LOGIN“Harusnya aku melakukan pencegahan sejak awal,” sesal Tanisha sembari mencengkram hasil tes kehamilannya.
Dirinya dinyatakan positif hamil. Statusnya memang menikah. Namun, suaminya tak pernah menyentuhnya sama sekali. Dan pernikahannya baru menginjak satu minggu. Sudah jelas jika kehamilannya adalah imbas dari insiden malam itu. Sampai sekarang, Tanisha bahkan belum bisa mengenali wajah sosok yang bersamanya malam itu. Dan kini, hasil perbuatan mereka malah bersemayam di perutnya. Langit serta keluarga lelaki itu pasti akan merasa tertipu dan marah besar, begitupun dengan keluarganya. Tanisha mengangkat kepalanya yang ia tumpukan pada setir mobil dan langsung merobek hasil tes kehamilannya. Tak boleh ada jejak yang tersisa. Untuk keputusan yang akan ia ambil ke depannya, akan dirinya pikirkan nanti. Yang terpenting, tak boleh ada yang mengetahuinya. Tanisha menyentuh perutnya dengan mata berkaca-kaca. “Maaf. Tapi, aku belum bisa menerima kamu.” Seandainya bukan akibat insiden malam itu, tentu saja Tanisha akan menerima kehamilannya dengan suka cita. Sayangnya, keadaannya sekarang sangat rumit. Langit bukanlah Bumi yang baik hati. Lelaki itu penuh perhitungan. Pastinya, tak ada toleransi untuk kesalahannya kali ini. Setelah puas menumpahkan resah yang membelenggu hatinya, barulah Tanisha melajukan mobilnya keluar dari area rumah sakit. Ia telah menyingkirkan bukti kehamilannya. Tanisha juga telah memastikan jika penampilannya tak terlalu kacau untuk bertemu siapa pun. “Tidak ada yang boleh tahu.” Tanisha menggumamkan kalimat tersebut berulang kali. Biarlah cukup dirinya saja yang tahu. Seperti lelaki itu yang menghilang tanpa jejak, Tanisha pun akan menghilangkan jejaknya. Sebab, tak ada alasan untuk mempertahankannya. Bukan hanya suaminya yang akan murka jika mengetahui rahasianya, ayahnya mungkin akan langsung membunuhnya. Tanisha langsung pulang karena kebetulan agenda kegiatannya hari ini telah usai. Ia memilih kembali mendekam di kamar tamu seharian penuh. Pening yang mendera kepalanya belum benar-benar hilang. Setelah bangun tidur nanti, Tanisha bukan hanya berharap peningnya menghilang, tetapi juga masalah besar yang menimpanya. Ketika terjaga, Tanisha kembali mendapati Langit duduk di tepi ranjang. Kemeja putih yang lelaki itu kenakan agak kusut di bagian bawah. Sepertinya, Langit belum berganti pakaian sepulang dari kantor DPP (Dewan Pengurus Pusat). Tanisha tidak tahu apa yang lelaki itu pakai saat berangkat tadi. “Para pelayan bilang kamu sakit? Sudah ke dokter?” tanya Langit seraya menoleh ke samping. Sorot mata lelaki itu tetap datar. Tak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. “Hanya kurang enak badan. Mungkin karena jam tidurku yang berantakan. Aku hanya butuh istirahat yang cukup,” jawab Tanisha tanpa terlihat gugup sama sekali. Banyak orang yang memuji aktingnya. Bahkan, tak sekali dua kali ia mendapat piala penghargaan atas kerja kerasnya di dunia hiburan. Jadi, seharusnya bukan hal yang sulit untuk menunjukkan sedikit bakatnya di hadapan sang suami. Akting tidurnya memang buruk, tetapi tidak dengan caranya bertutur kata. “Oke. Kalau begitu, saya harap kamu tetap bisa menemani saya besok malam. Atau kalau keadaan kamu belum membaik, saya bisa beralasan kalau kamu sedang sakit,” balas Langit yang sudah kembali berdiri. “Tenang saja. Besok aku pasti bisa menemani Mas Langit ke acara itu,” jawab Tanisha agak sarkas. Sekali lagi Tanisha kembali diingatkan jika perannya hanya sebagai pelengkap. Pemanis yang harus selalu siap untuk mempercantik keadaan. Itulah mengapa dirinya harus selalu sehat. Jika bukan karena itu, tak akan ada yang memedulikannya. Tanisha kembali berbaring dan