"Celin pulang!" teriak Celindia saat memasuki rumahnya yang cukup besar.
"Berisik!" Celindia mengalihkan pandangannya ke arah ruang keluarga.
Ia mengerutkan keningnya. "Abang? Kok udah pulang?"
Alges--sang kakak dari Celindia mendelik ke arahnya.
"Enggak seneng abang pulang?" tanya nya dengan sinis kepada Celindia yang sudah duduk dengan posisi kaki menyilang di sampingnya.
"Astaghfirullah, soudzon mulu sama adek sendiri. Heran deh."
Alges mengangkat bahu acuh lalu kembali menonton.
Celindia melemparkan pandangannya. "Mama sama Papa mana, bang?"
"Papa diruang kerja, mama didapur." Celindia mengangguk lalu menyomot camilan yang berada di pelukan Alges.
Alges melotot lalu menjauhkan toples dari adiknya yang rakus.
"Apaan sih bang, pelit amat." gerutu Celindia.
"Udah sana mandi, badan kamu bau." Alges mencubit hidungnya dan menatap Celindia dengan geli.
"Enak aja, aku walaupun enggak mandi setahun juga tetep harum."
"Buset," ujar Alges.
"Tapi lama-lama juga gerah sih, yaudah aku ke kamar dulu." pamit Celindia lalu masuk ke kamarnya.
Alges menggelengkan kepala nya melihat Celindia, baru seminggu yang lalu gadis itu melakukan wisudanya. Waktu berjalan sangat cepat, padahal ia merasa seperti melihat Celindia yang baru di lahirkan oleh Kalana kemarin.
Usia mereka yang terpaut lima tahun, membuat Alges sangat menjaga adiknya. Apa lagi Celindia adalah gadis yang bar-bar dan cerewet, ia takut orang-orang yang pernah terkena sikap bar-bar Celindia memiliki dendam kepada gadis itu.
"Aden," T**i--asisten rumah tangga keluarga pratama datang dengan terburu-buru.
"Kenapa, Bi?"
"Itu ... didepan ada tamu, katanya mencari Pak Rio."
"Cari Papa? Siapa? Bibi kenal?"
"Enggak atuh Den, Bibi kan bukan Mamanya Pak Rio."
Alges tertawa kecil. "Maksud Aku, siapa tahu aja Bibi pernah lihat. Bibi kan sering lihat teman dan rekan kerjanya Papa kalau mereka kesini" ujar Alges menerangkan.
"Oalah, enggak Den. Bibi belum pernah lihat," jelas T**i.
"Oh yaudah, Aku panggil Papa dulu. Udah Bibi suruh duduk di ruang tamu, kan?"
"Udah Den."
"Oke," Alges lalu melangkah pergi ke ruang kerja Rio--Sang Ayah.
Tok tok ...
CEKLEK
"Papa," Rio yang sedang sibuk dengan berkas-berkasnya menoleh ke arah pintu.
"Alges, kenapa?"
"Ada tamu, katanya nyari Papa."
"Oke Papa kesana, Kamu temenin tamunya dulu sana."
"Iya, Pa."
****
Celindia keluar dari kamarnya dengan rambut yang setengah basah, ia telah selesai dengan ritual mandinya. Rencananya selanjutnya adalah mencuri makanan, gadis itu melangkah ke arah dapur.
Sesampainya Celindia didapur, ia melihat Kalana yang sedang membuat minuman dan ada tiga gelas didepan wanita itu. Celindia lalu mendekati Kalana dan hendak bersuara.
"Ada tamu ya, Ma?" Kalana menoleh dan mengangguk.
"Iya, tamunya Papa." Celindia mengangguk paham.
Gadis itu lalu mulai melancarkan aksinya untuk mencuri makanan, kenapa ia menamakan itu mencuri makanan padahal ini adalah rumah orang tuanya. Karena Celindia selalu makan sebelum waktu makan malam tiba, walau terkadang gadis itu akan memilih memakan camilan saja.
"Oh kebetulan Kamu di sini sayang," perkataan Kalana membuat Celindia menatap Mamanya.
"Tolongin Mama ya, Kamu anterin minuman ini ke ruang tamu." Baru saja Celindia hendak menyuarakan rasa tidak setujunya, Kalana menyela.
"Mama mau bawa kue, Kamu mau Mama bawa kue sama minumannya sekaligus? Nanti pecah lho."
Celindia memutar bola mata. "Iya-iya." Gadis itu lalu mengangkat nampan yang berisi tiga gelas dan melangkah ke ruang tamu dengan Kalan di belakangnya membawa toples kue.
"Kan bisa di bawa satu-satu, gitu aja kok ribet sih." Celindia membatin kesal.
Kalau boleh jujur, ia sangat tidak suka jika memperlihatkan wujudnya ke tamu rumah. Entah kenapa begitu, tapi setiap saat mereka kedatangan tamu, Celindia lebih memilih berdiam diri dikamar.
