Share

Bab 5 - Tamu Lama Di Pesta

Author: Night Shade
last update Last Updated: 2025-04-28 11:20:52

“Kurang ajar!”

Gilang berteriak lalu memukul Damar hingga tersungkur. Anjani memekik melihat Damar sedangkan Elok segera berdiri dari duduknya. Dia gamang ingin menghampiri Damar atau tidak.

“Bisa-bisanya kamu nikah lagi!” Gilang kembali memukul Damar. Keributan itu membuat semua tamu undangan berdatangan.

Gilang yang melihat banyaknya orang tersebut berdiri nyalang. “Bubar! Pestanya sudah selesai!” dia menghardik. “Bubar semuanya!” kembali dia berteriak marah.

Seluruh tamu undangan satu per satu pergi dari tempat itu dengan menyisakan tanda tanya besar mengenai siapa pria yang datang tiba-tiba mengamuk bagai sapi gila.

“Gilang!” suara Arya berteriak nyaring. “Kurang ajar kamu!”

Pria paruh baya itu berjalan cepat. Matanya melotot menatap marah Gilang yang berdiri dengan tangan terkepal. Elok menyaksikan itu dengan gemetar. Sepanjang hidupnya, baru kali ini dia melihat perkelahian.

“Anak kurang ajar!” Arya berteriak pada Gilang. “Pulang juga kamu sekarang!”

“Aku pulang karena tahu Damar mau menikah lagi!” Gilang membalas sengit.

“Elok setuju!” Arya menunjuk Elok yang berdiri terpaku.

Gilang menoleh. Matanya bersitatap dengan Elok.

“Dia setuju, Gilang.” Rima ikut menimpali. “Lagi pula, ke mana saja kamu selama ini?”

Elok dan Gilang masih bersitatap. Elok tahu bahwa Gilang menunggu jawaban darinya. Elok teringat ancaman itu.

“Ya, saya setuju.” Elok mengangguk pelan walau hatinya tersayat-sayat mengatakan hal itu.

Diremas kedua tangannya bersamaan. Pandangan Gilang yang jatuh pada tangan Elok membuat wanita itu menyembunyikannya.

“Saya permisi.” Elok melangkahkan kakinya menjauh dari tempat itu. Dia tidak ingin melihat perkelahain keluarga tersebut.

“Elok,” panggil Gilang.

Elok menoleh lalu mengangguk pelan. “Ma, Pa, Mas Damar, Anjani, dan Mas Gilang. Saya izin masuk. Saya lelah,” ucapnya.

Langkah kakinya berjalan masuk ke rumah utama dengan air mata kembali berderai. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia tumpahkan hari itu.

Lalu dia mendengar suara ribut-ribut di rumah kecil itu. Sebagian besar mertuanya yang memaki Gilang yang dengan tidak sopannya membubarkan begitu saja pesta malam itu.

Di dalam kamar, Elok tidak bisa tidur. Dia hanya berguling-guling saja. Damar tidak ke kamar. Elok sudah tahu Damar ke mana. Pastilah bersama Anjani. Pergi entah ke mana.

“Jam empat pagi.” Elok duduk di tepi tempat tidur. “Aku enggak bisa tidur.”

Elok menurunkan kakinya lalu keluar dari kamar. Dituruninya anak tangga kemudian menuju dapur. Langkah kakinya terhenti ketika melihat Gilang duduk di kursi makan.

Elok ingin kembali ke kamar. Namun, terhenti sebab Gilang sudah melihatnya. Elok mengangguk pelan pada Gilang.

“Sudah bangun?” Gilang menyapa.

Elok berdiri canggung. “Enggak bisa tidur.”

Alis Gilang naik. “Dari semalam?”

Elok hanya mengangguk.

“Aku buat susu. Mau? Belum kuminum.” Gilang mendorong pelan gelas berisi susu coklat di meja.

Elok menggeleng. Dia tidak ingin satu ruangan dengan Gilang. Dia tidak mau Damar murka dengannya. “Terima kasih. Saya ke kamar saja.”

Lalu dia berbalik hendak pergi dari tempat itu.

“Kamu baik-baik saja, kan?”

Pertanyaan itu membuat Elok urung pergi. Pertanyaan itu membuatnya runtuh. Pertanyaan baik-baik saja membuatnya menangis tanpa kendali.

“Maaf kalau buat kamu menangis.” Gilang berkata.

Pria itu sudah berdiri dari duduknya.

Elok menggeleng. Dia tidak berani melihat Gilang. “Saya mau ke kamar dulu.”

“Elok,” panggil Gilang ketika Elok hendak pergi lagi. “Kita bisa mengobrol seperti teman lama.”

Elok terdiam.

