RUMAH KEDIAMAN KELUARGA NATALIA
Natalia pulang ke rumah dengan perasaan yang bercampur aduk, seharusnya hari ini dia masuk kerja, karena hari ini bukanlah hari libur tapi Natalia enggan karena badannya terasa sangat capek.
Dia tidak peduli jika akan terkena marah oleh atasannya yang terkenal galak dan disiplin di restoran---tempat dia bekerja itu.
Seharusnya Natalia saat ini khawatir atasannya akan memecatnya, lantas Natalia akan menjadi pengangguran karena sudah enam kali dia absen tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas.
Tapi yang pasti, semalaman dia hampir tidak tidur akibat melayani hasrat Marlon yang menggebu-gebu. Agaknya dia akan sedikit demam, itu yang Natalia rasakan.
Jari tangannya yang lentik, menyapu rambutnya yang menutupi sebagian wajah ayunya, karena angin berhembus kencang tatkala kakinya menapaki emperan rumah papanya.
"Bagus ya, semalam gak pulang dan sekarang pulang sudah siang!" sapa seseorang, suara yang sangat Natalia kenal itu tengah menegurnya.
Natalia tidak menyukai pemilik suara tersebut, sebab dia yang menyebabkan kedua orang tuanya bercerai. Meskipun begitu, Natalia membenci orang tersebut sewajarnya saja. Tidak mau terlalu ambil pusing.
Natalia tidak terlalu membencinya itu semua karena kedua orang tuanya masih akur sampai saat ini, walaupun sudah bercerai dan tinggal terpisah. Coba saja jika kedua orang tuanya bermusuhan, maka Natalia akan sangat membenci wanita tersebut. Bahkan melihat mukanya saja, Natalia tidak akan sudi.
Natalia memandang dengan tatapan tidak suka, terpaksa Natalia harus meladeni omongan orang yang tidak penting bagi Natalia itu.
"Tante tidak usah bertingkah seolah Tante itu adalah mamaku! Selamanya Tante itu tidak akan pernah jadi mamaku! Karena mamaku cuma satu dan yang pasti itu bukan Tante!" sahut Natalia.
Wanita paruh baya yang bernama Mariam itu melotot, tangannya memegang handel pintu dan tubuh bahenolnya memenuhi pintu yang hanya terbuka sedikit saja.
Natalia akui bahwa ibu tirinya itu memang memiliki badan yang bagus. Meskipun umur sudah setengah abad tapi tubuhnya masih padat dan kulitnya kencang.
Pantas saja dia menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kedua orang tuanya. Lelaki manapun, pasti tidak akan mampu menahan lebih lama jika terus digodanya. Dan sialnya papa Natalia salah satu korbannya.
Natalia yakin, saat ini papanya sudah pergi ke kantor dan di rumah hanya ada Mariam dan seorang pembantu yang umurnya sudah tidak muda lagi. Pembantu itu memang sudah ada sejak Natalia belum lahir.
"Dasar anak durhaka, aku ini sudah sah menjadi istri papamu sejak 1 tahun lalu. Seharusnya kamu ingat itu dan aku berhak untuk mengaturmu!" balas Mariam meradang.
Natalia sudah malas berbicara, dia hendak menerobos masuk ke dalam rumah dan tidak mau mempedulikan Mariam lagi, tapi secepat kilat Mariam menghentikannya.
"Ekh, enak aja main masuk!" Mariam mendorong bahu Natalia sebelah. Karenanya, Natalia berhenti dan mengurungkan niatnya. Tubuhnya sedikit terhuyung, karena sangat capek. Untung saja tidak sampai jatuh.
"Ada apalagi? Ini rumah papaku, aku mau masuk!"
Mariam berkacak pinggang dan menatap Natalia dengan penuh kebencian.
"Hebat ya kamu tidak masuk kerja! Berarti kamu udah ada uang, kan? Mana, kamu harus bayar uang sewa rumah ini jika kamu mau masuk untuk tidur, karena rumah ini sudah beralih menjadi namaku. Papamu sudah menyerahkannya padaku."
