“Saya belum pernah menyentuh kamu. Dan kamu ... hamil?”
Pertanyaan tersebut sangat menusuk hati Tanisha. Namun, di sini dirinya memang patut dihakimi. Pernikahannya tak berjalan selayaknya pasangan pada umumnya. Dan kini dirinya dinyatakan hamil. Parahnya, usia pernikahannya baru menginjak satu minggu. Biasanya, Tanisha selalu bisa membalas tatapan tajam Langit dengan berani. Tetapi, sekarang dirinya hanya bisa menatap ke bawah dengan kegugupan luar biasa yang melingkupi hatinya. Langit pasti marah besar dan merasa tertipu. Padahal selama ini ayahnya selalu berkoar-koar jika putrinya mahir menjaga diri. Tanisha pun tak ingin seperti ini. Sayangnya, malam naas itu terjadi tanpa permisi, tanpa jejak, terkecuali janin yang kini bersemayam di rahimnya. Tanisha belum sempat memikirkan cara untuk menghadapi kehamilannya dan Langit malah sudah mengetahui kenyataan itu. “Siapa ayahnya?” Tak kunjung mendapat jawaban dari Tanisha, Langit kembali melontarkan pertanyaan. “Aku nggak tau,” jawab Tanisha lirih. Tanisha tahu jawabannya akan membuatnya dicap sebagai wanita murahan. Langit pasti menganggapnya sering bermain-main dengan pria di luar sana hingga tak mengetahui siapa ayah dari janin dalam kandungannya. Namun, dirinya tak berbohong, ia memang tidak tahu. Langit berdecih sinis. “Nggak tau? Kenapa bohong?” Pertanyaan penuh cemooh itu membuat Tanisha spontan mengangkat kepala. Helaan napas berat lolos dari bibirnya. “Aku emang nggak tau siapa ayahnya. Maaf, Mas Langit pasti merasa tertipu.” Tak ada lagi yang bisa Tanisha lakukan selain meminta maaf. Ia tidak memiliki keberanian untuk jujur sejak awal. Dan sebentar lagi, permasalahan ini akan sampai ke telinga papanya juga keluarga besar mereka. Semua orang akan memakinya. Baiklah, Tanisha akan menerima itu semua. “Keluarga kamu ingin kamu segera menikah untuk menutupi ini?” cerca Langit lagi. Langit tak meninggikan suaranya. Lelaki itu tetap menggunakan intonasi datar seperti biasa. Namun, dingin dari suara dan setiap kata yang meluncur dari mulut lelaki itu terasa lebih menusuk. Wajar saja. Siapa yang terima diperlakukan seperti ini? “Ini murni kesalahanku. Mas nggak perlu nyalahin keluargaku. Mereka nggak tau apa-apa.” Walaupun hubungannya dengan keluarganya tak terlalu baik, Tanisha tak ingin keluarganya disalahkan. “Kamu punya pacar sebelum berencana menikah dengan adik saya?” Langit kembali melontarkan pertanyaan, tak memberi jeda bagi Tanisha yang baru saja siuman. Tanisha spontan menggeleng. “Aku nggak pernah punya pacar. Aku juga nggak pernah deket sama laki-laki mana pun.” Tanisha berkata apa adanya. Walaupun dirinya bergelut di dunia hiburan, kisah percintaannya sangat suram. Bukan karena tak ada yang berusaha mendekatinya. Melainkan karena papanya yang sangat selektif terhadap setiap lelaki yang dekat dengannya sehingga mereka memilih mundur. Baskara tak pernah mengizinkan Tanisha memiliki kekasih. Apalagi setelah perjodohan politik antara Tanisha dan Bumi tercetus. Tanisha tidak boleh dekat dengan siapa pun demi menjaga dirinya. Tadinya Tanisha berhasil, namun malam naas itu merenggut semuanya. Kesucian yang Tanisha jaga selama ini lenyap begitu saja. Kini, ada nyawa tak berdosa yang akan dianggap aib oleh semua orang, terutama keluarganya. Tanisha tak sampai hati untuk