Share

5. Memilih Posisi

PT. Sun Zack Diamond Group atau yang biasa disebut Sunmond adalah perusahaan yang bergerak di bidang Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Atau perusahaan yang bergerak di bidang penyedia produk untuk konsumen. Perusahaan ini berkembang pesat dan bersaing dengan produk luar seperti Unalaver maupun produk dalam negeri seperti Wangs. Tahun ini, Sunmond menjadi perusahaan lokal terbesar kedua di dalam negeri menurut pasar bisnis.

Ada beberapa cabang Sunmond Grup di antaranya Sunmond Food yang memproduksi makanan seperti mi instan, kecap, penyedap rasa, es krim, dan sebagainya. Lalu ada Sunmond Care yang memproduksi seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, sampo, dan masih banyak lagi. Ada lagi Sunmond Beauty yang berfokus pada kecantikan seperti skincare, lipstik, parfum, dan lain-lain.

Perusahaan yang diwariskan secara turun-temurun itu kini dipegang oleh Boby Zack Aldhlino, orang tua Brama Zack Adhlino.

Brama termasuk anak yang keluar jalur. Ia sama sekali tidak tertarik dengan bisnis yang menurutnya terlalu membosankan tersebut. Pria itu memilih jalannya sendiri dengan mendirikan aplikasi bersama rekan-rekannya di negeri paman Sam sana. Ada beberapa aplikasi yang sekarang berkembang pesat dan digunakan para pengguna di seluruh dunia. Di antaranya aplikasi bisnis, apkikasi menulis dan membaca, dan aplikasi pembayaran. Bagi hasil sangat menguntungkan yang didapat akan terus masuk rekening tanpa ia harus bekerja keras tanda tangan dan tetek-bengeknya yang menurut Brama ribet. Hanya saja, ia dan kawan-kawannya harus ekstra hati-hati dan waspada dengan serangan hacker.

“Bram, bagaimana?” tanya Boby di seberang sana karena Brama terdiam cukup lama.

“Kalau aku menolak?”

“Akan kukerahkan hacker untuk merusak aplikasi sampahmu itu.”

Brama tertawa kecil. “Coba saja. Atau mau mengeluarkanku dari KK? Boleh.”

“Bram, tolong kali ini nurut apa kata orang tua. Kami tidak menyuruh, tapi memohon,” sahut sang mama.

“Akan aku pikirkan.”

Tanpa salam tanpa basa-basi lain, Brama mematikan sambungan telepon.

Brama kembali tersenyum simpul. “Sepertinya takdir terus mendekatkan kita, Gadis Nakal.”

**

“Nawa nggak ikut, Sar?” tanya Frengki ketika tidak mendapati gadis incarannya ikut acara.

“Enggak. Dia sakit pasca hilang semalam.”

“Hilang?”

“Hellow? Apa kamu nggak tahu kalo semalam itu heboh? Nawa mendadak hilang.”

Frengki terdiam. Karena diajak teman-temannya ke klub, ia tidak bisa langsung kembali ke hotel. Pasalnya, rekan-rekannya tidak membiarkan Frengki kembali ke hotel. Di sana mereka karaoke dengan diselingi minum memabukkan dan wanita tentu saja. Frengki akhirnya lupa dengan misinya merusak Nawa. Menjelang Subuh, mereka baru balik ke hotel.

Awalnya, Frengki berniat menodai Nawa agar wanita itu terikat padanya dan akhirnya menikah. Namun, keinginannya meleset jauh.

“Lalu Nawa ditemukan di mana?” tanya Frengki lagi.

“Dia jatuh di kamar mandi lantai bawah. Pingsan. Bangun sendiri, balik sendiri ke kamar.”

“Astaga, kasihan sekali.” Frengki sedikit merasa bersalah, tetapi rasa menyesal lebih mendominasi. Menyesal kenapa semalam gagal mengeksekusi Nawa.

Nawa yang merasa bosan di kamar, memutuskan untuk keluar sebentar berniat membeli oleh-oleh untuk bapaknya. Ia ingin membeli kaus. Wanita yang memakai pasmina hitam itu keluar dengan memakai masker.

Tiba di sebuah toko lengkap tidak jauh dari hotel, Nawa masuk dan menurunkan maskernya. Ia memilih-milih kaus juga aksesoris yang menurutnya lucu.

Saat akan menuju kasir, ia menabrak seseorang yang mendadak memotong jalannya.

“Maaf, Mas.”

“Hm.” Pria yang memakai masker tersebut menoleh, melihat Nawa. Pandangan keduanya terikat.

Nawa mengepalkan tangan saat melihat warna mata pria tersebut. Tanpa melihat rupa, ia tahu pria di hadapannya ini yang terlibat one night stand dengannya semalam. Wanita berkemeja sage dan rok plisket hitam itu langsung mundur dan berlalu dari sana.

Dengan napas terengah-engah, Nawa berhenti di dekat rak sabun. Air matanya kembali merebak.

“Mungkin dia pria lain. Mungkin dia bukan pria semalam. Semoga saja begitu. Astagfirullah.”

Sementara Brama tidak kalah syok. Sepertinya semesta menagih sumpah yang diucapkannya tadi pagi. Baru sekali bersumpah, selalu ada saja hal yang membuat keduanya seperti didekatkan.

Brama menahan senyum. Ia yang awalnya akan membayar ke kasir, mengurungkan niat. Pria berkaus hitam tersebut kembali mengambil beberapa barang. Setelah dirasa cukup, baru membayar.

