Share

Murka Keluarga

Author: AD07
last update Last Updated: 2025-04-11 09:30:32

Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.

“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”

Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.

Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.

Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

Wanita ini berani-beraninya mempermalukannya di altar, membiarkannya berdiri sendirian di depan pendeta dengan semua mata tertuju padanya. Media mengabadikan setiap detik kehinaannya, dan kini seluruh negeri menertawakannya. Bukan hanya dirinya yang menanggung malu, tetapi juga keluarganya.

Dan sekarang, Lura harus membayar harga dari perbuatannya.

Lura tersengal, lututnya melemas. Ia ingin lari, tetapi tubuhnya seakan tak bisa digerakkan. Ia tahu betul bahwa tak ada gunanya melawan. Tak ada seorang pun di ruangan ini yang akan membelanya, tak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya.

Ketakutan membanjiri setiap sel dalam tubuhnya. Tangisnya pecah lebih keras. Namun, ayahnya tetap tidak peduli.

Ayahnya menatap Lura yang masih bersimpuh di lantai, nafasnya kasar menahan amarah yang belum juga reda. Dengan suara dingin yang menggetarkan ruangan, ia bertanya sekali lagi, “Bicara atau dicambuk?”

Lura tetap bungkam. Tidak ada jawaban, tidak ada penjelasan. Hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.

Tanpa menunggu lebih lama, ayahnya mengayunkan cambuknya.

Pecutan pertama mendarat di punggungnya. Lura tersentak, tubuhnya melengkung menahan rasa sakit yang luar biasa. Nafasnya tercekat, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

Pecutan kedua menyusul, disusul dengan pecutan ketiga, keempat—tanpa ampun, tanpa henti.

Hanya suara cambuk yang menghantam kulitnya dan rintihan tertahan yang menggema di ruangan itu.

Hingga akhirnya, suara seorang wanita memecah kebisuan. “Cukup.”

Semua mata menoleh ke sumber suara. Ibu Danu.

Dengan ekspresi arogan, wanita itu menatap ke arah ayah Lura yang masih menahan cambuk di tangannya. Ia menghela nafas, seakan muak dengan pemandangan di depannya.

“Keberadaan saya di sini bukan untuk melihat hal semacam ini,” katanya dengan nada tinggi, penuh keangkuhan.

Tatapan bengisnya beralih ke arah Lura yang kini tergeletak di lantai, tubuhnya lemah dengan luka yang terasa perih. Namun, tidak ada sedikitpun rasa iba dalam sorot matanya.

“Pernikahan ini dibatalkan.” Kalimat itu meluncur tajam

Lalu, hinaan berikutnya menghancurkan harga dirinya sepenuhnya.

“Aku tidak bisa menerima wanita yang berada di luar rumah semalaman. Siapa yang bisa menjamin kalau dia masih perawan?”

Ruangan mendadak sunyi.

Ucapan itu menggetarkan semua orang yang ada di sana.

Ayah Lura mengatupkan rahangnya, matanya berkilat marah. Keluarga mereka menjunjung tinggi norma dan kehormatan. Tapi melawan ucapan keluarga Danu sama saja dengan mencari mati.

Tidak ada yang berani membantah.

Tanpa berpamitan, ibu Danu berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah tegap. Suaminya dan keluarga lainnya mengikuti di belakangnya, seakan Lura tidak lebih dari debu yang tidak perlu diperhatikan.

Danu masih berdiri di tempatnya, mengamati kejadian itu dengan wajah tanpa ekspresi.

Namun sebelum ikut pergi, ia menoleh pada ayah Lura dan berkata dengan nada yang terdengar begitu agung, begitu mulia, seolah-olah ia pria sejati yang berhati besar.

“Saya akan bicara dengan ibu nanti.”

Lalu, ia menatap Lura sekilas. Tatapan yang kosong. Tidak ada kemarahan, tidak ada rasa kasihan, tidak ada apa-apa. 