menyingkirkannya. Walaupun ia juga tak mengharapkan janinnya. “Mas bisa ceraikan aku sekarang,” imbuh Tanisha dengan senyum getir. “Tidak akan!” Langit langsung pergi setelah mengatakan itu. Langit meninggalkan Tanisha seorang diri. Tanisha hanya bisa tertawa miris. Langit pasti akan langsung memberitahu keluarga mereka. Tak masalah, ia harus menghadapi permasalahan ini. Meskipun setelah ini, kehidupannya tak akan sama lagi. Langit tidak kembali lagi setelahnya. Hanya ada seorang perawat yang membantu Tanisha. Sang perawat mengatakan jika Langit yang meminta wanita itu menemaninya. Rupanya lelaki itu masih berbaik hati. Atau mungkin khawatir ada orang iseng yang memantau mereka demi kepentingan tertentu. Hingga Tanisha diperbolehkan pulang, Langit tak muncul lagi. Bahkan, lelaki itu pun tak mengirim pesan sama sekali. Entah di mana keberadaan Langit sekarang. Lelaki itu memang sangat sibuk dan mengurusnya tentu saja hanya membuang waktu. “Permisi, Bu. Bapak meminta saya mengantar ibu pulang.” Bertepatan dengan Tanisha yang sudah selesai membereskan barang-barangnya, asisten Langit datang ke ruang perawatannya. Lelaki yang hampir seumuran dengan suami Tanisha itu sudah mampir beberapa kali, membawakan makanan dan baju ganti. “Oke,” jawab Tanisha singkat. Walaupun sebenarnya ia enggan diantar, namun dirinya malas berdebat. Lagipula, Tanisha ingin tiba di rumah secepatnya. Asisten Langit itu langsung membawakan tas yang Tanisha pegang. Tanisha mendapat perawatan intensif selama dua hari. Namun, Langit hanya muncul di malam saat dirinya pingsan saja. Setelah itu, sosok Langit tak pernah terlihat lagi. Mungkin saja Langit memang sudah tidak sudi bertemu dengannya lagi. Tanisha pun tak keberatan jika Langit benar-benar menceraikannya dalam waktu dekat. Ia tahu konsekuensi dari keadaannya. Langit pasti berubah pikiran dan akan menceraikannya. “Mas Langit ada di rumah?” tanya Tanisha pada asisten suaminya itu. Tanisha belum ingin bertemu Langit. Jadi, jujur saja, ia senang Langit tidak muncul lagi di rumah sakit setelah berdebat dengannya. Ia belum siap mendapat cercaan dari lelaki itu. Walaupun malam itu Langit tak berbicara macam-macam. Namun, entah bagaimana jika mereka bertemu lagi. “Tidak, Bu. Kemarin, sejak pagi hari Pak Langit berangkat ke Surabaya. Ada kunjungan di sana. Sepertinya malam ini atau besok pagi baru pulang,” jawab lelaki bersama Banyu itu. Tanisha hanya mengangguk saja. Baguslah kalau lelaki itu sedang tidak ada. Siang ini jalanan cukup macet. Ditambah lagi dengan terik matahari yang cukup menyengat. Padahal Tanisha berada di dalam mobil, namun kepalanya begitu pening. Entah karena panas yang menyengat atau mungkin karena pikirannya yang semrawut. Drrt ... drrrttt ... Tanisha spontan merogoh ponselnya yang ada di dalam sling bag nya. Nama penelepon yang tertera di layar ponselnya membuatnya mengerutkan kening. Langit Akasa Mahadewa. Tanisha memang menyimpan nomor tersebut. Namun, mereka tak pernah saling berkomunikasi. Tanisha langsung mengangkat telepon tersebut. “Ada apa?” sapanya tanpa basa-basi. [“Kamu udah pulang? Banyu jemput kamu, ‘kan?”] Tanisha mendengus pelan. “Dia nggak mungkin ngelanggar perintah kamu, ‘kan? Kami masih dalam perjalanan.” Tanisha tak menyangka Langit juga gemar melakukan basa-basi tak