Share

Ia Mencium Lura

Author: AD07
last update Last Updated: 2025-04-11 09:31:41

Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.

Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.

Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.

Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.

“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.

Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.

Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.

Langkah Lura terasa berat, bukan hanya karena tubuhnya yang masih sakit, tetapi juga karena hatinya yang masih kacau.

Pelayan itu membawanya melewati lorong panjang dengan dekorasi klasik yang elegan. Lampu kristal menggantung di langit-langit, serta hiasan klasik lainnya.

Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah pintu besar.

“Silakan masuk, Nona. Tuan sudah menunggu Anda.”

Pelayan itu membuka pintu, menyingkap ruang kerja yang luas dengan dinding penuh rak buku dan jendela besar yang membiarkan cahaya matahari masuk.

Dan disanalah pria itu berada.

Berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Punggungnya tegap, tubuhnya memancarkan aura dominasi yang begitu kuat.

Perlahan, pria itu berbalik.

Dan detik itu juga, Lura nyaris kehilangan keseimbangan.

Wajah pria itu terlalu tampan, terlalu sempurna, seolah bukan manusia biasa.

Sorot matanya tajam, penuh perhitungan, tetapi ada sedikit ketertarikan samar saat menatap Lura.

Pria itu melangkah mendekat, auranya yang dominan semakin terasa saat ia berdiri tepat di hadapan Lura. Matanya menelisik wajah Lura, merekam setiap luka yang tertinggal di sana. Pipi yang merah dan bengkak, birat samar yang mengintip dari kerah kemeja yang dikenakannya—semua itu cukup untuk memberitahunya apa yang telah terjadi tanpa perlu bertanya.

Tangannya terangkat, menyentuh dagu Lura dengan lembut, membuat wanita itu mendongak menatapnya.

“Dengan datang ke sini, berarti kau setuju dengan kesepakatan kita.” Suaranya rendah, dalam, tetapi penuh kepastian.

Lura hanya bisa diam. Matanya berkabut, hatinya bergetar.

Pria itu melanjutkan, mengulang isi kesepakatan yang pernah ia tawarkan sebelumnya.

“Menikah denganku, maka semua masalahmu akan selesai.” Tatapannya tajam, penuh keyakinan. “Aku akan menjadi gardamu, pelindungmu. Aku akan memberimu kehidupan baru yang mungkin tak pernah kau bayangkan sebelumnya.”

Lura membuka mulutnya, ingin bertanya sesuatu sebelum setuju.

“Kenapa aku?” suaranya lirih, hampir berbisik.

Pria itu tidak menunjukkan keterkejutan atas pertanyaan itu. Dengan ketenangan yang begitu mengintimidasi, ia menjawab, “Karena kau baru pertama kali melakukannya… dan bisa saja kau hamil anakku.”

Jantung Lura berdentam, nafasnya tercekat.

“Selain itu,” pria itu melanjutkan santai, “aku butuh seorang istri.”

Lura mengerjap, mencoba memahami situasi gila ini.

Pria itu menunduk sedikit, menatap matanya lebih dalam. “Aku memastikan kau tidak akan rugi apa pun.”

Lura menatapnya tanpa berkedip. Di matanya, ia bisa melihat janji ketulusan yang tak terduga.

Tangannya yang gemetar mengepal di sisi tubuhnya sebelum akhirnya, dengan hati yang masih ragu tapi juga pasrah, ia mengangguk. Setuju.

Tanpa sepatah kata pun, pria itu menarik tangannya dan menuntunnya ke sofa yang berada di dalam ruangan.

Ia lalu menghubungi seseorang, berbicara dengan nada tegas dan lugas. Tak lama, dua orang masuk ke ruangan dengan membawa dokumen-dokumen di tangan mereka.

Lura menoleh ke arah mereka, terpaku saat mereka memperkenalkan diri sebagai pegawai catatan sipil.

Matanya membelalak. Prosesnya begitu cepat.

Pria ini sudah menyiapkan semuanya.

