Share

Murka Keluarga

Author: AD07
last update Last Updated: 2025-04-11 09:30:32

Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.

“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”

Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.

Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.

Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

Wanita ini berani-beraninya mempermalukannya di altar, membiarkannya berdiri sendirian di depan pendeta dengan semua mata tertuju padanya. Media mengabadikan setiap detik kehinaannya, dan kini seluruh negeri menertawakannya. Bukan hanya dirinya yang menanggung malu, tetapi juga keluarganya.

Dan sekarang, Lura harus membayar harga dari perbuatannya.

Lura tersengal, lututnya melemas. Ia ingin lari, tetapi tubuhnya seakan tak bisa digerakkan. Ia tahu betul bahwa tak ada gunanya melawan. Tak ada seorang pun di ruangan ini yang akan membelanya, tak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya.

Ketakutan membanjiri setiap sel dalam tubuhnya. Tangisnya pecah lebih keras. Namun, ayahnya tetap tidak peduli.

Ayahnya menatap Lura yang masih bersimpuh di lantai, nafasnya kasar menahan amarah yang belum juga reda. Dengan suara dingin yang menggetarkan ruangan, ia bertanya sekali lagi, “Bicara atau dicambuk?”

Lura tetap bungkam. Tidak ada jawaban, tidak ada penjelasan. Hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.

Tanpa menunggu lebih lama, ayahnya mengayunkan cambuknya.

Pecutan pertama mendarat di punggungnya. Lura tersentak, tubuhnya melengkung menahan rasa sakit yang luar biasa. Nafasnya tercekat, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

Pecutan kedua menyusul, disusul dengan pecutan ketiga, keempat—tanpa ampun, tanpa henti.

Hanya suara cambuk yang menghantam kulitnya dan rintihan tertahan yang menggema di ruangan itu.

Hingga akhirnya, suara seorang wanita memecah kebisuan. “Cukup.”

Semua mata menoleh ke sumber suara. Ibu Danu.

Dengan ekspresi arogan, wanita itu menatap ke arah ayah Lura yang masih menahan cambuk di tangannya. Ia menghela nafas, seakan muak dengan pemandangan di depannya.

“Keberadaan saya di sini bukan untuk melihat hal semacam ini,” katanya dengan nada tinggi, penuh keangkuhan.

Tatapan bengisnya beralih ke arah Lura yang kini tergeletak di lantai, tubuhnya lemah dengan luka yang terasa perih. Namun, tidak ada sedikitpun rasa iba dalam sorot matanya.

“Pernikahan ini dibatalkan.” Kalimat itu meluncur tajam

Lalu, hinaan berikutnya menghancurkan harga dirinya sepenuhnya.

“Aku tidak bisa menerima wanita yang berada di luar rumah semalaman. Siapa yang bisa menjamin kalau dia masih perawan?”

Ruangan mendadak sunyi.

Ucapan itu menggetarkan semua orang yang ada di sana.

Ayah Lura mengatupkan rahangnya, matanya berkilat marah. Keluarga mereka menjunjung tinggi norma dan kehormatan. Tapi melawan ucapan keluarga Danu sama saja dengan mencari mati.

Tidak ada yang berani membantah.

Tanpa berpamitan, ibu Danu berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah tegap. Suaminya dan keluarga lainnya mengikuti di belakangnya, seakan Lura tidak lebih dari debu yang tidak perlu diperhatikan.

Danu masih berdiri di tempatnya, mengamati kejadian itu dengan wajah tanpa ekspresi.

Namun sebelum ikut pergi, ia menoleh pada ayah Lura dan berkata dengan nada yang terdengar begitu agung, begitu mulia, seolah-olah ia pria sejati yang berhati besar.

“Saya akan bicara dengan ibu nanti.”

Lalu, ia menatap Lura sekilas. Tatapan yang kosong. Tidak ada kemarahan, tidak ada rasa kasihan, tidak ada apa-apa. 

