Home / Rumah Tangga / Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar / Bab 3 - Pestanya Tidak Akan Selesai

Share

Bab 3 - Pestanya Tidak Akan Selesai

Author: Night Shade
last update Last Updated: 2025-04-28 11:19:20

“Jangan, Bu.”

Elok panik. Dia tidak punya uang untuk melanjutkan pengobatan Ibunya. Dia menikah dengan Damar pun tidak memiliki uang sama sekali walau untuk makan serta kebutuhan dirinya telah dicukupi.

“Kalau kamu belum siap dimadu, hanya itu jalan keluarnya.” Rima tersenyum miring.

Dada Elok bergemuruh. Emosinya bercampur menjadi satu. Matanya mulai berkaca-kaca. Namun, dia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Oke,” bisik Elok.

“Apa?” Rima mengangkat alisnya. “Bicara yang jelas.”

“Saya setuju Mas Damar menikah lagi.”

Sakit sekali, dia merasakan tatkala ucapan itu dua kali keluar dari bibirnya. Dia masih belum ikhlas. Walau bagaimanapun, satu tahun bukanlah waktu yang sedikit. Damar telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Walau pria itu selalu bersikap dingin padanya dan selalu marah, dia adalah suaminya. Orang yang harus dihormatinya.

“Bagus.” Rima mengangguk senang. Senyumnya terbit seperti matahari pagi.

Wanita paruh baya itu kembali menarik tangan Elok untuk segera ke ruang tamu tempat para undangan menunggu.

Tiap langkah yang diambil Elok seolah keputusan besar yang mesti dilakukan. Keputusan itu menyangkut masa depan Ibunya. elok menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sore itu dia telah melakukan hal tersebut berulang kali. Entah tidak terhitung jumlahnya.

Panggung mini telah dipasang di sudut ruangan. Sekelompok kecil band dengan penyanyi seorang wanita sedang membawakan lagu bertemakan pernikahan bahagia. Elok merasa sedih sebab tidak sesuai lagu itu dengan yang terjadi pada kehidupannya.

Elok melihat Damar menghampirinya. Pria itu menatapnya.

“Elok!”

Kemudian tarikan tangan berpindah pada Damar.

“Mas, mau ke mana?” tanya Elok saat pria itu membawanya ke sudut ruangan. “Mas?” Elok kembali memanggil suaminya.

“Sini,” ucap Damar lalu menyudutkan Elok.

Pria itu menatapnya tajam walau bibirnya tersungging. Yang elok tahu, Damar sedang ingin mengancamnya walau orang lain melihatnya berbeda.

“Ada apa, Mas?” Elok berbisik. Ditatapnya Damar.

“Saya mau kamu naik panggung itu! Lalu bilang, kalau kamu mau umumkan pernikahan kedua saya. Paham?”

Elok mengangguk. Dia tidak akan lupa pada hal itu. “Iya, Mas. Aku ingat,” balasnya kemudian.

Damar mengangguk. Pria itu tidak tersenyum pada keputusannya. “Bagus,” jawabnya. Kemudian ditariknya tangan Elok kembali. “Sekarang, cepat naik ke panggung itu!"

Elok menurut tatkala Damar membawanya ke panggung. Kemudian penyanyi tadi menghentikan lagunya. Wanita itu tersenyum ketika Damar mendekatinya.

Damar bertanya, “Bisa beritahukan kepada tamu kalau kami mau umumkan sesuatu?”

Penyanyi tersenyum mengangguk lalu berdehem.

"Mohon perhatian sejenak untuk para tamu undangan! Tuan rumah akan mengumumkan sesuatu yang penting. Silakan.”

Microphone berpindah pada Damar. Pria itu tersenyum masih dengan sebelah tangan mencengkeram lengan Elok. Di mata orang lain pastilah mereka berpikir bahwa romantis sekali pria itu menggandeng istrinya.

“Malam ini, ada berita penting yang akan disampaikan oleh istri saya. Kenapa istri saya yang akan menyampaikannya? Karena restu dia sangatlah utama.”

‘Damar pintar sekali pidato,’ pikir Elok.

Kemudian Elok berusaha tersenyum ketika microphone diberikan kepadanya. Matanya menyapu para tamu undangan yang menatapnya penasaran. Elok menghela napas.

Damar masih mencengkeram lengannya agar tidak melarikan diri dari atas panggung.