Saat sampai di sana, Celindia melihat Rio dan Alges duduk berhadapan dengan seorang pria. Celindia tidak terlalu memperhatikan wajah pria itu karena ia tidak menatap pria itu, ia hanya memfokuskan diri untuk meletakkan nampan berisi minuman itu dan berniat melangkah pergi.
"Celin," panggil Rio membuat Celindia yang hendak pergi berhenti dan berbalik.
"Sini, duduk dulu."
Tidak ingin membuat Papanya malu, Celindia akhirnya duduk di sebelah Abangnya. Kalana juga ikut duduk di sampingnya, Celindia berada di antara Alges dan Kalana. Sedangkan Rio berada di sebelah Alges.
"Ini Celindia, nak Indra. Masih ingat?" Celindia yang hanya menunduk mengerutkan keningnya saat mendengar Sang Papa yang menyebut namanya.
Pria yang berada di depan mereka menatap Celindia sekilas lalu tersenyum tipis.
"Iya, Saya masih ingat. Saat itu Kami masih sangat kecil, tapi Saya masih mengingatnya dengan baik."
"Celin, Kamu masih ingat sama Indra?" pertanyaan Rio membuat Celindia mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan seorang pria yang tidak asing.
Ia menatap lamat pria yang sedang tersenyum tipis itu, walau bibirnya tersenyum, Celindia bisa melihat kalau matanya seakan menatap tajam Celindia.
"Ah Celin ingat," kata Celindia tanpa sadar.
"Kamu ingat?" tanya Alges.
Celindia mengangguk. "Iya, Dia pelanggan hari ini di kafè."
"Ha?" beo ketiganya. "Pelanggan kafè?" tanya Rio dengan nada heran. "Iya Pa, dia pelanggan hari ini di kafè tempat Celin kerja." jelas Celindia. Rio tertawa, "Berarti dia enggak ingat, Pa." kata Alges yang juga ikut tertawa. Celindia menatap ketiganya dengan heran, memangnya apa yang yang salah dan harus di tertawakan. Ia memang benar, pria di depannya ini--si pemuda sukses yang menjadi pelanggannya hari ini. "Celin," Celindia menatap ke arah Kalana. "Cowok yang di depan Kamu ini adalah teman masa kecil Kamu, mungkin Kamu enggak ingat karena itu udah lama banget. Tapi, Kita masih ingat, waktu itu Kalian masih kecil-kecil." jelas Kalana. Sedangkan Celindia hanya manggut-manggut, walau memang benar kalau Ia sama sekali tidak ingat. Lalu Rio kembali bersuara, Ia menatap Keindra.&n
"Kamu mau kan, sayang?" "Tolong Oma ya sayang, Oma gak pengen punya cucu menantu selain Kamu. Oma cuman mau Kamu jadi cucu menantu Oma," kata Amara dengan memegang tangan Celindia. Amara lalu terbatuk karena merasa lehernya yang kering, makin lama batuk wanita itu makin tak terkontrol. Keindra yang melihat itu dengan sigap keluar, lalu tak lama Keindra kembali dengan dokter di belakangnya. Keluarga Pratama menyingkir termasuk Celindia, memberikan ruangan untuk dokter memeriksa kondisi Amara. Setelah beberapa menit kemudian, dokter itu menatap Keindra dengan lamat. Keindra dan keluarga Pratama memang tidak keluar dari ruangan itu, dokter itu lalu mendekat dan memegang pundak Keindra. "Maaf, tapi Saya enggak sengaja dengar pembicaraan Kalian tentang pernikahan. Saya pikir, tolong turuti saja permintaan terakhir Nyonya Amara." &n
"Celin udah bilang kalau Celin gak mau, Celin belum mau nikah, Pa, Ma." kata Celindia saat mereka memasuki rumah. "Celin," panggil Rio kepada anak gadisnya yang akan masuk ke kamarnya. "Sini, Papa mau ngomong." dengan gerakan malas, Celindia melangkah lalu duduk di samping Rio. Yang duduk di sofa itu adalah Celindia, Rio, dan Alges. Kalana pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, Rio menghela napas lalu membuka suara. "Kamu gak heran kenapa Papa sama Abang pulang cepat?" Celindia mengerutkan keningnya, benar juga. Padahal tidak biasanya Ayah dan Kakaknya pulang di sore hari, paling cepat mereka pulang saat hari menjelang malam. "Emangnya kenapa, Pa?" "Perusahaan udah di ujung tanduk, saham Papa turun drastis." jawab Rio membuat Celindia terdiam kaku. "Klien-klien Papa banyak yang batalin kerja sama, Kita hampir bangkrut." "Ya terus apa hubungannya sama Ce
