PT. Sun Zack Diamond Group atau yang biasa disebut Sunmond adalah perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Atau perusahaan yang bergerak di bidang penyedia produk untuk konsumen. Perusahaan ini berkembang pesat dan bersaing dengan produk luar seperti Unalaver maupun produk dalam negeri seperti Wangs. Tahun ini, Sunmond menjadi perusahaan lokal terbesar kedua di dalam negeri menurut pasar bisnis.
Ada beberapa cabang Sunmond Grup di antaranya Sunmond Food yang memproduksi makanan seperti mi instan, kecap, penyedap rasa, es krim, dan sebagainya. Lalu ada Sunmond Care yang memproduksi seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, sampo, dan masih banyak lagi. Ada lagi Sunmond Beauty yang berfokus pada kecantikan seperti skincare, lipstik, parfum, dan lain-lain.
Perusahaan yang diwariskan secara turun-temurun itu kini dipegang oleh Boby Zack Aldhlino, orang tua Brama Zack Adhlino.
Brama termasuk anak yang keluar jalur. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bisnis yang menurutnya terlalu membosankan tersebut. Pria itu memilih jalannya sendiri dengan mendirikan aplikasi bersama rekan-rekannya di negeri paman Sam sana. Ada beberapa aplikasi yang sekarang berkembang pesat dan digunakan para pengguna di seluruh dunia. Di antaranya aplikasi bisnis, apkikasi menulis dan membaca, dan aplikasi pembayaran. Bagi hasil sangat menguntungkan yang didapat akan terus masuk rekening tanpa ia harus bekerja keras tanda tangan dan tetek-bengeknya yang menurut Brama ribet. Hanya saja, ia dan kawan-kawannya harus ekstra hati-hati dan waspada dengan serangan hacker.
“Bram, bagaimana?” tanya Boby di seberang sana karena Brama terdiam cukup lama.
“Kalau aku menolak?”
“Akan kukerahkan hacker untuk merusak aplikasi sampahmu itu.”
Brama tertawa kecil. “Coba saja. Atau mau mengeluarkanku dari KK? Boleh.”
“Bram, tolong kali ini nurut apa kata orang tua. Kami tidak menyuruh, tapi memohon,” sahut sang mama.
“Akan aku pikirkan.”
Tanpa salam tanpa basa-basi lain, Brama mematikan sambungan telepon.
Brama kembali tersenyum simpul. “Sepertinya takdir terus mendekatkan kita, Gadis Nakal.”
**
“Nawa nggak ikut, Sar?” tanya Frengki ketika tidak mendapati gadis incarannya ikut acara.
“Enggak. Dia sakit pasca hilang semalam.”
“Hilang?”
“Hellow? Apa kamu nggak tahu kalo semalam itu heboh? Nawa mendadak hilang.”
Frengki terdiam. Karena diajak teman-temannya ke klub, ia tidak bisa langsung kembali ke hotel. Pasalnya, rekan-rekannya tidak membiarkan Frengki kembali ke hotel. Di sana mereka karaoke dengan diselingi minum memabukkan dan wanita tentu saja. Frengki akhirnya lupa dengan misinya merusak Nawa. Menjelang Subuh, mereka baru balik ke hotel.
Awalnya, Frengki berniat menodai Nawa agar wanita itu terikat padanya dan akhirnya menikah. Namun, keinginannya meleset jauh.
“Lalu Nawa ditemukan di mana?” tanya Frengki lagi.
“Dia jatuh di kamar mandi lantai bawah. Pingsan. Bangun sendiri, balik sendiri ke kamar.”
“Astaga, kasihan sekali.” Frengki sedikit merasa bersalah, tetapi rasa menyesal lebih mendominasi. Menyesal kenapa semalam gagal mengeksekusi Nawa.
Nawa yang merasa bosan di kamar, memutuskan untuk keluar sebentar berniat membeli oleh-oleh untuk bapaknya. Ia ingin membeli kaus. Wanita yang memakai pasmina hitam itu keluar dengan memakai masker.
