Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.
Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.
Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.
Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.
“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.
Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.
Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.
Langkah Lura terasa berat, bukan hanya karena tubuhnya yang masih sakit, tetapi juga karena hatinya yang masih kacau.
Pelayan itu membawanya melewati lorong panjang dengan dekorasi klasik yang elegan. Lampu kristal menggantung di langit-langit, serta hiasan klasik lainnya.
Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar.
“Silakan masuk, Nona. Tuan sudah menunggu Anda.”
Pelayan itu membuka pintu, menyingkap ruang kerja yang luas dengan dinding penuh rak buku dan jendela besar yang membiarkan cahaya matahari masuk.
Dan disanalah pria itu berada.
Berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Punggungnya tegap, tubuhnya memancarkan aura dominasi yang begitu kuat.
Perlahan, pria itu berbalik.
Dan detik itu juga, Lura nyaris kehilangan keseimbangan.
Wajah pria itu terlalu tampan, terlalu sempurna, seolah bukan manusia biasa.
Sorot matanya tajam, penuh perhitungan, tetapi ada sedikit ketertarikan samar saat menatap Lura.
Pria itu melangkah mendekat, auranya yang dominan semakin terasa saat ia berdiri tepat di hadapan Lura. Matanya menelisik wajah Lura, merekam setiap luka yang tertinggal di sana. Pipi yang merah dan bengkak, birat samar yang mengintip dari kerah kemeja yang dikenakannya—semua itu cukup untuk memberitahunya apa yang telah terjadi tanpa perlu bertanya.
Tangannya terangkat, menyentuh dagu Lura dengan lembut, membuat wanita itu mendongak menatapnya.
“Dengan datang ke sini, berarti kau setuju dengan kesepakatan kita.” Suaranya rendah, dalam, tetapi penuh kepastian.
Lura hanya bisa diam. Matanya berkabut, hatinya bergetar.
Pria itu melanjutkan, mengulang isi kesepakatan yang pernah ia tawarkan sebelumnya.
“Menikah denganku, maka semua masalahmu akan selesai.” Tatapannya tajam, penuh keyakinan. “Aku akan menjadi gardamu, pelindungmu. Aku akan memberimu kehidupan baru yang mungkin tak pernah kau bayangkan sebelumnya.”
Lura membuka mulutnya, ingin bertanya sesuatu sebelum setuju.
“Kenapa aku?” suaranya lirih, hampir berbisik.
Pria itu tidak menunjukkan keterkejutan atas pertanyaan itu. Dengan ketenangan yang begitu mengintimidasi, ia menjawab, “Karena kau baru pertama kali melakukannya… dan bisa saja kau hamil anakku.”
Jantung Lura berdentam, nafasnya tercekat.
“Selain itu,” pria itu melanjutkan santai, “aku butuh seorang istri.”
Lura mengerjap, mencoba memahami situasi gila ini.
Pria itu menunduk sedikit, menatap matanya lebih dalam. “Aku memastikan kau tidak akan rugi apa pun.”
Lura menatapnya tanpa berkedip. Di matanya, ia bisa melihat janji ketulusan yang tak terduga.
Tangannya yang gemetar mengepal di sisi tubuhnya sebelum akhirnya, dengan hati yang masih ragu tapi juga pasrah, ia mengangguk. Setuju.
Tanpa sepatah kata pun, pria itu menarik tangannya dan menuntunnya ke sofa yang berada di dalam ruangan.
Ia lalu menghubungi seseorang, berbicara dengan nada tegas dan lugas. Tak lama, dua orang masuk ke ruangan dengan membawa dokumen-dokumen di tangan mereka.
Lura menoleh ke arah mereka, terpaku saat mereka memperkenalkan diri sebagai pegawai catatan sipil.
Matanya membelalak. Prosesnya begitu cepat.
Pria ini sudah menyiapkan semuanya.
Tanpa ragu, pria yang akhirnya Lura ketahui bernama Khailash, mengambil dokumen dan membubuhkan tanda tangannya dengan santai, seolah ini hanya urusan bisnis biasa.
Setelahnya, ia menyodorkan dokumen itu kepada Lura.
Jari-jarinya gemetar saat meraih pena, matanya menatap namanya yang tertera di atas kertas resmi itu. Ini bukan mimpi. Ini nyata.
Dengan nafas berat dan hati yang masih berdebar kencang, Lura menuliskan tanda tangannya.
Detik berikutnya, pegawai itu mengumumkan bahwa mereka telah resmi menjadi suami istri.
Lura hanya bisa menatap kosong. Baru beberapa jam yang lalu ia masih menjadi calon istri Danu. Sekarang, ia adalah istri pria asing yang bahkan namanya baru ia ketahui hari ini.