Tercengang Natalia mendengar ucapan Mariam. Bibirnya yang sensual terbuka sedikit, permainan apalagi yang sedang Mariam perankan? Begitu pikir Natalia.
"Gak mungkin," gumam Natalia pelan.
Rumah yang sudah dibangun lama dengan keringat kedua orang tuanya, tempat Natalia dibesarkan dan mendapatkan kasih sayang selama ini harus jatuh ke tangan orang lain. Natalia sungguh sangat sedih bila itu memang benar-benar terjadi.
"Kenapa? Kamu kaget? Gak percaya? Baiknya kamu tanya langsung sama papa kamu nanti kalau kamu masih tidak percaya," tantang Mariam.
"Untung aja aku masih ada rasa cinta sama papa kamu, kalau enggak sudah ku usir dari kemarin-kemarin," lanjut Mariam.
Hanya bisa terdiam saja, saat ini Natalia bisa saja percaya dengan omongan Mariam karena memang yang terjadi papa Natalia seperti terhipnotis oleh Mariam, apa pun selalu menurut padanya.
Maka tak jarang Natalia terlibat cekcok dengan Mariam, papa Natalia selalu membela Mariam, meskipun itu bukan sepenuhnya salah Natalia.
"Akh! Kelamaan!" Mariam merampas tas yang ada di tangan Natalia, Natalia tersadar dari lamunannya dan kini hendak merebut tas miliknya kembali tapi Mariam mempertahankannya.
"Kamu harus membayarnya, biarkan aku ambil sendiri!" Mariam pun membuka tas Natalia dan langsung mencari dompet. Natalia hanya pasrah.
Natalia yang memperhatikan Mariam, dia melihat Mariam merasa shock alias kaget.
"Ap-apa? Kamu gila, ya? Kamu berlagak seperti orang kaya males-malesan kerja, tapi uang tidak ada?" Natalia mengambil semua uang yang berada di dompet Natalia lalu tas dan dompetnya di lempar ke arah Natalia.Refleks Natalia menangkapnya. Natalia memang sudah tidak memiliki uang, itu uang terakhir yang dia miliki dari hasil kerja Natalia. Untung saja Natalia memiliki kekasih yang royal, pagi tadi Marlon mentransfer uang 10 juta. Lumayan, itu setara gaji Natalia selama 5 bulan bekerja sebagai pelayan restoran.
Biasanya dengan uang Marlon, Natalia bisa membelikan sesuatu pada mamanya dan memberikan uang untuk pegangan.
Natalia memang dilahirkan dari keluarga yang lumayan kaya akan tetapi sejak perceraian yang terjadi pada kedua orang tuanya semua berubah drastis.
Papa Natalia seperti tersihir oleh istri barunya, papa Natalia tidak seroyal dulu. Bahkan, Natalia harus berkerja untuk mamanya dan dirinya sendiri hidup. Terkadang papanya memberikan uang yang tidak seberapa, tapi kalau ketahuan Mariam selalu diminta lagi.
Memang mama tiri yang pelit.
Sedangkan mama kandung Natalia kini tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sederhana, yang masih satu kota dengan mereka.
"Ini hanya 300 ribu? Kamu gak niat kerja ya?" omel Mariam. Natalia rasa Mariam sudah mendapatkan apa yang dia mau, Natalia langsung masuk tanpa minat mendengarkan ocehan Mariam lebih lama lagi.
"Eh, eh, eh. Dasar anak tidak sopan! Orang tua masih berbicara main pergi-pergi saja!" teriak Mariam.
Natalia tidak peduli lagi dengan ocehan Mariam. Rasa-rasanya telinganya sudah kembali nyaman ketika dia memasuki kamarnya yang bercat biru laut itu.
Natalia mengitari kamarnya yang terlihat selalu rapi, meskipun saat ini dirinya tinggal dengan papa dan juga mama tirinya tapi Natalia bersikap adil. Natalia selalu mengunjungi mamanya.
