Home / Rumah Tangga / Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar / Bab 6 - Menghilang dan Ditinggalkan

Share

Bab 6 - Menghilang dan Ditinggalkan

Author: Night Shade
last update Last Updated: 2025-04-28 11:21:34

“Ke mana dia, ya?”

Elok menghela napas pelan. Setelah pembicaraan yang canggung dua minggu lalu dengan Gilang, pria itu tiba-tiba berpamitan padanya pagi itu juga. Alasannya karena dia sudah tidak bisa tinggal bersama orangtuanya lagi.

“Aku cuma ambil barangku lalu pergi.” Gilang berkata seperti itu pada Elok yang memilih untuk tidak menanggapi.

Di kaki Gilang terdapat koper berukuran sedang berwarna abu-abu terang. Pria itu pun menoleh pada kopernya saat Elok sedang memerhatikan.

“Cuma beberapa baju dan buku-bukuku.” Gilang berkata lagi lalu tidak lama berdiri dari duduknya. “Sampai jumpa lagi,” tambahnya lalu berjalan melewati Elok yang masih diam.

Elok terkejut melihat Gilang yang baru dilihatnya sebentar malah sudah pergi lagi. Tetapi dia tidak ingin mencegah pria itu pergi. Dia tidak ingin menambah beban Gilang yang pastilah sedang patah hati ditinggal menikah oleh kekasihnya, kemudian terlibat konflik dengan keluarganya sendiri.

Elok menghela napas memikirkan kejadian dua minggu lalu itu. Dan kini dia tidak bertemu Gilang lagi. Dia pun tidak berpikir sama sekali untuk meminta nomor telepon Gilang. Sejurus kemudian dia menghela napas.

“Elok!” Rima memanggilnya dari dapur saat dirinya sedang sibuk mengelap jlemari pajangan yang berada di ruang keluarga. “Elok!” suara panggilan itu menggelegar mengisi rumah.

Elok memperbaiki kerudungnya yang miring lalu segera berlari menuju dapur. Di dapur, Rima sedang berkacak pinggang di depan kulkas yang biasa untuk stok bahan makanan. Wanita itu menoleh tatkala melihat Elok berjalan menghampirinya.

“Lihat,” tunjuknya pada kulkas yang sudah hampir kosong isinya. “Tugas kamu kan stok bahan makanan. Kenapa bisa habis?”

Elok meremas lap yang ada di tangannya. “Maaf, Ma.”

Elok mengakui kesalahannya. Karena terlalu memikirkan suaminya yang menikah lagi, tidak ada semangat dalam hidupnya. Terlebih lagi Damar yang mulai tidak pulang. Dalam dua minggu ini, Damar hanya pulang empat kali. Selebihnya hanya Tuhan yang tahu ke mana pria itu pergi.

“Sana belanja ke supermarket. Ini uangnya.”

Rima mengulurkan uang seratus ribuan sebanyak lima lembar kemudian menyuruhnya pergi dengan mengibaskan satu tangannya pada Elok.

“Di depan kan ada ojek. Kamu naik ojek.” Rima berkata lagi dengan pandangan masih menelisik isi kulkas.

“Ya, Ma.” Elok menjawab. Segera dia pergi dari tempat itu.

Di depan rumah mereka memang ada ojek pangkalan yang mangkal. Pagi itu Ojek pangkalan hanya satu dan segera Elok memberi kode pada pria paruh baya yang sedang duduk untuk mendekat.

“Pak, antar saya belanja ke supermarket ya.” Elok berkata.

Supermarket dengan rumah memakan waktu sekitar 30 menit. Sesampainya di depan supermarket dan membayar ongkos ojek, Elok segera belanja. Dia tidak suka membuang waktu untuk berlama-lama sebab Rima akan mengamuk kalau tahu dirinya malah sibuk melihat-lihat.

“Elok?”

Sapaan itu membuatnya menoleh. Senyumnya mengembang tatkala tahu siapa yang menyapanya. “Eh, Gilang. Belanja?”

Gilang mengangguk. “Kamu juga?”

“Ya. Disuruh Mama belanja.”

Gilang memutar matanya. “Memangnya pembantu ke mana? dipecat Mama?”

“Enggak,” jawab Elok seraya menggeleng. “Biasanya ini memang tugasku. Hitung-hitung refreshing deh aku. Sumpek di rumah terus.” Lalu dia mencoba tertawa.

“Sudah selesai belanjanya?” Gilang bertanya. Matanya menatap troli belanja Elok yang penuh.

Elok mengangguk. “Sudah.”

“Enggak ada yang ketinggalan?” Gilang bertanya. Tangannya meraih satu kantung plastik buah apel. “Pasti ini buat si Damar.” Dia berbicara lebih pada dirinya sendiri.