Lura menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca, tapi dalam hatinya, ia tertawa miris.

Danu ingin berpura-pura seperti pria baik yang bertanggung jawab, tapi di balik topengnya, ia justru yang paling menikmati kehancurannya.

Ayahnya menatapnya dengan penuh kemarahan, suaranya rendah tapi menusuk tajam.

“Lihat apa yang telah kau lakukan, anak tidak berguna!”

Dan di saat itu, Lura benar-benar merasa mati.

“Sebelum Danu memberi kabar, aku tidak sudi melihatmu!” 

Lura dibiarkan tergeletak, dia menatap satu persatu keluarganya yang meninggalkannya dengan tatapan benci. Termasuk Jelita yang menatapnya penuh kepuasan.

Lura melangkah meninggalkan rumah keluarganya dengan langkah terseok, tubuhnya terasa berat, perih akibat bekas cambukan yang masih menyengat di kulitnya. Nafasnya pendek-pendek, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk terus berjalan.

Di sepanjang lorong rumah, beberapa pelayan menatapnya dengan ekspresi iba, tetapi tidak satupun dari mereka berani mendekat, apalagi menawarkan bantuan. Mereka hanya bisa menunduk, menahan simpati mereka dalam kebisuan.

Tuan besar tidak akan membiarkan siapa pun menolongnya.

Lura memahami keterbatasan mereka. Tidak ada yang bisa ia harapkan dari siapapun di rumah ini.

Sebelum melangkah lebih jauh, ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang, menatap rumah besar tempatnya tumbuh sejak kecil.

Dulu, rumah ini adalah tempat berlindung. Tempat di mana ia merasa aman.

Ternyata, rumah ini adalah neraka yang paling mengerikan.

Air matanya jatuh satu per satu, tetapi dengan cepat ia menyekanya. Tidak ada gunanya menangis.

Tanpa berpikir lebih lama, ia berbalik dan melanjutkan langkahnya. Di tangannya hanya ada sebuah koper kecil berisi barang seadanya—satu-satunya hal yang ia bawa pergi dari tempat ini.

Tidak jauh dari rumah, ia berdiri di tepi jalan, mengangkat tangan, memanggil taksi pertama yang melintas.

Mobil itu berhenti di depannya, dan dengan susah payah, ia masuk ke dalam.

Sopir menoleh, menatapnya melalui kaca spion. “Ke mana, Nona?”

Lura terdiam.

Matanya menatap kosong ke depan. Ke mana ia harus pergi?

Ia tidak punya teman, tidak ada tempat berlindung, tidak ada siapa pun yang bisa ia datangi.

Ia menggigit bibirnya, otaknya berputar, mencoba mencari jawaban.

Kemudian, samar-samar, ia mengingat sesuatu.

Pria itu.

Pria yang semalam menawarkan sebuah kesepakatan gila.

Sebuah tawaran yang semula ia anggap tidak masuk akal, tetapi sekarang, mungkin itu satu-satunya jalan yang tersisa untuknya.

Tangannya meraba-raba isi tasnya, mencari sesuatu. Jemarinya akhirnya menemukan sebuah kartu nama, benda kecil yang diberikan pria itu semalam sebelum ia meninggalkan penthouse.

Lura menatapnya sejenak, lalu menyebutkan alamat yang tertera di sana kepada sopir.

Setelah itu, ia menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya menatap jalanan yang cukup lengang hari ini. Ia Tidak tahu kemana takdir akan membawanya.

**

Taksi yang Lura tumpangi, berhenti di depan sebuah rumah besar di pinggiran kota. Bangunan itu megah, berdiri kokoh dengan desain klasik yang elegan. Sekilas, tampak seperti rumah milik seorang pria berkelas dengan selera tinggi.

