Nawa menatap wanita cantik di samping Bima. Sementara Brama memandang adiknya dengan buas, siap menerkam. Dua koper besar yang dibawa Bima menjadi bukti kalau adiknya benar-benar berniat menumpang hidup.“Bre, please biarin gue tinggal di sini. Gue sekarang gembel. Hanya lo satu-satunya harapan gue.” Bima kembali memohon.Bima masih di teras rumah sebab ART-nya tidak berani menyuruh masuk karena Bima orang baru bagi ART. Bima sudah mengaku sebagai adik Brama, hanya saja sang ART belum percaya. Jadilah menunggu Brama dulu.“Masuk, Bim.” Nawa yang justru mempersilakan.“Oh, ya, kenalkan. Ini Stevie, istri gue.”Entah ada dorongan apa, Nawa langsung memeluk wanita itu. “Stevie, selamat datang di sini. Kamu dan Bima nggak sendiri. Ada kami.”Stevie membalas pelukan Nawa sambil menangis. “Terima kasih, terima kasih banyak karena sudah mau menerima kami.”Brama mengembuskan napas panjang. Ia baru mempersilakan adiknya masuk. Nawa masih ke dapur untuk meminta tolong agar ART-nya menyiapkan m
Pagi sebelumnya .... Seperti biasa, Nawa menjadi ahli wardrobe untuk suaminya. Wanita itu setiap hari yang menyiapkan kemeja, celana, jas, dasi, bahkan underware untuk Brama. Ia baru selesai menata di atas ranjang ketika sang suami keluar dari kamar mandi. Brama sudah berencana membuat walk in closet agar lemari pakaian tidak jadi satu di kamar tidur. Hanya saja, wacana itu belum terealisasi sebab Brama masih sedikit sibuk. Bisa saja ia meminta Gilang atau Yadi mencarikan ahli. Namun, Brama ingin mendesain sendiri bersama Nawa dan belum ada waktu untuk itu. Brama keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk sebatas perut. Rasanya, Nawa selalu candu dengan perut enam kotak yang dimiliki suaminya. Brama memang selalu rutin berolahraga setiap selesai salat Subuh. Ada satu ruangan khusus di rumahnya yang berisi berbagai macam alat penunjang untuk membentuk tubuhnya. Sesekali Nawa mencoba yang ringan seperti treadmill. “Sir, jangan sampai kamu berpenampilan kayak gini selain di hadapanku
“Maaf, Kak. Tapi aku sudah minta izin sama Kak Nawa,” jawab Stevie seraya menunduk.Stevie mencari baju yang akan dipinjam dari Nawa, tetapi di meja setrika sudah tidak ada. Wanita itu malah mencarinya di kamar. Ia berpikir pemilik kamar belum pulang, jadi aman masuk. Ternyata Brama malah datang.“Sekarang Nawa di mana?” tanya Brama.Saat bersamaan, pintu kamar diketuk dari luar.“Tuan, ini saya Mak Ida. Saya ingin bicara sama Tuan!” Suara itu menyusul kemudian.Brama diambang kecemasan. Ia serba bingung apa yang harus dilakukan.Tidak jauh berbeda dengan Brama, Stevie pun juga ketakutan.“Kak, ini bagaimana? Ada Mak Ida di luar.”“Ini juga karena salahmu.” Brama mondar-mandir di dalam. Sementara ketukan dari luar terus terdengar.“Kak, a-aku keluar sekarang aja, ya?”Brama mendelik. “Cari mati kamu? Gini saja. Kamu di sini saja dulu, sembunyi. Jangan sampai Mak Ida tahu. Bisa salah paham nanti. Saya akan keluar. Nanti kalau Mak Ida sudah tidak ada, kamu boleh keluar. Ck! Kamu ini mem
“Aku paksa!” tekan Bima.Stevie tersenyum sumbang. “Aku lagi hamil, lho, Bim. Tapi makin ke sini aku merasa kamu makin kasar.”“Kasar kamu bilang? Vie, justru aku yang harusnya mempertanyakan sikapmu. Kamu juga berubah.”“Keadaan yang membuatku demikian. Kamu nggak pandai membahagiakan istri.” Stevie bangkit, keluar kamar.“Nggak kayak kakakmu yang sangat meratukan istrinya,” lanjut Stevie setelah sampai luar.Wanita itu menatap anak tangga, lalu kamar Brama. Ada perasaan aneh menyusup tiba-tiba setelah kejadian tadi. Ia menggeleng, memilih mengusir hal gila tersebut.**Tiba di rumah sakit, Brama langsung menuju ruang inap Heru karena sebelumnya Nawa sudah memberi tahu letaknya. Pria itu langsung masuk kamar kelas satu tersebut. Namun, Nawa tidak ada di ruangan. Hanya Heru yang berbaring dan tertidur. Meskipun tidak ada Nawa, ada suara gemercik air dari kamar mandi. Brama mendekati sang mertua sejenak, lalu berdiri di depan pintu kamar mandi setelah meletakkan makanan yang dibelinya
