Share

Itu Sumpahku

Author: AD07
last update Last Updated: 2025-05-01 08:59:56

Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.

Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.

Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.

Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.

Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.

“Panggilkan dokter Willi. Segera.”

Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.

Asisten itu segera mengangguk dan berlalu dengan cepat.

Sementara Khailash kembali berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Lura yang terpejam. Dalam diam, ia menghembuskan nafas perlahan.

*

Tak butuh waktu lama, dokter Wili datang terburu-buru dengan tas medis di tangannya. Ia langsung disambut oleh kepala pelayan dan diarahkan ke kamar utama tempat Lura dibaringkan.

Begitu memasuki ruangan dan melihat kondisi Lura yang tampak lemah, alis dokter Wili langsung berkerut. Ia membuka perlengkapan dengan sigap, lalu mulai memeriksa denyut nadi dan suhu tubuh Lura.

Namun saat jemarinya menyentuh lengan Lura, ia berhenti seketika. Perlahan, ia menyingsingkan kain selimut dan pakaian yang dikenakan Lura.

Matanya membulat. Bekas merah lebam tersebar di bahu dan lengan.

Dan saat ia menggeser kerah kemeja Lura sedikit lebih lebar—terlihat dengan jelas guratan panjang seperti bekas cambukan.

“Ya Tuhan…” gumamnya lirih.

Mata Khailash menggelap. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras saat melihat reaksi dokter. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi auranya mendadak mencekam.

Dokter menatapnya sesaat, lalu berkata hati-hati, “Aku rasa… sebaiknya Nona—maksud ku, oh … gadis ini—berganti pakaian dulu. Aku perlu memeriksa lebih lanjut.”

Khailash hanya mengangguk, lalu memanggil kepala pelayan. “Bantu dia berganti pakaian.” Perintahnya setelah itu berbalik badan diikuti dokter dan asistennya.

Dengan profesional, kepala pelayan mengangguk dan segera melakukan tugasnya. 

Tak lama kemudian, kepala pelayan memberi tanda bahwa Lura telah berpakaian. Kini ia mengenakan piyama lembut berwarna pucat yang semakin menampakkan betapa ringkih tubuhnya.

Dokter Wili kembali duduk di sisi ranjang dan melanjutkan pemeriksaan. Saat menarik bagian punggung piyama, ia terdiam. Bekas pecutan memanjang tampak jelas di punggung Lura—merah, bengkak, dan beberapa mulai membiru.

“Bagaimana mungkin…” gumamnya lirih. “Gadis serapuh ini… bisa dicambuk?”

Ia menoleh, menatap Khailash dengan sorot mata bertanya. “Kalau aku boleh tahu… di mana Kau menemukan gadis ini?”

Khailash memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, bahunya tegak.

“Dia sekarang istriku,” jawabnya enteng.

Dokter Wili tersedak pelan. Bahkan kepala pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan memalingkan wajah, nyaris menjatuhkan handuk di tangannya.

Suasana mendadak sunyi.

Khailash menatap dokter dengan tajam. “Hentikan pertanyaanmu, Wili. Rawat dia sebaik mungkin. Obati semua lukanya. Aku tidak ingin satupun bekas itu tersisa.”

Dokter Wili mengangguk cepat, menunduk dalam. “Aku akan melakukan yang terbaik.”

Dengan sigap, ia mulai menyiapkan salep dan perban. Sementara itu, Khailash tetap berdiri diam di sisi tempat tidur—menatap gadis yang sekarang istrinya, terlelap dalam luka dan diam.

*

Kini ruangan sunyi.

Dokter Wili dan para pelayan telah meninggalkan kamar, memberi ruang bagi sang tuan rumah dan istrinya yang masih tak sadarkan diri. Hanya lampu tidur redup yang menerangi sudut ruangan, menciptakan bayangan lembut di dinding.

Khailash berdiri di sisi ranjang, matanya menatap dalam pada tubuh Lura yang tampak jauh lebih mungil di bawah selimut putih. Nafasnya tenang, tapi kulit pucat dan bekas luka yang belum sepenuhnya tersembunyi membuat dada pria itu terasa sesak.