Tanpa ragu, pria yang akhirnya Lura ketahui bernama Khailash, mengambil dokumen dan membubuhkan tanda tangannya dengan santai, seolah ini hanya urusan bisnis biasa.

Setelahnya, ia menyodorkan dokumen itu kepada Lura.

Jari-jarinya gemetar saat meraih pena, matanya menatap namanya yang tertera di atas kertas resmi itu. Ini bukan mimpi. Ini nyata.

Dengan nafas berat dan hati yang masih berdebar kencang, Lura menuliskan tanda tangannya.

Detik berikutnya, pegawai itu mengumumkan bahwa mereka telah resmi menjadi suami istri.

Lura hanya bisa menatap kosong. Baru beberapa jam yang lalu ia masih menjadi calon istri Danu. Sekarang, ia adalah istri pria asing yang bahkan namanya baru ia ketahui hari ini.

Setelah pegawai catatan sipil pergi, ruangan itu menjadi sunyi.

Khailash tidak berkata apa-apa, hanya duduk di samping Lura. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh pipi Lura, menyeka air matanya yang masih jatuh perlahan.

“Mulai sekarang, kau tidak akan mengalami kesulitan lagi.” Bisikannya begitu lembut, tapi penuh kepastian.

Kemudian, tanpa aba-aba, ia mencium Lura.

Dalam. Intens. Menguasai.

Lura terkejut, tubuhnya menegang sesaat, tetapi ia tidak menolak. Bibirnya dipenuhi oleh ciuman yang tidak hanya menuntut, tetapi juga menegaskan bahwa hidupnya tidak akan sama lagi.

Matanya perlahan terpejam, air mata kembali jatuh, bukan hanya karena sedih, tetapi juga karena kelelahan yang luar biasa.

Sampai akhirnya, di dalam pelukan suaminya yang baru, Lura jatuh pingsan.

**

“Siapa pria yang bersamanya?”

Jelita memicingkan mata, berusaha memastikan siapa pria yang sedang bersama kakaknya. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah kaca mobil, tetapi jarak dan posisi tidak memberinya pandangan yang jelas.

Dari balik kaca gelap, ia hanya bisa melihat siluet seorang pria tinggi dengan postur tegap, berdiri sangat dekat dengan Lura. Bahkan sekarang menggendongnya.

Sayangnya, wajah pria itu tidak terlihat jelas. Namun satu hal yang pasti, Lura tidak sendirian.

Dan bagi Jelita, itu sudah lebih dari cukup.

Senyum tipis, senyum iblis, perlahan muncul di sudut bibirnya.

Kakaknya—si anak kesayangan keluarga—sedang bersama pria asing.

Kalau berita ini sampai ke telinga ayah, atau bahkan ke Danu, akan terjadi kekacauan besar.

Dan untuk pertama kalinya, Jelita merasa begitu puas.

Dunia akhirnya berpihak padanya.

Ia menyandarkan punggung ke jok mobil, matanya masih mengawasi dari kejauhan, menyimpan pemandangan itu dalam ingatannya.

Ini akan menjadi kartu as yang sangat berharga.

Jelita tidak repot-repot mencari tahu lebih jauh. Baginya, apa yang ia lihat sudah cukup.

Dengan cepat, ia meninggalkan tempat itu. 

Tidak sabar.

Dalam pikirannya, ia sudah membayangkan betapa murkanya ayah ketika mendengar kabar bahwa Lura terlihat bersama pria asing, tepat setelah membatalkan pernikahan besar yang mempermalukan nama keluarga.

Dan Danu…

Danu akan lebih dari sekadar marah.

Ia tahu betul, harga diri Danu terluka dalam. Fakta bahwa Lura mungkin berpaling ke pria lain akan menjadi tamparan yang sempurna untuk menumbangkan sisa-sisa martabat kakaknya.

Senyum licik muncul di wajah Jelita. Ia hampir tidak bisa menahan kegembiraannya.