memejamkan mata. Ia tak tertarik memperpanjang obrolannya dengan Langit. Lelaki itu hanya ingin memastikan kesediaannya untuk menghadiri acara besok malam. Jadi, seharusnya tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Kembali ke kamar. Jangan tidur di sini.” Dibanding membujuk, nada bicara Langit lebih pantas disebut titah yang tak ingin dibantah. “Aku nggak mau menulari kamu, Mas,” jawab Tanisha tanpa membuka matanya. Tanisha tak berniat pindah dari kamar ini. Ia sudah merasa nyaman di sini. Apalagi sekarang ada rahasia besar yang sedang dirinya sembunyikan. Tidur satu kamar dengan Langit hanya akan mempersulitnya. Lama-kelamaan lelaki itu akan curiga. Sedangkan dirinya belum mengambil keputusan untuk menghilangkan jejak ini. Diam-diam Tanisha menunggu langkah Langit keluar dari kamar ini. Namun, hanya kesunyian yang tertangkap oleh indra pendengarannya. Sebelum, tiba-tiba saja selimut yang membalut tubuhnya tersingkap dan tubuhnya melayang. Langit menggendongnya. “Ternyata kamu agak keras kepala,” decak Langit sebelum melangkah keluar dari kamar tersebut dengan Tanisha yang berada dalam gendongannya. “Semua yang ada di sini memang bekerja untuk saya. Tapi, orang tua saya dan kamu punya nata dan telinga di mana-mana. Sebaiknya jangan membuat masalah,” bisik Langit di samping telinga Tanisha. Embusan napas hangat Langit yang menerpa tengkuknya membuat Tanisha merinding. Jarak mereka terlalu dekat hingga dirinya dapat mendengar degup jantung Langit yang teratur. Namun, di satu sisi, ia khawatir lelaki itu juga dapat mendengar debar jantungnya yang menggila. *** Tanisha terus mengemut permen sejak masih berada di rumah demi menetralisir mual yang mendera. Sayangnya, itu tetap tak terlalu membantu. Kepalanya masih pening, namun ia tetap nekat mendampingi Langit agar tidak banyak pertanyaan yang perlu ia jawab. Awalnya Tanisha sudah yakin tubuhnya telah membaik karena tadi pagi morning sivkness nya tidak kambuh. Namun, setelah ia siap berangkat, mual dan pening itu kembali menghampirinya. Tanisha yang malas menjelaskan pada Langit pun memilih langsung berangkat begitu lelaki itu menjemputnya. Tak ada sopir maupun ajudan yang mendampingi Langit. Lelaki itu menyetir sendiri. Langit tidak turun dari mobil untuk sekadar menyapa sang istri. Tanisha pun memilih langsung membuka pintu di samping kemudi tanpa senyum yang menghiasi wajahnya. “Padahal Mas bisa meminta orang jemput aku. Atau cukup kirim alamatnya padaku, aku bisa berangkat sendiri. Supaya Mas Langit nggak perlu bolak-balik,” celetuk Tanisha sembari memasang seatbelt di tubuhnya. “Saya masih punya waktu untuk jemput kamu. Lagi pula, kita baru menikah. Saya malas menjawab pertanyaan orang kalau kita datang terpisah,” jawab Langit seraya melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumahnya. Baiklah. Tanisha mengerti. Ia pun malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Apalagi dengan kondisi tubuhnya yang belum benar-benar fit. Jika bisa, ia tak ingin terlalu banyak berbicara dengan siapa.pun. Tinggal makan dan setelah itu langsung pulang. ‘Ini hanya makan malam biasa. Pasti nggak akan lama,’ gumam Tanisha dalam hati. Namun, tentunya acara makan malam ini bukan makan malam biasa seperti yang Tanisha harapkan. Apalagi dengan statusnya yang berubah. Ia tidak lagi dikenalkan sebagai putri bungsu Baskara Prameswara. Namun, sebagai istri dari Langit Akasa Mahadewa. Beberapa dari pada politisi yang hadir mengucapkan selamat atas pernikahan Langit dan Tanisha. Katanya mereka tidak sempat datang di hari pernikahan tersebut. Tanisha yang tadinya ingin lebih banyak diam pun terpaksa harus beramah-tamah dengan mereka. Ada sambutan-sambutan tak