Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.
“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”
Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.
Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.
Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.
Wanita ini berani-beraninya mempermalukannya di altar, membiarkannya berdiri sendirian di depan pendeta dengan semua mata tertuju padanya. Media mengabadikan setiap detik kehinaannya, dan kini seluruh negeri menertawakannya. Bukan hanya dirinya yang menanggung malu, tetapi juga keluarganya.
Dan sekarang, Lura harus membayar harga dari perbuatannya.
Lura tersengal, lututnya melemas. Ia ingin lari, tetapi tubuhnya seakan tak bisa digerakkan. Ia tahu betul bahwa tak ada gunanya melawan. Tak ada seorang pun di ruangan ini yang akan membelanya, tak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya.
Ketakutan membanjiri setiap sel dalam tubuhnya. Tangisnya pecah lebih keras. Namun, ayahnya tetap tidak peduli.
Ayahnya menatap Lura yang masih bersimpuh di lantai, nafasnya kasar menahan amarah yang belum juga reda. Dengan suara dingin yang menggetarkan ruangan, ia bertanya sekali lagi, “Bicara atau dicambuk?”
Lura tetap bungkam. Tidak ada jawaban, tidak ada penjelasan. Hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.
Tanpa menunggu lebih lama, ayahnya mengayunkan cambuknya.
Pecutan pertama mendarat di punggungnya. Lura tersentak, tubuhnya melengkung menahan rasa sakit yang luar biasa. Nafasnya tercekat, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
Pecutan kedua menyusul, disusul dengan pecutan ketiga, keempat—tanpa ampun, tanpa henti.
Hanya suara cambuk yang menghantam kulitnya dan rintihan tertahan yang menggema di ruangan itu.
Hingga akhirnya, suara seorang wanita memecah kebisuan. “Cukup.”
Semua mata menoleh ke sumber suara. Ibu Danu.
Dengan ekspresi arogan, wanita itu menatap ke arah ayah Lura yang masih menahan cambuk di tangannya. Ia menghela nafas, seakan muak dengan pemandangan di depannya.
“Keberadaan saya di sini bukan untuk melihat hal semacam ini,” katanya dengan nada tinggi, penuh keangkuhan.
Tatapan bengisnya beralih ke arah Lura yang kini tergeletak di lantai, tubuhnya lemah dengan luka yang terasa perih. Namun, tidak ada sedikitpun rasa iba dalam sorot matanya.
“Pernikahan ini dibatalkan.” Kalimat itu meluncur tajam
Lalu, hinaan berikutnya menghancurkan harga dirinya sepenuhnya.
“Aku tidak bisa menerima wanita yang berada di luar rumah semalaman. Siapa yang bisa menjamin kalau dia masih perawan?”
Ruangan mendadak sunyi.
Ucapan itu menggetarkan semua orang yang ada di sana.
Ayah Lura mengatupkan rahangnya, matanya berkilat marah. Keluarga mereka menjunjung tinggi norma dan kehormatan. Tapi melawan ucapan keluarga Danu sama saja dengan mencari mati.
Tidak ada yang berani membantah.
Tanpa berpamitan, ibu Danu berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah tegap. Suaminya dan keluarga lainnya mengikuti di belakangnya, seakan Lura tidak lebih dari debu yang tidak perlu diperhatikan.
Danu masih berdiri di tempatnya, mengamati kejadian itu dengan wajah tanpa ekspresi.
Namun sebelum ikut pergi, ia menoleh pada ayah Lura dan berkata dengan nada yang terdengar begitu agung, begitu mulia, seolah-olah ia pria sejati yang berhati besar.
“Saya akan bicara dengan ibu nanti.”
Lalu, ia menatap Lura sekilas. Tatapan yang kosong. Tidak ada kemarahan, tidak ada rasa kasihan, tidak ada apa-apa.
Lura menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca, tapi dalam hatinya, ia tertawa miris.
Danu ingin berpura-pura seperti pria baik yang bertanggung jawab, tapi di balik topengnya, ia justru yang paling menikmati kehancurannya.
Ayahnya menatapnya dengan penuh kemarahan, suaranya rendah tapi menusuk tajam.
“Lihat apa yang telah kau lakukan, anak tidak berguna!”
Dan di saat itu, Lura benar-benar merasa mati.
“Sebelum Danu memberi kabar, aku tidak sudi melihatmu!”
Lura dibiarkan tergeletak, dia menatap satu persatu keluarganya yang meninggalkannya dengan tatapan benci. Termasuk Jelita yang menatapnya penuh kepuasan.
Lura melangkah meninggalkan rumah keluarganya dengan langkah terseok, tubuhnya terasa berat, perih akibat bekas cambukan yang masih menyengat di kulitnya. Nafasnya pendek-pendek, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk terus berjalan.
Di sepanjang lorong rumah, beberapa pelayan menatapnya dengan ekspresi iba, tetapi tidak satupun dari mereka berani mendekat, apalagi menawarkan bantuan. Mereka hanya bisa menunduk, menahan simpati mereka dalam kebisuan.