Lura menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca, tapi dalam hatinya, ia tertawa miris.

Danu ingin berpura-pura seperti pria baik yang bertanggung jawab, tapi di balik topengnya, ia justru yang paling menikmati kehancurannya.

Ayahnya menatapnya dengan penuh kemarahan, suaranya rendah tapi menusuk tajam.

“Lihat apa yang telah kau lakukan, anak tidak berguna!”

Dan di saat itu, Lura benar-benar merasa mati.

“Sebelum Danu memberi kabar, aku tidak sudi melihatmu!” 

Lura dibiarkan tergeletak, dia menatap satu persatu keluarganya yang meninggalkannya dengan tatapan benci. Termasuk Jelita yang menatapnya penuh kepuasan.

Lura melangkah meninggalkan rumah keluarganya dengan langkah terseok, tubuhnya terasa berat, perih akibat bekas cambukan yang masih menyengat di kulitnya. Nafasnya pendek-pendek, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk terus berjalan.

Di sepanjang lorong rumah, beberapa pelayan menatapnya dengan ekspresi iba, tetapi tidak satupun dari mereka berani mendekat, apalagi menawarkan bantuan. Mereka hanya bisa menunduk, menahan simpati mereka dalam kebisuan.

Tuan besar tidak akan membiarkan siapa pun menolongnya.

Lura memahami keterbatasan mereka. Tidak ada yang bisa ia harapkan dari siapapun di rumah ini.

Sebelum melangkah lebih jauh, ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang, menatap rumah besar tempatnya tumbuh sejak kecil.

Dulu, rumah ini adalah tempat berlindung. Tempat di mana ia merasa aman.

Ternyata, rumah ini adalah neraka yang paling mengerikan.

Air matanya jatuh satu per satu, tetapi dengan cepat ia menyekanya. Tidak ada gunanya menangis.

Tanpa berpikir lebih lama, ia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Di tangannya hanya ada sebuah koper kecil berisi barang seadanya—satu-satunya hal yang ia bawa pergi dari tempat ini.

Tidak jauh dari rumah, ia berdiri di tepi jalan, mengangkat tangan, memanggil taksi pertama yang melintas.

Mobil itu berhenti di depannya, dan dengan susah payah, ia masuk ke dalam.

Sopir menoleh, menatapnya melalui kaca spion. “Ke mana, Nona?”

Lura terdiam.

Matanya menatap kosong ke depan. Ke mana ia harus pergi?

Ia tidak punya teman, tidak ada tempat berlindung, tidak ada siapa pun yang bisa ia datangi.

Ia menggigit bibirnya, otaknya berputar, mencoba mencari jawaban.

Kemudian, samar-samar, ia mengingat sesuatu.

Pria itu.

Pria yang semalam menawarkan sebuah kesepakatan gila.

Sebuah tawaran yang semula ia anggap tidak masuk akal, tetapi sekarang, mungkin itu satu-satunya jalan yang tersisa untuknya.

Tangannya meraba-raba isi tasnya, mencari sesuatu. Jemarinya akhirnya menemukan sebuah kartu nama, benda kecil yang diberikan pria itu semalam sebelum ia meninggalkan penthouse.

Lura menatapnya sejenak, lalu menyebutkan alamat yang tertera di sana kepada sopir.

Setelah itu, ia menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya menatap jalanan yang cukup lengang hari ini. Ia Tidak tahu kemana takdir akan membawanya.

**

Taksi yang Lura tumpangi, berhenti di depan sebuah rumah besar di pinggiran kota. Bangunan itu megah, berdiri kokoh dengan desain klasik yang elegan. Sekilas, tampak seperti rumah milik seorang pria berkelas dengan selera tinggi.