Setelah pegawai catatan sipil pergi, ruangan itu menjadi sunyi.
Khailash tidak berkata apa-apa, hanya duduk di samping Lura. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pipi Lura, menyeka air matanya yang masih jatuh perlahan.
“Mulai sekarang, kau tidak akan mengalami kesulitan lagi.” Bisikannya begitu lembut, tapi penuh kepastian.
Kemudian, tanpa aba-aba, ia mencium Lura.
Dalam. Intens. Menguasai.
Lura terkejut, tubuhnya menegang sesaat, tetapi ia tidak menolak. Bibirnya dipenuhi oleh ciuman yang tidak hanya menuntut, tetapi juga menegaskan bahwa hidupnya tidak akan sama lagi.
Matanya perlahan terpejam, air mata kembali jatuh, bukan hanya karena sedih, tetapi juga karena kelelahan yang luar biasa.
Sampai akhirnya, di dalam pelukan suaminya yang baru, Lura jatuh pingsan.
**
“Siapa pria yang bersamanya?”
Jelita memicingkan mata, berusaha memastikan siapa pria yang sedang bersama kakaknya. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah kaca mobil, tetapi jarak dan posisi tidak memberinya pandangan yang jelas.
Dari balik kaca gelap, ia hanya bisa melihat siluet seorang pria tinggi dengan postur tegap, berdiri sangat dekat dengan Lura. Bahkan sekarang menggendongnya.
Sayangnya, wajah pria itu tidak terlihat jelas. Namun satu hal yang pasti, Lura tidak sendirian.
Dan bagi Jelita, itu sudah lebih dari cukup.
Senyum tipis, senyum iblis, perlahan muncul di sudut bibirnya.
Kakaknya—si anak kesayangan keluarga—sedang bersama pria asing.
Kalau berita ini sampai ke telinga ayah, atau bahkan ke Danu, akan terjadi kekacauan besar.
Dan untuk pertama kalinya, Jelita merasa begitu puas.
Dunia akhirnya berpihak padanya.
Ia menyandarkan punggung ke jok mobil, matanya masih mengawasi dari kejauhan, menyimpan pemandangan itu dalam ingatannya.
Ini akan menjadi kartu as yang sangat berharga.
Jelita tidak repot-repot mencari tahu lebih jauh. Baginya, apa yang ia lihat sudah cukup.
Dengan cepat, ia meninggalkan tempat itu.
Tidak sabar.
Dalam pikirannya, ia sudah membayangkan betapa murkanya ayah ketika mendengar kabar bahwa Lura terlihat bersama pria asing, tepat setelah membatalkan pernikahan besar yang mempermalukan nama keluarga.
Dan Danu…
Danu akan lebih dari sekadar marah.
Ia tahu betul, harga diri Danu terluka dalam. Fakta bahwa Lura mungkin berpaling ke pria lain akan menjadi tamparan yang sempurna untuk menumbangkan sisa-sisa martabat kakaknya.
Senyum licik muncul di wajah Jelita. Ia hampir tidak bisa menahan kegembiraannya.
“Lihat saja,” pikirnya penuh kepuasan. “Apa yang akan Lura dapatkan setelah ini.”
’Kakakku tersayang, Kau, game over’
Danu membenamkan tubuhnya ke tubuh Jelita dengan ritme yang kasar, bukan karena gairah… tapi karena amarah.Dan saat bibirnya menggeram pelan di dekat telinga Jelita, satu nama keluar berulang-ulang—bukan namanya. Tapi: Lura.“Hampir saja aku menemukannya,” gumam Danu, suaranya rendah dan dingin, tercampur rintih, amarah, dan obsesi.“Sangat dekat… aku bisa mencium keberadaannya. Hanya terhalang pintu kalau saja orang itu tidak membawanya pergi!”Jelita menggigit bibirnya keras—antara menahan sensasi dan perasaan yang lebih menyakitkan daripada hujaman Danu sendiri: cemburu yang meremukkan.Tubuhnya memanas oleh desakan, tapi hatinya membeku oleh nama kakaknya yang terus disebut di saat-saat paling intim.Ia ingin memekik, ingin mencakar wajah Danu, ingin menghentikan semuanya…Tapi tubuhnya menolak.Karena pria ini adalah poros dunianya.Danu menggenggam pinggulnya kuat, membalik tubuh Jelita tanpa melepas penyatuan mereka.Tubuhnya ditarik hingga menungging, dan dari belakang, Danu