“Saya berdiri di sini ingin memberitahukan,” ucap Elok.

Dia dapat mendengar suaranya sendiri bergema dari microphone yang dipegangnya.

“Bahwa saya memberikan restu pada suami saya yang bernama Damar Arya Nugraha untuk menikah lagi,” tambahnya kemudian.

Lalu terdengar suara riuh di ruang tamu itu. Elok tidak berani untuk menatap para tamu undangan. Matanya hanya menatap dinding yang berada jauh di hadapannya.

“Sayalah yang meminta Mas Damar untuk menikah lagi. Karena kami tidak kunjung mendapatkan momongan,” ucap Elok lagi.

Dadanya sesak mengatakan hal yang bertentangan dengan kenyataannya.

Kembali suara riuh terdengar. Elok tidak tahu tanggapan apa yang diberikan pada tamu undangan. Perlahan, diturunkan tatapannya dan mengejutkan bahwa sebagian besar tamu undangan menatapnya tidak percaya.

Banyak dari tamu undangan wanita yang menatapnya, entah iba atau kasihan. Elok menelan ludah.

Microphone diberikan pada Damar kembali. Elok merasa pengumuman yang diberikannya sudah cukup.

“Kamu melupakan satu hal.” Damar menerima microphone, lalu mengalihkan pandangannya pada para tamu. “Malam ini akan menjadi malam pertunangan saya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 160 – Rumah di Ujung Langit

    “Rumah bukan soal tempat, Nak, tapi hati yang mau menetap.”Elok teringat ucapan ibunya saat pertama kali datang ke LA. Los Angeles sore itu berwarna keemasan. Elok berdiri di dekat jendela, menatap taman mungil di belakang rumah. Di taman itu, beberapa bunga lavender yang baru ditanam oleh Saraswati mulai tumbuh. Kini dia mengerti. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun hidup dalam luka, hatinya benar-benar ingin menetap.“Masih belum terbiasa sama waktu di sini?” tanya Gilang sambil menaruh dua cangkir teh di meja. Dia mendekat lalu duduk di sebelah Elok.Elok tersenyum kecil. “Jamnya beda, tapi rasanya sama. Aku tetap suka pagi dan senja,” jawabnya pelan. “Bedanya, sekarang aku enggak nunggu siapa pun lagi. Kamu sudah di sini.”Gilang menatapnya lama kemudian mengangkat tangan Elok dan mengecup punggungnya lembut. “Aku janji enggak akan pergi jauh lagi, Elok,” balas Gilang. “Setelah semua yang kita lewati, aku cuma mau kita tenang.”Di luar, Saraswati terlihat di taman bersam

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 159 – Satu Langit, Dua Janji

    “Hari ini tiba.” Elok bersuara pelan. Menatap diri di cermin.Sebulan berlalu sejak pagi di penginapan Yogyakarta itu. Satu bulan yang penuh kesibukan mengurus surat-surat, jadwal disesuaikan, janji dibuat, dan doa-doa tidak pernah berhenti dipanjatkan.Dan kini, di bawah langit sore Yogyakarta yang berwarna keemasan, semua doa itu terwujud dalam satu kata yaitu pernikahan.Gedung kecil di pinggiran kota tampak sederhana, tapi dipenuhi cahaya hangat dari lampu-lampu gantung berbentuk bintang. Suara gamelan pelan berpadu dengan semilir angin sore, menenangkan hati siapa pun yang datang.Sari membantu merapikan selendang di bahu sambil tersenyum lebar.“Mbak Elok cantik banget. Aku enggak nyangka bisa lihat hari ini datang juga.”Elok mengenakan gaun berwarna gading dengan renda halus di ujung lengan. Hijab lembut yang menjuntai ke punggung. Ada getar lembut di dadanya, antara gugup dan haru yang menumpuk jadi satu.Elok menatap pantulan dirinya dan Sari di cermin. “Aku juga enggak nyan