Dengan gerakan pelan, ia duduk di tepi ranjang. Jemarinya menyentuh bekas pecutan di bawah kerah piyama Lura, sangat hati-hati.

“Setiap luka yang kau dapat…” suaranya rendah, serak oleh emosi yang ia tahan, “…aku akan mengembalikannya kepada mereka,  berkali lipat.”

Ia menunduk, mengecup lembut bekas luka itu seolah membuat sumpah pada daging dan kulit istrinya.

“Itu sumpahku.”

Tangannya berpindah, mengelus pipi Lura yang dingin dan lembut.

“Setiap air mata yang jatuh…” bisiknya lirih, “…aku akan menagihnya pada mereka. Satu per satu.”

Tatapannya mengeras, rahangnya mengatup. Dalam benaknya, wajah orang-orang yang telah menyakiti Lura satu per satu muncul. Ia tidak akan melupakan mereka. Tidak akan mengampuni.

Tangannya masih membelai pipi istrinya, kali ini dengan lebih lama.

“Sebagai istri Khailash,” ucapnya tegas namun penuh ketulusan, “kau tidak boleh… dan tidak akan pernah dianiaya oleh siapa pun.”

Ia menunduk sedikit, bisikannya hangat menelusup ke telinga Lura,

“Aku tidak mengizinkannya.”

Sementara itu, di bawah alam bawah sadarnya, Lura seperti melayang dalam gelap. Namun di tengah kegelapan itu, ia merasakan sesuatu yang hangat.

Sentuhan lembut di pipinya.

Bisikan rendah di telinganya.

Bukan teriakan, bukan caci maki.

Bukan cambuk yang menghantam atau tangan yang menyeret.

Tapi suara yang menenangkan.

Suara yang menjanjikan perlindungan.

Sentuhan yang membawa rasa aman.

Sentuhan yang… menunjukkan kasih sayang.

Tanpa sadar, air mata mengalir di sudut matanya.

Khailash melihat itu.

Dengan ekspresi yang jauh dari citra dingin dan tak terjamahnya, ia mengangkat tangan dan menyeka air mata itu dengan hati-hati.

Tak ada emosi berlebihan di wajahnya. Tapi sorot matanya… sorot itu menyimpan lebih dari sekadar simpati.

Pria yang dikenal sebagai sosok dingin, penuh arogansi, dan perhitungan, malam ini sedang membuat sumpah dalam diam.

Bahwa wanita yang kini telah menjadi istrinya akan ia manjakan dengan segala kekuasaan yang ia miliki.

Bahwa di tangannya, Lura akan mengenal dunia yang berbeda.

Bukan dunia yang menghukumnya karena lemah. Tapi dunia yang akan membuatnya merasa dicintai hanya karena menjadi dirinya sendiri.

Dan Khailash akan memastikan itu terjadi.

Khailash mengelus lembut kepala Lura, berulang kali, dengan ritme yang tenang dan menenangkan. Jemarinya menyisir rambut istrinya perlahan, seolah ingin menghantarkan ketenangan ke dalam alam bawah sadarnya.

Dan benar saja, wajah Lura yang tadinya tegang perlahan tampak lebih damai. Nafasnya mulai teratur, alisnya tidak lagi berkerut, seolah tubuhnya mengenali bahwa kali ini, ia benar-benar sedang dilindungi.

Melihat itu, Khailash menarik selimut lebih rapi hingga menutupi tubuh Lura dengan hangat. Ia menunduk sejenak, menatap wajah pucat itu sebelum akhirnya mencium kening Lura dengan perlahan—satu kecupan lembut yang terasa seperti ikrar dalam diam.

Setelah itu, Khailash bangkit. Langkahnya mantap saat ia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sisi dalam kamar.

Begitu masuk, ia menyalakan shower tanpa ragu.

Satu per satu, ia menanggalkan seluruh pakaiannya. Menyingkap sosok pria tinggi, tegap, dan berotot kekar.

Tubuhnya nyaris sempurna, hasil dari disiplin dan kehidupan keras yang ia jalani selama bertahun-tahun. Tapi malam ini, tubuh itu bukan simbol kuasa semata.

