LOGIN“Saya mau menikah lagi.”
Damar mengulangi ucapannya tadi. Kali ini dengan nada yang lebih kencang dari sebelumnya. “Enggak.” Elok menggeleng. Ruangan itu seketika berubah menjadi dingin baginya. “Saya enggak setuju.” Kembali dia mengulangi ucapannya barusan. Dadanya bergemuruh. Keputusan Damar untuk menikah lagi membuat Elok merasa dirinya sangat kurang. Kurang dalam segala hal. Tangannya terkepal. Ingin rasanya dia memukul sesuatu akan tetapi dia sadar bahwa hal itu tidaklah menyelesaikan masalah. “Kamu enggak setuju?” Rima bertanya. Alisnya terangkat. Elok mengangguk. Ditahan air matanya agar tidak tumpah. Dia merasa sangat dikhianati oleh orang-orang yang dianggap pasti akan melindunginya setelah kepergian Bagus yang merupakan ayahnya. “Kalau begitu, pengobatan Saraswati terpaksa kami hentikan.” Rima kembali berkata. Bibirnya yang poles lipstick merah itu tersenyum. “Bukan begitu, Pa?” Rima menegaskan perkataannya pada Arya. “Pengobatan Saraswati yang sudah setengah jalan terpaksa dihentikan. Itu pilihanmu.” Arya menimpali. Elok menatap Damar. Dia ingin pria yang merupakan suaminya itu berubah pikiran. Akan tetapi Damar diam. Dia hanya menatap Elok dengan kedua matanya yang tajam itu. “Mas.” Elok menuntut Damar berbicara ketika hanya sunyi yang dia dapatkan. “Kamu enggak bisa berikan aku keturunan.” Damar berkata dengan mata masih menatap tajam Elok. Elok ingin menyangkal ucapan itu akan tetapi tatapan itu seakan dapat mengulitinya hidup-hidup. Tangannya terkepal. Dia ingin membuka mulutnya. Namun, urung dilakukan. Dia teringat Ibunya yang kini terbaring tidak berdaya di rumah sakit. “Jadi, biarkan Damar menikah.” Rima berkata lagi. “Atau mau pengobatan Ibu kamu selesai?” Arya menimpali. “Pilihan ada di tanganmu, Elok.” Elok menatap Damar dan pria itu tersenyum miring. Tiga orang itu menyudutkannya. Dia tidak ingin Ibunya dipulangkan dari Malaysia. Walau bagaimanapun, dia ingin Ibunya pulang dari Malaysia dengan sehat dan sadar. “Cukup sampaikan pada tamu undangan kalau kamu mengizinkan saya menikah lagi,” ucap Damar memecah keheningan. Suaranya terdengar tegas dan tidak mau dibantah sama sekali. Kemudian pria itu melanjutkan, “sebab kamu enggak bisa berikan keturunan.” Elok menelan ludah. Ditundukkan kepalanya lalu memejamkan mata. Berusaha keras diatur napasnya agar bisa ikhlas pada Tuhan mengenai hidupnya nanti. “Baiklah,” bisik Elok. Dia menghela napas sekali pelan. “Saya setuju.” “Bagus.” Damar mengangguk lalu dia melangkah melewati Elok. Elok menoleh menatap suaminya yang kini sudah keluar kamar terlebih dahulu lalu disusul kedua mertuanya, tanpa pelukan atau terima kasih. Setelah itu Elok terduduk di lantai. Kedua kakinya tiba-tiba lemas. Dia menunduk. Dadanya sangat sesak sekali hingga dia berusaha memukulnya. Sejurus kemudian, tangisnya pecah. Terdengar ketukan di pintu kemudian disusul suara Susi memanggilnya. “Bu, ditunggu Bapak Damar di bawah.” Elok menyusutkan air matanya lalu menjawab, “ya saya turun.” Elok kemudian meraih tisu lalu menyeka air matanya. Dia tidak peduli lagi dengan riasan wajahnya. “Lagipula mukaku buruk. Enggak guna juga pakai bedak.” Dia berkata dengan suara bergetar. Perlahan Elok berdiri lalu merapikan gaun yang dipakainya. Dia keluar dari kamar itu dengan langkah yang goyang. Dipejamkan matanya berusaha meneguhkan hatinya yang kini porak poranda. “Aku bisa.” Elok menyemangati dirinya. “Semua pasti baik-baik saja.” Kembali dia berkata berusaha meyakinkan diri. Langkah kaki bersepatu hak rendah itu berjalan pelan menuruni anak tangga. Elok merasakan debaran jantungnya yang bertalu di dadanya. Ditariknya napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Ya, Tuhan,” bisiknya. Rasanya