Tiba di sebuah toko lengkap tidak jauh dari hotel, Nawa masuk dan menurunkan maskernya. Ia memilih-milih kaus juga aksesoris yang menurutnya lucu.
Saat akan menuju kasir, ia menabrak seseorang yang mendadak memotong jalannya.
“Maaf, Mas.”
“Hm.” Pria yang memakai masker tersebut menoleh, melihat Nawa. Pandangan keduanya terikat.
Nawa mengepalkan tangan saat melihat warna mata pria tersebut. Tanpa melihat rupa, ia tahu pria di hadapannya ini yang terlibat one night stand dengannya semalam. Wanita berkemeja sage dan rok plisket hitam itu langsung mundur dan berlalu dari sana.
Dengan napas terengah-engah, Nawa berhenti di dekat rak sabun. Air matanya kembali merebak.
“Mungkin dia pria lain. Mungkin dia bukan pria semalam. Semoga saja begitu. Astagfirullah.”
Sementara Brama tidak kalah syok. Sepertinya semesta menagih sumpah yang diucapkannya tadi pagi. Baru sekali bersumpah, selalu ada saja hal yang membuat keduanya seperti didekatkan.
Brama menahan senyum. Ia yang awalnya akan membayar ke kasir, mengurungkan niat. Pria berkaus hitam tersebut kembali mengambil beberapa barang. Setelah dirasa cukup, baru membayar.
“Tolong nanti berikan kain batik dan gantungan kunci ini pada wanita berkerudung hitam, rok hitam, baju hijau. Dia masih memilih-milih di dalam,” ujar Brama pada kasir.
“Baik, Kak.”
“Bisa minta sedikit kertas dan pinjam pen?”
“Boleh.” Sang kasir pun memberikan apa yang diminta Brama.
Pria itu sedikit menyingkir dari depan meja kasir. Toh, ia sudah membayarnya. Pria itu lalu menulis sesuatu di kertas tersebut.
(Nawa, anggap ini sedikit kenang-kenangan atas pertemuan pertama kita. Tentang semalam, bagaimana menurutmu? Bisakah kita mengulanginya jika bertemu lagi?)
“Tolong yang tadi dibungkus, taruh kertas ini di dalamnya,” ujar Brama seraya menyerahkan kertas yang sudah dilipat pada kasir.
“Baik, Kak. Kalau boleh tahu atas nama siapa? Kalau nanti yang bersangkutan tanya.”
“Dia sudah tahu siapa saya.”
“Baiklah.”
“Terima kasih.” Brama lekas berlalu dari sana.
Dari tempat persembunyian, Nawa pun keluar setelah memastikan pria yang bahkan belum diketahui namanya itu keluar toko. Ia mengambil napas panjang dan mengembuskan panjang. Lalu, segera menuju kasir. Ia ingin segera kembali ke hotel.
“Ini ada titipan dari seorang laki-laki, Kak. Orangnya tinggi, badannya kekar, memakai masker, kaus hitam,” ujar kasir seraya menyerahkan titipan Brama ketika belanjaan Nawa selesai dihitung dan dibayar.
“Bu-buat saya?” Nawa memastikan. “Siapa namanya yang ngasih?”
“Sepertinya tadi beliaunya menulis sesuatu di kertas. Coba Kakak buka sendiri. Soalnya beliau tidak menyebut nama.”
“Tapi Kakak nggak salah orang, kan?”
“Tidak, Kak. Kata beliau tadi, wanita pakai rok dan kerudung hitam, atasan hijau. Pengunjung di sini dengan ciri-ciri itu hanya Kakak.”
“O-oke.” Nawa pun merogoh isi paper bag dan benar, ada secarik kertas di sana. Begitu dibaca, ia membelalak. Nawa tidak menyangka lawan main dadakannya semalam masih mengenalinya.
"Kurang aj*r," gumam Nawa.
“Saya nggak kenal, Kak. Hanya sebatas bertemu itu pun hanya sekali. Saya nggak mau.” Nawa memberikan lagi paper bag pada kasir.
“Tolong diterima, Kak. Ini sudah amanat.”