Lura tidak terlalu memperhatikan detailnya. Yang ada di pikirannya hanya satu: dia butuh tempat berlindung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ucis Boo
Apa itu rumah Khailash?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dimanja Suami Kontrak   Ia Mencium Lura

    Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.Langkah Lura te

    Last Updated : 2025-04-11
  • Dimanja Suami Kontrak   Itu Sumpahku

    Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.“Panggilkan dokter Willi. Segera.”Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.Asisten itu segera mengangguk

    Last Updated : 2025-05-01
  • Dimanja Suami Kontrak   Masihkah Kau Menganggapnya Ayah?

    Lura perlahan membuka mata saat bertemu tatap dengan Khailash, napasnya masih lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur sesaat, tapi sosok tegap di hadapannya tak mungkin ia salah kenali.Khailash baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit rapi di pinggangnya. Tetes air masih mengalir di kulitnya, membentuk jejak di otot-otot dadanya yang bidang dan perut berotot sempurna.Lura menatapnya lirih, matanya berkedip pelan, nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.Khailash berjalan mendekat dengan langkah tenang dan percaya diri. Ia menyadari bahwa Lura sudah terjaga. Dengan ekspresi tenang namun penuh penegasan, ia berkata, “Kita suami istri. Mulai sekarang, kau harus terbiasa dengan apa pun yang akan kau lihat dariku.”Kata-katanya tidak bernada keras, namun jelas. Bukan sekadar peringatan, tapi pernyataan akan kedekatan yang tidak bisa dihindari—karena ikatan mereka kini sah.Khailash lalu menunduk sedik

    Last Updated : 2025-05-02
  • Dimanja Suami Kontrak   Kasih Sayang Khailash

    Mungkin di antara semua pagi yang pernah Lura lewati dalam hidupnya—pagi-pagi penuh perintah, amarah, atau diam dingin yang mencekam di rumah keluarganya—pagi ini adalah yang paling berbeda, paling tenang, dan mungkin… paling indah.Untuk pertama kalinya, ia terbangun bukan karena teriakan, bukan karena paksaan, dan bukan karena ketakutan yang menggumpal di dada. Melainkan karena sinari matahari yang menyusup lembut lewat tirai sutra tipis, menyapa wajahnya dengan hangat.Aroma harum menguar dari sudut kamar. Perpaduan wangi lavender, bunga segar, dan kayu manis menyatu dengan kehangatan tempat tidur yang empuk. Ketika Lura membuka matanya perlahan, dunia yang menyambutnya terasa begitu asing—namun bukan dalam makna buruk. Asing yang menyamankan. Asing yang menenangkan.Dan di tengah keheningan pagi yang hampir magis itu, Lura mendapati kepala pelayan dan dua orang pelayan lainnya telah berada di dalam kamar.Mereka semua berpakaian rapi dan bergerak dengan sopan dalam koordinasi yang

    Last Updated : 2025-05-03
  • Dimanja Suami Kontrak   Ini, Baru Nyonya Muda

    Dengan sabar dan telaten, kepala pelayan membuka kancing piyama Lura satu per satu. Tangannya bekerja tenang, tidak tergesa, dan sangat hati-hati.Lura sempat menahan napas, tubuhnya kaku. Meski ia tahu pelayan itu hanya menjalankan tugas, rasa malu tetap menyeruak.Namun saat mata mereka bertemu, kepala pelayan hanya menatapnya dalam, penuh pengertian, tanpa penilaian.Tatapan itu seolah berkata: “Tak perlu malu, Nyonya. Anda aman di sini.”Dan dengan sedikit anggukan kecil, Lura akhirnya melepaskan rasa canggungnya. Piyama yang lembut akhirnya terlepas dari tubuhnya yang ramping dan penuh luka.Dalam pantulan kaca besar kamar mandi, terlihat jelas bekas-bekas cambukan di punggungnya.Warna merahnya sudah memudar, tapi garis-garis panjang itu masih tampak nyata. Beberapa bagian mulai sembuh, namun tetap meninggalkan nyeri seperti bara yang belum padam.Lura menunduk, menahan rasa sesak yang kembali naik ke dada. Tapi kepala pelayan tidak bersuara apa-apa. Ia hanya memberi isyarat lem