Begitu pintu geser kayu itu dibuka perlahan, asisten Khailash membungkuk sedikit lalu mempersilahkan Lura masuk.“Silahkan, Nyonya.”Lura mengangguk singkat, berusaha tetap tenang meski dadanya berdebar tak karuan.Langkahnya masuk perlahan ke dalam ruangan yang sunyi, hangat, dan dipenuhi aroma teh hijau yang menenangkan.Di sana, Khailash duduk bersila diatas tikar jerami halus, menghadap taman bambu hijau yang tertata rapi.Wajahnya teduh, satu tangan memegang cangkir keramik kecil, yang lain bersandar di lutut.Ia tampak seperti pria yang tidak pernah terusik oleh dunia luar—kecuali ketika ia memilih untuk terusik.Saat mendengar langkah Lura, Khailash mengangkat pandangan.Tatapan mereka bertemu.“Duduklah di sampingku,” ucapnya tenang, tapi mengandung kekuatan yang membuat Lura otomatis menurut.Ia melangkah perlahan, duduk di samping Khailash.Tapi rahangnya menegang, bahunya tak bisa berbohong—masih menyimpan ketakutan.Dan Khailash, tentu saja, melihat itu.“Yang hampir kau t
Dan di sinilah Lura berada.Duduk tegak dengan tangan bertaut rapi di pangkuannya, di hadapan empat orang yang tampak seperti pintu masuk menuju dunia baru—empat pewawancara yang akan menentukan apakah dirinya layak atau tidak.Dua pria dan satu wanita di sisi kanan, satu pria lagi duduk sedikit memimpin di tengah. Semuanya berpenampilan rapi dan netral, tanpa senyum basa-basi.Wajah mereka serius, penuh penilaian, dan sangat terlatih untuk tidak menunjukkan kesan apapun.Di hadapan mereka terbuka map dokumen Lura—berisi prestasi, sertifikat, dan pengalaman kerja yang disusun secara strategis dan sangat profesional.Beberapa dari mereka membuka lembar demi lembar, membaca dalam diam, sesekali saling menatap singkat, saling berbicara hanya dengan ekspresi mata.Lura duduk tenang, meski di balik blazer navy-nya, punggungnya terasa sedikit tegang.Ia bisa mendengar detak jam di dinding, terasa lebih keras dari biasanya.Akhirnya, suara terdengar.Wanita di sisi kanan, berambut pendek dan
Matahri belum tinggi saat aroma roti panggang dan kopi memenuhi ruang makan utama kediaman Khailash. Di meja panjang bernuansa hangat itu, Khailash duduk dengan tenang, mengenakan kemeja linen abu lembut, terlihat santai namun tetap memancarkan aura kepemimpinan yang tak bisa disembunyikan.“Hari ini kau akan ke kantor pusat,” ucapnya sambil memotong roti dengan tenang.“Asistenku sudah menyiapkan semua berkas yang kau butuhkan sebagai syarat pelamar.”Lura nyaris tersedak.Sendoknya berhenti di tengah jalan, dan ia menatap pria di hadapannya dengan ekspresi antara panik dan bingung.“Apa…?” gumamnya lirih, “Sekarang?”Khailash tidak tampak terganggu. Ia melanjutkan sarapannya dengan anggun, menyesap kopi seolah yang ia katakan bukan keputusan besar, melainkan rutinitas biasa.Lura menelan ludah, mencoba memproses ucapan itu.Selama ini ia pikir, tawaran menjadi manajer lini perhiasan hanya janji di malam penuh emosi—angin lalu yang manis namun tidak nyata.Terlebih sejak malam itu ta
Di kamar utama kediaman Khailash, malam menyelimuti segalanya dengan tenang, tapi di dalam ruangan itu—ada dua jiwa yang membakar waktu dengan keintiman yang hanya mereka pahami.Desahan bukan lagi sekadar luapan hasrat, tapi suara dari kedalaman rasa yang tak lagi bisa dipendam.Lura mencengkeram seprei, bukan karena rasa sakit, tapi karena getar yang membuncah—getar penyerahan, kepercayaan, dan kasih.Cahaya temaram menyapu lekuk tubuh mereka yang bersatu—bukan hanya raga, tapi juga luka, cerita, dan keberanian untuk melepas masa lalu.Khailash bergerak dengan kekuatan, namun dalam setiap gerakannya, ada kelembutan yang tak diucap.Karena ia tahu: wanita dalam pelukannya ini pernah hancur… dan sekarang tengah dibentuk ulang, oleh cinta yang tidak terburu-buru.Lura tidak lagi menutupi ekspresi wajahnya.Tidak lagi menyembunyikan suara yang lolos dari tenggorokannya.Ia tahu—itulah yang Khailash inginkan: kejujuran tanpa kata, keindahan tanpa ragu.Dan ketika tubuhnya mengejang, sepe