“Tap-tapi.”
“Tolong dibawa. Agar toko kami tidak mendapat masalah karena menahan barang konsumen di sini. Sepertinya pria itu bukan pria sembarangan. Saya takut dia melakukan hal buruk pada toko kami kalau sampai barang pemberiannya tidak sampai ke Kakak.”
Nawa mengembuskan napas panjang. Kemarin cek, sekarang barang. Ia tidak tahu apa mau pria asing itu.
“Baiklah, saya bawa. Terima kasih.”
Nawa pun keluar toko dengan membawa dua paper bag. Miliknya dan pemberian pria asing semalam.
“Sepertinya hidupku mulai sekarang nggak akan tenang lagi,” gumamnya.
Begitu tiba di luar toko, Nawa melihat pria itu dipeluk seorang wanita. Pandangan keduanya kembali bertumbukan. Kali ini, Brama sudah tidak lagi memakai masker.
“Benar, pria di toko tadi adalah pria yang semalam. Astagfirullah. Sepertinya aku harus cek kesehatan lengkap. Pria itu pria mur*han sepertinya.” Nawa bergidik ngeri.
“Bram, aku bisa menjelaskan,” rengek Elea sambil terus memeluk Brama. Ia sengaja mencari Brama dan bertemu saat pria itu keluar toko.
Sementara yang dipeluk Elea, masih terus menatap Nawa.
“Jauhkan tubuh hinamu dari tubuhku kalau kamu tidak ingin videomu menyebar dan kariermu hancur,” ucap Brama dingin.
Mau tidak mau, Elea melepaskan pelukan.
“Dengar. Mulai sekarang jangan lagi muncul di hadapanku dan jangan menggangguku kalau kamu masih ingin terus eksis di dunia artis. Ingat itu.”
Brama segera pergi dari ulat bulu itu.
"Bram, tunggu!" Elea berteriak.
“Mas, tunggu!” Nawa ikut memekik, tetapi tidak digubris Brama.
“Mas kaus hitam!” Sampai lelah Nawa mengejar, Brama menulikan telinga.
Dari toko oleh-oleh dan gagal mengejar Brama, Nawa mampir sejenak ke apotek untuk membeli obat sakit kepala dan vitamin tambahan. Meskipun libi*onya masih tinggi, ia masih bisa mengatasinya. Sebagai wanita lugu, ia tidak tahu jika ada pil KB darurat yang bisa mencegah kehamilan.
Dari jarak jauh, Brama yang sekarang memakai kacamata hitam, terus mengawasi gerak-gerik Nawa.
“Selamat datang di dunia Brama, Nawa. Aku akan membuat hidupmu seperti roller coaster,” ujar Brama lirih.
Brama mengoperasikan ponsel. Ia menghubungi seseorang.
“Aku setuju membantumu menangkap siapa dalang penggelapan dana perusahaan. Asal dengan satu syarat. Aku akan memilih sendiri posisi apa yang aku inginkan.”