“Iya itu buat Mas Damar.” Elok tersenyum ketika melihat Gilang meletakkan kembali apel itu di troli. “Ini sudah cukup. Aku sudah hapal tanpa harus dicatat.”

Alis Gilang naik. Sejurus kemudian pria itu mengangguk sembari tersenyum. “Ayo kita ke kasir. Aku yang bayar.”

Elok menghentikan langkahnya. “Kamu bayar?”

“Ya. Sekalian aku mau ajak kamu makan siang. Belum makan kan?”

Elok ragu. Gilang akan membayar belanjaannya lalu mengajaknya makan. Dia takut Rima akan tahu jika uang yang diberikannya tidak dipakai untuk belanja. Akhirnya dia menemukan ide.

“Aku mau makan siang tetapi ini aku yang bayar.” Elok menunjuk troli belanjanya. “Kalau kamu yang bayar, aku enggak mau ikut makan.” Dia berkata lagi ketika Gilang hendak membuka mulutnya.

“Oke.” Akhirnya Gilang setuju.

Mereka beriringan menuju kasir. Gilang hanya memberi beberapa keperluan kamar mandi dan sabun wajah. Setelah membayar belanjaan masing-masing yang untungnya bagi Elok uangnya cukup, Gilang mengajaknya makan di sebuah warung makan tepat di depan supermarket itu.

“Apa kabarmu?” Gilang bertanya saat mereka menunggu pesanan soto ayam untuk makan siang.

“Baik.” Elok menjawab lalu meneguk sedikit es teh manisnya.

Gilang mengangguk. Mereka sama-sama diam.

“Kamu ke mana saja?” akhirnya Elok bertanya pada Gilang yang hanya diam mengamati.

“Aku enggak ke mana-mana.” Gilang mengangkat bahu.

“Maksud aku, kenapa enggak tinggal di rumah Mama saja?”

Gilang menumpukan kedua tangannya di atas meja. Dia menatap Elok lekat.

“Aku mau bilang sesuatu sama kamu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 148 - Satu Hari, Seribu Nafas Baru

    “Gilang…” suara Elok lirih, parau, ketika membuka matanya pagi itu. Dia menoleh ke arah pintu kamar, seolah ingin memastikan bahwa semua ini nyata.Gilang muncul dengan langkah tenang sambil membawa dua cangkir teh. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Iya. Aku di sini. Kamu aman.”Elok menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya di tepi ranjang. “Rasanya… aneh. Bangun tidur tanpa dengar suara Mama Rima yang ngetok pintu, tanpa harus buru-buru ke dapur.”“Kalau gitu, mulai biasakan. Karena mulai hari ini, kamu enggak lagi bangun untuk mereka,” jawab Gilang sambil menyerahkan secangkir teh hangat. “Aku buat teh. Minum dulu.”Elok menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap uapnya yang mengepul. “Terima kasih, Lang. Aku… masih belum percaya semua ini nyata.”“Percaya saja,” Gilang menepuk bahunya lembut. “Karena sekarang kamu bener-bener bebas.”Udara pagi masuk lewat jendela rumah tua itu, membawa aroma kayu lama bercampur embun. Elok duduk di kursi rotan di ruang tamu, sesekali m

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 147 - Gugur Sebuah Nama

    “Dengan ini, majelis hakim memutuskan… perkawinan antara penggugat Elok Puspa Keinan dan tergugat Damar Arya Nugraha dinyatakan putus karena perceraian.”Kalimat itu menggema di ruang sidang yang hening. Elok menunduk, kedua tangannya meremas ujung kerudungnya hingga kusut. Hatinya bergetar hebat. Seolah setiap kata yang keluar dari mulut hakim itu menjadi palu yang menghancurkan dinding terakhir kehidupannya yang lama.Dia tahu, sejak awal tidak ada cinta. Pernikahan itu lahir dari paksaan, luka, dan tekanan. Tapi tetap saja, mendengar kata ‘putus’ begitu resmi dari mulut hakim, seakan-akan sesuatu yang besar dalam hidupnya ikut runtuh.“Sidang selesai. Panitera akan menyerahkan salinan putusan dalam waktu dekat,” ucap hakim menutup persidangan.Elok mengangguk lemah, tidak mampu berkata apa-apa. Saat ia berdiri, langkahnya terasa goyah. Gilang yang sejak tadi menunggu di kursi pengunjung langsung menghampiri.“Elok,” bisiknya lembut sambil menyodorkan sebotol air. “Minum dulu. Kamu

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 146 - Sidang Tanpa Kehadiran