Ia berdiri di bawah guyuran air, membiarkan tetes demi tetes membasahi wajah dan seluruh tubuhnya.

Mata Khailash terpejam, kepalanya sedikit mendongak. Air hangat mengalir di atas kulitnya, namun pikirannya tertuju pada satu hal—Lura.

Wanita rapuh yang kini ia genggam nasibnya.

Dan mulai malam ini, ia bersumpah akan menjaganya sampai akhir.

**

“Jangan takut begitu menatapku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ucis Boo
Semoga kamu aman bersama Kahilash Lura..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dimanja Suami Kontrak   Kita Harus Bicara

    Lura duduk bersandar di ranjang empuk kamar rawat inapnya. Jendela terbuka lebar, membiarkan cahaya matahari pagi menyelinap masuk bersama angin yang lembut, menggerakkan tirai putih tipis seolah sedang menari. Di hadapannya, televisi menyala dalam mode diam, namun ada teks berjalan dan headline yang cukup jelas untuk dibaca.“Jelita Resmi Didepak dari Lima Majalah Fashion Internasional. Karier Supermodel Tanah Air Resmi Runtuh.”Lura menatap layar itu tanpa ekspresi. Di layar muncul potongan video Jelita yang terlihat lelah, wajahnya sembab, menolak menjawab pertanyaan wartawan. Di bawah tayangan, cuplikan lain menunjukkan rumah masa kecil mereka disita, halaman luas yang dulu tempat ia bermain dengan sang ibu kini dipasangi garis pembatas, dengan tulisan “Aset Dalam Sengketa.”Hening.Satu-satunya suara yang terdengar di kamar hanya hembusan AC dan detak pelan mesin infus di sampingnya.Tak ada setitik pun rasa iba di hati Lura untuk Jelita. Perempuan itu sudah terlalu jauh menyeret

  • Dimanja Suami Kontrak   Dan Sekarang..?

    Hal pertama yang menyapa Lura adalah bau rumah sakit yang khas, campuran antiseptik, ketenangan palsu, dan rasa asing yang sulit dijelaskan. Perlahan tapi pasti, kelopak matanya terbuka, penglihatannya kabur sesaat sebelum dunia mulai kembali jelas. Langit-langit putih, bunyi detak monitor, dan hembusan lembut dari ventilator menyambutnya. Ia mengedarkan pandangan perlahan. Sakit di sekujur tubuhnya masih terasa nyata. Tapi lebih dari itu, ada kesadaran samar bahwa ia selamat.Lura menoleh, dan detik itu pandangan matanya bertemu dengan tatapan yang tak asing, mata gelap itu menatapnya tanpa suara, penuh tekanan emosi yang tertahan. Khailas duduk di sana, di kursi sebelah tempat tidurnya. Wajahnya nyaris tak berubah, tetap tenang dan terjaga, tapi sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam.Lura tersenyum pelan, air mata langsung menggenang tanpa bisa dicegah. Ia berbisik nyaris tak terdengar, “Ini… tidak mimpi, kan?”Air matanya jatuh, menyusuri pipi yang masih tampak pucat.

  • Dimanja Suami Kontrak   Meski Jantung Masih Berdetak

    Jelita mondar-mandir di depan ruang operasi. Langkahnya tidak tenang, bibirnya terus meracau, sementara matanya sembab dan wajahnya kehilangan warna. Di dalam ruangan yang disinari lampu terang, Danu sedang berjuang di atas meja operasi. Darahnya masih mengalir saat mereka tiba, dan belum ada kepastian apakah pria itu bisa selamat atau tidak.Tangis Jelita pecah lagi. Ia tidak peduli siapa yang menatapnya. Ibunya hanya bisa meraih bahunya, mencoba menenangkannya. Tapi bagaimana mungkin ketenangan datang saat semuanya di ambang kehancuran?Kuncoro, terduduk diam. Rambutnya acak-acakan, dasi dilepas, tangan gemetar. Semua kendali menguap entah kemana.Lalu suara langkah itu datang.Tegas. Berat. Penuh kuasa.Semua kepala menoleh, dan Kuncoro memejamkan mata. Badai datang. Dan seperti dugaan, pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu muncul dengan tongkat di tangan tak membutuhkannya untuk berjalan, tapi selalu membawanya sebagai simbol kekuasaan yang tak bisa diganggu.Ia berdiri di lo