“Baiklah. Katakan di mana posisi yang kamu inginkan.” Boby tersenyum. Pria blasteran itu cukup lega sang putra mau menerima tawarannya.“Marketing,” jawab Brana tanpa ragu.“Kenapa harus di bagian marketing? Bram, masalah kita di bagian keuangan. Kalau kamu ingin mengungkap lingkaran hitam para tikus itu, masuk di bagian keuangan!”“Daddy-mu benar, Bram. Masuklah ke bagian keuangan biar kamu lebih tahu detail bagaimana mereka mengelola dan melaporkan keuangan. Sebenarnya kami akan langsung menunjukmu sebagai Presdir di sana.” Gahayu, mommy-nya ikut bersuara.“Aku sudah bilang, aku mau membantu asal aku dibebaskan memilih posisi.” Brama meradang.“Bram, apa kata orang-orang kalau kamu ada di posisi rendah?” Gahayu kembali mengompori.Seperti biasa, Brama masih tetap terlihat tenang.Dari Bali, siang harinya Brama langsung bertolak menuju kota seribu industri, di mana pusat Sunmond Grup dan rumah orang tuanya berada.Di Tangerang, letak pabrik Sunmond Food dan Sunmond Beauty. Sementara
Selama sehari cuti, Nawa tidak melakukan apa pun di kamar kos-kosannya. Ia hanya menangis sampai matanya bengkak. Atau hanya rebahan dan kalau senggang ditemani Agung. “Nggak kerja?” tanya abdi negara itu melalui panggilan video. “Dikasih libur habis refreshing.” Nawa lagi-lagi berbohong. “Sudah periksa, kan?” tanya Agung. Nawa mengangguk. “Mana coba lihat obatnya.” “Gitu amat, sih? Mentang-mentang ngasih transferan.” Agung tergelak. “Buat memastikan kalo transferannya tepat sasaran. Takutnya malah kamu gunakan CO keranjang orange atau keranjang kuning.” “Emang boleh?” Agung tergelak. Nawa pun mengambil Paracet*mol, antibiotik, dan vitamin yang kemarin dibeli di Bali. “Itu aja obatnya? Dikit amat.” “Ya, karena memang aku nggak kenapa-napa. Emang dasar Mas aja yang lebay.” “Bukan lebay, tapi buat memastikan kesehatanmu. Rontgen atau CT Scan lengkap juga gih.” “Mas, jangan berlebihan.” “Nawa–“ “Aku nggak apa-apa, beneran. Aku yang jatuh, aku yang tahu kondisi diriku send
Tangan Nawa gemetar. Dadanya naik turun menormalkan keterkejutan.“Astagfirullah. Jangan-jangan ... pria asing itu yang mengirim paket ini?”Cepat-cepat Nawa membungkus kembali semua isi paketnya, lalu membuangnya ke tempat sampah luar kamar.Nawa kembali tersedu-sedu. Entah apa maksud pengirim paket itu, tetapi yang pasti hidupnya mulai sekarang tidak lagi tenang sama seperti dulu. Ia harus kuat dengan serangan teror yang mungkin akan kembali lagi.Sesak dada Nawa rasanya hingga kesulitan bernapas. Ia tidak tahu harus berbagi masalah ini dengan siapa. Jika berbagi pada sahabatnya, bisa saja nanti malah tambah runyam. Aibnya bisa menyebar. Namun, ketika memendam sendiri seperti ini, ia tidak kuat dengan tekanan demi tekanan yang ada.Nawa bukan wanita bebas yang mungkin jika melakukan z*na tidak merasa menyesal. Ia beda. Wanita itu terbiasa hidup dalam lingkungan pesantren, keluarga yang menekankan hal keagamaan, juga selalu berusaha menjaga diri. Sekali kecolongan, Nawa terus memikir
“Nawa!” pekik Frengki.Sama halnya dengan Frengki, Brama bergumam sangat lirih menyebut nama wanita ayu itu.Brama sejenak mematung. Ketika melihat Nawa, ingatannya tertuju pada malam panasnya bersama wanita itu. Nawa saat itu terlihat begitu seksi. Sekarang Nawa berpenampilan tertutup. Mata Brama mengabsen seluruh inci tubuh Nawa dari balik kacamata tebalnya.“Ada apa ini?” Nawa mendekat.“Oh, nggak ada apa-apa. Ini hanya membetulkan kemeja si Brama yang berantakan.” Frengki yang awalnya mencengkeram kerah kemeja Brama, ganti mengelus kerah itu.“Aku nggak buta, ya, Mas. Aku tahu kalo Mas Frengki sedang berlagak menjadi preman. Dan apa kamu karyawan baru?” Nawa menatap Brama.“Iya.” Brama mengedip, memastikan sudah memakai softlens agar Nawa tidak mengenali warna matanya.“Mas Frengki, jangan lagi, ya? Soalnya aku pernah ada di posisi dia yang di-bully pas awal-awal kerja. Rasanya tertekan. Harusnya Mas Frengki yang udah senior, ngasih contoh yang baik. Dibimbing, Mas, jangan disiksa