Sebenarnya papa Natalia melarang keras Natalia untuk bekerja dan menyuruh Natalia melanjutkan kuliahnya tapi Natalia tidak mau. Lagipula Natalia tidak yakin bahwa papanya itu akan berhasil membiayai kuliah Natalia selama Mariam masih ada.
Natalia ingin hidup senyamannya. Jika saja Natalia meneruskan kuliahnya, siapa yang akan menghidupi mamanya?
"Jika memang benar rumah ini sudah beralih nama, papa benar-benar sudah keterlaluan. Aku harus tanya soal ini pada papa dan aku bersumpah, aku tidak mau lagi tinggal di sini dengan papa. Lebih baik aku ikut mama."
Natalia melucuti semua pakaiannya dan dibiarkan berserakan di lantai. Lantas Natalia berjalan ke arah kamar mandi, berharap setelah dia berendam nanti penatnya akan hilang.
***
KANTOR CV. ADI JAYA
Marlon tertegun tatkala mendengar suara ketukan pintu ruangannya.
"Masuk!" perintah Marlon. Daun pintu itu pun langsung terbuka dan Melly masuk membawakan pakaian yang Marlon minta.
"Saya mau mengantarkan baju, Boss," ujar Melly. Marlon pun berdiri dan menerima pakaian tersebut.
"Aku mau keluar sampai jam makan siang selesai. Kamu urus pertemuan dengan para kolega dari Malaysia nanti malam," lanjut Marlon.
"Baik, Boss. Tapi bagaimana kalau boss besar datang ke kantor mencari Boss lagi?" tanya Melly.
"Itu urusanku, baiknya kamu keluar dari ruangan ini sekarang!" perintah Marlon.
Tanpa menunggu lagi, Melly langsung berbalik badan dan berjalan menuju pintu keluar.
Marlon memperhatikan baju yang berada di tangannya. Warna baju itu sama persis seperti yang sering mendiang mamanya siapkan.
"Aku harus segera pergi temui dia!" gumam Marlon.
Hanya dalam waktu tidak lebih dari 10 menit, mobil mewah milik Marlon telah tiba di halaman rumah kediamannya yang berlantai dua dengan pilar depan yang menjulang tinggi, menambah kegagahan rumah bercat warna putih tersebut.Sejak tiga tahun terakhir itu, dia memang sudah menghabiskan hari-harinya untuk tinggal di rumah yang dia beli. Rumah itu khusus untuk tinggal dirinya bersama istrinya---Sarah.Meskipun begitu, Marlon lebih banyak hidup di luar. Marlon terpaksa menyebut rumahnya itu adalah rumah utama. Ya! Rumah yang dia tempati bersama Sarah. Karena tidak mungkin bagi Marlon harus tinggal bersama papanya di rumah tempat dia dibesarkan.Apalagi jika ada acara keluarga, rumah Marlon yang akan menjadi tempat utama. Padahal rumah itu tidak semewah mansion milik tuan Carlos. Orang tua Marlon dan Sarah memang sudah percaya penuh terhadap mereka, meskipun pernikahan mereka hanyalah sebuah permainan saja bagi mereka.Sandiwara pernikahan itu sudah membuat kesan yang mendalam bagi keluarg
Selepas kepergian kedua orang tua Sarah dan juga papa Marlon dari rumah mereka beberapa menit yang lalu, akhirnya keduanya hanya terus bisa berdiam diri di tempat mereka masing-masing.Mereka dengan pikirannya yang tidak menentu.Marlon tidak mencintai Sarah, begitu juga sebaliknya. Sarah sama sekali tidak tertarik dengan pria tampan yang berada di hadapannya itu. Apalagi Marlon amat dingin terhadapnya, sikapnya sudah tidak Sarah suka sejak awal pertemuan mereka.Hal itu sudah wajar karena keduanya sudah memiliki kekasih masing-masing. Meskipun begitu keduanya tidak membuka kartu satu sama lain di hadapan kedua orang tua mereka ataupun khalayak publik.Marlon tidak tahu siapa cowok Sarah dan begitu juga dengan Sarah yang tidak tahu menahu siapa cewek Marlon.Tanpa aba-aba keduanya memandang satu sama lain. Awal mulanya tatapan mereka memiliki sebuah arti walaupun itu tidak begitu jelas.Lama-kelamaan mereka jadi teringat akan keberadaan mereka di rumah tersebut karena sebuah perjodoha
