaman. Tanisha kontan melirik sosok tersebut. Sang pemilik wajah yang sama persis dengan wajah calon suaminya yang telah meninggal dunia. Namun, wajah itu tampak lebih tegas dengan sorot tajam dan dingin yang menjadi andalannya setiap menatap siapa pun. “Jangan gila, Pa!” seru Tanisha yang sudah kembali mengalihkan atensi pada sang ayah. “Keluarga Mahadewa masih berduka. Seharusnya, kita cukup mengucapkan belasungkawa. Bukan malah memikirkan pernikahanku yang gagal!” Tanisha kembali menambahkan. Entah apa yang akan ayahnya lakukan jika mengetahui kesuciannya telah terenggut semalam sebelum pernikahannya berlangsung. Insiden tersebut lebih pantas disebut aib dibanding dengan kecelakaan yang menimpa Bumi. Sebab, tak ada yang memalukan dari suatu kematian. Mungkin, ini adalah teguran untuk Tanisha