Setelah mendapat perawatan medis, Bima diperbolehkan kembali pulang sembari menunggu jadwal kemoterapi.
Setelah Cempaka dagang, ia langsung ke rumah sakit untuk membenahi barang pribadi Bima."Kemoterapi ini pengobatan utama, ada obat antikanker yang akan dimasukkan melalui pembuluh darah, otot, bahkan diminum. Dengan terapi ini obat akan menjangkau seluruh tubuh, Cempaka," jelas Danendra kala pria itu berkunjung ke kamar rawat.Cempaka tahu kalau kemoterapi punya efek samping yang tidak main-main.Ia memandang iba pada anaknya, Bima, yang tengah memainkan robot-robotan dari Danendra di ranjangnya. Setitik air mata jatuh membasahi pipi Cempaka yang langsung diusapnya.Cempaka tidak mau sampai ketahuan Bima bila menangis. Bima butuh semangat kuat untuk hidup darinya sebagai ibu."Kita pulang dulu, ya, Sayang, hari ini," ucap Cempaka mendekati Bima."Asyiknya... Aku sudah bosan di sini, Ma, mau bermain bersama kakak juga sudah rindu pada teman sekolah," sahut Bima antusias dengan binar mata menunjukkan kegembiraan.Cempaka tersenyum lalu mengusap kepala Bima dengan penuh rasa sayang. Ia pun merindukan Saras.Selama di rumah sakit, komunikasinya pada Saras sangatlah singkat, sekalipun mereka bertemu di rumah. Baginya, pasti Saras bingung mendapati ibunya bolak balik le rumah sakit.Cempaka memutuskan belum memberitahu Saras mengenai penyakit yang diderita adiknya, mencari waktu yang tepat, itulah makanya Cempaka hanya mengatakan sabar pada Saras saat bocah perempuan itu ingin bermanja pada ibunya.Sewaktu Cempaka berbenah, pintu kamar rawat terbuka. Sempat berpikir perawat yang masuk, rupanya sosok dokter yang selama ini merawat Bima datang.Cempaka sigap mendekati Danendra."Em, apa ada lagi yang mau disampaikan?" Cempaka tidak ingin percakapan berat mereka akan diserap oleh Bima seperti sanggahannya pada sang ibu tempo hari tentang Danendra.Jalan Danendra yang tertutup membuat pria itu berhenti sejenak lalu memandang penampilan Cempaka. Ada kantung di bawah mata Cempaka, sekelilingnya menghitam.Danendra menduga Cempaka pasti kelelahan membagi waktu untuk bekerja sekaligus merawat Bima.Danendra bergeser mengambil langkah mendekati ranjang Bima."Sudah siap pulang, Bima?" tanya Danendra yang dianggap Cempaka sebagai basa-basi."Sudah, Om," jawab Bima ceria."Tidak jumpa om lagi, dong?"Cempaka memutar bola mata dan menipiskan bibir mendengar percakapan yang tak penting yang dikeluarkan Danendra pada Bima, menurut Cempaka."Om bisa datang main ke rumah," saran Bima yang membuat Cempaka menggaruk kepala."Wah, om senang sekali diundang main ke rumah. Siang ini om anterin pulang, ya," tawar Danendra yang dihadiahi pelototan dari Cempaka.Baik Danendra maupun Bima tidak mengetahui ekspresi berlebih Cempaka lantaran ia berada di belakang tubuh Danendra sehingga menutupi Bima melihat ibunya."Senang... senang...," sahut Bima mengangkat robotnya tinggi-tinggi.Cempaka mengembuskan napas melalui mulut, ia tidak bisa menyela percakapan dua lelaki beda usia itu. Dengan pasrah Cempaka menerima ide mereka berdua."Semua barang sudah beres?" tanya Danendra menoleh ke belakang."Kamu bukannya ada praktek?" Cempaka masih berusaha agar Danendra berubah pikiran di saat terakhir.Danendra tersenyum. "Dari mana kamu tahu aku ada jadwal praktek?"Cempaka kelabakan menjawab, ia tahu dari informasi yang dicari dari media