    Last Updated : 2025-05-04
  • Dimanja Suami Kontrak   Mereka Mencarimu

    Khailash lalu meremas lembut kedua pundak Lura, jemarinya yang besar terasa hangat namun tak menekan.Ia menatap Lura melalui pantulan cermin—pandangan dalam, penuh dominasi namun tak mengandung kekerasan.“Aku sengaja pulang lebih awal,” ucapnya rendah, hampir seperti bisikan, “karena ingin makan siang bersamamu. Jangan buat aku menunggu lebih lama, hm?”Nada suaranya tak memaksa, namun penuh bobot.Lura spontan mengangkat wajah, mata membulat, lalu mengangguk cepat.“I-ya… tentu.”Ia segera bangkit dari kursinya, gerakannya sedikit terburu-buru—seolah keinginan Khailash adalah perintah mutlak yang tak boleh ditunda.Namun baru selangkah ia menjauh, tangan kuat Khailash menangkap pinggulnya dan menariknya kembali dalam rengkuhan.Lura terkesiap, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat oleh kedekatan mereka yang begitu mendadak. Tapi sebelum ia sempat menyusun pikiran, suara pria itu kembali menyusup ke telinganya, lembut namun menancap.“Jangan gugup… apalagi takut.”Khailash memiringka

    Last Updated : 2025-05-05
  • Dimanja Suami Kontrak   Karena Kau Istriku

    Tubuh Lura menegang saat mendengar ucapan Khailash yang barusan. Suasana ruang keluarga yang hangat dan megah itu mendadak terasa menekan. Meski ruangannya bergaya minimalis dengan sentuhan elegan—lantai marmer krem, jendela besar yang menghadap taman, dan perapian tenang di sudut ruangan—namun kata-kata pria itu mengguncang lebih dalam dari api mana pun.“Mereka mencarimu,” ulang Khailash, nada suaranya tetap tenang, tapi tajam dan tak terbantahkan.Lura tersadar dari lamunannya. Ia berbalik menatap Khailash, duduk di ujung sofa besar berwarna gelap, dengan tubuh tegap bersandar santai namun penuh kendali.“Mereka… yang kau maksud?”Khailash mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Lura.“Pria yang kau sebut ayah. Dan bajingan yang pernah kau sebut kekasih, atau calon suami.”Lura menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.“Aku… aku sangat malu.” Suaranya bergetar.“Malu karena pernah menganggapnya pria paling baik.”Tatapannya beralih ke Khailash, mata yang dulu sering merendah, kini

    Last Updated : 2025-05-06
  • Dimanja Suami Kontrak   Bisakah… Aku?

    Suara desahan menggema samar, bercampur dengan nafas memburu dan gesekan sprei satin yang kusut, di dalam kamar apartemen mewah milik Jelita—apartemen yang dibelikan langsung oleh Danu untuk memanjakannya.Namun malam ini berbeda.Danu menggila.Bukan karena gairah, bukan karena rindu… tapi karena amarah yang membuncah.Tubuh Jelita berada di bawahnya, dalam posisi yang biasanya membuatnya merasa diinginkan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menyesakkan—energi yang keluar dari Danu bukan suka atau nafsu, tapi pelampiasan.“Kak Danu…” suara Jelita serak, mencoba mengatur nafas, tangannya menahan dada pria itu.“Tunggu… pelan sedikit. Ini—bukan seperti biasanya…”Namun Danu tak menjawab. Ia terus bergerak liar, rahangnya mengeras, matanya tak lagi memandang wajah Jelita, melainkan kosong, tajam, penuh bara.“Aku akan menghapus setiap bayang pria sialan itu dari tubuh Lura…” gumamnya seperti kerasukan, suaranya dingin dan tak terarah.Jelita tercengang, tubuhnya menegang.Lura. Lagi-lagi L

    Last Updated : 2025-05-07

Latest chapter

  • Dimanja Suami Kontrak   Bisakah… Aku?