“Tinggalkan embel-embel aku ini Kakak Iparmu,” ucap Gilang lagi. “Ingat saja kalau aku ini cuma pembeli di toko yang kamu jaga itu.”

Elok tidak akan lupa dengan yang diucapkan Gilang. Gilang yang sering belanja di tokonya dalam jumlah besar membuat Elok akrab dengan pria itu. Sedekat sahabat bagi Elok. Tetapi setelah dia menikah dengan Damar, Gilang bagaikan hilang ditelan bumi.

“Ke mana saja kamu?” Elok bertanya dengan masih memunggungi Gilang.

“Aku enggak ke mana-mana.” Gilang menjawab pelan.

“Aku butuh teman tapi kamu enggak pernah muncul.” Elok menyusutkan air matanya. Teringat kegamangannya saat peristiwa kebakaran yang melanda toko tempatnya bekerja.

“Aku enggak ke mana-mana.” Gilang kembali berkata. Suaranya kini lebih dekat.

“Enggak ke mana-mana tapi kamu hilang begitu saja.” Elok berkata.

“Maaf,” balas Gilang.

Elok perlahan berbalik. Dia memberanikan diri menatap Gilang. Sahabatnya yang selalu didoakannya setiap saat agar baik-baik saja.

“Kamu ke mana saja?” Elok bertanya.

“Aku jawab jujur.” Gilang membalas. “Tetapi kita mesti duduk dulu.”

Elok menurut. Dia duduk di kursi bersebelahan dengan Gilang. Kemudian pria itu menyodorkan segelas susu coklat pada Elok.

“Aku kabur dari rumah karena mau dijodohkan.”

Alis Elok terangkat. “Kamu mau dijodohkan?”

Gilang mengangguk. “Aku enggak mau. Karena aku menyukai seseorang.”

Senyum Elok mengembang. Dia senang mengetahui Gilang memiliki tambatan hati.

“Tetapi ternyata orang yang aku sukai itu menikah dengan pria lain dan itu buat aku hampir gila.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 160 – Rumah di Ujung Langit

    “Rumah bukan soal tempat, Nak, tapi hati yang mau menetap.”Elok teringat ucapan ibunya saat pertama kali datang ke LA. Los Angeles sore itu berwarna keemasan. Elok berdiri di dekat jendela, menatap taman mungil di belakang rumah. Di taman itu, beberapa bunga lavender yang baru ditanam oleh Saraswati mulai tumbuh. Kini dia mengerti. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun hidup dalam luka, hatinya benar-benar ingin menetap.“Masih belum terbiasa sama waktu di sini?” tanya Gilang sambil menaruh dua cangkir teh di meja. Dia mendekat lalu duduk di sebelah Elok.Elok tersenyum kecil. “Jamnya beda, tapi rasanya sama. Aku tetap suka pagi dan senja,” jawabnya pelan. “Bedanya, sekarang aku enggak nunggu siapa pun lagi. Kamu sudah di sini.”Gilang menatapnya lama kemudian mengangkat tangan Elok dan mengecup punggungnya lembut. “Aku janji enggak akan pergi jauh lagi, Elok,” balas Gilang. “Setelah semua yang kita lewati, aku cuma mau kita tenang.”Di luar, Saraswati terlihat di taman bersam

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 159 – Satu Langit, Dua Janji

    “Hari ini tiba.” Elok bersuara pelan. Menatap diri di cermin.Sebulan berlalu sejak pagi di penginapan Yogyakarta itu. Satu bulan yang penuh kesibukan mengurus surat-surat, jadwal disesuaikan, janji dibuat, dan doa-doa tidak pernah berhenti dipanjatkan.Dan kini, di bawah langit sore Yogyakarta yang berwarna keemasan, semua doa itu terwujud dalam satu kata yaitu pernikahan.Gedung kecil di pinggiran kota tampak sederhana, tapi dipenuhi cahaya hangat dari lampu-lampu gantung berbentuk bintang. Suara gamelan pelan berpadu dengan semilir angin sore, menenangkan hati siapa pun yang datang.Sari membantu merapikan selendang di bahu sambil tersenyum lebar.“Mbak Elok cantik banget. Aku enggak nyangka bisa lihat hari ini datang juga.”Elok mengenakan gaun berwarna gading dengan renda halus di ujung lengan. Hijab lembut yang menjuntai ke punggung. Ada getar lembut di dadanya, antara gugup dan haru yang menumpuk jadi satu.Elok menatap pantulan dirinya dan Sari di cermin. “Aku juga enggak nyan

