Share

Bab 3

Author: Clarissa
Kemudian, Tiffany berbalik untuk kembali ke dapur. Kedua pelayan itu segera menghentikannya. "Nyonya, nggak perlu."

Mereka digaji untuk masak, tetapi semua sudah disiapkan oleh Tiffany. Kalau sampai Sean tahu soal ini, bukankah mereka akan dipecat?

"Nyonya, aku dan Rika bertanggung jawab masak sarapan. Kamu baru datang ke rumah ini, nggak mungkin tahu selera Tuan. Sebaiknya jangan membuat masalah di dapur," ujar salah seorang pelayan dengan kesal.

Pelayan bernama Rika itu segera menyahut, "Ya, Bibi Prisa benar. Sebaiknya Nyonya istirahat saja."

"Tuan nggak makan makanan seperti ini. Dia selalu sarapan roti lapis, ham, dan susu. Sarapan yang Nyonya buat terlalu kuno," ucap Prisa sambil memandang sarapan yang terlihat hambar itu.

Ekspresi Tiffany tampak heran sesaat, lalu menjadi suram. Dia menunduk dan mengiakan. "Kalian benar."

Orang kaya memang suka bergaya. Di kampusnya, para siswa kaya saja tidak pernah pergi ke kantin untuk makan, apalagi orang sekaya Sean. Tiffany merasa dirinya sangat bodoh.

Sesaat kemudian, suasana hati Tiffany membaik. Dia tersenyum kepada Prisa dan berucap, "Kalau begitu, biar kubuang saja makanan ini."

Rika tertegun sesaat. Ucapan Prisa jelas-jelas agak berlebihan, tetapi nyonya mereka malah tidak marah dan berinisiatif ingin membuangnya?

Ketika melihat makanan yang masih mengepul asap panas itu, Rika merasa tidak tega. Dia bergegas menghentikan dan berkata, "Nyonya, jangan dibuang, sayang sekali. Biar para pelayan yang habiskan saja. Lain kali kamu nggak perlu repot-repot masak lagi."

"Oh, oke," sahut Tiffany setelah ragu-ragu sesaat.

"Kalau begitu, aku naik dulu." Setelah berbalik, Tiffany seketika merasa sedih. Sepertinya dia tidak disambut di rumah ini.

....

Di kamar tidur, pria tampan itu masih tertidur lelap. Tiffany duduk di pinggir ranjang, lalu menatap wajah Sean sambil bergumam dengan kesal, "Orang-orang di kota memang manja. Sarapan harus makan roti lapis, ham, dan susu. Roti lapis apaan? Aku saja nggak pernah makan, mana mungkin bisa buat."

Sebelum menikah, bibi Tiffany terus berpesan kepadanya untuk memuaskan semua keinginan suami. Itu adalah kewajiban istri. Dengan begini, pernikahan mereka baru bisa langgeng dan bahagia.

Tiffany teringat pada kejadian semalam dan kejadian di dapur tadi. Seketika, dia merasa makin getir. Dia baru menikah dan tidak ingin merusak kehidupan pernikahannya.

Semalam setelah menciumnya sesaat, Sean tidak melakukan apa pun lagi. Tiffany pun mengira Sean lelah sehingga tidak ingin melakukannya. Jadi, dia ingin memuaskan Sean dengan keterampilan memasaknya.

Alhasil, hari ini masakannya dikritik oleh para pelayan. Kalau begitu, apa artinya Tiffany hanya bisa memuaskan Sean di ranjang?

"Hei." Tiffany menggigit bibirnya sambil menatap hidung mancung Sean dan berujar, "Kalau kamu masih nggak bangun, aku akan menciummu lho."

Bulu mata Sean bergerak sesaat, tetapi matanya tidak terbuka. Ketika mengamati wajah Sean yang tampan dan menggoda, jantung Tiffany mulai berdetak kencang. Dia berkali-kali membungkuk untuk mencium Sean, tetapi akhirnya menyerah.

Pada akhirnya, Tiffany mundur dan membatin dengan kesal, 'Sudahlah, mungkin yang dikatakan Bibi nggak benar. Mungkin kebahagiaan nggak ada kaitannya dengan urusan ranjang.'

Meskipun begitu, kekesalan Tiffany masih belum sirna. Saat ini, ponselnya berdering. Bibinya, Indira, yang meneleponnya.

Tiffany mengambil ponselnya, lalu berlari ke kamar mandi untuk menjawab panggilan. Kemudian, Indira bertanya secara terus terang, "Tiffany, gimana? Semalam semuanya lancar?"

Tiffany tidak menutup rapat pintu kamar mandi, jadi suaranya bisa terdengar dengan jelas. Tiffany menyahut, "Nggak termasuk lancar."

"Kenapa? Kalian nggak melakukannya?" tanya Indira lagi.

"Nggak," jawab Tiffany.

"Tiffany ...." Indira menasihati, "Kamu harus ingat statusmu. Kamu menantu Keluarga Tanuwijaya. Tugas utamamu adalah memberi mereka keturunan. Jangan lupa, kamu janji akan melahirkan anak untuk Sean dalam 2 tahun."