dia ingin jatuh seiring langkah kakinya menuruni anak tangga itu. Diembuskannya lagi napas perlahan. Di ujung anak tangga sudah menunggu Rima. Hati Elok mencelos. Dia berharap yang menunggu di ujung anak tangga adalah Damar. Tetapi apa boleh buat, Damar tidak menganggapnya. “Ayo, Elok.” Rima menatap Elok tidak sabar. “Cepat jalanmu!” kembali Rima berdecak. Elok mau tidak mau menuruni anak tangga lebih cepat dari sebelumnya. Dia berusaha meneguhkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja. Dia berharap setelah Damar menikah lagi, pria itu akan berbuat baik padanya. “Cepat!” Rima meraih tangan Elok ketika satu kakinya baru saja menjejakkan kaki di lantai. “Ma, tunggu dulu.” Elok berusaha menolak. Rima menghentikan langkahnya. “Apa lagi?” tanyanya tidak sabar. Elok menatap Rima. Dikepal satu tangannya yang bebas. “Ma,” ucapnya pelan. Digigit bibir bawahnya. “Saya—” “Kamu enggak setuju?” Elok menatap Rima. Mama mertuanya itu seolah tahu yang dipikirkan oleh Elok. “Saya enggak mau dimadu.” Elok menyuarakan isi hatinya. Ternyata berusaha ikhlas itu sangat berat. Butuh perjuangan. Mata Rima melotot. Mendadak Elok tidak mendengar suara riuh yang ada di ruang tamu. Yang ada hanya keheningan tatkala Rima menampar pipinya. Perih sekali. “Siap-siap Ibumu enggak akan saya bantu pengobatannya di Malaysia.”“Rumah bukan soal tempat, Nak, tapi hati yang mau menetap.”Elok teringat ucapan ibunya saat pertama kali datang ke LA. Los Angeles sore itu berwarna keemasan. Elok berdiri di dekat jendela, menatap taman mungil di belakang rumah. Di taman itu, beberapa bunga lavender yang baru ditanam oleh Saraswati mulai tumbuh. Kini dia mengerti. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun hidup dalam luka, hatinya benar-benar ingin menetap.“Masih belum terbiasa sama waktu di sini?” tanya Gilang sambil menaruh dua cangkir teh di meja. Dia mendekat lalu duduk di sebelah Elok.Elok tersenyum kecil. “Jamnya beda, tapi rasanya sama. Aku tetap suka pagi dan senja,” jawabnya pelan. “Bedanya, sekarang aku enggak nunggu siapa pun lagi. Kamu sudah di sini.”Gilang menatapnya lama kemudian mengangkat tangan Elok dan mengecup punggungnya lembut. “Aku janji enggak akan pergi jauh lagi, Elok,” balas Gilang. “Setelah semua yang kita lewati, aku cuma mau kita tenang.”Di luar, Saraswati terlihat di taman bersam
“Hari ini tiba.” Elok bersuara pelan. Menatap diri di cermin.Sebulan berlalu sejak pagi di penginapan Yogyakarta itu. Satu bulan yang penuh kesibukan mengurus surat-surat, jadwal disesuaikan, janji dibuat, dan doa-doa tidak pernah berhenti dipanjatkan.Dan kini, di bawah langit sore Yogyakarta yang berwarna keemasan, semua doa itu terwujud dalam satu kata yaitu pernikahan.Gedung kecil di pinggiran kota tampak sederhana, tapi dipenuhi cahaya hangat dari lampu-lampu gantung berbentuk bintang. Suara gamelan pelan berpadu dengan semilir angin sore, menenangkan hati siapa pun yang datang.Sari membantu merapikan selendang di bahu sambil tersenyum lebar.“Mbak Elok cantik banget. Aku enggak nyangka bisa lihat hari ini datang juga.”Elok mengenakan gaun berwarna gading dengan renda halus di ujung lengan. Hijab lembut yang menjuntai ke punggung. Ada getar lembut di dadanya, antara gugup dan haru yang menumpuk jadi satu.Elok menatap pantulan dirinya dan Sari di cermin. “Aku juga enggak nyan