  • Dimanja Suami Kontrak   Maaf, Aku Terlambat

    Langit malam menggantung kelam tanpa bintang. Suara ombak menghantam karang di kejauhan, bersahut dengan gonggongan anjing pemburu yang semakin mendekat, menyesakkan udara di sekitar. Hutan tempat Lura bersembunyi tak lagi memberi rasa aman. Tubuhnya lemah, dingin, gemetar. Nafasnya tidak lagi teratur. Lututnya nyaris tidak mampu menyangga berat tubuh. Ia bersandar ke pohon besar, memeluk dirinya sendiri, menekan isak agar tak terdengar. Tapi air mata tetap mengalir, tanpa bisa ia hentikan.Langkah-langkah mulai terdengar. Samar, tapi jelas mendekat. Cahaya obor perlahan menyinari batang pohon di dekat tempat Lura bersembunyi. Ia menahan napas, menutup mulutnya dengan tangan gemetar. Namun tubuhnya sudah terlalu lemah untuk tetap diam dalam ketakutan. Tubuhnya mulai bergetar hebat.Dan saat cahaya itu tepat di hadapannya, ketika bayangan tinggi menjulang berdiri di depannya—Lura melihat sosok bertopeng. Hitam, besar, membungkus wajah dan tubuhnya sepenuhnya.Lura menjerit dalam bisika

  • Dimanja Suami Kontrak   Pria Misterius

    Lura menahan nafas saat suara geraman anjing terdengar semakin dekat, liar, lapar, dan terlatih untuk mengendus jejak. Ia tahu hewan-hewan itu bukan sembarang anjing. Itu adalah anjing pelacak milik Danu, biasa digunakan dalam perburuan ekstrem, dan kali ini, sasarannya adalah dirinya.Dengan kaki yang pincang, Lura memaksa tubuhnya masuk lebih dalam ke perut hutan. Dedaunan berduri mencakar kulitnya, akar-akar pepohonan menjebak langkahnya, dan batu-batu berlumut tak henti menggores betisnya. Nafasnya nyaris habis, kakinya terkilir, dan darah mengalir dari luka di pelipisnya setelah terantuk dahan keras. Tapi tidak ada satu detik pun ia izinkan untuk berhenti. Di belakangnya, suara langkah berat manusia dan gonggongan anjing semakin nyata.Tangisnya masih membisu, air mata mengalir tanpa suara, bercampur lumpur dan debu hutan. Ia gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena takut. Takut pada kenyataan bahwa hidupnya bisa direnggut oleh tangan keji yang dulu nyaris menjadi calon su

  • Dimanja Suami Kontrak   Tolong Aku Lagi…

    Ruangan itu sepi, hanya denting halus arloji dan suara tik-tik ketukan jari Khailas di sandaran kursi yang terdengar berirama, seperti aba-aba dalam peperangan sunyi. Matanya terpejam, wajahnya tenang, namun auranya menguarkan badai. Sejak laporan terakhir masuk, ia tidak mengucap sepatah kata pun, hanya ketukan jemari telunjuknya yang berbicara.Asisten pribadinya berdiri tegak di sisi kanan, wajah tegang tapi tetap netral.“Tapi Tuan, menurut catatan imigrasi, target tidak meninggalkan negara. Terakhir terpantau berada di wilayah timur, namun kini…”Tok. Tok. Tok. Ketukan jari Khailas terhenti. Ia membuka mata perlahan, sorotnya dingin dan tajam.“Jangankan ke luar negeri,” gumamnya pelan namun tajam seperti silet, “keluar angkasa sekalipun… aku tahu dia yang melakukannya.”Ia meluruskan punggung, suara rendahnya kini terdengar jelas di seluruh ruangan, “Cari tahu tepatnya di mana dia sekarang. Aku punya hadiah yang harus dikirim.”Asisten itu menunduk dalam dan langsung keluar untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status