Tuan besar tidak akan membiarkan siapa pun menolongnya.
Lura memahami keterbatasan mereka. Tidak ada yang bisa ia harapkan dari siapapun di rumah ini.
Sebelum melangkah lebih jauh, ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang, menatap rumah besar tempatnya tumbuh sejak kecil.
Dulu, rumah ini adalah tempat berlindung. Tempat di mana ia merasa aman.
Ternyata, rumah ini adalah neraka yang paling mengerikan.
Air matanya jatuh satu per satu, tetapi dengan cepat ia menyekanya. Tidak ada gunanya menangis.
Tanpa berpikir lebih lama, ia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Di tangannya hanya ada sebuah koper kecil berisi barang seadanya—satu-satunya hal yang ia bawa pergi dari tempat ini.
Tidak jauh dari rumah, ia berdiri di tepi jalan, mengangkat tangan, memanggil taksi pertama yang melintas.
Mobil itu berhenti di depannya, dan dengan susah payah, ia masuk ke dalam.
Sopir menoleh, menatapnya melalui kaca spion. “Ke mana, Nona?”
Lura terdiam.
Matanya menatap kosong ke depan. Ke mana ia harus pergi?
Ia tidak punya teman, tidak ada tempat berlindung, tidak ada siapa pun yang bisa ia datangi.
Ia menggigit bibirnya, otaknya berputar, mencoba mencari jawaban.
Kemudian, samar-samar, ia mengingat sesuatu.
Pria itu.
Pria yang semalam menawarkan sebuah kesepakatan gila.
Sebuah tawaran yang semula ia anggap tidak masuk akal, tetapi sekarang, mungkin itu satu-satunya jalan yang tersisa untuknya.
Tangannya meraba-raba isi tasnya, mencari sesuatu. Jemarinya akhirnya menemukan sebuah kartu nama, benda kecil yang diberikan pria itu semalam sebelum ia meninggalkan penthouse.
Lura menatapnya sejenak, lalu menyebutkan alamat yang tertera di sana kepada sopir.
Setelah itu, ia menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya menatap jalanan yang cukup lengang hari ini. Ia Tidak tahu kemana takdir akan membawanya.
**
Taksi yang Lura tumpangi, berhenti di depan sebuah rumah besar di pinggiran kota. Bangunan itu megah, berdiri kokoh dengan desain klasik yang elegan. Sekilas, tampak seperti rumah milik seorang pria berkelas dengan selera tinggi.
Lura tidak terlalu memperhatikan detailnya. Yang ada di pikirannya hanya satu: dia butuh tempat berlindung.
Gerakan tangan Lura terhenti di atas meja makan berlapis linen putih. Ia meletakkan sendok dengan sangat hati-hati ke sisi piring porselen yang masih hangat oleh sentuhan sup saffron. Suasana makan malam mereka, yang sejak awal sudah terasa sunyi namun tenang, kini berubah hening dalam cara yang lain. Bukan lagi tenang, melainkan mendebarkan. Suara Khailas barusan seperti menggemakan sesuatu yang terlalu besar untuk langsung dicerna.Lura mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya terpaku pada pria yang duduk di seberangnya, Khailas, lelaki yang selama ini berdiri di balik layar hidupnya, seperti bayangan yang melindungi sekaligus membentuk dirinya. Dan kini, bayangan itu berbicara tentang terang. Terang yang terlalu silau untuk langsung dipercaya.“Ulangi,” bisik Lura, setenang mungkin. Tapi gemetar suaranya tak bisa disembunyikan. “Apa yang tadi kau katakan?”Khailas menatapnya dalam. Penuh makna. Tidak tergesa.“Sudah saatnya kita mengumumkan pernikahan,” ucapnya lagi, kali ini lebih
Jelita menatap nyalang ke arah pria yang kini berdiri di depannya, tubuhnya masih menegang setelah diseret masuk ke dalam apartemen murahan itu—ruang sempit yang lembab, pengap, dan berbau seperti koreng yang tak pernah dibersihkan. Tom menutup pintu di belakang mereka, keras, lalu berjalan mendekat sambil tertawa kasar.“Teriakanmu barusan menggelikan,” katanya, suaranya serak seperti batu yang tergores. “Bukan baru sekali aku menyentuhmu, Jelita. Jangan sok suci di hadapanku.”Jelita mengangkat telunjuknya, matanya berapi. “Jaga bicaramu, Tom! Kau tidak punya hak bicara seperti itu padaku!”Tom menyipitkan mata, memandangnya seperti sesuatu yang tak lagi berharga. “Oh, aku tidak punya hak? Lalu selama ini aku apa? Anjing peliharaanmu yang siap menjilat setiap kau suruh? Tugas terakhirku belum kau bayar, dan aku membawamu ke sini hanya untuk menagih apa yang menjadi hakku.”Ia mendekat, napasnya memburu.“Setelah ini,” lanjut Tom dengan dingin, “aku tidak akan lagi menyentuhmu. Aku