Seperti yang pernah Sarah rasakan beberapa waktu lalu.Rasanya sama seperti ketika Sarah memergoki Evan sedang makan berdua dengan salah satu sahabat ceweknya di tempat favorit Evan, tentunya saat awal-awal hubungan keduanya dulu.Sarah sebenarnya merasa sangat cemburu dengan keberadaan sahabatnya itu, yang menurut keterangan Evan adalah sahabat kecilnya dan sampai sekarang mereka masih tetap bersama dan berteman baik.Sarah pun tahu diri, kemudian merasa dirinya tidak memiliki hak untuk memisahkan sepasang sahabat tersebut ataupun melarang Evan untuk berkomunikasi dengan sahabatnya itu.Sarah sempat khawatir hubungannya dengan Evan rusak dengan kehadiran orang ketiga yaitu orang yang disebut sahabat. Namun, sekarang Sarah sangat mempercayai Evan.Evan memang tidak sekaya Marlon, bisa dikatakan Evan hanyalah pemuda dari kalangan bawah, tetapi rasa cinta Sarah terhadap Evan tidak diukur dengan harta."Iya, Sayang. Aku tau kok, kamu yang sabar ya."Lagi-lagi Marlon terus berbicara mesra
Seperti yang pernah Marlon bilang sebelumnya pada Natalia, malam ini dirinya tidak bisa menemani Natalia, akan tetapi Marlon tidak tega dan tidak mampu juga mengabaikannya saat Natalia menelponnya dan merengek minta di temani. Ternyata Natalia hendak pergi dari rumah ibu tirinya. "Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini, aku seperti orang asing. Apa kamu bisa temani aku untuk mencari kontrakan untuk sementara waktu, Sayang? Karena aku tidak mungkin tinggal bersama papa dan mama tiriku lagi," ujar Natalia beberapa jam yang lalu. "Kenapa kamu tidak tinggal di rumah mama kandung kamu saja, Sayang?" tanya Marlon. Bukankah selama ini Natalia juga sering menginap di rumah mama kandungnya? "Aku tidak ingin membuat mama kepikiran jika dia tau yang sebenarnya mengapa aku menetap di rumah mama. Tentu saja mama akan marah pada papa dan aku tidak mau mereka bertengkar," jawabnya terdengar sedih. "Baiklah, aku yakin keputusanmu sangat baik untuk ke depannya, aku akan ke sana."Meskipun
Tidak butuh waktu lama, tepat pukul 9 malam mobil yang dikendarai oleh Sarah dan Vita kini sudah terparkir rapi di salah satu halaman cafe yang sedang digandrungi di kalangan masyarakat saat ini. "Gimana menurutmu, Sar? Bagus banget 'kan cafenya?" Vita meminta pendapat Sarah, Vita sangat yakin jika Sarah juga menyukainya karena keduanya memiliki selera yang hampir sama. Dari dalam mobil Sarah dapat melihat dengan jelas bagian depan cafe yang terlihat sangat elegan, dindingnya dihiasi lampu-lampu kecil. Tidak begitu ramai akan tetapi terlihat begitu natural. Sarah memperhatikan dari dalam mobil sambil kepalanya manggut-manggut. "Ya, lumayan bagus," sahut Sarah. Sarah sudah mengunjungi puluhan tempat di berbagai negara, untuk hal-hal seperti itu tentu saja Sarah pandai menilai. Parkiran hampir penuh, mobil Sarah paling mewah di antara semua kendaraan yang ada karena kebanyakan orang yang berkunjung dari kalangan menengah ke bawah. Vita buru-buru keluar dari dalam mobil. Dia khaw