penting. Jelas-jelas lelaki itu sendiri yang meminta Banyu menjemputnya. Tentu saja Banyu akan melakukan itu dengan senang hati. Tanisha pikir dirinya akan dimaki. Rupanya dugaannya meleset. “Jadi, ada apa?” Tanisha mengulang pertanyaannya. Tanisha bukanlah orang yang tak sabaran. Namun, ia juga tak suka terlalu banyak basa-basi. Walaupun selama hidupnya, ia harus selalu melakukan itu di mana pun tempatnya berpijak. Demi menjaga komunikasi dan nama baik keluarganya. [“Saya nggak akan menceraikan kamu. Saya akan terima anak itu..”] [“Kita baru menikah. Perceraian hanya akan membuat nama kita menjadi buruk “]“Maaf, istri saya sedang hamil muda. Sepertinya morning sickness nya kambuh.”Bukan hanya Tanisha dan Tommy yang terkejut, melainkan semua orang yang berada di sana. Sedangkan sang pembuat ulah malah dengan santai menyeberangi ruangan. Kemudian, menarik Tanisha menjauh dari rengkuhan Tommy.Tanisha yang sudah memucat tampak semakin pucat pasi. Wanita itu menatap sang suami dengan dada berdebar keras. Ia tatap lelaki itu penuh peringatan. Berharap Langit akan mengatakan sesuatu yang mungkin dapat meredam gosip yang akan datang. “Maaf, istri saya pasti tidak sengaja. Biar saya ganti pakaian kamu,” tutur Langit pada Tommy yang tampak masih syok dan diam membisu. Ucapan Langit tentunya tak dapat membantu meredam gosip yang akan berembus nantinya. Walaupun jika.dibuka sekarang, mungkin tak ada akan gosip jika Tanisha hamil di luar nikah. Akan tetapi, tak ada rencana untuk membongkar kehamilannya dalam waktu dekat. Walaupun Taniaha jarang dilibatkan dalam diskusi yang para orang tua laku
Tanisha yang seharusnya marah karena Langit yang melanggar ranah privasinya. Akan tetapi, setelah pertengkaran mereka semalam, malah Langit yang tampak memusuhinya. Walaupun lelaki itu memang cuek, Langit tak pernah benar-benar mengabaikannya. Bahkan, ketika Tanisha menerobos masuk ke kamar mandi karena mengalami morning sickness, Langit tetap cuek dan hanya melewati wanita itu tanpa menanyakan apa pun. Begitu pun saat mereka berada di meja makan. Langit yang lebih dulu tiba di sana telah selesai makan dan langsung pergi tanpa berpamitan. Mertua Tanisha sedang memiliki agenda pekerjaan di luar kota. Jadi, hanya Tanisha dan Langit yang tersisa di rumah. Dan sekarang, hanya Tanisha yang tersisa di meja makan seorang diri. Wanita itu langsung mengisi piringnya dan menyuap perlahan-lahan. Suapan pertama masih aman. Namun, begitu kembali menyuap makanannya, mual menyebalkan itu kembali datang. Tanisha berlari ke toilet terdekat dan memuntahkan isi perutnya. Pening luar biasa menghantam
“Ada yang ingin saya bicarakan.”Langit tak pernah menunggunya. Setidaknya jika mereka tak memiliki janji untuk bepergian sepulang Tanisha dari lokasi syuting. Dan hari ini mereka pun tak memiliki agenda bepergian keluar. Namun, begitu Tanisha datang, Langit sudah menunggunya di depan pintu. Bukan pintu kamar mereka, melainkan pintu utama kediaman orang tua Langit. Ekspresi yang lelaki itu tunjukkan pun tampak tak bersahabat. Seolah-olah ada hal sangat penting yang harus mereka bahas secepatnya. Namun, Tanisha merasa tak ada yang perlu mereka bicarakan. “Ada apa, Mas?” tanya Tanisha sembari menebak-nebak. “Ada informasi tentang dalang di balik kecelakaan kita? Atau tentang siapa yang masuk ke apartemenku?” tebak wanita itu. Namun, jika berkaitan dengan itu, biasanya pun Langit tak pernah sampai segininya. Lelaki itu malah cenderung menghindari pembahasan tentang permasalahan tersebut. Dengan alasan tak ingin membebani Tanisha dan membuat wanita itu stress. “Bukan. Ada yang jauh l