Tiffany menggenggam ponselnya dengan erat sambil berujar, "Bibi tenang saja, aku nggak akan lupa janji itu."

Tiffany hanya tidak berpengalaman karena ini pernikahan pertamanya. Dia menambahkan, "Aku pasti akan berusaha melahirkan anak untuknya!"

Setelah mendapat jaminan seperti itu, Indira menghela napas lega dan berkata, "Ya. Selain itu, kalian sudah menikah. Kamu seharusnya memanggilnya 'sayang'."

Wajah Tiffany sontak memerah. Dia mengiakan. "Ya, aku mengerti ...."

Saat berikutnya, terdengar suara pintu dibuka. Tiffany mengira pelayan masuk. Dia khawatir ada yang mengganggu tidur Sean, jadi segera mengakhiri panggilan dan hendak keluar.

Alhasil, kamar tampak kosong melompong. Sean dan kursi rodanya telah menghilang. Tiffany buru-buru mengejar. Setelah turun, tampak seorang pria berpakaian hitam sedang duduk di meja makan sambil menyantap sarapan. Matanya ditutup sutra hitam, membuatnya terlihat sangat misterius.

"Nyonya, ayo makan!" Ketika melihat Tiffany, Prisa memanggilnya dengan ramah, "Ayo cicipi masakanku. Kita lihat, cocok dengan seleramu nggak?"

Perbedaan sikap ini membuat Tiffany merasa wanita sarkastis yang ditemuinya pagi tadi bukan Prisa. Tiffany pun menuruni tangga. Tampak roti lapis dan ham yang tidak pernah dimakan olehnya.

Setelah kejadian pagi tadi, Tiffany merasa dirinya tidak cocok dengan sarapan estetik ini. Dia tidak sanggup memakannya. Tiba-tiba, dia teringat ada acar di kulkas. Sean tidak menyukai makanan semacam itu, tetapi Tiffany boleh memakannya, 'kan?

Jadi, Tiffany berlari ke dapur dan mengambil acar itu. Dia memakannya dengan lahap. Ketika melihat ini, Sean bertanya sambil mengernyit, "Apa yang kamu makan?"

"Sesuatu yang nggak kamu suka," timpal Tiffany sambil mencebik.

"Gimana kamu bisa tahu aku nggak suka?" Sean tersenyum tipis.

Tiffany tampak cemberut. Kemudian, dia menyahut dengan nada bicara agak kesal, "Bibi Prisa yang bilang."

Begitu mendengarnya, Prisa yang berdiri di kejauhan sontak merinding. Sementara itu, Sean mengambil gelas susu dengan elegan dan menyesapnya, lalu bertanya, "Bibi Prisa bilang aku nggak suka makanan itu?"

"Ya." Tiffany mengiakan.

Sean berucap dengan nada menggoda, "Gimana bisa ada makanan yang nggak kusukai di kulkas?"

Tiffany tampak merasa bersalah. Dia menimpali, "A ... aku nggak tahu makanan favoritmu. Aku nggak tahu kamu nggak makan makanan kuno seperti ini. Makanya, aku masak seperti biasanya."

"Begitu ya?" Sean meletakkan gelas susu dengan santai. Gelas kaca bersentuhan dengan meja makan, menimbulkan suara nyaring yang berbahaya. Prisa ketakutan hingga hampir berlutut memohon ampun.

"Sebenarnya aku juga baru tahu kalau aku nggak menyukai masakanmu," sindir Sean dengan dingin.

Tiffany tidak memahami maksud ucapannya. Saat berikutnya, Sean mengambil acar yang ada di depan Tiffany. Kemudian, pria itu berpura-pura mencari sebelum akhirnya berhasil mengambil acar itu dan memasukkannya ke mulut. Dia tidak pernah makan makanan seperti ini. Rasanya asam, manis, dan sedikit pedas.

"Enak juga. Kapan Bibi Prisa tahu aku nggak suka makanan ini?" tanya Sean sambil meletakkan sendoknya.

Pagi-pagi, Tiffany masuk ke kamar dengan kesal dan mengatakannya pria manja. Semua ini karena Prisa?

Prisa pun ketakutan mendengar suara dingin Sean. Dia tanpa sadar bersembunyi di belakang Rika. Sean meneruskan, "Kenapa diam saja? Kamu merasa orang buta sepertiku nggak butuh penjelasan ya?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Kusnul Yani
bgmn pasti begini, selu
goodnovel comment avatar
Bhayangkari KhusnulIsmail
tolong lanjutkan ceritanya
goodnovel comment avatar
Sue Qester
good novel
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dimanja Suami Pembawa Sial   Bab 845