Lura berdiri tegak di depan tiga sosok yang selama ini membentuk luka-luka paling dalam dalam hidupnya. Angin sore meniup rambutnya lembut, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar mereka tanpa tahu bahwa pertemuan ini seperti percikan api di atas genangan bensin, berbahaya, mudah terbakar. Ia baru saja keluar dari Azmara.Di hadapannya, ayahnya, ibu tiri dan Jelita, saudari tiri yang tak pernah bertingkah sebagai saudara.“Begitukah cara bicara pada ayahmu?”Lura tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai ejekan ketimbang sapaan hormat. Ia menatap pria itu dari ujung kaki ke kepala, mantel lusuh, sepatu usang, dan rambut yang tak terurus. Dulu, Kuncoro adalah pria yang tak bisa keluar rumah tanpa setelan jas mahal. Kini bahkan nafasnya pun terdengar seperti beban hidup.“Lalu bagaimana aku harus bicara padamu?” Lura bertanya tenang, nyaris berbisik, tapi tajam. “Dengan lembut? Dengan rindu? Dengan penuh bakti seperti yang selalu kau tuntut tapi tak pernah kau beri?”Kuncor
Irene tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Ia duduk di hadapan Khailas, seperti masa-masa lalu yang pernah mereka habiskan dalam diam dan percakapan yang tak pernah sembarangan. Tapi kali ini berbeda. Sangat berbeda. Tidak ada keteduhan dalam tatapan Khailas. Tidak ada sisa-sisa kasih yang pernah tumbuh, atau rasa bersalah atas kisah mereka yang karam tanpa pamit.Yang ada hanyalah dingin yang membekukan.Pertemuan ini diminta oleh Khailas sendiri, melalui asistennya yang datang dengan sopan tapi tegas, menyerahkan jadwal dan lokasi. Irene pikir, walaupun hanya sekilas, bahwa mungkin, hanya mungkin, pria itu ingin memperbaiki sesuatu. Atau sekadar menjalin kembali percakapan yang dewasa tentang masa lalu yang pernah mereka bagi sebelum dan sesudah perpisahan.Namun yang terjadi justru lebih menyakitkan dari sekadar penolakan.“Jauhi Allura.”Dua kata. Dua kata yang menghantam lebih keras daripada kalimat panjang penuh penjelasan.Khailas mengucapkannya dengan tenang, tap
Belum sempat Danu mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Lura, tentang kebebasan dan ketenangan yang kini dimilikinya, tubuhnya ditarik kasar dari arah belakang. Ia kehilangan keseimbangan, langkahnya terseret, lalu tubuhnya terdorong menabrak dinding. Kerah bajunya dicekal kuat oleh tangan kekar yang dingin dan tanpa ampun.Sebelum ia sempat menoleh, satu pukulan keras menghantam sisi wajahnya.Bughh!Kepalanya terputar, rasa perih menyebar cepat. Ia berdiri dalam keadaan limbung, kaget, tak siap, belum sempat menyiapkan sikap defensifnya. Dan sebelum bisa bertanya siapa yang menyerangnya, suara tenang namun tajam dan dingin terdengar di telinganya:“Kenali aku. Bukankah selama ini kau sangat ingin tahu siapa pria di belakang Allura?”Seketika darah Danu membeku. Suara itu…Tidak asing. Bahkan sangat familiar.Tapi otaknya menolak untuk mempercayai kenyataan. Itu mustahil. Tidak mungkin…Namun realita segera membantah penyangkalannya, karena satu pukulan lagi menghantam perutnya de
Di salah satu sudut gelap sebuah klub malam yang bising dan dipenuhi lampu berkedip, Danu duduk lunglai di sofa kulit hitam. Botol-botol minuman keras berserakan di atas meja bundar di depannya, sebagian sudah kosong, sebagian masih setengah penuh tapi tak lagi menyegarkan. Asap rokok, parfum, dan bau alkohol bercampur menjadi kabut tipis yang membekap udara. Musik dentum memekakkan telinga, tapi suara-suara itu hanya jadi gema hampa di kepala Danu.Ia meneguk habis satu gelas bourbon, pahitnya bahkan tak terasa di lidahnya yang mati rasa. Luka tembak di kakinya kembali berdenyut, mengingatkan bahwa ia pernah menjadi sasaran. Tapi rasa nyeri itu tak cukup mengalahkan perih yang menggerogoti dadanya sejak pertemuannya dengan Lura siang tadi.Wajah Lura kembali muncul di kepalanya. Tatapan wanita itu. Tenang. Dingin. Tanpa bekas kekaguman. Tanpa jejak cinta.Itu yang membuatnya nyaris menggila.Danu mencengkram rambutnya sendiri, geram. Ia membayangkan ulang momen singkat itu. Lura tida