“Lihat saja,” pikirnya penuh kepuasan. “Apa yang akan Lura dapatkan setelah ini.”

’Kakakku tersayang, Kau, game over’

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ucis Boo
Adik kandung tak tau diri... ... Jahat bgt tuh si Jelita
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dimanja Suami Kontrak   Dari Mulutmu… Aku Percaya

    Tubuh Lura terasa hangat, terkulai dalam pelukan Khailas setelah puncak keintiman mereka yang panjang dan memukau. Nafasnya masih tersengal, matanya menatap langit luas, dimana aurora menari anggun, seakan ikut menjadi saksi cinta mereka malam itu.Dengan suara lembut, ia bertanya, “Apa nama aurora itu, Amor? Dan… maukah kau menjelaskan bagaimana proses terjadinya aurora? Menurutmu, aurora yang paling indah dan langka itu seperti apa? Aku ingin tahu isi kepalamu, bukan hanya soal pekerjaan… atau aku.”Khailas mengeratkan pelukannya, pipinya menyentuh pucuk kepala Lura. Ia menghela nafas panjang, kemudian menjawab dengan nada tenang namun ringan, seolah sedang bercerita. “Aurora yang kau lihat sekarang disebut Aurora Borealis, cahaya utara. Jika ini terjadi di belahan selatan, namanya Aurora Australis. Prosesnya terjadi ketika partikel matahari, yang disebut angin surya, menabrak atmosfer bumi. Ketika bertemu dengan medan magnet di kutub, partikel itu menghasilkan cahaya. Warna hijau

  • Dimanja Suami Kontrak   Manis Sekali

    Suasana dalam tenda kaca itu seperti terhenti, hanya ada mereka berdua dengan kehangatan yang melingkupi. Kata-kata Khailas tadi masih berputar di telinga Lura, membuat tubuhnya gemetar karena bahagia. Ia memeluk suaminya erat, menempelkan wajah di dada bidang itu.“Pengakuanmu,” bisik Lura dengan suara bergetar, “adalah kalimat paling indah yang pernah aku dengar seumur hidupku. Aku janji, Amor… aku akan menjadi yang terbaik untukmu. Setiap hari, aku akan belajar. Belajar menjadi istri yang pantas, pendamping yang layak, teman yang tidak pernah meninggalkanmu, apapun yang terjadi.”Tangannya mencengkeram erat mantel hangat Khailas, seolah takut jika perasaan ini hanya mimpi yang bisa hilang sewaktu-waktu.Khailas menunduk, mengecup pucuk kepalanya, lalu mengusap punggungnya dengan lembut. Gerakannya mantap, tapi penuh kasih, berbeda dari wibawa keras yang biasa ditunjukkannya pada dunia luar. “Tanpa belajar pun,” katanya tenang, “kau sudah melakukannya.”Lura mengangkat wajahnya, men

  • Dimanja Suami Kontrak   Membalas Perasaanku

    Mobil hitam yang mereka tumpangi terus melaju di jalanan Islandia yang sepi, membelah hamparan salju putih yang tak berujung. Lura menempelkan wajah ke jendela, pandangannya tak pernah lepas dari pemandangan luar. Air terjun raksasa yang jatuh bebas, lapisan lava hitam yang kontras dengan putihnya salju, hingga kawah vulkanik yang mengepulkan uap hangat, semua itu membuatnya terpukau. Bagaimana bisa dunia memiliki tempat seindah ini? batinnya tak henti bertanya.Setelah perjalanan lebih dari satu jam, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kayu bergaya Skandinavia modern. Dari luar, penginapan itu tampak sederhana, tapi aura kehangatan memancar dari jendela-jendela besar yang menyala terang. Atapnya tertutup salju, dan asap tipis mengepul dari cerobong, menandakan kehangatan api unggun di dalam.Lura menoleh cepat ke arah Khailas, matanya berbinar. “Tempat ini…” ia berbisik kagum, “seperti rumah dalam dongeng.”Khailas hanya menatap sekilas, lalu turun lebih dulu. Ia membuka

  • Dimanja Suami Kontrak   Kita Menginap Dimana?