Lura tidak terlalu memperhatikan detailnya. Yang ada di pikirannya hanya satu: dia butuh tempat berlindung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fitri Eko Lestari
Harus bertekad pergi Lura&tepat dtg ke lelaki itu .........
goodnovel comment avatar
Ucis Boo
Apa itu rumah Khailash?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dimanja Suami Kontrak   Dari Mulutmu… Aku Percaya

    Tubuh Lura terasa hangat, terkulai dalam pelukan Khailas setelah puncak keintiman mereka yang panjang dan memukau. Nafasnya masih tersengal, matanya menatap langit luas, dimana aurora menari anggun, seakan ikut menjadi saksi cinta mereka malam itu.Dengan suara lembut, ia bertanya, “Apa nama aurora itu, Amor? Dan… maukah kau menjelaskan bagaimana proses terjadinya aurora? Menurutmu, aurora yang paling indah dan langka itu seperti apa? Aku ingin tahu isi kepalamu, bukan hanya soal pekerjaan… atau aku.”Khailas mengeratkan pelukannya, pipinya menyentuh pucuk kepala Lura. Ia menghela nafas panjang, kemudian menjawab dengan nada tenang namun ringan, seolah sedang bercerita. “Aurora yang kau lihat sekarang disebut Aurora Borealis, cahaya utara. Jika ini terjadi di belahan selatan, namanya Aurora Australis. Prosesnya terjadi ketika partikel matahari, yang disebut angin surya, menabrak atmosfer bumi. Ketika bertemu dengan medan magnet di kutub, partikel itu menghasilkan cahaya. Warna hijau

  • Dimanja Suami Kontrak   Manis Sekali

    Suasana dalam tenda kaca itu seperti terhenti, hanya ada mereka berdua dengan kehangatan yang melingkupi. Kata-kata Khailas tadi masih berputar di telinga Lura, membuat tubuhnya gemetar karena bahagia. Ia memeluk suaminya erat, menempelkan wajah di dada bidang itu.“Pengakuanmu,” bisik Lura dengan suara bergetar, “adalah kalimat paling indah yang pernah aku dengar seumur hidupku. Aku janji, Amor… aku akan menjadi yang terbaik untukmu. Setiap hari, aku akan belajar. Belajar menjadi istri yang pantas, pendamping yang layak, teman yang tidak pernah meninggalkanmu, apapun yang terjadi.”Tangannya mencengkeram erat mantel hangat Khailas, seolah takut jika perasaan ini hanya mimpi yang bisa hilang sewaktu-waktu.Khailas menunduk, mengecup pucuk kepalanya, lalu mengusap punggungnya dengan lembut. Gerakannya mantap, tapi penuh kasih, berbeda dari wibawa keras yang biasa ditunjukkannya pada dunia luar. “Tanpa belajar pun,” katanya tenang, “kau sudah melakukannya.”Lura mengangkat wajahnya, men

  • Dimanja Suami Kontrak   Membalas Perasaanku

    Mobil hitam yang mereka tumpangi terus melaju di jalanan Islandia yang sepi, membelah hamparan salju putih yang tak berujung. Lura menempelkan wajah ke jendela, pandangannya tak pernah lepas dari pemandangan luar. Air terjun raksasa yang jatuh bebas, lapisan lava hitam yang kontras dengan putihnya salju, hingga kawah vulkanik yang mengepulkan uap hangat, semua itu membuatnya terpukau. Bagaimana bisa dunia memiliki tempat seindah ini? batinnya tak henti bertanya.Setelah perjalanan lebih dari satu jam, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kayu bergaya Skandinavia modern. Dari luar, penginapan itu tampak sederhana, tapi aura kehangatan memancar dari jendela-jendela besar yang menyala terang. Atapnya tertutup salju, dan asap tipis mengepul dari cerobong, menandakan kehangatan api unggun di dalam.Lura menoleh cepat ke arah Khailas, matanya berbinar. “Tempat ini…” ia berbisik kagum, “seperti rumah dalam dongeng.”Khailas hanya menatap sekilas, lalu turun lebih dulu. Ia membuka

  • Dimanja Suami Kontrak   Kita Menginap Dimana?