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 158 – Pagi yang Tenang

    “Pagi banget, Mbak Elok,” sapa Ayu dari balik pintu. “Udah sarapan?”Matahari Yogyakarta baru saja menembus celah tirai. Udara masih dingin, aroma kopi dari warung depan penginapan menguar pelan. Elok di teras halaman penginapan seraya menatap jalan yang mulai ramai. Beberapa peserta seminar ada juga yang menginap di tempat tersebut sedang berolahraga ringan. Semalam Elok nyaris tidak bisa tidur. Kata-kata Gilang di Malioboro masih berputar di kepalanya. Dia tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, perasaan itu tetap hidup di hati Gilang.Elok tersenyum kecil. “Belum. Kamu bangun cepat juga.”“Gimana, Mbak? Mas Gilang semalam...” Ayu menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Aku lihat dari jauh, kalian kayak di dunia sendiri.”Elok menghela napas pelan. Saat mengingat itu membuat wajahnya memerah. “Dia cuma bicara. Tentang hal-hal yang belum sempat disampaikan.” Hanya itu yang ingin Elok sampaikan. Dia ingin semua menjadi kejutan.Ayu nyengir kemudian duduk di kursi rotan. “Kalau aku s

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 157 – Di Bawah Lampu Malioboro

    “Apa kabarmu?” Gilang bertanya lembut pada Elok yang sejak tadi menatapnya.Malam di Malioboro seperti biasa ramai, tapi di antara keramaian itu, Elok merasa seakan dunia berhenti berputar ketika Gilang berdiri di hadapannya.Suara langkah kaki, tawa turis, dan nyanyian pengamen terasa memudar hanya menyisakan suara napas yang berusaha Elok jaga agar tidak bergetar.“Lang…”Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Elok. Lirih tapi cukup untuk membuat Gilang tersenyum.“Kuperhatikan sekarang kamu lebih baik. Lebih santai,” ucap Gilang pelan. Suaranya rendah dan menenangkan. “Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Kupikir akan ketemu di Jakarta.”Elok menunduk sebentar seraya menahan senyum yang ingin muncul. “Aku juga nggak nyangka. Dunia sekecil ini, ya?” balasnya lembut.“Atau memang Tuhan yang ngatur pertemuan kita lagi,” jawab Gilang sambil menatap sekeliling. “Yuk, duduk sebentar?”Mereka memilih bangku kosong di bawah pohon besar, di sisi jalan yang diterangi lampu kuning

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 156 – Jejak di Kota Lama

    “Kereta tujuan Yogyakarta segera berangkat. Para penumpang diharapkan segera naik ke kereta.”Suara dari pengeras stasiun bergema, bercampur dengan hiruk-pikuk langkah dan roda koper. Elok menarik napas dalam menatap kereta di depannya. Jaket kremnya ditiup angin pagi, dan wajahnya terlihat lebih tenang dibanding terakhir kali di Bandung.“Bu Elok!” suara riang memanggil.Elok menoleh. Ayu berlari kecil membawa tas besar di pundak, senyumnya lebar seperti biasa. Ayu memiliki usia jauh lebih muda daripadanya. Mungkin baru lulus sekolah menengah atas. Elok hanya bersyukur bahwa gadis itu tidak sampai bunuh diri dan masih kuat menjalani hidupnya. “Elok mengangkat tangan, “Ayu! Aku kira kamu udah di dalam.”“Nggak ah, aku nungguin kamu, Bu. Katanya barengan,” jawab Ayu sambil tertawa. “Eh, keretanya sebentar lagi jalan. Yuk!”Mereka naik dan duduk berdampingan di kursi dekat jendela. Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun.“Ibu Elok udah sering ke Yogyakarta?” tanya Ayu samb

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 155 – Langkah Menuju Pulang

    “Terima kasih, Mbak.” Elok mengucapkan terima kasih saat menerima kopi dalam kemasan gelas plastik. Kereta melaju perlahan meninggalkan Bandung. Elok menatap keluar jendela, melihat kabut tipis menyelimuti gunung di kejauhan. Dia menarik napas panjang, menggenggam gelas plastik berisi kopi hangat. Di pangkuannya, buku catatan tipis masih terbuka di halaman terakhir. [Yang menyembuhkan luka bukan waktu, tapi keberanian untuk berhenti melarikan diri.]Seminar di Bandung yang diikutinya selama dua hari memberi banyak hal yang tidak terduga. Di ruangan berukuran sedang dengan kursi-kursi plastik, dia duduk di antara perempuan-perempuan yang wajahnya menyimpan cerita berbeda. Ada yang bercerai, kehilangan, dikhianati, tapi semuanya datang dengan tujuan yang sama yaitu belajar berdamai dengan diri sendiri.Seorang pembicara yang mereka panggil mentor berkata di sesi terakhir, “memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi berhenti memberi luka itu kuasa untuk menentukan arah hidupmu.”Elok ters

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status