“Astaga Stevie!” Brama spontan berlari untuk kembali ke kolam renang. Ia meletakkan ponselnya di meja sebelum akhirnya menceburkan diri untuk membantu sang adik ipar. Setelah berenang beberapa saat, akhirnya Brama berhasil menjangkau tubuh Stevie. Beruntung wanita itu masih sadar, belum sampai pingsan. Brama kembali berenang, memeluk tubuh Stevie dengan memosisikan kepala adik ipar tetap ada di permukaan air. Wanita itu mengalungkan lengannya di leher Brama dengan napas terengah-engah. Dari jarak tanpa sekat, ada desir aneh yang dirasakan mereka. Apalagi embusan napas Stevie yang menyapu tengkuk Brama, membuat pria tersebut sedikit merinding. Tiba di tepi kolam renang, Brama langsung melepaskan tubuh Stevie. Ia naik lebih dulu dan menatap tajam pada istri dari adiknya itu. “Bagaimana bisa sampai kecebur? Jangan ceroboh, Vie!” gertak Brama. “Maaf, Kak. Tadi aku terpeleset.” Stevie bersusah payah naik, tetapi kesulitan. Baju yang dipakai Stevie menempel, mengetat di tubuh. Hal itu k
Stevie menoleh dan Brama sedikit mengangkat kepala ketika mendengar suara deheman dari arah pintu.“Sayang ....” Suara Brama terdengar lirih. Ia ingin duduk, tetapi tubuhnya begitu lemas, kepalanya terasa berat.“Vie, kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Nawa seraya mendekat.Stevie langsung berdiri. “I-ini tadi Kak Brama minta dibuatkan jahe hangat. Trus aku antar ke sini. Ternyata Kak Brama kayaknya sakit. Jadi, aku mencoba bantu.”“Oh, oke. Makasih ya. Sekarang aku sudah ada di sini. Biar aku yang rawat dia.” Nawa berusaha tersenyum meskipun hatinya ada rasa kesal yang menggunung.“Iya. Kalau gitu, aku keluar. Jahe hangatnya aku taruh meja ya, Kak.”Nawa hanya mengangguk.“Bisa-bisanya masuk kamarku sedangkan aku pas nggak ada,” gumam Nawa sangat lirih setelah Stevie pergi dari hadapannya.Ia lalu mendekati sang suami yang masih berbaring di ranjang. Wanita tersebut memegang kening kekasihnya. Terasa panas.“Sir sakit?”Brama mengangguk kecil. Ia memegang telapak tangan Nawa yang m
Nawa terpaku saat mendengar kalimat terakhir Stevie.‘Dua kakakmu tidak bisa memberikan keturunan’.Nawa tidak tahu apa yang dibahas mereka sebelumnya. Hanya itu yang didengar. Ia tidak sengaja lewat dan mendengar percakapan adik iparnya itu. Ia berdiri di balik dinding dan keberadaannya tidak terlihat dua orang yang bercakap-cakap di luar sana.Tidak bisa punya anak katanya? Lebih tepatnya adalah belum punya anak. Semua masih tentang waktu. Baru setahun Nawa dan Brama menikah. Jadi, Nawa rasa ia masih punya banyak waktu dan kesempatan untuk hamil.Nawa meraba perut ratanya. Memiliki seorang penerus yang bersemayam di rahimnya adalah keinginan terbesar. Namun, rezeki berupa anak itu tidak bisa dipaksa dan tidak bisa ditolak, bukan? Jika Allah belum berkehendak, ia bisa apa?Hati wanita itu mendadak gerimis. Ia yang sekiranya akan ke dapur membuat makanan hangat untuk sang suami, harus terjeda dulu.“Allah, apa ini hukuman karena aku dan Sir Brama pernah bermaksiat di masa lalu? Tapi b
Bukannya menganggap ucapan Bima serius, Nawa malah tergelak.“Bim, kamu habis mabuk?”Bima berdecak, menatap kakak iparnya intens. “Aku lagi serius dan nggak lagi mabuk.”"Ngelantur gitu ngomongnya. Setiap wanita terlahir dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi stop melihat rumput tetangga. Mereka sebenarnya sama saja."Bima tersenyum.“Jangan suka membandingkan, Bim. Apalagi membandingkan istri dengan wanita lain. Nggak baik, nggak boleh. Stevie yang mungkin katamu sampe capek ngadepinya itu mungkin karena hormon kehamilan. Jadi, kamu harus sabar,” tutur Nawa. Tangannya gesit membuka bungkus mi instan, lalu memotong sayuran.“Aku kayak salah milih istri.”“Hus! Jangan kayak gitu. Yang namanya pernikahan itu nggak bisa langsung cocok. Kamu sama dia masih butuh banyak waktu adaptasi. Baru juga sebulan nikah. Yang sabar ngadepi Stevie. Mungkin dia butuh diperhatikan sama kamu. Kamu perhatian nggak sama dia?”Bima menatap kakak iparnya lembut. “Mungkin. Karena aku sibuk kerja