    Suara mesin jet pribadi bergemuruh lembut, stabil menembus langit malam. Lura duduk di kursi kulit yang empuk, tubuhnya masih sedikit tegang, jantungnya berdetak tidak karuan. Baru saja beberapa jam lalu Khailas mengajaknya pergi, dan tanpa banyak penjelasan, ia kini berada di pesawat pribadi milik suaminya.Di sampingnya, Khailas tampak santai, menatap layar kecil di hadapannya yang menampilkan rute perjalanan. Ia lalu menoleh pada istrinya, seolah membaca kekagetan yang masih jelas terpancar di wajah Lura. Dengan nada datar tapi penuh karisma, ia berkata, “Kita menuju Islandia.”Lura berkedip cepat, seperti memastikan ia tidak salah dengar. “Islandia?” suaranya lirih, penuh tanda tanya.Khailas mengangguk, lalu melanjutkan, “Ada sesuatu yang istimewa dari sana, sesuatu yang tidak akan kau temukan di negara lain. Islandia adalah negeri es dan api, tempat di mana langit bisa menari. Aurora borealis, fenomena alam yang membuat dunia seolah berhenti bernafas.”Mata Lura membesar, rasa t

  • Dimanja Suami Kontrak   Hanya ada Kita Berdua

    Suara langkah Lura bergema pelan di lorong dingin penjara. Udara pengap bercampur bau besi karatan seakan menegaskan tempat yang suram ini. Lura berdiri di depan sel, menatap lurus pada sosok di dalam. Jelita, dengan wajah kusut, rambut berantakan, dan mata penuh bara, duduk di kursi logam. Tatapan nyalangnya menusuk, dipenuhi dendam kesumat yang seakan tak ada habisnya.Namun Lura tetap berdiri dengan tenang. Penampilannya rapi, anggun, dengan kesombongan tenang yang bukan dibuat-buat, auranya menunjukkan kelas yang tak mungkin dijangkau oleh adik tirinya itu. Justru itulah yang membuat Jelita semakin terbakar, semakin ingin menghabisinya di tempat itu juga.“Ku pikir,” Lura membuka suara, datar namun tajam, “dengan ibumu dinikahi ayahku, hidupmu akan membaik. Tapi nyatanya tidak. Kau tetap liar. Bahkan di balik punggung orang yang memberimu makan, kau menikamnya berulang kali. Kau lakukan banyak kejahatan. Kau jatuhkan harga dirimu sendiri sampai ke dasar. Padahal aku masih berharap

  • Dimanja Suami Kontrak   Yang Bisa Kuucapkan Padamu

    Ruang sidang siang itu penuh sesak. Kursi pengunjung terisi hampir seluruhnya, sebagian besar dari kalangan media dan masyarakat yang penasaran dengan kasus besar ini. Blitz kamera berkilat-kilat sejak awal sidang dibuka, menyorot pada sosok yang kini duduk di kursi pesakitan. Jelita.Wanita yang dulu dikenal dengan citra mewah dan berkelas, kini benar-benar berbeda. Rambutnya yang acak-acakan, riasan wajah yang berantakan, serta tatapan mata yang kosong namun penuh amarah membuatnya hampir tidak dikenali. Bahkan Lura yang menyaksikan dari deretan kursi pengunjung merasa seolah melihat orang asing. Apakah ini adik tiriku? pikirnya. Sosok yang dulu selalu menuntut perhatian dan kemewahan kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri.Jaksa penuntut umum berdiri, membuka berkas perkara, dan mulai membacakan tuntutan panjang, pasal demi pasal yang menjerat Jelita. Tuduhan percobaan pembunuhan. Suaranya bergema memenuhi ruang sidang, tapi Lura tidak bergeming. Tidak ada rasa iba, tidak a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status