“Nona Nawa tidak ada di kosan, di kantor hari ini juga tidak datang,” jelas Yadi.“Kenapa kamu sampai kecolongan! Saya tidak mau tahu, pokoknya cari dia sampai ketemu. Saya akan segera pulang.” Brama menyahut khawatir.“Siap, Sir.”Brama mematikan panggilan telepon, lalu memesan tiket secara online. Bagaimanapun juga, ia harus segera kembali ke Jatim lagi.“Apa ini ulah mommy?” Pria itu lantas turun dari kamar mencari Gahayu. Sang mommy ada di ruang keluarga. Ada Bima juga di sana.“Apa yang sudah Mommy lakukan ke Nawa?” todong Brama langsung.“Kamu ini apa-apaan datang-datang menuduh Mommy sembarangan. Mommy nggak ngapa-ngapain dia.”“Tapi dia hilang!”“Itu urusan dia sendiri mau ngilang kek, mau meninggal, kek. Kamu ada bukti kalau Mommy yang menghilangkannya?”Brama terdiam.“Bram, lama-lama kamu ini hilang akal gara-gara wanita itu. Mommy jadi curiga kamu diguna-guna sama dia. Sebagai orang miskin, apa yang bisa dilakukan selain mengguna-gunaimu?”“Mom, cukup! Pokoknya kalau ada a
“Ini rumah apa sarang ular? Jalannya meliuk-liuk, curam, licin, tersembunyi. Ck! Pedalaman sekali.” Seseorang dari dua pria itu bergumam sambil mendekati rumah Nawa. Seorangnya lagi membawa payung untuk melindungi keduanya dari serangan air hujan. Nawa bisa mendengarnya sebab suaranya terdengar jelas. Ia masih berdiri di tempat sambil memicing. Pandangannya bertubrukan dengan salah satu pria yang menatapnya tajam. Tatapan pria bermata biru. “Sir? Ngapain ke sini?” Nawa celingukan. Ia melihat sang bapak yang ternyata sudah masuk rumah. “Kamu masih bisa tanya saya ke sini ngapain? Jelas saya ke sini buat nyari cabe-cabean! Kamu!” “Sir!” “Tidak bisakah kamu cari tempat tinggal yang lebih mudah akses jalannya? Ya ampun, Nawa. Hampir saja saya terjun ke jurang!” “Sir, kalau niatnya ke sini hanya untuk meledek rumah saya, mending pergi lagi sana!” “Kamu mengusir saya setelah saya datang jauh-jauh! Ya Tuhan, manusia model apa ini?” Pria yang masih berkemeja resmi tersebut berkacak pin
“Saya nggak minta banyak hal. Cukup satu sebagai persyaratan meminang Nawa. Nak Brama harus bisa menjadi imam doa dan tahlil. Bersedia?” tanya Heru.Brama meneguk ludah dengan susah payah. Jika calon mertuanya ini meminta rumah, perhiasan, uang, mobil, jet pribadi, ataupun pulau pribadi, bisa dengan mudah diberikannya. Tapi ini menjadi imam tahlil? Satu hal sepele, tetapi cukup sulit dikabulkan olehnya yang tidak terlalu paham agama.“Pak, ada hal yang disembunyikan Sir Brama. Sebenarnya orang tuanya–““Orang tua saya kenapa? Nawa, kamu yang harusnya tahu kalau orang yang bersama saya selama ini adalah orang tua angkat. Ya. Begitulah keadaannya.” Brama memotong ucapan Nawa. Lagi-lagi ia berbohong demi melancarkan aksinya.“What! Serius? Sir, jangan bohong!”Brama mengangguk. “Untuk apa saya bohong? Jadi, apa yang terlihat selama ini bukan sepenuhnya benar. Dan kebenarannya adalah saya bukan orang berada. Saya tidak punya apa-apa. Apa yang saya miliki selama ini hanya milik orang tua a
Nurul tersenyum. Ia mendekat. Disentuhnya tangan Nawa.“Nawa Sayang, Tante sangat bahagia kamu pernah menjadi bagian hidup Agung. Kalau punya anak laki-laki lain yang masih single, sudah Tante nikahkan kamu sama dia. Sayangnya adik Agung perempuan. Nawa, Agung sudah tiada. Lanjutkan hidupmu, Nak. Bukalah hati untuk pria lain, menikahlah dengan pria lain.” Air mata Nurul menitik.“Lalu kenapa Tante menangis?”“Tante sangat terharu kamu sampai izin ke Tante seperti ini. Itu buktinya, kamu masih sangat menyayangi Tante, menganggap Tante bagian keluargamu. Nawa, berbahagialah. Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu.”“Mas Agung nggak akan pernah terganti, Tante. Sampai kapan pun, nggak ada pria sebaik dia. Tapi hidup harus terus berjalan, bukan? Jadi, saat ada seorang pria menyatakan keseriusan, apa salah jika saya menerimanya?” Suara Nawa bergetar.“Nggak salah, Sayang. Enggak. Tindakanmu benar. Kalau orang meninggal bisa bicara, mungkin Agung juga memintamu menikah. Tapi Nawa,