"Mama tunggu di meja makan ya, udah waktunya makan malam." Kalana lalu pergi dari kamar anaknya. Celindia terdiam setelah mendengar semua perkataan Kalana, sebenarnya bisa saja Ia hidup sederhana. Tapi mungkin keluarganya tidak bisa, dan perusahaan Papanya juga sudah hampir jatuh. Celindia tidak ingin menjadi anak dan saudara yang egois, tapi tidak dengan menikah. "Kenapa harus nikah juga sih," gumamnya pelan. Ia menghela napas, selama ini Rio dan Kalana tidak pernah memaksanya melakukan sesuatu. Mereka bahkan sangat memanjakan Celindia, kedua orang tuanya bahkan setuju saat Celindia memutuskan untuk bekerja di cafè dari pada membantu Alges di perusahaan. Ia lalu keluar dari kamarnya, saat sudah di ruang makan, Celindia melihat mereka sudah berkumpul tapi masih belum mulai makan. Mereka menunggu Celindia, ini juga salah satu hal yang Celindia sukai tapi kadang membuatnya kesal. Itu membuatnya yang te
Keindra mengecup dahi perempuan yang kini sudah berstatus istrinya, Keindra berkata bahwa ijob qobul tidak di buat meriah karena mengingat kondisi Amara yang semakin memburuk. Rio dan Kalana memaklumi, walau pun ada sedikit rasa sakit saat tahu pernikahan anak mereka tidak akan semeriah pernikahan orang lain. "Celin," panggil Amara dari brankarnya. Kini yang di ruangan itu tinggal keluarga Pratama, Keindra, dan Celindia yang sudah sah menjadi anggota keluarga Aldres. Celindia yang sedang duduk di sofa ruangan itu beranjak dan duduk di samping Amara, Amara memegang tangan cucu menantunya. "Makasih ya sayang, kamu udah mau kabulin permintaan terakhir oma." Celindia menggeleng, mendengar kata-kata Amara membuat perempuan itu sedikit emosional. "Bukan permintaan terakhir oma, karena oma akan sembuh." Amara tersenyum tipis. "Enggak salah oma pil
Celindia bangun dengan badan yang segar, walaupun terbilang kaya, Ia tidak pernah sekali pun menginap di hotel. Rio memang selalu mengajarkan anaknya hidup hemat, tidak ada yang tahu takdir akan membuat mereka jatuh atau terbang. Gadis itu mengedarkan pandangannya, Keindra tidak ada. Masih mengumpulkan nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, Celindia memutuskan untuk bersandar di kepala kasur. CEKLEK Pintu terbuka menampilkan Keindra yang sudah mengganti pakaiannya dengan jaket hitam, Celindia menatap Keindra yang juga menatapnya datar. "Siap-siap, sedikit lagi kita berangkat." kata Keindra dingin. "Ha?" beo Celindia yang masih belum sadar. Keindra menatap tajam, Ia mendekati Celindia. Celindia yang akhirnya menyadari keadaan tersadar, Ia menatap awas Keindra yang berada di depannya.
Celindia turun dari mobil, Ia kembali mengagumi pemandangan di depannya. Sedari tadi, saat di mobil, gadis itu selalu berdecap kagum dengan kota Chicago. Ia sekarang tengah berdiri di depan rumah yang menjulang tinggi, sangat besar dan memiliki halaman yang luas.Tidak perlu bertanya lagi, Ia tahu ini pasti adalah rumah suaminya. Ia melangkah mengikuti Keindra memasuki rumah besar itu, sama seperti saat di rumah sakit, Ia kembali melihat orang-orang besar berpakaian hitam dan alat pendengar berkabel di telinga mereka.Bahkan ini lebih banyak dari yang di rumah sakit, lagi-lagi Celindia berdecap kagum. Ada sekitar sepuluh orang pelayan yang berpakaian rapi dan sama, berdiri di samping-samping diantara pintu besar rumah itu."Selamat Datang Tuan Aldres," sambut mereka dengan kompak.Melihat mereka yang membungkuk, spontan Celindia ikut membungkuk. Itu karena Celindia tidak biasa
Pagi harinya, Celindia sudah berkutat dengan perabotan dapur. Gadis itu berencana membuatkan sarapan untuknya dan untuk Keindra, omong-omong soal Keindra, ia belum melihat pria itu sejak kemarin saat Celindia di antar Meri ke kamar barunya.Beberapa pelayan sempat menghentikan Celindia untuk memasak, namun Gadis itu tetap memaksa untuk memasak sendiri. Ia bahkan tidak membiarkan Meri ikut membantunya, Celindia sekarang sedang mencoba menjadi Istri yang baik."Astaga!" ujarnya terkejut.Celindia di kejutkan oleh minyak kelapa yang memancar ke segala arah, Ia jadi lebih waspada. Rencananya Ia mau membuat nasi goreng khas Indonesia, makanan yang selalu Kalana masakkan untuknya dan keluarganya."Kenapa, Non?" Meri datang dengan terbirit-birit.Ia melihat Celindia yang maju-mundur di depan kompor elektronik berwarna putih itu, di atasnya terdapat wajan ya