    Suara mesin jet pribadi bergemuruh lembut, stabil menembus langit malam. Lura duduk di kursi kulit yang empuk, tubuhnya masih sedikit tegang, jantungnya berdetak tidak karuan. Baru saja beberapa jam lalu Khailas mengajaknya pergi, dan tanpa banyak penjelasan, ia kini berada di pesawat pribadi milik suaminya.Di sampingnya, Khailas tampak santai, menatap layar kecil di hadapannya yang menampilkan rute perjalanan. Ia lalu menoleh pada istrinya, seolah membaca kekagetan yang masih jelas terpancar di wajah Lura. Dengan nada datar tapi penuh karisma, ia berkata, “Kita menuju Islandia.”Lura berkedip cepat, seperti memastikan ia tidak salah dengar. “Islandia?” suaranya lirih, penuh tanda tanya.Khailas mengangguk, lalu melanjutkan, “Ada sesuatu yang istimewa dari sana, sesuatu yang tidak akan kau temukan di negara lain. Islandia adalah negeri es dan api, tempat di mana langit bisa menari. Aurora borealis, fenomena alam yang membuat dunia seolah berhenti bernafas.”Mata Lura membesar, rasa t

  • Dimanja Suami Kontrak   Hanya ada Kita Berdua

    Suara langkah Lura bergema pelan di lorong dingin penjara. Udara pengap bercampur bau besi karatan seakan menegaskan tempat yang suram ini. Lura berdiri di depan sel, menatap lurus pada sosok di dalam. Jelita, dengan wajah kusut, rambut berantakan, dan mata penuh bara, duduk di kursi logam. Tatapan nyalangnya menusuk, dipenuhi dendam kesumat yang seakan tak ada habisnya.Namun Lura tetap berdiri dengan tenang. Penampilannya rapi, anggun, dengan kesombongan tenang yang bukan dibuat-buat, auranya menunjukkan kelas yang tak mungkin dijangkau oleh adik tirinya itu. Justru itulah yang membuat Jelita semakin terbakar, semakin ingin menghabisinya di tempat itu juga.“Ku pikir,” Lura membuka suara, datar namun tajam, “dengan ibumu dinikahi ayahku, hidupmu akan membaik. Tapi nyatanya tidak. Kau tetap liar. Bahkan di balik punggung orang yang memberimu makan, kau menikamnya berulang kali. Kau lakukan banyak kejahatan. Kau jatuhkan harga dirimu sendiri sampai ke dasar. Padahal aku masih berharap

  • Dimanja Suami Kontrak   Yang Bisa Kuucapkan Padamu

    Ruang sidang siang itu penuh sesak. Kursi pengunjung terisi hampir seluruhnya, sebagian besar dari kalangan media dan masyarakat yang penasaran dengan kasus besar ini. Blitz kamera berkilat-kilat sejak awal sidang dibuka, menyorot pada sosok yang kini duduk di kursi pesakitan. Jelita.Wanita yang dulu dikenal dengan citra mewah dan berkelas, kini benar-benar berbeda. Rambutnya yang acak-acakan, riasan wajah yang berantakan, serta tatapan mata yang kosong namun penuh amarah membuatnya hampir tidak dikenali. Bahkan Lura yang menyaksikan dari deretan kursi pengunjung merasa seolah melihat orang asing. Apakah ini adik tiriku? pikirnya. Sosok yang dulu selalu menuntut perhatian dan kemewahan kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri.Jaksa penuntut umum berdiri, membuka berkas perkara, dan mulai membacakan tuntutan panjang, pasal demi pasal yang menjerat Jelita. Tuduhan percobaan pembunuhan. Suaranya bergema memenuhi ruang sidang, tapi Lura tidak bergeming. Tidak ada rasa iba, tidak a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status