Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.
Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.
Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.
Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.
Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.
“Panggilkan dokter Willi. Segera.”
Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.
Asisten itu segera mengangguk dan berlalu dengan cepat.
Sementara Khailash kembali berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Lura yang terpejam. Dalam diam, ia menghembuskan nafas perlahan.
*
Tak butuh waktu lama, dokter Wili datang terburu-buru dengan tas medis di tangannya. Ia langsung disambut oleh kepala pelayan dan diarahkan ke kamar utama tempat Lura dibaringkan.
Begitu memasuki ruangan dan melihat kondisi Lura yang tampak lemah, alis dokter Wili langsung berkerut. Ia membuka perlengkapan dengan sigap, lalu mulai memeriksa denyut nadi dan suhu tubuh Lura.
Namun saat jemarinya menyentuh lengan Lura, ia berhenti seketika. Perlahan, ia menyingsingkan kain selimut dan pakaian yang dikenakan Lura.
Matanya membulat. Bekas merah lebam tersebar di bahu dan lengan.
Dan saat ia menggeser kerah kemeja Lura sedikit lebih lebar—terlihat dengan jelas guratan panjang seperti bekas cambukan.
“Ya Tuhan…” gumamnya lirih.
Mata Khailash menggelap. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras saat melihat reaksi dokter. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi auranya mendadak mencekam.
Dokter menatapnya sesaat, lalu berkata hati-hati, “Aku rasa… sebaiknya Nona—maksud ku, oh … gadis ini—berganti pakaian dulu. Aku perlu memeriksa lebih lanjut.”
Khailash hanya mengangguk, lalu memanggil kepala pelayan. “Bantu dia berganti pakaian.” Perintahnya setelah itu berbalik badan diikuti dokter dan asistennya.
Dengan profesional, kepala pelayan mengangguk dan segera melakukan tugasnya.
Tak lama kemudian, kepala pelayan memberi tanda bahwa Lura telah berpakaian. Kini ia mengenakan piyama lembut berwarna pucat yang semakin menampakkan betapa ringkih tubuhnya.
Dokter Wili kembali duduk di sisi ranjang dan melanjutkan pemeriksaan. Saat menarik bagian punggung piyama, ia terdiam. Bekas pecutan memanjang tampak jelas di punggung Lura—merah, bengkak, dan beberapa mulai membiru.
“Bagaimana mungkin…” gumamnya lirih. “Gadis serapuh ini… bisa dicambuk?”
Ia menoleh, menatap Khailash dengan sorot mata bertanya. “Kalau aku boleh tahu… di mana Kau menemukan gadis ini?”
Khailash memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, bahunya tegak.
“Dia sekarang istriku,” jawabnya enteng.
Dokter Wili tersedak pelan. Bahkan kepala pelayan yang masih berdiri di sudut ruangan memalingkan wajah, nyaris menjatuhkan handuk di tangannya.
Suasana mendadak sunyi.
Khailash menatap dokter dengan tajam. “Hentikan pertanyaanmu, Wili. Rawat dia sebaik mungkin. Obati semua lukanya. Aku tidak ingin satupun bekas itu tersisa.”
Dokter Wili mengangguk cepat, menunduk dalam. “Aku akan melakukan yang terbaik.”
Dengan sigap, ia mulai menyiapkan salep dan perban. Sementara itu, Khailash tetap berdiri diam di sisi tempat tidur—menatap gadis yang sekarang istrinya, terlelap dalam luka dan diam.
*
Kini ruangan sunyi.
Dokter Wili dan para pelayan telah meninggalkan kamar, memberi ruang bagi sang tuan rumah dan istrinya yang masih tak sadarkan diri. Hanya lampu tidur redup yang menerangi sudut ruangan, menciptakan bayangan lembut di dinding.
Khailash berdiri di sisi ranjang, matanya menatap dalam pada tubuh Lura yang tampak jauh lebih mungil di bawah selimut putih. Nafasnya tenang, tapi kulit pucat dan bekas luka yang belum sepenuhnya tersembunyi membuat dada pria itu terasa sesak.
