Share

003

Author: Novisi
last update Last Updated: 2024-05-07 10:46:35

"Itu gak mungkin Dane, kamu mau balas dendam padaku dengan mengatakan Bima mengidap leukimia akut, 'kan?"

Pelototan tajam Cempaka mengintimidasi Danendra. Ia kehilangan kata-kata lantaran tudingan Cempaka yang tak beralasan.

"Aku akan pindahkan Bima ke rumah sakit lain, biar diperiksa oleh dokter yang lebih baik."

Cempaka membalik tubuh menuju pintu, hanya saja kecepatan cekalan Danendra pada pergelangan tangan Cempaka membuat badan perempuan itu kembali menghadap saudara sepupu mendiang suaminya itu.

"Pindah rumah sakit tidak segampang yang kamu kira, Cempaka. Lagipula Bima masih bisa ditangani di rumah sakit ini," jelas Danendra.

Cempaka mengempas lengannya sehingga cekalan Danendra terlepas.

"Aku tidak percaya Bima ditangani oleh kamu, setelah nyawa suamiku direnggut oleh kamu." Tangan Cempaka menunjuk-nunjuk Danendra.

Pria itu sebenarnya menyimpan amarah terpendam akan kalimat tuduhan Cempaka yang tak sesuai fakta. Namun, mengingat nasib Cempaka yang makin menderita akan kenyataan Bima mengidap penyakit keras membuat Danendra iba.

"Sekali lagi aku tegaskan Cempaka, Bang Haris terlibat kecelakaan murni dan tunggal. Aku juga korban dari kecelakaan itu. Tolong jangan mengada-ada."

Bukannya mereda, Cempaka memuntahkan ucapan pedas lainnya.

"Ya, bukan kamu secara langsung. Tapi, semua untuk mengurus kepentingan pribadi kamu?! Untuk menemui istri kamu yang tak jelas rimbanya kini. Mana... mana... dia... kasihan kamu," ejek Cempaka dengan sinis.

Danendra terngiang-ngiang pada jeritan Natali yang menuntut cerai, Cempaka cari masalah dengan mengingatkan Danendra akan hal itu.

"Cempaka, hubunganku dengan Natali bukan urusan kamu. Sebaiknya fokus pada penyembuhan Bima."

Cempaka dengan napas tersengal membuang pandang ke arah lain. Topik tentang Bima mampu meredam perasaan yang bergemuruh.

"Untuk kamu ketahui, aku adalah salah satu dokter yang paham mengenai kanker darah. Kalaupun ingin mencari dokter lain, kamu perlu mengeluarkan dana yang tidak sedikit."

Kenyataan itu menghantam Cempaka. Andalannya hanyalah asuransi pemerintah, itupun kelas paling bawah.

Keuangan keluarga Cempaka sangatlah terbatas. Pendidikan Bima dan kakaknya saja dibantu sekolah pemerintah sehingga Cempaka terbebas dari perkara dana pendidikan.

Urusan kesehatan keluarga, Cempaka pun tidak punya pilihan lain selain asuransi pemerintah.

Air mata menggenang di pelupuk mata Cempaka. Ia hanya ingin Bima sembuh seperti sedia kala, sekalipun menyerahkan penanganan Bima pada Danendra adalah hal sulit.

"Dengan berat hati, aku lepaskan penanganan kesehatan Bima pada kamu."

Danendra menatap kasihan pada Cempaka yang masih saja mengibarkan bendera perang di detik-detik kelemahannya.

Cakrawati tiba di rumah sakit menenteng tas dan rantang untuk Cempaka. Ia sengaja datang sewaktu cucu perempuannya, Saras, bersekolah.

Tak habis Cakrawati terisak mendengar penjelasan Cempaka mengenai sakit yang diderita cucunya.

Cakrawati memeluk Cempaka dari samping yang sedang menatap ke arah ranjang tempat Bima berbaring.

"Bu, ke depan bagaimana nasib kita, ya? Kalau aku tidak bekerja, bisa-bisa kita tidak makan. Apa ibu bersedia menemani Bima kalau dia dirawat dalam waktu yang lama?"

Cakrawati memejamkan matanya, merasa bersalah. Di hari tua, Cakrawati merasa membebani hidup putri tunggalnya. Sang suami tidak meninggalkan sisa harta semasa hidup.