“Nama saya, Lura.”Sang kakek mengangguk pelan, tatapannya tajam namun tidak lagi sekeras sebelumnya.“Lura?” Ia mengulang pelan, seolah mengecap rasa dari nama itu di lidahnya.“Nama yang indah.”Ia terdiam sejenak, alisnya bertaut ringan, tanda tengah berpikir.Lalu perlahan ia melanjutkan,“Kupikir… ada makna yang bagus dalam namamu. Lembut, tapi menyimpan kekuatan.”“Nanti akan kucari tahu.”Seketika ia mengangkat tatapan, menelisik wajah Lura.“Atau… kau sudah tahu?”Sebelum Lura sempat menjawab, Khailash menyela dengan nada datar, penuh penekanan halus:“Sekarang waktunya makan, bukan memaknai nama.”Ia menatap kakeknya dengan pandangan khas cucu keras kepala yang tak bisa diatur.“Kurangi membaca buku. Sudah cukup banyak ilmu di kepalamu.”Ucapan itu meluncur ringan, namun sarat keakraban dan hubungan yang sudah dibangun oleh waktu dan benturan.Dan dalam hati, Lura tersenyum.Ia bisa merasakan…Meski keduanya selalu tampak saling membantah, beradu sikap dan kalimat, tapi di an
Dan di sinilah Lura sekarang—berdiri tepat di depan sebuah rumah megah yang seluruhnya terbuat dari kayu tua berkelas, bangunannya menjulang dengan ukiran klasik dan warna cokelat tua yang membawa kesan kokoh sekaligus sakral. Dari detail struktur hingga taman kecil yang dirawat dengan presisi, semuanya menandakan rumah ini telah berdiri ratusan tahun dan membawa sejarah panjang dalam diamnya.Namun sebanyak apapun keindahan dan kemegahan yang bisa ia kagumi, yang Lura rasakan saat ini adalah detak jantung yang tak kunjung tenang.Khailash berdiri di sisinya. Ia mengenakan setelan formal berpotongan tegas, aura kepemimpinan yang biasa ia pancarkan kini terasa lebih tenang tapi tetap mengintimidasi. Tanpa banyak kata, Khailash menyodorkan lengannya.“Selipkan tanganmu di sini,” ucapnya lembut namun pasti, menunjuk lipatan sikunya.Lura menurut, menyelipkan tangan dengan gemetar halus.“Kakek sudah menunggu,” lanjut Khailash, menatap ke arah pintu depan rumah.“Kita harus masuk.”Lura m
Khailash melangkah masuk, tegap, mengenakan setelan santai berwarna gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Cahaya matahari sore menyorot sebagian wajahnya, membuat sorot matanya yang tajam tampak semakin dalam.Madam Agatha langsung berdiri. Dengan gerakan penuh hormat dan tanpa ragu, ia membungkuk sopan.“Selamat sore, Tuan,” ucapnya penuh takzim.Khailash hanya mengangguk tipis sebagai balasan, namun tatapannya tidak terarah pada Madam. Ia langsung menatap lurus ke arah Lura.Wanita itu duduk anggun di tempatnya, dengan postur sempurna dan mata yang sempat membesar karena kedatangan suaminya secara tiba-tiba. Tapi ia cepat mengatur kembali ekspresinya—senyum lembut terukir, dagu sedikit terangkat, menunjukkan bahwa pelatihan selama ini telah tertanam.Madam Agatha mempersilakan,“Silakan duduk, Tuan.”Khailash duduk perlahan di kursi di seberang Lura, gerakannya tenang namun penuh wibawa. Tatapannya tak bergeming dari wajah istrinya, penuh pengamatan. Tidak mengintimidasi,
Hari demi hari berlalu, dan kondisi Lura perlahan membaik—bukan hanya tubuhnya, tapi juga cara ia menatap dunia. Luka di punggungnya memudar, namun luka di hatinya mulai sembuh lebih cepat, berkat perhatian yang terus mengalir tanpa henti dari pria yang kini menjadi pelindung hidupnya.Pelajaran etika bersama Madam Agatha berjalan dengan konsisten. Lura mulai menguasai gestur formal, nada bicara yang tepat, hingga bagaimana menunduk dan tersenyum pada saat yang pantas. Ia bukan lagi gadis yang tersesat dalam luka, melainkan calon nyonya muda yang tengah ditempa untuk berdiri di panggung tertingginya.Dan hari ini, ada perubahan yang lebih terlihat dari luar—Lura memutuskan untuk membiarkan penata rambut dan stylist pribadi mengubah penampilannya.Ia dengan tenang duduk di kursi salon pribadi yang dibangun dalam area kediaman itu—bangunan elegan di sisi timur rumah yang dilengkapi semua fasilitas perawatan tubuh kelas atas.“Kita akan mempertahankan panjang rambutnya, tapi kita bentuk