تسجيل الدخولRumah terasa lebih sunyi dari biasanya pagi itu. Bukan sunyi yang menenangkan, tapi semacam sepi yang memantul dari dinding ke dinding, seperti mengingatkan Tanisha bahwa ia sedang sendirian. Ia duduk di meja makan dengan segelas air hangat di depan mata, mencoba menenangkan perutnya yang sedari tadi masih terasa tidak nyaman.
Ia sudah muntah hampir satu jam lalu, tapi rasa asamnya masih tertinggal di tenggorokan. Semua berawal dari keinginannya mencicipi makanan tertentu—hal kecil yang datang tiba-tiba seperti dorongan tak masuk akal. Ngidam. Kata itu ikut-ikutan muncul tanpa diminta, meski ia sendiri tidak ingin mengakuinya.Tapi Tanisha tidak boleh manja. Tidak saat Langit berada di daerah bencana, bekerja di antara reruntuhan, lumpur, hujan, dan tubuh-tubuh yang mungkin belum ditemukan. Ia tidak boleh merepotkan.Ia menarik napas panjang.“Ya Tuhan… kenapa sih aku jadi begini…”Tangannya mengusap pelan perutnya. Rasa mual sudah mereda, tapPanggilan resmi itu tiba tanpa suara. Tanpa aba-aba. Tanpa tanda. Tanpa jeda untuk bernapas.Naskah panggilan tertutup dengan lambang kenegaraan yang tercetak tebal di bagian atasnya—diserahkan langsung oleh petugas khusus berseragam gelap yang datang ke rumah Baskara dengan langkah berat dan sorot mata kaku.Sementara itu, di ruang keluarga rumah Langit, Tanisha sedang membaca ulang artikel berita yang hari ini meledak di sosial media:“Baskara Prameswara Diduga Terlibat Proyek Kayu Ilegal – Pemerintah Siapkan Pemanggilan Resmi.”Mulut Tanisha terasa getir. Tangannya gemetar ketika ia meletakkan ponsel ke meja. Langit duduk di seberangnya, masih memakai kemeja kerja, lengan digulung ke siku, wajahnya dingin tapi tegang.“Saya baru dapat kabar,” ucap Langit pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel. “Pemanggilannya resmi. Papa kamu diminta hadir hari Jumat.”Tanisha menelan napas. Terlalu cepat. Terlalu mendadak. Terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas.“Papa…” Suaranya
“Beritanya sudah naik semua.”Kalimat itu jatuh di ruang rapat seperti palu yang menghantam meja. Layar besar di dinding menampilkan potongan headline dari berbagai portal daring—judulnya berbeda, nadanya sama.MENHUT DIDUGA TERKAIT PROYEK ILEGAL KAYU GELONDONGAN.JEJAK POLITIK MENGARAH KE LINGKARAN KEKUASAAN.Langit berdiri dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, punggungnya lurus, rahangnya mengeras. Matanya tidak berkedip, menatap satu per satu paragraf yang menyebut nama Baskara Prameswara—mertuanya—tanpa ragu, tanpa basa-basi.Ramdan menoleh ke arah Langit. “Mereka nggak pakai kata ‘dugaan’ lagi, Pak. Narasinya udah diarahkan. Opini publik digiring.”Langit menarik napas perlahan. “Siapa yang pertama kali dorong isu ini?”“Anonim. Tapi setelah kami telusuri, sumber awalnya dari akun-akun yang terhubung ke dua perusahaan logging besar. Mereka nggak muncul di depan, tapi polanya kelihatan.”Langit tersenyum tipi
Berita itu muncul pertama kali bukan dari media arus utama.Bukan dari konferensi pers.Bukan dari rilis resmi kementerian.Melainkan dari sebuah unggahan akun anonim di media sosial, dengan narasi panjang, potongan data mentah, dan satu kalimat pembuka yang langsung menusuk:“Kalau kita bicara soal banjir dan kebakaran, jangan lupa siapa yang selama ini mengatur hutan.”Nama Baskara Prameswara disebut di sana.Tidak frontal. Tidak menuduh langsung. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang membaca mengernyit dan mulai mengaitkan potongan-potongan yang selama ini tercecer.Langit membaca berita itu dalam diam, duduk di ruang kerjanya dengan ponsel tergeletak di atas meja. Layar memperlihatkan unggahan yang sudah dibagikan ribuan kali hanya dalam hitungan jam.Ada tangkapan layar dokumen proyek.Ada potongan pidato lama.Ada foto-foto yang diambil dari sudut jauh, entah kapan, entah di mana.Dan ada sat
Berita itu tidak lagi sekadar lalu-lalang di kolom kecil media daring. Sejak pagi, layar televisi di ruang keluarga menampilkan gambar yang sama berulang-ulang: asap hitam membumbung dari salah satu gedung perkantoran di pusat kota, petugas pemadam berlarian, dan headline yang kian membesar.“Kebakaran Misterius Diduga Berkaitan dengan Dokumen Proyek Kehutanan.”Tanisha mematikan televisi lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya—bukan karena kebakaran itu sendiri, tapi karena ia tahu betul, setiap berita yang menyerempet kata kehutanan dan proyek besar selalu berarti satu hal: Langit akan semakin sibuk, semakin jauh, dan semakin berada di wilayah yang tak bisa ia jangkau.Ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Langit masuk.“Saya rapat hari ini. Jangan ke mana-mana.”Tanisha menghela napas. Ia tidak membalas. Bukan karena marah, hanya karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak kejadian-kejadian belak
Berita tentang kebakaran itu tidak turun dari layar ponsel sejak pagi.Tanisha melihatnya saat sedang duduk di ruang tengah, televisi menyala tanpa benar-benar ia perhatikan, sampai potongan gambar drone memperlihatkan gedung perkantoran yang hangus sebagian. Api sudah padam, tapi sisa asap hitam masih membubung, seolah ada sesuatu yang belum selesai di sana.Gedung itu tidak asing.Tanisha ingat betul, di sanalah beberapa kantor konsultan dan perusahaan holding beroperasi—perusahaan yang namanya sering disebut samar di berita ekonomi, tapi jarang benar-benar dibedah. Terlalu besar, terlalu kuat, terlalu dekat dengan lingkar kekuasaan.“Katanya korsleting,” gumam penyiar berita. “Namun pihak kepolisian belum menutup kemungkinan adanya unsur kesengajaan.”Tanisha menurunkan volume televisi ketika langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langit baru keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di r
Berita tentang kebakaran itu naik lebih cepat dari yang diperkirakan Langit.Pagi baru saja berjalan setengah jam ketika layar televisi di ruang keluarga rumah mereka menampilkan breaking news berwarna merah menyala. Tanisha yang sedang duduk di sofa, mengaduk teh hangat dengan gerakan pelan, langsung menoleh begitu kata kebakaran terdengar dari mulut pembawa berita.“Telah terjadi kebakaran hebat di salah satu gedung perkantoran kawasan pusat kota. Api diduga berasal dari lantai atas gedung, tepatnya area arsip dan server internal perusahaan—”Tanisha spontan menegakkan punggung. Gedung itu tidak asing. Ia mengenali bentuk fasadnya, bahkan dari sudut pengambilan gambar yang buram.Itu gedung yang kemarin berdiri tak jauh dari restoran tempat ia makan siang bersama Langit.Ia menoleh ke arah suaminya.Langit berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap televisi, satu tangan dimasukkan ke saku celana. Sejak berita itu muncul, i