“Pagi banget, Mbak Elok,” sapa Ayu dari balik pintu. “Udah sarapan?”Matahari Yogyakarta baru saja menembus celah tirai. Udara masih dingin, aroma kopi dari warung depan penginapan menguar pelan. Elok di teras halaman penginapan seraya menatap jalan yang mulai ramai. Beberapa peserta seminar ada juga yang menginap di tempat tersebut sedang berolahraga ringan. Semalam Elok nyaris tidak bisa tidur. Kata-kata Gilang di Malioboro masih berputar di kepalanya. Dia tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, perasaan itu tetap hidup di hati Gilang.Elok tersenyum kecil. “Belum. Kamu bangun cepat juga.”“Gimana, Mbak? Mas Gilang semalam...” Ayu menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Aku lihat dari jauh, kalian kayak di dunia sendiri.”Elok menghela napas pelan. Saat mengingat itu membuat wajahnya memerah. “Dia cuma bicara. Tentang hal-hal yang belum sempat disampaikan.” Hanya itu yang ingin Elok sampaikan. Dia ingin semua menjadi kejutan.Ayu nyengir kemudian duduk di kursi rotan. “Kalau aku s
“Apa kabarmu?” Gilang bertanya lembut pada Elok yang sejak tadi menatapnya.Malam di Malioboro seperti biasa ramai, tapi di antara keramaian itu, Elok merasa seakan dunia berhenti berputar ketika Gilang berdiri di hadapannya.Suara langkah kaki, tawa turis, dan nyanyian pengamen terasa memudar hanya menyisakan suara napas yang berusaha Elok jaga agar tidak bergetar.“Lang…”Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Elok. Lirih tapi cukup untuk membuat Gilang tersenyum.“Kuperhatikan sekarang kamu lebih baik. Lebih santai,” ucap Gilang pelan. Suaranya rendah dan menenangkan. “Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Kupikir akan ketemu di Jakarta.”Elok menunduk sebentar seraya menahan senyum yang ingin muncul. “Aku juga nggak nyangka. Dunia sekecil ini, ya?” balasnya lembut.“Atau memang Tuhan yang ngatur pertemuan kita lagi,” jawab Gilang sambil menatap sekeliling. “Yuk, duduk sebentar?”Mereka memilih bangku kosong di bawah pohon besar, di sisi jalan yang diterangi lampu kuning
“Kereta tujuan Yogyakarta segera berangkat. Para penumpang diharapkan segera naik ke kereta.”Suara dari pengeras stasiun bergema, bercampur dengan hiruk-pikuk langkah dan roda koper. Elok menarik napas dalam menatap kereta di depannya. Jaket kremnya ditiup angin pagi, dan wajahnya terlihat lebih tenang dibanding terakhir kali di Bandung.“Bu Elok!” suara riang memanggil.Elok menoleh. Ayu berlari kecil membawa tas besar di pundak, senyumnya lebar seperti biasa. Ayu memiliki usia jauh lebih muda daripadanya. Mungkin baru lulus sekolah menengah atas. Elok hanya bersyukur bahwa gadis itu tidak sampai bunuh diri dan masih kuat menjalani hidupnya. “Elok mengangkat tangan, “Ayu! Aku kira kamu udah di dalam.”“Nggak ah, aku nungguin kamu, Bu. Katanya barengan,” jawab Ayu sambil tertawa. “Eh, keretanya sebentar lagi jalan. Yuk!”Mereka naik dan duduk berdampingan di kursi dekat jendela. Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun.“Ibu Elok udah sering ke Yogyakarta?” tanya Ayu samb
“Terima kasih, Mbak.” Elok mengucapkan terima kasih saat menerima kopi dalam kemasan gelas plastik. Kereta melaju perlahan meninggalkan Bandung. Elok menatap keluar jendela, melihat kabut tipis menyelimuti gunung di kejauhan. Dia menarik napas panjang, menggenggam gelas plastik berisi kopi hangat. Di pangkuannya, buku catatan tipis masih terbuka di halaman terakhir. [Yang menyembuhkan luka bukan waktu, tapi keberanian untuk berhenti melarikan diri.]Seminar di Bandung yang diikutinya selama dua hari memberi banyak hal yang tidak terduga. Di ruangan berukuran sedang dengan kursi-kursi plastik, dia duduk di antara perempuan-perempuan yang wajahnya menyimpan cerita berbeda. Ada yang bercerai, kehilangan, dikhianati, tapi semuanya datang dengan tujuan yang sama yaitu belajar berdamai dengan diri sendiri.Seorang pembicara yang mereka panggil mentor berkata di sesi terakhir, “memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi berhenti memberi luka itu kuasa untuk menentukan arah hidupmu.”Elok ters