“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu. Kebelet,” kilah Brama sambil masuk ke toilet.Nawa menatap punggung Brama sampai hilang dari pandangan.“Kalau sampai dia tadi lihat kalau tompel ini hanya tempelan, mati aku,” gumam Brama sambil membenahi lagi penunjang penampilan buruk rupanya itu.Gigi depan beberapa menghitam, warna mata hitam, dan tompel telah terpasang. Tinggal membubuhkan kacamata. Sempurna. Brama pun keluar kamar mandi dan sudah tidak mendapati Nawa di sana.“Syukurlah. Sepertinya sebentar lagi jam kerja dimulai lagi.”Nawa pergi dan tidak jadi menunggu Brama karena rekannya memanggil untuk melihat hasil pengambilan video tadi.“Aku kok kurang sreg sama hasilnya ya? Kita ubah konsep aja gimana? Jadi gini. Ada dua adegan, satu pasutri dari kalangan orang kaya, satunya dari pasutri orang biasa. Bagaimana cara mereka mencuci itu jelas beda. Orang kaya pakai mesin cuci dan yang pasti baju mereka hanya kotor kena keringat. Kalau orang biasa ada yang pakai mesin cuci, tapi kebanya
Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci.“Wa, kok kayak nggak seneng gitu?”Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.”“Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.”Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun.“Berarti siap jadi Ibu Persit?”Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya.“Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?”“Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.”Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–““Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?”Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak a
Prang! Saking tidak konsentrasi mengaduk teh ditambah pertanyaan Heru, membuat Nawa memecahkan gelas dan mengenai kakinya. “Enggaklah, Pak. Aku selalu jaga diri, kok.” Nawa berusaha agar suaranya tidak terdengar grogi. “Suara apa itu tadi?” “Oh, itu tetangga kos. Nggak tahu kenapa.” Nawa terpejam. Akhir-akhir ini ia banyak sekali berbohong. “Alhamdulillah. Kamu anak Bapak satu-satunya, jadi Bapak sangat takut kalau kamu sampai terpengaruh pergaulan bebas. Apalagi kamu ada di kota besar dan jauh dari Bapak. Bapak suka ketar-ketir Hati-hati. Ya sudah, sana istirahat.” “Iya. Bapak juga hati-hati, jaga kesehatan.” “Pasti. Bapak tunggu kepulanganmu. Hari Minggu nanti pulang, ya? Bapak mau nagih oleh-olehmu dari Bali itu. Sudah hampir sebulan, tapi belum dikasih juga.” Nawa tertawa. “Iya, Bapak.” Telepon pun diakhiri setelah saling bertukar salam. Nawa terduduk di kursi. Ia memijat kening sambil terpejam. Hamil? Satu kata yang menjadi momok setelah kejadian nahas malam itu. Jika s
“A-apa? A-aku hamil?” Nawa memastikan. Ia mengubah posisi menjadi duduk.Brama celingukan, memastikan tidak ada yang mendengar percakapannya dengan Nawa.“Ya.”“Benarkah aku hamil?” Mata Nawa berembun.“Untuk apa aku bohong? Katakan, siapa yang harus bertanggung jawab dengan keadaanmu saat ini? Apa pacarmu itu?”Embun di mata Nawa turun. Setetes demi setetes berjatuhan. Remuk-redam hatinya mengetahui kenyataan ini.“Pe-pergilah, Mas. Aku ingin sendiri.”“Nawa, bukankah kita teman? Ayo, kita berbagi. Katakan, siapa yang harus aku temui agar ada yang bertanggung jawab? Aku yakin pasti pacarmu yang anggota TNI sialan itu.”“Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi jangan ikut campur. Terima kasih karena sudah membawaku ke sini. Pergilah, bukankah kamu harus bekerja?”“Nawa, lihat aku! Aku akan membantumu. Percaya sama aku.”“Enggak! Aku ini kotor. Pergilah, Mas.” Nawa kian tersedu-sedu. Ia memukuli perutnya yang masih rata.“Stop, Nawa! Jangan lakukan ini.” Brama menahan tangan Nawa. “Dia nggak ber