“Tolong nanti berikan kain batik dan gantungan kunci ini pada wanita berkerudung hitam, rok hitam, baju hijau. Dia masih memilih-milih di dalam,” ujar Brama pada kasir.

“Baik, Kak.”

“Bisa minta sedikit kertas dan pinjam pen?”

“Boleh.” Sang kasir pun memberikan apa yang diminta Brama.

Pria itu sedikit menyingkir dari depan meja kasir. Toh, ia sudah membayarnya. Pria itu lalu menulis sesuatu di kertas tersebut.

(Nawa, anggap ini sedikit kenang-kenangan atas pertemuan pertama kita. Tentang semalam, bagaimana menurutmu? Bisakah kita mengulanginya jika bertemu lagi?)

“Tolong yang tadi dibungkus, taruh kertas ini di dalamnya,” ujar Brama seraya menyerahkan kertas yang sudah dilipat pada kasir.

“Baik, Kak. Kalau boleh tahu atas nama siapa? Kalau nanti yang bersangkutan tanya.”

“Dia sudah tahu siapa saya.”

“Baiklah.”

“Terima kasih.” Brama lekas berlalu dari sana.

Dari tempat persembunyian, Nawa pun keluar setelah memastikan pria yang bahkan belum diketahui namanya itu keluar toko. Ia mengambil napas panjang dan mengembuskan panjang. Lalu, segera menuju kasir. Ia ingin segera kembali ke hotel.

“Ini ada titipan dari seorang laki-laki, Kak. Orangnya tinggi, badannya kekar, memakai masker, kaus hitam,” ujar kasir seraya menyerahkan titipan Brama ketika belanjaan Nawa selesai dihitung dan dibayar.

“Bu-buat saya?” Nawa memastikan. “Siapa namanya yang ngasih?”

“Sepertinya tadi beliaunya menulis sesuatu di kertas. Coba Kakak buka sendiri. Soalnya beliau tidak menyebut nama.”

“Tapi Kakak nggak salah orang, kan?”

“Tidak, Kak. Kata beliau tadi, wanita pakai rok dan kerudung hitam, atasan hijau. Pengunjung di sini dengan ciri-ciri itu hanya Kakak.”

“O-oke.” Nawa pun merogoh isi paper bag dan benar, ada secarik kertas di sana. Begitu dibaca, ia membelalak. Nawa tidak menyangka lawan main dadakannya semalam masih mengenalinya.

"Kurang aj*r," gumam Nawa.

“Saya nggak kenal, Kak. Hanya sebatas bertemu itu pun hanya sekali. Saya nggak mau.” Nawa memberikan lagi paper bag pada kasir.

“Tolong diterima, Kak. Ini sudah amanat.”

“Tap-tapi.”

“Tolong dibawa. Agar toko kami tidak mendapat masalah karena menahan barang konsumen di sini. Sepertinya pria itu bukan pria sembarangan. Saya takut dia melakukan hal buruk pada toko kami kalau sampai barang pemberiannya tidak sampai ke Kakak.”

Nawa mengembuskan napas panjang. Kemarin cek, sekarang barang. Ia tidak tahu apa mau pria asing itu.

“Baiklah, saya bawa. Terima kasih.”

Nawa pun keluar toko dengan membawa dua paper bag. Miliknya dan pemberian pria asing semalam.

“Sepertinya hidupku mulai sekarang nggak akan tenang lagi,” gumamnya.

Begitu tiba di luar toko, Nawa melihat pria itu dipeluk seorang wanita. Pandangan keduanya kembali bertumbukan. Kali ini, Brama sudah tidak lagi memakai masker.

“Benar, pria di toko tadi adalah pria yang semalam. Astagfirullah. Sepertinya aku harus cek kesehatan lengkap. Pria itu pria mur*han sepertinya.” Nawa bergidik ngeri.

“Bram, aku bisa menjelaskan,” rengek Elea sambil terus memeluk Brama. Ia sengaja mencari Brama dan bertemu saat pria itu keluar toko.

Sementara yang dipeluk Elea, masih terus menatap Nawa.

“Jauhkan tubuh hinamu dari tubuhku kalau kamu tidak ingin videomu menyebar dan kariermu hancur,” ucap Brama dingin.

Mau tidak mau, Elea melepaskan pelukan.

“Dengar. Mulai sekarang jangan lagi muncul di hadapanku dan jangan menggangguku kalau kamu masih ingin terus eksis di dunia artis. Ingat itu.”

Brama segera pergi dari ulat bulu itu.

"Bram, tunggu!" Elea berteriak.

“Mas, tunggu!” Nawa ikut memekik, tetapi tidak digubris Brama.

“Mas kaus hitam!” Sampai lelah Nawa mengejar, Brama menulikan telinga.

Dari toko oleh-oleh dan gagal mengejar Brama, Nawa mampir sejenak ke apotek untuk membeli obat sakit kepala dan vitamin tambahan. Meskipun libi*onya masih tinggi, ia masih bisa mengatasinya. Sebagai wanita lugu, ia tidak tahu jika ada pil KB darurat yang bisa mencegah kehamilan.

Dari jarak jauh, Brama yang sekarang memakai kacamata hitam, terus mengawasi gerak-gerik Nawa.

“Selamat datang di dunia Brama, Nawa. Aku akan membuat hidupmu seperti roller coaster,” ujar Brama lirih.

Brama mengoperasikan ponsel. Ia menghubungi seseorang.

“Aku setuju membantumu menangkap siapa dalang penggelapan dana perusahaan. Asal dengan satu syarat. Aku akan memilih sendiri posisi apa yang aku inginkan.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bang Zal
bagus sekali aku suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status