penting dan Langit salah satu pengisi sambutan tersebut. Dan Tanisha hanya duduk seorang diri di meja mereka dengan pening yang semakin menyiksa. Kemarin kondisinya tidak separah ini, makanya ia berani berangkat karema berpikir peningnya akan membaik. “Aku nggak bisa menunggu sampai acara ini selesai,” putus Tanisha menyerah. Tanisha bergegas bangkit dari kursinya. Beruntungnya, Langit mendapat meja di bagian belakang. Jadi, kepergiannya ketika acara baru saja dimulai tak akan terlalu mencolok. Namun, baru berapa langkah beranjak, tiba-tiba tubuhnya oleng dan kegelapan mengambil kesadarannya. Aroma cairan disinfektan yang menyengat membuat Tanisha kembali tersadar. Ia meringis pelan sembari menyentuh kepalanya. Setelah kasadarannya terkumpul, barulah ia menyadari dirinya tak sendirian di ruangan ini. Ada Langit yanh tengah berbincang dengan dokter. Wajah Tanisha berubah pias. Rahasianya pasti terbongkar. Seharusnya, tadi ia tidak perlu nekat ikut serta ke acara tak penting itu. Tanisha dan Langit bertemu pandang. Sorot mata lelaki itu tetap datar seperti biasa. Ada tampak emosi di sana. Namun, bisa dipastikan jika lelaki itu telah mengetahui segalanya. Langit memberi isyarat pada sang dokter jika Tanisha telah siuman dan dokter tersebut langsung memeriksanya. Langit tak membuka suara sama sekali hingga dokter itu pamit pergi. Namun, sorot penuh perhitungan lelaki itu masih mengarah pada Tanisha. Tepat setelah dokter yang menangani Tanisha pergi, Langit langsung menutup pintu. Rapat. Seolah-olah tak menginginkan kedatangan siapa pun. “Saya belum pernah menyentuh kamu. Dan kamu ... hamil?”Rumah Langit terasa lebih sunyi dari biasanya malam itu. Bukan sunyi yang nyaman—melainkan sunyi yang seperti menahan napas panjang, menunggu sesuatu pecah kapan saja.Di ruang tengah, Tanisha duduk di sofa dengan punggung tegak, namun kedua tangannya saling menggenggam begitu erat hingga buku jarinya memucat. Televisi di depannya menyala, tapi suaranya dimatikan—yang terdengar hanyalah bunyi jam dinding yang berdetak perlahan, menusuk.Di layar, acara berita menampilkan potongan gambar Baskara Prameswara keluar dari ruang pemeriksaan resmi Kementerian. Wajahnya tampak tegang, namun tetap berwibawa—seolah tak satu pun tuduhan bisa membuatnya runtuh.Namun Tanisha tahu, apa pun itu… papanya sedang diserang dari segala arah.Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Langit muncul dengan segelas air dan sepiring kecil roti panggang. Pria itu menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah Tanisha. Ia diam. Seperti biasa, tak banyak kata dari bibirnya. Tapi s
Panggilan resmi itu tiba tanpa suara. Tanpa aba-aba. Tanpa tanda. Tanpa jeda untuk bernapas.Naskah panggilan tertutup dengan lambang kenegaraan yang tercetak tebal di bagian atasnya—diserahkan langsung oleh petugas khusus berseragam gelap yang datang ke rumah Baskara dengan langkah berat dan sorot mata kaku.Sementara itu, di ruang keluarga rumah Langit, Tanisha sedang membaca ulang artikel berita yang hari ini meledak di sosial media:“Baskara Prameswara Diduga Terlibat Proyek Kayu Ilegal – Pemerintah Siapkan Pemanggilan Resmi.”Mulut Tanisha terasa getir. Tangannya gemetar ketika ia meletakkan ponsel ke meja. Langit duduk di seberangnya, masih memakai kemeja kerja, lengan digulung ke siku, wajahnya dingin tapi tegang.“Saya baru dapat kabar,” ucap Langit pelan, matanya tak lepas dari layar ponsel. “Pemanggilannya resmi. Papa kamu diminta hadir hari Jumat.”Tanisha menelan napas. Terlalu cepat. Terlalu mendadak. Terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas.“Papa…” Suaranya