    “El, sudah siap?” suara Gilang terdengar pelan, hati-hati, ketika mobil berhenti di depan gedung pengadilan agama.Elok menarik napas dalam-dalam. Jemarinya dingin, padahal udara Jakarta siang itu panas terik. Dia mengangguk pelan sambil menatap bangunan bercat putih itu—tempat yang akan menentukan nasibnya. “Aku… enggak tahu bisa disebut siap atau enggak. Tapi aku enggak mau mundur lagi.”Gilang tersenyum tipis lalu meraih tangan Elok sebentar. “Enggak ada yang minta kamu sempurna hari ini. Yang penting, kamu berani. Dan itu sudah cukup.”Elok menunduk berusaha menahan gemetar. Sejak semalam dia tidak bisa tidur. Kata ‘cerai’ begitu berat di telinganya, meski hatinya tahu itulah jalan keluar.Ruang sidang tidak terlalu besar. Dindingnya polos dengan lambang negara terpampang jelas di belakang kursi hakim. Elok duduk di sisi penggugat bersama kuasa hukumnya sementara kursi di sisi tergugat kosong.Hakim memasuki ruangan, suara palu diketuk. “Sidang perkara perceraian atas nama Elok P

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 145 - Damar Tidak Siap Kehilangan

    “Mas, apa yang sebenarnya kau lakukan tadi?” suara Anjani menusuk tajam, terdengar dari balik pintu kamar ketika Damar baru saja masuk. Tubuh lelaki itu masih tegang, napasnya memburu, wajahnya merah padam karena emosi.Damar melempar jasnya sembarangan ke kursi. “Jangan tanya macam-macam, Anjani. Aku lagi enggak mau dengar ocehanmu.”Anjani melipat tangannya di dada. “Enggak mau dengar? Kau habis bentak-bentak Gilang sampai suara kalian terdengar ke seluruh rumah. Dan aku yang harus menanggung malu di depan pembantu-pembantu.”Damar menoleh tajam. “Kau pikir aku peduli?” balasnya kesal. “Itu semua salahmu! Kalau saja kau lebih menjaga Elok, dia enggak akan sampai kabur seperti ini!”Mata Anjani melebar, lalu ia tertawa kecil. Tawa dingin dan penuh sindiran. “Jadi sekarang salahku? Kau yang dari dulu enggak pernah bisa mengendalikan hatimu sendiri, Mas. Kau kira aku enggak tahu? Kau mulai goyah, kan? Mulai menyukai Elok yang kau hina-hina dulu.”Damar mendengus kasar mendengar ocehan

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 144 - Surat Gugatan, Surat Keberanian

    “Lang, kamu yakin mau datang sendiri?” suara Elok terdengar cemas dari seberang telepon. Napasnya terdengar tidak tenang.Ini adalah pagi hari berikutnya. Setelah pembicaraan kemarin malam, Elok memutuskan untuk tidur di rumah orang tuanya. Pagi setelah sarapan nasi uduk, Gilang berangkat menuju rumah besar itu. “Enggak usah ikut.”Begitu yang Gilang ucapkan ketika dia hendak bersiap-siap ganti gamis. Gilang menggenggam ponselnya erat. Dia sedang berdiri di trotoar seberang rumah besar itu, menatap bangunan yang dulu juga sempat dia tinggali. “Elok, aku harus. Gugatan ini enggak bisa diwakilkan lewat orang lain. Kalau aku kirim pengacara, mereka bisa pura-pura enggak tahu. Aku mau mereka dengar langsung.”Elok terdiam sesaat. “Aku takut… kamu tahu sendiri, Damar dan Papamu enggak akan tinggal diam.”Gilang menarik napas panjang, lalu menatap ke arah pagar hitam menjulang. “Biar aku yang hadapi. Kamu sudah terlalu lama menanggung semuanya sendirian. Kali ini, biarkan aku berdiri di d

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 143 - Buku Luka

    “Aku masih ingat hari itu,” ucap Elok pelan, suaranya hampir tenggelam. “Hari pernikahan. Semua orang bilang aku beruntung… dapat Mas Damar. Tapi aku tahu, Lang… aku sama sekali enggak pernah setuju. Aku cuma tunduk. Aku pikir kalau aku nolak, Ibu yang sakit makin disakiti. Jadi aku diam.”Elok duduk di lantai ruang tamu, cahaya lampu yang redup memantulkan bayangan di wajahnya. Di tangannya, buku nikah bersampul hijau itu terbuka, memperlihatkan lembaran yang menuliskan nama dirinya dan Damar berdampingan. Suaranya pecah di ujung kalimat. Elok memejamkan mata, dan ingatannya berputar saat dia memakai gaun putih yang dikenakannya kala itu dan wajah Damar yang dingin saat mengucapkan ijab kabul, serta tatapan penuh tekanan dari Arya dan Rima yang duduk di kursi keluarga. Semua serba indah di mata tamu, tapi baginya itu adalah penjara.Tangannya menggenggam buku nikah itu lebih erat. “Sejak hari itu… aku enggak pernah merasa jadi diriku sendiri lagi.”Gilang duduk di sampingnya lalu di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status