sosial resmi milik rumah sakit."Hari ini aku praktek sore, masih bisa antarkan kalian pulang," lanjut Danendra.Harusnya Cempaka sudah curiga dari awal atas niat Danendra. Pria itu datang tanpa busana rutin yang dipakai saat berkunjung ke kamar rawat inap.Saat ini pria itu memakai kemeja dan celana biasa layaknya orang bekerja, tanpa jas putih dan stetoskop.Ketiga orang itu keluar dari rumah sakit, Danendra melajukan kendaraan roda empat di jalanan Bekasi yang cukup padat.Kurang lebih tiga puluh menit akhirnya mereka pun tiba di rumah.Cakrawati dan Saras menyambut kedatangan Bima dengan paras riang gembira."Selamat datang kembali di rumah, Bima," sambut Saras dengan gerakan layaknya keramahan petugas hotel.Mereka tertawa melihat aksi yang disuguhkan oleh Saras kepada Bima."Selamat datang juga, Om." Saras menyalami Danendra dengan sopan, pria itu membalas dengan mengusap kepala Saras.Danendra pun dipersilakan Cakrawati masuk yang ditanggapi baik oleh pria itu dengan membuka sepatu.Cempaka melihat gerak tubuh Danendra dengan embusan napas panjang seakan-akan ia keberatan dengan itu.Hanya saja, Cempaka tak bisa berbuat banyak karena keluarganya menyukai Danendra.Cakrawati mengajak kedua cucunya untuk masuk. Saras dan Bima menurut. Namun, panggilan Danendra menghentikan langkah mereka.Danendra keluar rumah, ia pergi ke mobil lalu mengambil sesuatu dan menyerahkan pada Saras dan Bima dua kantong kertas berisikan mainan.Keduanya melonjak senang sampai-sampai Cakrawati khawatir dengan kesehatan Bima."Tidak apa-apa, Bu, Bima tidak serapuh gelas kaca," tegur Danendra pada Cakrawati yang sigap melarang Bima bergerak.Kedua bocah itu masuk untuk membuka mainan baru yang dihadiahi oleh Danendra ditemani sang nenek."Kamu tidak perlu repot-repot membawakan anak-anak mainan," ucap Cempaka dengan paras dingin, tatapannya masih tertuju ke arah anak-anaknya pergi.Danendra menoleh pada Cempaka setelah dirinya duduk di bangku yang berbeda dengan Cempaka.Hela napas Danendra didengar oleh Cempaka, ia pun memandang ke arah Danendra."Apa tidak lebih mudah mengatakan 'terima kasih'?" tanya Danendra yang dianggap Cempaka menyindir dirinya.Ia bukan tidak ingin berterima kasih, hanya saja Cempaka khawatir hadiah itu akan berdampak buruk pada anak-anaknya, yakni ketagihan hadiah."Aku tidak pernah biasakan mereka dengan banyak hadiah, banyak mainan. Hidup harus selaras dengan keadaan," sanggah Cempaka."Kalau kamu tidak ingin memberi, aku rasa tidak masalah. Demikian denganku, kalau mau memberi, jangan menjadi masalah besar, Cempaka."Cempaka ingin mendebat ucapan Danendra, kedatangan Cakrawati dengan nampan berisi air minum dan makanan ringan membuat Cempaka mengurungkan niat."Diminum, ya, Nak Dane. Hanya air putih." Danendra mengangguk menerima gelas yang disodorkan Cakrawati."Air putih terbaik untuk kesehatan, Bu." Danendra meneguk sebanyak dua kali."Apa Nak Dane sudah makan siang, ketepatan ibu masak cukup banyak siang ini. Kalau bisa, makan di sini," tawar Cakrawati membuat ekspresi Cempaka berubah dengan bola mata membesar dan mulut terbuka layaknya orang terkejut mendengar berita."Wah, pas, Bu. Saya memang lapar. Sempat pagi tadi mendengar omelan keluarga pasien jadi membuat lebih cepat lapar," sambut Danendra tersenyum sambil memegang perutnya.Cempaka tahu persis siapa keluarga pasien yang dimaksud.Cakrawati