Khailas duduk tegak di kursi kerjanya, tatapannya tenang namun penuh arti saat menatap layar laptop di depannya. Berita tentang skandal Jelita dan Danu telah memenuhi setiap sudut dunia maya dan stasiun televisi nasional. Judul-judulnya sensasional, foto-foto hasil tangkapan layar video tersebar tanpa ampun. Di sudut layar, grafik saham Pradipta Group menukik tajam, anjlok dalam semalam, membuat nilai pasarnya tergerus habis. Tidak ada penyelamatan kali ini.Ia tahu, bagi keluarga Pradipta dan Kuncoro, ini bukan sekadar pukulan telak, ini kehancuran total. Dalam satu malam, reputasi, bisnis, dan harga diri mereka runtuh. Bagi Khailas, semua ini adalah bentuk balasan yang proporsional. Ia tidak pernah benar-benar menyentuh mereka dengan kekerasan fisik, tapi sentilan kecil yang ia lakukan jauh lebih mematikan daripada itu.Dengan gerakan tenang, ia menggeser kursor, menutup semua tab berita. Lalu, satu klik terakhir menutup laptop sepenuhnya. Ruangan kembali hening, hanya terdengar det
Lura menatap lekat wajah suaminya, seolah mencari celah untuk membujuk. Tatapan itu penuh kerinduan bercampur keinginan keras yang sulit ia sembunyikan. “Tapi… aku ingin menunggu Irene sampai sadar,” ucapnya lirih namun mantap. Ada nada memohon di suaranya, meski ia tahu lawan bicaranya bukan tipe yang mudah digoyahkan.Khailas yang berdiri tegak di sisinya, sama sekali tak bergeming. Sorot matanya dingin dan kata-katanya jatuh seperti batu, tegas tanpa ruang untuk penolakan. “Tidak aku izinkan. Kau bisa kembali besok. Lebih dari siapapun, kau butuh istirahat, Allura.”Nada mutlak itu menghentikan Lura untuk berkata lebih jauh. Ia hanya bisa menghela napas panjang, pasrah pada keputusan yang sudah jelas tak akan berubah. Khailas bukan pria yang mudah mengubah pendirian, apalagi jika menyangkut orang-orang yang pernah mengecewakannya atau lingkar peristiwa yang mengusik martabatnya.Mereka melangkah keluar dari ruang perawatan, Lura sedikit tertunduk, mencoba mengendalikan emosinya. Sa
Lorong menuju ruang operasi super VVIP itu sunyi, hanya terdengar langkah sepatu dan dengungan rendah mesin pendingin ruangan. Aroma antiseptik begitu kental, menusuk hidung setiap orang yang melewatinya. Di depan pintu besar berlapis kaca buram, dua petugas keamanan DGroup berdiri tegak, wajah tanpa ekspresi, seakan memberi peringatan tak tertulis bahwa tak semua orang boleh lewat.Begitu Khailas dan Lura tiba, pintu otomatis terbuka, mengungkap ruang tunggu eksklusif dengan interior modern dan pencahayaan hangat. Tidak ada kursi plastik biasa di sini, semuanya sofa kulit mewah dengan meja kopi marmer dan dispenser minuman yang berdiri senyap di sudut ruangan.Di sisi kiri, layar kaca raksasa menampilkan siaran langsung dari ruang operasi. Gambar bersih, jernih, tanpa suara. Irene terbaring di meja operasi, tubuhnya tertutup kain steril, hanya bagian dada ke atas yang terlihat. Beberapa dokter dengan seragam hijau bergerak cepat, tangan mereka cekatan namun penuh kehati-hatian. Angka
Lura dapat membaca jelas dari sorot mata dan nada suara Jelita perempuan itu sudah kehilangan seluruh kendali atas dirinya. Tatapannya liar, nafasnya pendek-pendek, dan setiap kata yang keluar seperti ledakan yang tak lagi disaring oleh logika. Dengan insting yang dudah terlatih menghadapi situasi tak menentu, Lura menggeser langkahnya ke belakang, memberi jarak aman di antara mereka. Lorong sepi itu menjadi arena tegang, hanya diisi gema langkah Lura yang pelan dan terukur.Dengan suara yang datar namun mengandung ketegasan, ia berkata,“Kau tidak bisa menyalahkanku atas kehidupan yang kita jalani, Jelita. Aku tidak pernah meminta terlahir di keluarga yang kau idamkan itu. Aku tidak pernah memohon untuk mendapatkan semua yang kau pikir aku miliki.”Lura menahan napas sejenak, matanya tak bergeming dari wajah adik tirinya itu. “Dan asal kau tahu,” lanjutnya dengan nada lebih berat, “hidupku juga tidak sebahagia yang kau pikirkan. Aku punya luka yang tak seorangpun tahu, luka yang kut
Khailas menatap Danu tanpa berkedip. Tatapan itu dingin, begitu dingin hingga menusuk sampai ke tulang. Bukan tatapan sekadar marah atau jijik, ini adalah tatapan yang seolah mengupas habis harga diri seseorang, meninggalkannya telanjang tanpa sisa. Dan Danu tahu, sepanjang hidupnya, ia belum pernah mendapatkan tatapan seperti ini. Tatapan yang mengandung hinaan begitu pekat, tak mampu ia deskripsikan dengan kata-kata… dan terlebih lagi, itu datang dari seorang Khailas Danadyaksa, pria yang berdiri di puncak kekuasaan, yang tidak perlu berteriak untuk membuat lawannya runtuh.Khailas mengangkat gelas anggurnya setinggi dada, memutarnya perlahan, seolah memberi waktu pada Danu untuk menelan rasa malu itu. Lalu suaranya terdengar, rendah, namun memotong udara seperti bilah pisau.“Untuk istriku… jangan waktu, nyawa pun akan kuberikan. Waktuku miliknya. Siapapun yang membuatnya tersinggung…” ia menatap tepat ke mata Danu, “akan menemui kehancuran.”Kata-kata itu tidak disertai ancaman fi
Irene kembali duduk di kursinya, posturnya tetap tegak, menjaga wibawa di tengah gemuruh emosi yang berkecamuk di dalam. Tangannya menggenggam halus taplak meja, matanya mengikuti langkah Khailas dan Lura yang perlahan menjauh, dikelilingi oleh lingkaran kekaguman yang seolah tidak terputus. Tak satupun tamu di ruangan itu bisa mengalihkan pandangan dari mereka. Dan Irene pun, meski menyadari kenyataan yang telah berlangsung, tidak bisa memaksa dirinya untuk tidak menatap punggung pria yang ia perjuangkan dalam diam.Sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan tenang. Kakak laki-lakinya, pria dengan wajah tegas dan mata yang penuh pengertian, mencondongkan tubuh sedikit, memberi isyarat bahwa ia ada di sana, selalu ada, bahkan ketika Irene tidak meminta.Irene menoleh, lalu tersenyum kecil. Senyum itu bukan senyum kemenangan, bukan pula senyum penuh luka. Hanya semacam tanda bahwa ia masih bisa bernafas, masih bisa berdiri, meski dalam hati ada bagian yang runtuh perlahan. Ia mengangguk