Dengan gerakan pelan, ia duduk di tepi ranjang. Jemarinya menyentuh bekas pecutan di bawah kerah piyama Lura, sangat hati-hati.
“Setiap luka yang kau dapat…” suaranya rendah, serak oleh emosi yang ia tahan, “…aku akan mengembalikannya kepada mereka, berkali lipat.”
Ia menunduk, mengecup lembut bekas luka itu seolah membuat sumpah pada daging dan kulit istrinya.
“Itu sumpahku.”
Tangannya berpindah, mengelus pipi Lura yang dingin dan lembut.
“Setiap air mata yang jatuh…” bisiknya lirih, “…aku akan menagihnya pada mereka. Satu per satu.”
Tatapannya mengeras, rahangnya mengatup. Dalam benaknya, wajah orang-orang yang telah menyakiti Lura satu per satu muncul. Ia tidak akan melupakan mereka. Tidak akan mengampuni.
Tangannya masih membelai pipi istrinya, kali ini dengan lebih lama.
“Sebagai istri Khailash,” ucapnya tegas namun penuh ketulusan, “kau tidak boleh… dan tidak akan pernah dianiaya oleh siapa pun.”
Ia menunduk sedikit, bisikannya hangat menelusup ke telinga Lura,
“Aku tidak mengizinkannya.”
Sementara itu, di bawah alam bawah sadarnya, Lura seperti melayang dalam gelap. Namun di tengah kegelapan itu, ia merasakan sesuatu yang hangat.
Sentuhan lembut di pipinya.
Bisikan rendah di telinganya.
Bukan teriakan, bukan caci maki.
Bukan cambuk yang menghantam atau tangan yang menyeret.
Tapi suara yang menenangkan.
Suara yang menjanjikan perlindungan.
Sentuhan yang membawa rasa aman.
Sentuhan yang… menunjukkan kasih sayang.
Tanpa sadar, air mata mengalir di sudut matanya.
Khailash melihat itu.
Dengan ekspresi yang jauh dari citra dingin dan tak terjamahnya, ia mengangkat tangan dan menyeka air mata itu dengan hati-hati.
Tak ada emosi berlebihan di wajahnya. Tapi sorot matanya… sorot itu menyimpan lebih dari sekadar simpati.
Pria yang dikenal sebagai sosok dingin, penuh arogansi, dan perhitungan, malam ini sedang membuat sumpah dalam diam.
Bahwa wanita yang kini telah menjadi istrinya akan ia manjakan dengan segala kekuasaan yang ia miliki.
Bahwa di tangannya, Lura akan mengenal dunia yang berbeda.
Bukan dunia yang menghukumnya karena lemah. Tapi dunia yang akan membuatnya merasa dicintai hanya karena menjadi dirinya sendiri.
Dan Khailash akan memastikan itu terjadi.
Khailash mengelus lembut kepala Lura, berulang kali, dengan ritme yang tenang dan menenangkan. Jemarinya menyisir rambut istrinya perlahan, seolah ingin menghantarkan ketenangan ke dalam alam bawah sadarnya.
Dan benar saja, wajah Lura yang tadinya tegang perlahan tampak lebih damai. Nafasnya mulai teratur, alisnya tidak lagi berkerut, seolah tubuhnya mengenali bahwa kali ini, ia benar-benar sedang dilindungi.
Melihat itu, Khailash menarik selimut lebih rapi hingga menutupi tubuh Lura dengan hangat. Ia menunduk sejenak, menatap wajah pucat itu sebelum akhirnya mencium kening Lura dengan perlahan—satu kecupan lembut yang terasa seperti ikrar dalam diam.
Setelah itu, Khailash bangkit. Langkahnya mantap saat ia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sisi dalam kamar.
Begitu masuk, ia menyalakan shower tanpa ragu.