“Beritanya sudah naik semua.”Kalimat itu jatuh di ruang rapat seperti palu yang menghantam meja. Layar besar di dinding menampilkan potongan headline dari berbagai portal daring—judulnya berbeda, nadanya sama.MENHUT DIDUGA TERKAIT PROYEK ILEGAL KAYU GELONDONGAN.JEJAK POLITIK MENGARAH KE LINGKARAN KEKUASAAN.Langit berdiri dengan tangan bertumpu di sandaran kursi, punggungnya lurus, rahangnya mengeras. Matanya tidak berkedip, menatap satu per satu paragraf yang menyebut nama Baskara Prameswara—mertuanya—tanpa ragu, tanpa basa-basi.Ramdan menoleh ke arah Langit. “Mereka nggak pakai kata ‘dugaan’ lagi, Pak. Narasinya udah diarahkan. Opini publik digiring.”Langit menarik napas perlahan. “Siapa yang pertama kali dorong isu ini?”“Anonim. Tapi setelah kami telusuri, sumber awalnya dari akun-akun yang terhubung ke dua perusahaan logging besar. Mereka nggak muncul di depan, tapi polanya kelihatan.”Langit tersenyum tipi
Berita itu muncul pertama kali bukan dari media arus utama.Bukan dari konferensi pers.Bukan dari rilis resmi kementerian.Melainkan dari sebuah unggahan akun anonim di media sosial, dengan narasi panjang, potongan data mentah, dan satu kalimat pembuka yang langsung menusuk:“Kalau kita bicara soal banjir dan kebakaran, jangan lupa siapa yang selama ini mengatur hutan.”Nama Baskara Prameswara disebut di sana.Tidak frontal. Tidak menuduh langsung. Tapi cukup untuk membuat siapa pun yang membaca mengernyit dan mulai mengaitkan potongan-potongan yang selama ini tercecer.Langit membaca berita itu dalam diam, duduk di ruang kerjanya dengan ponsel tergeletak di atas meja. Layar memperlihatkan unggahan yang sudah dibagikan ribuan kali hanya dalam hitungan jam.Ada tangkapan layar dokumen proyek.Ada potongan pidato lama.Ada foto-foto yang diambil dari sudut jauh, entah kapan, entah di mana.Dan ada sat
Berita itu tidak lagi sekadar lalu-lalang di kolom kecil media daring. Sejak pagi, layar televisi di ruang keluarga menampilkan gambar yang sama berulang-ulang: asap hitam membumbung dari salah satu gedung perkantoran di pusat kota, petugas pemadam berlarian, dan headline yang kian membesar.“Kebakaran Misterius Diduga Berkaitan dengan Dokumen Proyek Kehutanan.”Tanisha mematikan televisi lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan tak nyaman yang mengendap di dadanya—bukan karena kebakaran itu sendiri, tapi karena ia tahu betul, setiap berita yang menyerempet kata kehutanan dan proyek besar selalu berarti satu hal: Langit akan semakin sibuk, semakin jauh, dan semakin berada di wilayah yang tak bisa ia jangkau.Ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Langit masuk.“Saya rapat hari ini. Jangan ke mana-mana.”Tanisha menghela napas. Ia tidak membalas. Bukan karena marah, hanya karena tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak kejadian-kejadian belak
Berita tentang kebakaran itu tidak turun dari layar ponsel sejak pagi.Tanisha melihatnya saat sedang duduk di ruang tengah, televisi menyala tanpa benar-benar ia perhatikan, sampai potongan gambar drone memperlihatkan gedung perkantoran yang hangus sebagian. Api sudah padam, tapi sisa asap hitam masih membubung, seolah ada sesuatu yang belum selesai di sana.Gedung itu tidak asing.Tanisha ingat betul, di sanalah beberapa kantor konsultan dan perusahaan holding beroperasi—perusahaan yang namanya sering disebut samar di berita ekonomi, tapi jarang benar-benar dibedah. Terlalu besar, terlalu kuat, terlalu dekat dengan lingkar kekuasaan.“Katanya korsleting,” gumam penyiar berita. “Namun pihak kepolisian belum menutup kemungkinan adanya unsur kesengajaan.”Tanisha menurunkan volume televisi ketika langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langit baru keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda di r







