Belum hilang rasa penasaran Lura soal “pertunjukan” yang dimaksud Khailas, suara langkah terburu-buru dan keributan dari koridor mulai terdengar. Lura menegang. Teriakan dan caci maki yang saling bersahutan semakin nyaring dan mendekat. Tangannya spontan meraih dada, menenangkan degup jantungnya yang mendadak melonjak, seolah tubuhnya bereaksi lebih dulu dari pikirannya.Ia memejamkan mata sebentar, mencoba menepis kecemasan. “Selama bukan aku yang dirugikan, aku tidak berhak panik,” bisiknya pada diri sendiri. Ia menarik napas panjang, membenahi riasannya, memastikan penampilannya tetap prima. Bibir diberi sedikit pulasan ulang, gaun diluruskan, rambut disisir dengan jari agar tetap rapi. Setelah merasa cukup siap, ia melangkah keluar dari toilet dengan kepala tegak.Namun pemandangan di luar membuat langkahnya melambat.Tepat di sebelah kanan koridor, kerumunan tamu menyingkir, memberi ruang pada dua wanita yang tengah berseteru. Salah satu dari mereka menampar keras wajah lawannya,
Tubuh Lura menegang. Seperti disambar kilat, ia segera menoleh ke arah suara yang menyapanya—datar, tenang, dan cukup familiar untuk membuat kulitnya meremang.Danu.Pria itu sudah berdiri di dekat mejanya, mengenakan setelan mahal dengan potongan sempurna. Tanpa meminta izin, ia menarik kursi dan duduk, tubuhnya sedikit condong ke depan. Tatapannya menelusuri wajah Lura, seperti hendak menemukan sisa-sisa perempuan yang dulu ia kenal, atau mungkin yang pernah ia kuasai. Namun kali ini, ia tidak menemukannya.Dengan suara rendah yang terasa seperti angin malam beracun, Danu berkata pelan, "Kau sangat berubah." Pujian itu meluncur terlalu mudah dari bibirnya, tapi tak ada yang ringan di balik kalimat itu."Semakin cantik... semakin percaya diri," lanjutnya, menatap Lura seakan sedang menuduh. "Dan aku marah… karena perubahan itu bukan karena aku."Lura diam. Ia mengambil gelas di hadapannya, meneguk sedikit air mineral yang terasa hambar di lidah, mencoba menenangkan perutnya yang men
Kilat blitz menyambut laksana badai saat pintu limousin klasik berlapis krom terbuka. Dari dalam, langkah pertama yang muncul adalah sepatu kulit hitam mengkilap, dibuat khusus oleh tangan artisan ternama dari Prancis. Begitu tubuh itu keluar sepenuhnya, riuh rendah dunia seolah berhenti sejenak—Khailas Danadyaksa berdiri di bawah cahaya kota, memecah malam dengan keangkuhan yang elegan.Sorotan kamera meletup, menyambar siluet tubuhnya dalam tempo cepat—tak satu detik pun tanpa sorot lensa. Blitz berkedip seperti bintang jatuh yang berebut mencapai langit, mencoba menangkap aura lelaki yang lebih pantas disebut raja bayangan itu.Khailas berjalan perlahan. Setiap langkahnya seolah diukur, tak lebih tak kurang, menjaga ritme yang membuat tubuh tinggi tegapnya semakin memikat. Jas hitam pekat dengan potongan simetris membingkai bahu dan pinggangnya nyaris sempurna. Dasi satin gelap dan pin logam kecil berbentuk huruf D di dadanya menjadi satu-satunya simbol yang menyiratkan identitasny
Khailas masih berdiri di hadapan Lura, menatapnya dengan sabar seolah menunggu kelanjutan kalimat yang sempat tertahan. Ia tidak terburu-buru, tidak memaksa, tapi juga tidak beranjak. Tatapan mata pria itu membuat Lura gugup, seperti tak bisa berpaling.Lura mengalihkan pandangan, menatap salah satu pot bunga lavender yang berjajar rapi di sepanjang pinggiran rumah kaca. Bibirnya sempat terbuka, tapi ia urungkan. Ini bukan waktu yang tepat, pikirnya.Tapi karena Khailas tidak beranjak dan tetap menunggu, akhirnya Lura menarik napas pelan lalu berkata, “Aku sebenarnya ingin bertanya… minggu ini, kau sibuk?”Khailas menaikkan sebelah alisnya, ekspresinya tetap tenang.“Kalau tidak sibuk,” lanjut Lura hati-hati, “aku ingin mengajakmu ke Pulau Cermai. Di sana akan ada festival bunga dan buah, hanya seminggu, dan aku sudah lama ingin melihatnya. Tapi kalau kau sibuk, tidak usah. Tidak perlu dipaksakan…”Nada suara Lura melemah di akhir kalimat. Ia tidak ingin terdengar memohon, tapi sorot
Rumah kaca itu, yang sebelumnya hangat dan bersahabat, perlahan berubah menjadi ruang yang dipenuhi suhu baru—panas, lembap, dan menggema dengan napas dua tubuh yang menyatu. Aroma tanah basah dari pot-pot porselen dan harum bunga yang merekah malam itu seolah berubah menjadi saksi bisu dari sebuah momen pelepasan yang mendalam.Lura bersandar di dada Khailash, tubuhnya masih bergetar dalam pelukan yang tidak memberi ruang bagi jarak. Ia tidak lagi berpikir. Tidak lagi mencoba melawan apa pun. Hanya merasakan. Membiarkan dirinya hanyut oleh ritme yang tercipta dari gerakan mereka berdua.Khailash menggenggam pinggul Lura erat, mengangkat sedikit tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai kaca dingin yang berkilau. Ia memberinya bukan sekadar tubuh, tapi ledakan rasa yang menahun. Setiap desah Lura membuat napas Khailash semakin berat, tapi ia tetap menjaga kendali. Membiarkan istrinya tiba di puncak rasa yang hanya bisa dicapai dengan kepercayaan sepenuh jiwa.Lura menjerit tertahan, kepala
Pipi Lura merona. Ia tahu dirinya tampak terpesona, dan yang lebih membuatnya malu, Khailash sadar betul akan itu. Tatapan pria itu menusuk masuk ke dalam dirinya, seolah membaca tiap helai ketertarikan yang belum sempat disembunyikan. Senyum canggung Lura muncul tanpa bisa ia tahan, membuat Khailash tersenyum kecil… bukan mengejek, tapi seperti seorang raja yang tahu ia telah menaklukkan wilayah baru tanpa perlu berperang.Tanpa berkata apa-apa, Khailash mengangkat tangannya, lalu dengan dua jari, menjepit dagu Lura secara lembut namun tak terbantah. Ia mengangkat dagu itu sedikit, membuat wajah mereka saling berhadapan. Lura menahan napasnya.Dan ciuman itu terjadi.Tak bisa dihindari. Tak bisa ditolak. Bibir Khailash menempel di bibir Lura, pelan namun penuh penguasaan. Awalnya seperti sentuhan ringan yang meminta izin, lalu berubah menjadi dalam, dalam sekali. Intensitasnya mengalir cepat—seperti arus deras yang tak bisa dihentikan. Lura mengangkat tangannya, meremas dada Khailash