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 158 – Pagi yang Tenang

    “Pagi banget, Mbak Elok,” sapa Ayu dari balik pintu. “Udah sarapan?”Matahari Yogyakarta baru saja menembus celah tirai. Udara masih dingin, aroma kopi dari warung depan penginapan menguar pelan. Elok di teras halaman penginapan seraya menatap jalan yang mulai ramai. Beberapa peserta seminar ada juga yang menginap di tempat tersebut sedang berolahraga ringan. Semalam Elok nyaris tidak bisa tidur. Kata-kata Gilang di Malioboro masih berputar di kepalanya. Dia tidak menyangka, setelah semua yang terjadi, perasaan itu tetap hidup di hati Gilang.Elok tersenyum kecil. “Belum. Kamu bangun cepat juga.”“Gimana, Mbak? Mas Gilang semalam...” Ayu menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Aku lihat dari jauh, kalian kayak di dunia sendiri.”Elok menghela napas pelan. Saat mengingat itu membuat wajahnya memerah. “Dia cuma bicara. Tentang hal-hal yang belum sempat disampaikan.” Hanya itu yang ingin Elok sampaikan. Dia ingin semua menjadi kejutan.Ayu nyengir kemudian duduk di kursi rotan. “Kalau aku s

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 157 – Di Bawah Lampu Malioboro

    “Apa kabarmu?” Gilang bertanya lembut pada Elok yang sejak tadi menatapnya.Malam di Malioboro seperti biasa ramai, tapi di antara keramaian itu, Elok merasa seakan dunia berhenti berputar ketika Gilang berdiri di hadapannya.Suara langkah kaki, tawa turis, dan nyanyian pengamen terasa memudar hanya menyisakan suara napas yang berusaha Elok jaga agar tidak bergetar.“Lang…”Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Elok. Lirih tapi cukup untuk membuat Gilang tersenyum.“Kuperhatikan sekarang kamu lebih baik. Lebih santai,” ucap Gilang pelan. Suaranya rendah dan menenangkan. “Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Kupikir akan ketemu di Jakarta.”Elok menunduk sebentar seraya menahan senyum yang ingin muncul. “Aku juga nggak nyangka. Dunia sekecil ini, ya?” balasnya lembut.“Atau memang Tuhan yang ngatur pertemuan kita lagi,” jawab Gilang sambil menatap sekeliling. “Yuk, duduk sebentar?”Mereka memilih bangku kosong di bawah pohon besar, di sisi jalan yang diterangi lampu kuning

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 156 – Jejak di Kota Lama

    “Kereta tujuan Yogyakarta segera berangkat. Para penumpang diharapkan segera naik ke kereta.”Suara dari pengeras stasiun bergema, bercampur dengan hiruk-pikuk langkah dan roda koper. Elok menarik napas dalam menatap kereta di depannya. Jaket kremnya ditiup angin pagi, dan wajahnya terlihat lebih tenang dibanding terakhir kali di Bandung.“Bu Elok!” suara riang memanggil.Elok menoleh. Ayu berlari kecil membawa tas besar di pundak, senyumnya lebar seperti biasa. Ayu memiliki usia jauh lebih muda daripadanya. Mungkin baru lulus sekolah menengah atas. Elok hanya bersyukur bahwa gadis itu tidak sampai bunuh diri dan masih kuat menjalani hidupnya. “Elok mengangkat tangan, “Ayu! Aku kira kamu udah di dalam.”“Nggak ah, aku nungguin kamu, Bu. Katanya barengan,” jawab Ayu sambil tertawa. “Eh, keretanya sebentar lagi jalan. Yuk!”Mereka naik dan duduk berdampingan di kursi dekat jendela. Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun.“Ibu Elok udah sering ke Yogyakarta?” tanya Ayu samb

  • Dimadu Suami Dinikahi Kakak Ipar   Bab 155 – Langkah Menuju Pulang

    “Terima kasih, Mbak.” Elok mengucapkan terima kasih saat menerima kopi dalam kemasan gelas plastik. Kereta melaju perlahan meninggalkan Bandung. Elok menatap keluar jendela, melihat kabut tipis menyelimuti gunung di kejauhan. Dia menarik napas panjang, menggenggam gelas plastik berisi kopi hangat. Di pangkuannya, buku catatan tipis masih terbuka di halaman terakhir. [Yang menyembuhkan luka bukan waktu, tapi keberanian untuk berhenti melarikan diri.]Seminar di Bandung yang diikutinya selama dua hari memberi banyak hal yang tidak terduga. Di ruangan berukuran sedang dengan kursi-kursi plastik, dia duduk di antara perempuan-perempuan yang wajahnya menyimpan cerita berbeda. Ada yang bercerai, kehilangan, dikhianati, tapi semuanya datang dengan tujuan yang sama yaitu belajar berdamai dengan diri sendiri.Seorang pembicara yang mereka panggil mentor berkata di sesi terakhir, “memaafkan bukan berarti melupakan. Tapi berhenti memberi luka itu kuasa untuk menentukan arah hidupmu.”Elok ters

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status