“Kenapa Mas nyimpen foto aku?” Walaupun tidak melihat foto yang jatuh dari lemari Langit dengan jelas. Akan tetapi, ia yakin kalau itu adalah fotonya. Fotonya semasa remaja. Foto yang entah Langit dapatkan dari mana. Sebab, dirinya tak pernah memberikan foto seperti itu pada siapa pun. Apalagi Langit. Kalaupun dirinya pernah secara tidak sadar memberikan foto tersebut pada Langit. Seharusnya, Langit langsung membuangnya. Tak perlu menyimpannya. Apalagi sampai bertahun-tahun begini. Foto itu tampak usang, menunjukkan jika foto tersebut telah disimpan bertahun-tahun. “Ini bukan foto kamu,” jawab Langit seraya menutup kembali lemari pakaiannya. “Aku tau itu aku, Mas,” balas Tanisha bersikukuh. Tanisha mengenali struktur wajahnya, gaya rambut hingga gaya berpakaiannya. Dan yang ada di dalam foto tersebut jelas-jelas fotonya. Tanisha yakin. Penglihatannya masih baik-baik saja. Dan paniknya Langit malah membuatnya semakin curiga. Banyak sekali yang sengaja Langit sembunyikan dar
Unit apartemen Tanisha sudah terbuka ketika keduanya datang. Padahal, tak ada yang mengetahui password apartemen tersebut selain Tanisha dan Langit. Asisten dan manajer Tanisha saja tidak mengetahui password apartemen tersebut. Tak mungkin juga pihak pemilik gedung yang tiba-tiba masuk tanpa izin. “Kamu yakin orang tua kamu benar-benar nggak tau tentang apartemen ini?” tanya Langit sembari menatap awas sekitarnya. “Harusnya begitu,” jawab Tanisha ragu. Tanisha mengerti maksud ucapan Langit. Ada kemungkinan orang tuanya telah mengetahui tentang apartemen ini dan menerobos masuk. Walaupun Tanisha lebih suka dimarahi secara langsung daripada diperlakukan begini. Jika ini memang perbuatan orang tuanya. Pintu apartemen Tanisha memang tidak terbuka lebar. Namun, pasangan suami-istri itu menyadari jika pintunya tidak benar-benar tertutup sebagaimana mestinya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Langit pun langsung menarik Tanisha menjauh dari sana. Keduanya kembali
“Berhenti bersikap seolah-olah ada affair di antara saya dan Senja.”Tanisha yang sedang mengeringkan rambutnya kontan tersenyum sinis. Ia tak menoleh dan tidak berniat menanggapi ucapan sang suami. Tanisha memilih fokus melanjutkan kegiatannya, seolah-olah tak mendengar ucapan sang suami barusan.Sampai sebegitunya Langit membela Senja. Padahal, Tanisha merasa tak pernah berbicara macam-macam tentang Senja. Apalagi sampai menjelek-jelekan wanita itu. Namun, Langit bersikap seolah-olah Tanisha gemar menyakiti Senja.Untuk hal ini, Langit tampak seperti pengecut. Ingin melindungi Senja tetapi tak pernah berani menunjukkan secara terang-terangan. Bahkan, sengaja menggunakan pernikahan sebagai tameng agar tetap bisa melindungi snag pujaan hti dari kejauhan. “Kamu nggak dengar saya bilang apa?” tanya Langit yang masih mengawasi tingkah sang istri. Tanisha berdecak pelan. “Dengar. Emangnya kenapa, Mas? Apa yang aku lakuin sampe bikin Senja sakit hati? Aku harus minta maaf sama dia?”Akhi