bergeser ke dapur, tinggallah Danendra dengan Cempaka yang siap memuntahkan sanggahan lainnya."Cempaka, belajarlah lebih ramah seperti ibu dan anak-anak. Aku rasa tidak ada ruginya hidup dengan sikap ramah."Sewaktu Danendra berdiri untuk melangkah, Cempaka yang terbakar dengan teguran Danendra langsung menarik lengan kemeja pria itu."Jangan mempermainkan ibu dan anak-anakku, Dane. Aku bisa menduga kamu punya rencana di balik ini semua."Danendra menarik tangannya ke atas lalu memperbaiki lengan kemejanya."Kalau pun ada rencana yang pasti tidak akan merugikan siapa pun."Danendra berlalu dari hadapan Cempaka, perut pria itu semakin lapar dengan terlibat perdebatan tak kunjung usai dengan Cempaka.Hari mulai gelap, Cempaka gelisah lantaran merasa terlalu lama jauh dari anak-anaknya."Kita makan malam dulu, gimana?" ajak Danendra usai mereka menonton film drama di bioskop."Pulang saja, ya, anak-anak pasti cari," tolaknya dengan pasti, Cempaka gelisah mengingat kedua buah hatinya.Danendra mengangguk, mereka berjalan beriringan ke lokasi parkir."Kamu suka filmnya tadi?" tanya Danendra membuka percakapan setelah mereka dalam perjalanan tak mengeluarkan kata sama sskali.Cempaka mengangguk."Nabil, pemain utama, memilih tindakan yang tepat dengan berpisah dari suaminya, pulang kembali ke Indonesia," komentar Cempaka yang membuat posisi duduk Danendra merasa tak nyaman."Tapi, Maxime menunjukkan kalau dia serius bersama Nabil, bukan. Mengejar istrinya sampai ke Indonesia dan meyakinkannya kalau dia bukan Maxime yang dulu. Perjuangan Maxime lima tahun untuk bisa menemukan jejak istrinya. Dan butuh tiga tahun meyakinkan Nabil.""Entahlah, sepertinya semua pria memang seperti itu, ka
Pagi hari usai mengantarkan Saras ke sekolah, Danendra melakukan aktivitas sebagai dokter di rumah sakit. Meskipun semangatnya turun, ia tetap profesional dalam bekerja. Saat jam istirahat ponselnya berdering."Ya, Ma?""Bagaimana kabar kamu?" tanya Qonita dari seberang. Danendra menghela napas panjang, menyenderkan punggung ke bangku."Sepertinya aku gagal, Cempaka tetap mau bercerai, Ma."Qonita merasakan nada sendu dari anak tunggalnya itu. Hatinya pun tak sanggup bila Cempaka akan berpisah dari Danendra. "Sepertinya kamu harus bersiap untuk itu," ucap Qonita bila memang itu akan terjadi."Besok kami akan ke pengadilan, Ma."***Hari yang ditakuti Danendra datang, mereka hadir secara terpisah. Danendra dari tempat kerja, sementara Cempaka dari rumah.Cempaka bisa mengamati bagaimana paras suaminya, sedari semalam mereka telah pisah ranjang. Danendra memutuskan menghabiskan waktu di ruang kerjanya.Ia tak sanggup bersama Cempaka dan setelah itu mereka berpisah.Agenda pertama ada
Dengan sigap Danendra melingkarkan tangan ke tubuh Cempaka sehingga perempuan itu tidak terjerembab ke lantai.Mendadak suara tangis Keenan memenuhi kamar tidur mereka. Segera Cempaka setelah badannya seimbang pergi menggendong Keenan."Ssshhh... maaf, ya, Mama membangunkan kamu." Cempaka mengayun-ayun Keenan, menenangkan, sampai anaknya kembali terlelap dalam gendong Cempaka.Perilaku Cempaka yang lembut menangani Keenan disaksikan oleh suaminya dengan seksama. Dalam hati ia memuji istrinya yang lembut pada anak, tetapi bisa kasar juga terhadap orang yang melewati batas.Cempaka kembali naik ke tempat tidur lalu meletakkan Keenan dengan perlahan. Dia menarik napas panjang, lega, lantaran Keenan sudah terbuai dalam tidurnya."Ngapain senyum-senyum?" tanya Cempaka pada Danendra yang tak melepas tatapan.Danendra tidak sadar kalau Cempaka memerhatikan dirinya, ia salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepala belakang. "Kamu ibu dan istri yang luar biasa." Danendra memberanikan diri memuj