Mereka mengandalkan Haris sebagai satu-satunya pencari nafkah. Tiba Haris dipanggil Yang Kuasa, mereka gelagapan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Bu...," panggil Cempaka.

"Iya, ibu bersedia. Maafkan Ibu, ya, jadi beban buat kamu di usia yang makin tua."

Cempaka menoleh pada ibunya.

"Ibu bicara apa, sih? Kita bukan orang lain yang perlu segan, Bu. Dulu ibu banting tulang buat hidupin aku. Tidak ada hal lebih mulia, bila aku bisa membiayai ibu."

Air mata Cakrawati berderai, mereka saling berpelukan dalam kecemasan masing-masing. Namun, saling meneguhkan dalam masalah.

Danendra berkunjung ke ruang rawat Bima didampingi oleh perawat. Anak laki-laki itu sudah bangun.

"Apa kabar kamu, Jagoan?" Mereka ber tos ria.

"Aku baik-baik saja, Om Dane. Tapi ini bikin sakit." Bima mengangkat tangan yang diinfus.

Danendra tersenyum, ia melihat keceriaan Bima sebagai semangat hidup bocah laki-laki berusia 7 tahun itu.

"Ke mana mama kamu?"

Danendra tak menemukan Cempaka di sana.

"Pulang. Aku bersama Uti," ucapnya merujuk neneknya.

"Oh, Uti datang. Mana?"

"Toilet," tunjuk Bima.

Danendra mengunjungi tiga orang anak lain yang mengidap sakit yang sama dengan Bima. Tidak lama ia berbincang dari pasien anak ke pasien lainnya.

Sewaktu kunjungan dokter telah telah selesai, ia mempersilakan perawat meninggalkan dirinya. Ia ingin bicara pada Cakrawati.

"Ibu di sini. Gantian dengan Cempaka?"

Danendra mengajak Cakrawati keluar ruangan.

"Iya, Nak. Cempaka harus bekerja."

Kening Danendra mengernyit, seketika kembali biasa setelah menyadari kalau Cempaka saat ini menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

"Nanti ke mari lagi?"

"Iya, siang setelah Saras pulang sekolah, nanti gantian lagi sama Ibu. Maklumlah, Nak." Cakrawati terkekeh mengingat nasib diri sendiri dan sang putri.

"Bu, pengobatan Bima ini akan berlangsung panjang. Kesehatan Bima akan lebih banyak menyita perhatian dan waktu."

Danendra bermaksud baik menjelaskan hal itu pada Cakrawati, sayangnya tanggapan Cakrawati berbeda.

"Bakal gimana nanti, ya, Nak Dane. Hidup Cempaka makin hari makin banyak tanggungan. Sedih ibu memikirkan anak ibu itu." Cakrawati menangis pelan, mengusap hidungnya yang telah basah.

Danendra mengusap pundak Cakrawati untuk menabahkan perempuan yang berusia senja itu.

"Apa ibu harus cari pengganti Haris untuk membantu Cempaka mengatasi persoalan hidupnya? Tapi, sungguh kejam kalau memanfaatkan orang lain hanya untuk menanggung biaya keluarga kami ini."

Bersamaan dengan itu, Cempaka terlihat berjalan cepat di lorong rumah sakit hingga tiba di hadapan mereka berdua.

"Ibu kenapa menangis?" Cempaka melihat mata dan hidung ibunya. Cakrawati menggeleng sembari tersenyum, Cempaka tidak puas lantas tatapannya beralih pada Danendra.

"Kamu bicara apa sampai bikin hati ibu sedih?" tanya Cempaka dengan sikap tubuh menantang.

Kening Danendra mengernyit berlapis, tidak menyangka ada tuduhan baru di balik pertanyaan Cempaka.

"Ibu tidak kenapa-napa, Cempaka. Teringat sama Bima jadi sedih." Cakrawati mengusap mata dan hidung dengan sapu tangan dari kantong baju panjangnya.

"Oh, ya sudah, Bu. Mari kita masuk lihat Bima."

Cempaka mengambil alih Cakrawati dari samping Danendra. Pria itu hanya bisa menggeleng-geleng sampai tak melihat ibu dan anak itu masuk ruang rawat inap Bima.

