Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr
Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S
“Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta
Keinginan Barra tak banyak, ia tahu diri. Tuhan belum membekali Barra dengan harta berlimpah. Barra hanya ingin istri cantik luar dalam. Istri yang bisa menerima Barra lahir dan batin. Sebelum memulai, Barra memohon izin untuk mencari pendamping hidup pada dua adik dan ibunya. Satu-satunya orang tua yang Barra miliki. Jika ada kata yang bisa mendeskripsikan seorang Barra, mungkin adiknya akan mengatakan strong brother atau mungkin superhero, atau bisa juga malaikat. Ya, karena mereka tak pernah tahu apa yang Barra lakukan. Mereka hanya tahu Barra adalah kepala keluarga yang nyaris sempurna. Ia bekerja keras untuk keluarga. Ketika di rumah, Barra juga tak segan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. "Saya akan membayar 1 milyar kalau kamu mau menikahi anak saya secara hukum dan agama." Otak dan hati Barra mendadak tak sinkron. Menikah tapi dibayar, ini jelas salah. Hati kecil Barra berkata tidak, ini bukanlah hal yang benar. Namun, isi kepala mendorong Barra untuk mener
Dua tahun berpisah dari Annisa, hidup Barra dan keluarga naik satu tingkat. Uang perjanjian itu membawa manfaat untuk Barra dan keluarga. Ibunya berhasil melakukan transplantasi jantung. Alby adik pertama Barra masuk salah satu universitas dengan jurusan sesuai bidang yang ia sukai. Ervi adik bungsu Barra berhasil lulus sekolah menengah atas tanpa hambatan. Barra patut bersyukur atas pengalaman tersebut. Kalau dibilang menyesal, tentu ada. Namun, ya sudah semua telah terjadi. Barra niatkan saling membantu, simbiosis mutualisme, tak ada pihak yang dirugikan. Satu tahun itu Barra lalui penuh kesakitan. Sakit yang tampak oleh mata, Annisa meninggalkan banyak goresan di tubuh Barra. Untungnya ada di dalam, bukan wajah atau tangan yang bisa dilihat banyak orang. Barra duduk di atas Vespa bututnya, di pinggir sawah. Jangan salah, meski Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia. Kota metropolitan, tetapi Jakarta masih memiliki sawah yang menjadi akses jalan tikus Barra setiap hari saat berang
Pagi-pagi sekali Alby sudah membangunkan Barra. Hari itu jadwal mereka belanja kebutuhan warung makan. "Catatannya mana, Al?" Barra bertanya pada Alby. Catatan yang dimaksud adalah daftar bahan makanan yang hendak mereka beli di pasar pagi. "Sudah di dalam tas, Da," sahut Alby. Selain kuliah, Alby menjalankan bisnis rumah makan Minang bersama Ervi si adik bungsu. "Uda, aku titip kue talam ya. Semalam Ibu bilang ingin makan kue itu." Ervi bicara pada Barra. Bu Neini akan bangun saat kedua anaknya sudah kembali dari pasar tradisional. Bukan karena Bu Neini pemalas, tetapi kondisi sakit membuat Bu Neini sering kesulitan tidur saat malam tiba dan baru terlelap dini hari. Ervi menyiapkan bumbu masakan khas Padang. "Iya Dek, nanti Uda belikan. Jangan lupa buatkan Ibu bubur." Barra ingatkan sang adik. Ervi sering lupa menyiapkan bubur untuk sang Ibu. Padahal Bu Neini tak bisa terlambat sarapan, makan pun harus yang lembut-lembut. Jam di tangan Barra menunjukkan angka lima. Setelah dua ja
Pukul empat sore Barra tiba di kediaman Annisa, kedatangannya langsung mendapat sambutan hangat dari sang istri. Barra menyunggingkan senyum datar. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman memasuki relung hati Barra. Annisa terlihat begitu menyedihkan. Pelipis sebelah kanannya tertutup kain perban, sedangkan di bagian leher tertinggal darah segar yang masih mengalir. Itu segores luka. Sepertinya Bi Sumi belum sempat mengobatinya."Mas. Aku merindukanmu." Annisa menghambur ke dalam dekapan Barra. Annisa menangis tersedu. Barra merasa kebingungan dengan sikap aneh yang seringkali Annisa perlihatkan."Iya.. sudah, jangan menangis. Aku sudah di sini." Barra terdengar tulus mengucapkannya. Ia memang jujur mengatakan itu. Namun ia tak bisa mengungkapkan bahwa ia merindukan Annisa. Kenyataannya Barra tak menaruh sedikitpun rasa rindu pada perempuan yang kini berada di pelukannya. Menurutnya perasaan yang menelusup ke hati kecilnya merupakan rasa simpati belaka."Jangan tingga
Hari berikutnya, Barra sengaja bangun sebelum jam menunjuk pukul empat pagi. Barra mengendap-endap seperti seorang maling. Ia sangat hati-hati untuk mencapai pintu keluar, tak ingin gerakannya menimbulkan suara dan akhirnya membangunkan manusia yang tengah merajut mimpi di pulau kapuk. Sebenarnya Annisa lah seorang yang sangat Barra takutkan. Ia khawatir Annisa akan menyanderanya lagi, sehingga rencana pernikahan yang di gadang-gadang akan hancur total. Barra tak menginginkan hal seburuk itu terjadi, ia sangat menjaga hati calon permaisurinya. Sepeninggal Barra dari rumah mewah tersebut, Annisa tampak biasa saja. Ia tak mencari keberadaan suami ketiganya. Entah bagaimana bisa seseorang berubah dalam waktu sesingkat itu. Kemarin ia seolah-olah menjadi perempuan penggila Barra Farzan, sedangkan hari selanjutnya, Annisa seperti kehilangan memori kemarin. Bi Sumi satu-satunya orang yang mencari ketiadaan Barra Farzan. Namun, ia memilih bungkam, dan menerka-nerka ada kemungkinan Barra