Satu per satu, ia menanggalkan seluruh pakaiannya. Menyingkap sosok pria tinggi, tegap, dan berotot kekar.
Tubuhnya nyaris sempurna, hasil dari disiplin dan kehidupan keras yang ia jalani selama bertahun-tahun. Tapi malam ini, tubuh itu bukan simbol kuasa semata.
Ia berdiri di bawah guyuran air, membiarkan tetes demi tetes membasahi wajah dan seluruh tubuhnya.
Mata Khailash terpejam, kepalanya sedikit mendongak. Air hangat mengalir di atas kulitnya, namun pikirannya tertuju pada satu hal—Lura.
Wanita rapuh yang kini ia genggam nasibnya.
Dan mulai malam ini, ia bersumpah akan menjaganya sampai akhir.
**
“Jangan takut begitu menatapku.”
Tubuh Lura terasa hangat, terkulai dalam pelukan Khailas setelah puncak keintiman mereka yang panjang dan memukau. Nafasnya masih tersengal, matanya menatap langit luas, dimana aurora menari anggun, seakan ikut menjadi saksi cinta mereka malam itu.Dengan suara lembut, ia bertanya, “Apa nama aurora itu, Amor? Dan… maukah kau menjelaskan bagaimana proses terjadinya aurora? Menurutmu, aurora yang paling indah dan langka itu seperti apa? Aku ingin tahu isi kepalamu, bukan hanya soal pekerjaan… atau aku.”Khailas mengeratkan pelukannya, pipinya menyentuh pucuk kepala Lura. Ia menghela nafas panjang, kemudian menjawab dengan nada tenang namun ringan, seolah sedang bercerita. “Aurora yang kau lihat sekarang disebut Aurora Borealis, cahaya utara. Jika ini terjadi di belahan selatan, namanya Aurora Australis. Prosesnya terjadi ketika partikel matahari, yang disebut angin surya, menabrak atmosfer bumi. Ketika bertemu dengan medan magnet di kutub, partikel itu menghasilkan cahaya. Warna hijau
Suasana dalam tenda kaca itu seperti terhenti, hanya ada mereka berdua dengan kehangatan yang melingkupi. Kata-kata Khailas tadi masih berputar di telinga Lura, membuat tubuhnya gemetar karena bahagia. Ia memeluk suaminya erat, menempelkan wajah di dada bidang itu.“Pengakuanmu,” bisik Lura dengan suara bergetar, “adalah kalimat paling indah yang pernah aku dengar seumur hidupku. Aku janji, Amor… aku akan menjadi yang terbaik untukmu. Setiap hari, aku akan belajar. Belajar menjadi istri yang pantas, pendamping yang layak, teman yang tidak pernah meninggalkanmu, apapun yang terjadi.”Tangannya mencengkeram erat mantel hangat Khailas, seolah takut jika perasaan ini hanya mimpi yang bisa hilang sewaktu-waktu.Khailas menunduk, mengecup pucuk kepalanya, lalu mengusap punggungnya dengan lembut. Gerakannya mantap, tapi penuh kasih, berbeda dari wibawa keras yang biasa ditunjukkannya pada dunia luar. “Tanpa belajar pun,” katanya tenang, “kau sudah melakukannya.”Lura mengangkat wajahnya, men
Mobil hitam yang mereka tumpangi terus melaju di jalanan Islandia yang sepi, membelah hamparan salju putih yang tak berujung. Lura menempelkan wajah ke jendela, pandangannya tak pernah lepas dari pemandangan luar. Air terjun raksasa yang jatuh bebas, lapisan lava hitam yang kontras dengan putihnya salju, hingga kawah vulkanik yang mengepulkan uap hangat, semua itu membuatnya terpukau. Bagaimana bisa dunia memiliki tempat seindah ini? batinnya tak henti bertanya.Setelah perjalanan lebih dari satu jam, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kayu bergaya Skandinavia modern. Dari luar, penginapan itu tampak sederhana, tapi aura kehangatan memancar dari jendela-jendela besar yang menyala terang. Atapnya tertutup salju, dan asap tipis mengepul dari cerobong, menandakan kehangatan api unggun di dalam.Lura menoleh cepat ke arah Khailas, matanya berbinar. “Tempat ini…” ia berbisik kagum, “seperti rumah dalam dongeng.”Khailas hanya menatap sekilas, lalu turun lebih dulu. Ia membuka