Di meja nomor 18 "Gimana? Kamu suka gak makan di sini?" tanya Marlon yang tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Natalia yang duduk di hadapannya. Mereka sudah tiba di cafe itu beberapa menit yang lalu, kini mereka juga tengah menikmati masakan cafe tersebut. "Ini sangat bagus, Sayang. Lebih bagus dari tempatku bekerja, padahal ini hanya cafe sedangkan tempatku bekerja itu restoran. Kamu memang pandai memilih," sahut Natalia jujur. "Tentu saja, aku tidak mungkin mengajakmu ke tempat yang tidak biasa karena bagiku kamu itu ratu. Ayo di habiskan makananmu," pinta Marlon. Natalia mengangguk senang. Mereka menyantap makanan mereka dengan sesekali mengobrol random. "Ehh, coba deh kamu rasakan makanan aku. Ini enak banget," kata Marlon menyodorkan steak yang sudah berada di dekat mulut Natalia. Natalia pun membuka mulutnya. "Hmmm." "Gimana?" tanya Marlon melihat wajah Natalia tampak menikmati makanan yang dikunyahnya. "Ini sungguh enak, Sayang," sahut Natalia. Mereka berdua pun s
"Ya. Aku memang cemburu!" ujar Sarah dengan mantap, hal itu membuat Marlon berhenti tertawa. Tidak menyangka sama sekali jika istrinya itu akan cemburu pada Natalia. "Apa maksudmu? Kita sudah sepakat untuk mengurus urusan kita masing-masing tanpa kita ikut campur urusan kita satu sama lain," ingat Marlon pada Sarah. Terlihat sangat jelas wajah Sarah yang menahan amarah, tapi ada kesedihan juga di dalamnya. "Cemburu itu hakku, kenapa kamu mengaturnya?" tanya Sarah menantang. "Hak?" ulang Marlon tidak mengerti. Dia amat tidak menyangka sedikitpun jika Sarah sekarang berani mengungkapkan perasaannya itu pada Marlon. Sarah tahu jika dirinya saat ini seperti sebuah lelucon di mata Marlon. Bagaimana tidak? Dulu Sarah lah yang menginginkan kehidupan seperti yang terjadi sekarang tetapi kenyataannya, lambat laun Sarah diam-diam memperhatikan perhatian Marlon yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dan hal itu membuat Sarah terpengaruh memiliki rasa cemburu terhadap Marlon. Mulanya Sarah ing
Sarah tersenyum kecut, teramat begitu kecut. Bagaimana tidak, apa yang Marlon tebak itu benar adanya. Sarah memang menginginkan perpisahan tapi bukan waktu yang tepat untuk sekarang ini. "Kamu pikir enak ya jadi aku berada di posisi yang sekarang? Aku tau maunya kamu itu ke arah mana pada hubungan ini, aku pun sama. Tapi...." Ucapan Sarah berhenti. Marlon dan Sarah serempak menengok ke arah pintu, suara bel berbunyi. "Itu pasti dia datang, kamu lihat sana," pinta Marlon pada Sarah. Sarah agak melotot karena mendapatkan perintah dari Marlon. "Kamu menyuruhku? Sejak kapan kita saling suruh-menyuruh? Lagian sudah ada bi Sumi, iya kan?" tanya Sarah mengingatkan. Marlon menggelengkan kepalanya sendiri. "Kamu nurut saja, bukain pintu untuknya. Ini semua demi agar kita terlihat kompak dan baik-baik saja," ujar Marlon menjelaskan. Sarah telah salah sangka pada Marlon, apa yang Marlon bilang benar juga. 'Benar juga apa kata gerandong. Bukankah dengan begitu, kita akan terlihat sepert