"Kenapa Bang Haris bisa punya istri seperti Cempaka ini, ya. Gak ada manis-manisnya."

Danendra pun pergi meninggalkan ruangan untuk melanjutkan tugasnya sebagai dokter.

"Ibu, jangan terlalu dekat dengan Danendra. Dia tidak baik buat keluarga kita. Namanya orang pintar dan kaya, bisa saja membodohi orang seperti kita ini."

Kalimat itu ditangkap oleh Bima yang duduk menikmati buah potong.

"Kenapa tidak boleh, Ma? Om Dane baik, kok."

Cempaka menatap putranya yang kebingungan. Dia sadar telah salah memilih waktu menceritakan Danendra. Bima dan Danendra adalah dua sosok yang bisa disebut sebagai sahabat, sekalipun saat Haris masih hidup.

Bima pernah mengatakan kalau ia ingin menjadi seperti om-nya kelak yang senang membantu anak-anak untuk bisa hidup sehat.

Cempaka tersenyum canggung sembari menggaruk dagunya yang tak gatal.

"I... iya, Bima."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   109 TAMAT

    Hari mulai gelap, Cempaka gelisah lantaran merasa terlalu lama jauh dari anak-anaknya."Kita makan malam dulu, gimana?" ajak Danendra usai mereka menonton film drama di bioskop."Pulang saja, ya, anak-anak pasti cari," tolaknya dengan pasti, Cempaka gelisah mengingat kedua buah hatinya.Danendra mengangguk, mereka berjalan beriringan ke lokasi parkir."Kamu suka filmnya tadi?" tanya Danendra membuka percakapan setelah mereka dalam perjalanan tak mengeluarkan kata sama sskali.Cempaka mengangguk."Nabil, pemain utama, memilih tindakan yang tepat dengan berpisah dari suaminya, pulang kembali ke Indonesia," komentar Cempaka yang membuat posisi duduk Danendra merasa tak nyaman."Tapi, Maxime menunjukkan kalau dia serius bersama Nabil, bukan. Mengejar istrinya sampai ke Indonesia dan meyakinkannya kalau dia bukan Maxime yang dulu. Perjuangan Maxime lima tahun untuk bisa menemukan jejak istrinya. Dan butuh tiga tahun meyakinkan Nabil.""Entahlah, sepertinya semua pria memang seperti itu, ka

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   108

    Pagi hari usai mengantarkan Saras ke sekolah, Danendra melakukan aktivitas sebagai dokter di rumah sakit. Meskipun semangatnya turun, ia tetap profesional dalam bekerja. Saat jam istirahat ponselnya berdering."Ya, Ma?""Bagaimana kabar kamu?" tanya Qonita dari seberang. Danendra menghela napas panjang, menyenderkan punggung ke bangku."Sepertinya aku gagal, Cempaka tetap mau bercerai, Ma."Qonita merasakan nada sendu dari anak tunggalnya itu. Hatinya pun tak sanggup bila Cempaka akan berpisah dari Danendra. "Sepertinya kamu harus bersiap untuk itu," ucap Qonita bila memang itu akan terjadi."Besok kami akan ke pengadilan, Ma."***Hari yang ditakuti Danendra datang, mereka hadir secara terpisah. Danendra dari tempat kerja, sementara Cempaka dari rumah.Cempaka bisa mengamati bagaimana paras suaminya, sedari semalam mereka telah pisah ranjang. Danendra memutuskan menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Ia tak sanggup bersama Cempaka dan setelah itu mereka berpisah.Agenda pertama ada

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   107

    Dengan sigap Danendra melingkarkan tangan ke tubuh Cempaka sehingga perempuan itu tidak terjerembab ke lantai.Mendadak suara tangis Keenan memenuhi kamar tidur mereka. Segera Cempaka setelah badannya seimbang pergi menggendong Keenan."Ssshhh... maaf, ya, Mama membangunkan kamu." Cempaka mengayun-ayun Keenan, menenangkan, sampai anaknya kembali terlelap dalam gendong Cempaka.Perilaku Cempaka yang lembut menangani Keenan disaksikan oleh suaminya dengan seksama. Dalam hati ia memuji istrinya yang lembut pada anak, tetapi bisa kasar juga terhadap orang yang melewati batas.Cempaka kembali naik ke tempat tidur lalu meletakkan Keenan dengan perlahan. Dia menarik napas panjang, lega, lantaran Keenan sudah terbuai dalam tidurnya."Ngapain senyum-senyum?" tanya Cempaka pada Danendra yang tak melepas tatapan.Danendra tidak sadar kalau Cempaka memerhatikan dirinya, ia salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepala belakang. "Kamu ibu dan istri yang luar biasa." Danendra memberanikan diri memuj