    Suara desahan menggema samar, bercampur dengan nafas memburu dan gesekan sprei satin yang kusut, di dalam kamar apartemen mewah milik Jelita—apartemen yang dibelikan langsung oleh Danu untuk memanjakannya.Namun malam ini berbeda.Danu menggila.Bukan karena gairah, bukan karena rindu… tapi karena amarah yang membuncah.Tubuh Jelita berada di bawahnya, dalam posisi yang biasanya membuatnya merasa diinginkan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menyesakkan—energi yang keluar dari Danu bukan suka atau nafsu, tapi pelampiasan.“Kak Danu…” suara Jelita serak, mencoba mengatur nafas, tangannya menahan dada pria itu.“Tunggu… pelan sedikit. Ini—bukan seperti biasanya…”Namun Danu tak menjawab. Ia terus bergerak liar, rahangnya mengeras, matanya tak lagi memandang wajah Jelita, melainkan kosong, tajam, penuh bara.“Aku akan menghapus setiap bayang pria sialan itu dari tubuh Lura…” gumamnya seperti kerasukan, suaranya dingin dan tak terarah.Jelita tercengang, tubuhnya menegang.Lura. Lagi-lagi L

  • Dimanja Suami Kontrak   Karena Kau Istriku

    Tubuh Lura menegang saat mendengar ucapan Khailash yang barusan. Suasana ruang keluarga yang hangat dan megah itu mendadak terasa menekan. Meski ruangannya bergaya minimalis dengan sentuhan elegan—lantai marmer krem, jendela besar yang menghadap taman, dan perapian tenang di sudut ruangan—namun kata-kata pria itu mengguncang lebih dalam dari api mana pun.“Mereka mencarimu,” ulang Khailash, nada suaranya tetap tenang, tapi tajam dan tak terbantahkan.Lura tersadar dari lamunannya. Ia berbalik menatap Khailash, duduk di ujung sofa besar berwarna gelap, dengan tubuh tegap bersandar santai namun penuh kendali.“Mereka… yang kau maksud?”Khailash mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Lura.“Pria yang kau sebut ayah. Dan bajingan yang pernah kau sebut kekasih, atau calon suami.”Lura menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.“Aku… aku sangat malu.” Suaranya bergetar.“Malu karena pernah menganggapnya pria paling baik.”Tatapannya beralih ke Khailash, mata yang dulu sering merendah, kini

  • Dimanja Suami Kontrak   Mereka Mencarimu

    Khailash lalu meremas lembut kedua pundak Lura, jemarinya yang besar terasa hangat namun tak menekan.Ia menatap Lura melalui pantulan cermin—pandangan dalam, penuh dominasi namun tak mengandung kekerasan.“Aku sengaja pulang lebih awal,” ucapnya rendah, hampir seperti bisikan, “karena ingin makan siang bersamamu. Jangan buat aku menunggu lebih lama, hm?”Nada suaranya tak memaksa, namun penuh bobot.Lura spontan mengangkat wajah, mata membulat, lalu mengangguk cepat.“I-ya… tentu.”Ia segera bangkit dari kursinya, gerakannya sedikit terburu-buru—seolah keinginan Khailash adalah perintah mutlak yang tak boleh ditunda.Namun baru selangkah ia menjauh, tangan kuat Khailash menangkap pinggulnya dan menariknya kembali dalam rengkuhan.Lura terkesiap, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat oleh kedekatan mereka yang begitu mendadak. Tapi sebelum ia sempat menyusun pikiran, suara pria itu kembali menyusup ke telinganya, lembut namun menancap.“Jangan gugup… apalagi takut.”Khailash memiringka