Merasa tidak mampu sendiri, Danendra memutuskan meminta bantuan orang tuanya untuk meyakinkan Cempaka agar bersedia bersamanya."Baru sadar sekarang, Danendra!" Lantaran jarak jauh, Danendra hanya bisa mengobrol dari telepon.Bukannya dukungan, Danendra malah dimarahi oleh ibu kandungnya, Qonita."Papa kamu mendukung perceraian kamu, terlalu banyak penderitaan Cempaka!"Beberapa waktu lalu Qonita masih berjuang agar Cempaka tidak bercerai dari putra kesayangannya, hanya saja mengingat betapa Cempaka terluka, hatinya pun tak sanggup."Mama harus bantu aku," ucap Danendra memohon. "Kamu tidak sadar betapa dicintai oleh Cempaka selama ini, hah?!""Cempaka hanya mencintai bang Haris, Ma." Bayangan kemesraan dan kedekatan Cempaka di masa lalu dengan mendiang Haris menari di alam pikiran Danendra. "Jadi, Keenan - anak kamu, bukan bukti kalau Cempaka sangat mencintai kamu? Dia rela tetap bertahan dimadu, padahal dia tahu mendiang istri kamu orang jahat!!"Qonita menggeleng tak habis pikir,
Sepekan berlalu, Danendra rutin setiap hari mengirimkan buket bunga mawar untuk istrinya. Sayangnya, ia terus menemukan buket cantik itu di tong sampah belakang rumah.Danendra tahu benar kalau istrinya sangat menyukai mawar.Ada perasaan tersinggung muncul di awal, Danendra memahami bila ia patut mendapat perlakuan seperti itu dari Cempaka.Ini hari kedelapan, masih berlangsung demikian. Selain itu, Danendra berusaha mengajak Cempaka untuk berdialog berdua, makan malam, sampai jalan-jalan bersama, Cempaka kekeh menolak."Apalagi yang harus aku lakukan? Waktu semakin mendekat," lirihnya usai praktek di poliklinik.Danendra tetap bekerja secara profesional, sekalipun pikirannya tertuju pada Cempaka.[Sudah makan?]Danendra mengirim pesan pada Cempaka. Hanya centang dua biru tanpa ada balasan.Danendra menggaruk-garuk kepala, menepuki wajah, sampai menggosok matanya, saking bingung menghadapi istrinya."Memang cukup saja satu istri, sakit kepala kalau ada masalah seperti ini."***"Sara
Hubungan Danendra dan Cempaka tidak berangsur membaik, hal paling ditakutkan Danendra malah terjadi lebih cepat."Kita bisa mengurus perceraian lebih cepat." Cempaka duduk di seberang meja kerja Danendra di rumahnya.Jantung Danendra terasa sesak, seperti akan berhenti berdetak. Wajahnya seperti dihantam benda berat.Kehilangan Cempaka?"Cempaka, aku mohon jangan lakukan ini." Danendra akan mengupayakan apa pun untuk rumah tangganya kali ini."Mau kamu apa? Kamu mau mengikat aku di pernikahan yang tidak bahagia ini. Kamu hanya mau membalas kebaikan Haris dan itu sudah cukup, Dane!"Napas Cempaka tersengal mengatakannya. Danendra masih ingin menahannya lebih lama?Dasar tidak berperasaan!"Aku akan mengikat kamu seumur hidup, Cempaka."Ingin rasanya Cempaka memberi Danendra pukulan supaya pria itu sadar kalau semakin lama bersamanya, Cempaka bisa-bisa mati berdiri atau kemungkinan gila.Namun, badannya yang lebih kecil tidak akan ada artinya bila ia melakukan kekerasan fisik pada Danen