Suara mesin jet pribadi bergemuruh lembut, stabil menembus langit malam. Lura duduk di kursi kulit yang empuk, tubuhnya masih sedikit tegang, jantungnya berdetak tidak karuan. Baru saja beberapa jam lalu Khailas mengajaknya pergi, dan tanpa banyak penjelasan, ia kini berada di pesawat pribadi milik suaminya.Di sampingnya, Khailas tampak santai, menatap layar kecil di hadapannya yang menampilkan rute perjalanan. Ia lalu menoleh pada istrinya, seolah membaca kekagetan yang masih jelas terpancar di wajah Lura. Dengan nada datar tapi penuh karisma, ia berkata, “Kita menuju Islandia.”Lura berkedip cepat, seperti memastikan ia tidak salah dengar. “Islandia?” suaranya lirih, penuh tanda tanya.Khailas mengangguk, lalu melanjutkan, “Ada sesuatu yang istimewa dari sana, sesuatu yang tidak akan kau temukan di negara lain. Islandia adalah negeri es dan api, tempat di mana langit bisa menari. Aurora borealis, fenomena alam yang membuat dunia seolah berhenti bernafas.”Mata Lura membesar, rasa t
Suara langkah Lura bergema pelan di lorong dingin penjara. Udara pengap bercampur bau besi karatan seakan menegaskan tempat yang suram ini. Lura berdiri di depan sel, menatap lurus pada sosok di dalam. Jelita, dengan wajah kusut, rambut berantakan, dan mata penuh bara, duduk di kursi logam. Tatapan nyalangnya menusuk, dipenuhi dendam kesumat yang seakan tak ada habisnya.Namun Lura tetap berdiri dengan tenang. Penampilannya rapi, anggun, dengan kesombongan tenang yang bukan dibuat-buat, auranya menunjukkan kelas yang tak mungkin dijangkau oleh adik tirinya itu. Justru itulah yang membuat Jelita semakin terbakar, semakin ingin menghabisinya di tempat itu juga.“Ku pikir,” Lura membuka suara, datar namun tajam, “dengan ibumu dinikahi ayahku, hidupmu akan membaik. Tapi nyatanya tidak. Kau tetap liar. Bahkan di balik punggung orang yang memberimu makan, kau menikamnya berulang kali. Kau lakukan banyak kejahatan. Kau jatuhkan harga dirimu sendiri sampai ke dasar. Padahal aku masih berharap
Ruang sidang siang itu penuh sesak. Kursi pengunjung terisi hampir seluruhnya, sebagian besar dari kalangan media dan masyarakat yang penasaran dengan kasus besar ini. Blitz kamera berkilat-kilat sejak awal sidang dibuka, menyorot pada sosok yang kini duduk di kursi pesakitan. Jelita.Wanita yang dulu dikenal dengan citra mewah dan berkelas, kini benar-benar berbeda. Rambutnya yang acak-acakan, riasan wajah yang berantakan, serta tatapan mata yang kosong namun penuh amarah membuatnya hampir tidak dikenali. Bahkan Lura yang menyaksikan dari deretan kursi pengunjung merasa seolah melihat orang asing. Apakah ini adik tiriku? pikirnya. Sosok yang dulu selalu menuntut perhatian dan kemewahan kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri.Jaksa penuntut umum berdiri, membuka berkas perkara, dan mulai membacakan tuntutan panjang, pasal demi pasal yang menjerat Jelita. Tuduhan percobaan pembunuhan. Suaranya bergema memenuhi ruang sidang, tapi Lura tidak bergeming. Tidak ada rasa iba, tidak a