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   106

    Merasa tidak mampu sendiri, Danendra memutuskan meminta bantuan orang tuanya untuk meyakinkan Cempaka agar bersedia bersamanya."Baru sadar sekarang, Danendra!" Lantaran jarak jauh, Danendra hanya bisa mengobrol dari telepon.Bukannya dukungan, Danendra malah dimarahi oleh ibu kandungnya, Qonita."Papa kamu mendukung perceraian kamu, terlalu banyak penderitaan Cempaka!"Beberapa waktu lalu Qonita masih berjuang agar Cempaka tidak bercerai dari putra kesayangannya, hanya saja mengingat betapa Cempaka terluka, hatinya pun tak sanggup."Mama harus bantu aku," ucap Danendra memohon. "Kamu tidak sadar betapa dicintai oleh Cempaka selama ini, hah?!""Cempaka hanya mencintai bang Haris, Ma." Bayangan kemesraan dan kedekatan Cempaka di masa lalu dengan mendiang Haris menari di alam pikiran Danendra. "Jadi, Keenan - anak kamu, bukan bukti kalau Cempaka sangat mencintai kamu? Dia rela tetap bertahan dimadu, padahal dia tahu mendiang istri kamu orang jahat!!"Qonita menggeleng tak habis pikir,

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   105

    Sepekan berlalu, Danendra rutin setiap hari mengirimkan buket bunga mawar untuk istrinya. Sayangnya, ia terus menemukan buket cantik itu di tong sampah belakang rumah.Danendra tahu benar kalau istrinya sangat menyukai mawar.Ada perasaan tersinggung muncul di awal, Danendra memahami bila ia patut mendapat perlakuan seperti itu dari Cempaka.Ini hari kedelapan, masih berlangsung demikian. Selain itu, Danendra berusaha mengajak Cempaka untuk berdialog berdua, makan malam, sampai jalan-jalan bersama, Cempaka kekeh menolak."Apalagi yang harus aku lakukan? Waktu semakin mendekat," lirihnya usai praktek di poliklinik.Danendra tetap bekerja secara profesional, sekalipun pikirannya tertuju pada Cempaka.[Sudah makan?]Danendra mengirim pesan pada Cempaka. Hanya centang dua biru tanpa ada balasan.Danendra menggaruk-garuk kepala, menepuki wajah, sampai menggosok matanya, saking bingung menghadapi istrinya."Memang cukup saja satu istri, sakit kepala kalau ada masalah seperti ini."***"Sara

  • Dimadu Adik Sepupu Suamiku   104

    Hubungan Danendra dan Cempaka tidak berangsur membaik, hal paling ditakutkan Danendra malah terjadi lebih cepat."Kita bisa mengurus perceraian lebih cepat." Cempaka duduk di seberang meja kerja Danendra di rumahnya.Jantung Danendra terasa sesak, seperti akan berhenti berdetak. Wajahnya seperti dihantam benda berat.Kehilangan Cempaka?"Cempaka, aku mohon jangan lakukan ini." Danendra akan mengupayakan apa pun untuk rumah tangganya kali ini."Mau kamu apa? Kamu mau mengikat aku di pernikahan yang tidak bahagia ini. Kamu hanya mau membalas kebaikan Haris dan itu sudah cukup, Dane!"Napas Cempaka tersengal mengatakannya. Danendra masih ingin menahannya lebih lama?Dasar tidak berperasaan!"Aku akan mengikat kamu seumur hidup, Cempaka."Ingin rasanya Cempaka memberi Danendra pukulan supaya pria itu sadar kalau semakin lama bersamanya, Cempaka bisa-bisa mati berdiri atau kemungkinan gila.Namun, badannya yang lebih kecil tidak akan ada artinya bila ia melakukan kekerasan fisik pada Danen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status