Nawa menunggu panggilan video dengan cemas sambil menimang-nimang paket dari sang tunangan. Ia menebak-nebak isi dari kotak berukuran sedang tersebut.“Ini orang hobi, ya, bikin orang penasaran.” Capek menebak-nebak, Nawa pun merebahkan diri di ranjang. Ia memutar-mutar cincin tunangan yang disematkan Heru tadi pagi.Hari ini benar-benar melelahkan. Namun, tidak dipungkiri ia bahagia.“Apa secepat ini hatiku mulai terbuka untuk pria songong itu?” Nawa mengulum senyum, terpejam, lantas menutup wajah dengan telapak tangan.Teleponnya berdering beberapa waktu kemudian saat dirinya diambang rasa kantuk. Ia pun mengangkatnya.“Sir! Jangan macam-macam, ya!” pekik Nawa saat melihat di layar ponsel. Brama melepas baju dan bertela*jang dada. Mata Nawa ternoda dengan perut kotak-kotak milik pria tersebut. Spontan ia menutup mata dengan telapak tangan.“Jadi ini maksudnya video call saya? Mau ngajak saya m*sum! Jangan gila, ya!”“Ck, bukan! Gerah banget. Mau ganti kaus saja. Bentar, jangan ditut
Beberapa hari membiarkan barangnya masih ada di kos-kosan, hari ini Nawa berniat mengambilnya. Ia akan pergi ke Gresik tanpa memberi tahu Brama. Sekalian ia akan menyelidiki kelakuan sang tunangan saat di belakangnya.Terlebih setelah Nawa mendengar nama Elea disebut, pikirannya tambah kacau. Saat meminta penjelasan dari Brama, pria itu berkata kalau Nawa salah dengar.Bukan perasaan cemburu yang dimiliki Nawa, tetapi rasa takut berlebih. Ia takut hanya dijadikan permainan pria sultan itu. Secara ia sadar, tidak masuk akal rasanya pria tampan dan sekaya itu bisa menyukainya jika tidak ada maksud tersembunyi.Nawa masih berusaha sabar. Namun, jika terbukti dipermainkan, ia berjanji akan membatalkan pernikahan tanpa peduli risiko yang diterima.“Pak, aku berangkat dulu. Tapi ingat, jangan kasih tahu Sir Brama,” pamit Nawa.“Kenapa memangnya?”“Takut khilaf.” Nawa tertawa. “Dulu kami masih rekan kerja, tapi kalau sudah tunangan gini, takut dia merasa berkuasa penuh dengan diriku karena k
Nawa mengelus cincin tunangannya dengan jari jempol. Ia tidak menyangka Brama akan setega ini dengannya. Wanita itu ingin berteriak atau melemparkan rantang ke wajah tunangannya, tetapi mati-matian menahan diri. Ia tidak boleh terlihat barbar.“Mas Yadi, sepertinya kedatangan saya tidak tepat. Tuan Mas Yadi sendang sibuk. Saya permisi saja. Titip ini buat Sir Brama. Kalau dia tidak mau, buat Mas Yadi saja.” Nawa menyerahkan rantangnya pada Yadi.“Tap-tapi.”“Jangan bilang kalau saya datang.”“Non, tapi–“Nawa hanya tersenyum, lalu mengangguk. Ia bergegas berjalan menjauhi rumah sang tunangan.“Nona Nawa!” teriak Yadi.Mendengar nama Nawa disebut, Brama menoleh ke arah pintu."Yadi, ada apa?"“Sir, Nona Nawa barusan ke sini, lalu pergi.”“Apa! Sekarang di mana?” Brama menyentak tubuh Elea kasar sampai wanita itu hampir terjatuh."Mungkin masih di luar."Brama berlari keluar rumah dan masih mendapati Nawa berjalan cepat di pekarangan rumahnya.“Nawa!” Teriakan Brama diabaikan oleh Nawa.
“Sir lepas! Tolong!” Nawa memekik sambil terus berontak memukuli Brama.“Nggak akan. Kamu sudah membuat saya marah, Nawa. Bukankah sudah saya katakan, kalau kamu ingin lepas dari saya, melayani saya di ranjang adalah hukumannya.”“Kamu itu brengsek, Sir! Kamu masih berhubungan dengan Elea sampai dia hamil!”“Apa telingamu tuli, hah! Sudah saya jelaskan semuanya tadi! Elea juga mengakui kalau itu bukan anaksaya! Pasti semua ini hanya akal-akalanmu biar bisa terbebas dari saya.”Brama mengangkat Nawa. Meskipun sudah berusaha keras untuk berontak, nyatanya Nawa tetap kalah. Wanita itu terkapar di atas ranjang sambil menyilangkan tangan di depan dada. Brama mengungkung di atasnya dengan bertelanja*ng dada. Embusan pria itu tidak beraturan. Pandangan liar Brama, bertumbukan dengan mata sendu Nawa.Mata Nawa sembab, air terus keluar dari sana. “Sir, saya mohon jangan apa-apakan saya. Ini namanya pemerkosa*n!”Brama malah mendekatkan wajah. Nawa spontan terpejam.“Saya tanya sekali lagi, apa