  • Dimanja Suami Kontrak   Ini, Baru Nyonya Muda

    Dengan sabar dan telaten, kepala pelayan membuka kancing piyama Lura satu per satu. Tangannya bekerja tenang, tidak tergesa, dan sangat hati-hati.Lura sempat menahan napas, tubuhnya kaku. Meski ia tahu pelayan itu hanya menjalankan tugas, rasa malu tetap menyeruak.Namun saat mata mereka bertemu, kepala pelayan hanya menatapnya dalam, penuh pengertian, tanpa penilaian.Tatapan itu seolah berkata: “Tak perlu malu, Nyonya. Anda aman di sini.”Dan dengan sedikit anggukan kecil, Lura akhirnya melepaskan rasa canggungnya. Piyama yang lembut akhirnya terlepas dari tubuhnya yang ramping dan penuh luka.Dalam pantulan kaca besar kamar mandi, terlihat jelas bekas-bekas cambukan di punggungnya.Warna merahnya sudah memudar, tapi garis-garis panjang itu masih tampak nyata. Beberapa bagian mulai sembuh, namun tetap meninggalkan nyeri seperti bara yang belum padam.Lura menunduk, menahan rasa sesak yang kembali naik ke dada. Tapi kepala pelayan tidak bersuara apa-apa. Ia hanya memberi isyarat lem

  • Dimanja Suami Kontrak   Kasih Sayang Khailash

    Mungkin di antara semua pagi yang pernah Lura lewati dalam hidupnya—pagi-pagi penuh perintah, amarah, atau diam dingin yang mencekam di rumah keluarganya—pagi ini adalah yang paling berbeda, paling tenang, dan mungkin… paling indah.Untuk pertama kalinya, ia terbangun bukan karena teriakan, bukan karena paksaan, dan bukan karena ketakutan yang menggumpal di dada. Melainkan karena sinari matahari yang menyusup lembut lewat tirai sutra tipis, menyapa wajahnya dengan hangat.Aroma harum menguar dari sudut kamar. Perpaduan wangi lavender, bunga segar, dan kayu manis menyatu dengan kehangatan tempat tidur yang empuk. Ketika Lura membuka matanya perlahan, dunia yang menyambutnya terasa begitu asing—namun bukan dalam makna buruk. Asing yang menyamankan. Asing yang menenangkan.Dan di tengah keheningan pagi yang hampir magis itu, Lura mendapati kepala pelayan dan dua orang pelayan lainnya telah berada di dalam kamar.Mereka semua berpakaian rapi dan bergerak dengan sopan dalam koordinasi yang

  • Dimanja Suami Kontrak   Masihkah Kau Menganggapnya Ayah?

    Lura perlahan membuka mata saat bertemu tatap dengan Khailash, napasnya masih lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur sesaat, tapi sosok tegap di hadapannya tak mungkin ia salah kenali.Khailash baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit rapi di pinggangnya. Tetes air masih mengalir di kulitnya, membentuk jejak di otot-otot dadanya yang bidang dan perut berotot sempurna.Lura menatapnya lirih, matanya berkedip pelan, nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.Khailash berjalan mendekat dengan langkah tenang dan percaya diri. Ia menyadari bahwa Lura sudah terjaga. Dengan ekspresi tenang namun penuh penegasan, ia berkata, “Kita suami istri. Mulai sekarang, kau harus terbiasa dengan apa pun yang akan kau lihat dariku.”Kata-katanya tidak bernada keras, namun jelas. Bukan sekadar peringatan, tapi pernyataan akan kedekatan yang tidak bisa dihindari—karena ikatan mereka kini sah.Khailash lalu menunduk sedik

  • Dimanja Suami Kontrak   Itu Sumpahku

    Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.“Panggilkan dokter Willi. Segera.”Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.Asisten itu segera mengangguk

  • Dimanja Suami Kontrak   Ia Mencium Lura

    Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.Langkah Lura te

  • Dimanja Suami Kontrak   Murka Keluarga

    Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status