    "Aku ngerti." Sean menutup telepon dengan tenang."Ada apa?" Tiffany yang sedang memegang kartu kamar untuk membuka pintu, mengerutkan alis dan menoleh ke arah Sean. Wajahnya penuh kelelahan, tetapi tetap menatap Sean dengan penuh perhatian.Pria itu menekan bibirnya pelan, lalu mengangkat tangan dan memeluk bahu Tiffany. "Nggak apa-apa. Michael kembali membuat keributan di rumah sakit."Dia memeluk Tiffany sambil membawanya masuk ke kamar, lalu mengambil tas selempang dari bahunya dan membaringkannya di atas ranjang. Setelah mencium kening Tiffany, dia berujar, "Aku yang akan menyelesaikannya. Kamu sudah terlalu capek, istirahatlah dengan baik."Tiffany menggigit bibir, menatap Sean dengan cemas. "Kamu yakin bisa sendiri?"Usai mengatakan itu, dia hendak bangkit dari tempat tidur untuk ikut pergi bersama Sean. Namun, Sean menahannya di kasur. "Tenang saja. Michael nggak akan bisa berbuat apa-apa padaku. Tunggu aku pulang ya."Tatapan Sean yang tegas membuat Tiffany menghela napas panj

  • Dimanja Suami Pembawa Sial   Bab 844

    Tiffany memang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Sean. Namun, kalau bukan karena perjanjian di masa lalu antara pamannya dan Darmawan, mungkin dia tidak akan pernah punya hubungan apa-apa dengan Sean."Bukan sekadar lumayan, memang lebih baik dari ibumu." Hamish berucap dengan terus terang, "Ibumu mencintai ayahmu seumur hidupnya.""Tapi, ayahmu nggak bisa melindunginya, membuatnya harus menanggung semua penderitaan itu. Kemudian, dia bahkan nggak bisa menang dari ibumu, nggak bisa menemukan jejaknya, dan bahkan nggak menyadari kalau yang selama ini diam-diam membantunya adalah ibumu.""Sedangkan pria yang bersamamu sekarang, lebih pantas disebut sebagai pria sejati dibandingkan ayahmu. Tadi dia bilang nggak percaya kalau orang lain yang merawatmu dan hanya dia yang bisa menjagamu dengan baik. Dari sana, aku sudah tahu dia memang pria sejati!"Tiffany makin merasa malu saat mendengar pujian Hamish. "Paman Hamish, jangan terlalu memuji dia. Nanti jadi besar kepala."Hamish terta

  • Dimanja Suami Pembawa Sial   Bab 843

    "Ternyata begitu ...." Hamish menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Tiffany dengan tatapan sedikit memohon. "Foto ini ... bisa kamu berikan padaku? Bagaimanapun ... aku pernah mengaguminya."Hamish menatap Tiffany, sama sekali tidak menyembunyikan emosinya. Orangnya sudah tiada, menyembunyikan perasaan pun sudah tak ada gunanya.Lebih baik membuka hati dan mengatakan dengan jujur. Mungkin saja, dia masih bisa menyimpan foto ini sebagai kenang-kenangan.Tiffany tertegun sejenak. Dia benar-benar tak menyangka semuanya akan berkembang ke arah ini.Awalnya, dia hanya ingin menunjukkan foto itu untuk membuktikan hubungannya dengan Niken. Siapa sangka, ternyata Hamish juga termasuk salah satu pria yang dulu menyukai ibunya?Meskipun merasa berat karena ini adalah satu-satunya foto terakhir bersama ibunya, kini hanya dengan menjalin hubungan baik dengan Hamish, dia bisa menyelesaikan krisis yang dia dan Sean hadapi.Jadi, Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Hamish dengan agak ra

  • Dimanja Suami Pembawa Sial   Bab 842

    Di antara semua cerita Niken tentang Kota Zimbab, ada seseorang yang bernama Hamish. Tiffany masih ingat jelas bagaimana senyuman Niken yang berbaring di ranjang rumah sakit sambil menggenggam tangannya.Niken mulai bercerita, "Kalau bicara soal Hamish ini, ceritanya benar-benar dramatis. Hanya beberapa orang saja yang tahu dulu aku sebenarnya pernah menyelamatkan bos besar gangster yang sekarang sangat terkenal dan berkuasa di Kota Zimbab ini, Paman Hamish. Saat itu dia dikejar orang sampai tergeletak di samping tempat sampah dengan tubuh penuh darah, aku yang membawanya pulang.""Aku yang menyelamatkan setengah nyawanya. Kalau bukan karena aku tiba-tiba merasa iba, dia nggak mungkin bisa kembali ke gengnya dan menjadi Paman Hamish yang dihormati banyak orang. Orangnya sangat menarik. Meskipun sudah menerima uang untuk tugasnya, dia punya prinsipnya sendiri.""Tiffany, kalau kelak kamu atau Sean ada masalah besar di Kota Zimbab, kalian boleh cari Paman Hamish. Karena dia berutang besa

  • Dimanja Suami Pembawa Sial   Bab 841

    Setelah menghantam wajah pria yang berdiri di depannya dengan keras, Sean berbalik dan menarik Tiffany ke dalam pelukannya. Setelah melindungi Tiffany sepenuhnya di lengannya, dia menatap pria paruh baya bertubuh kurus yang duduk di kursi iru dengan dingin. "Kalau kamu mau bilang, aku tentu saja mau mendengarnya."Melihat Tiffany yang dilindungi Sean dengan erat, pria paruh baya itu tersenyum dengan perasaan agak kagum. "Bagus, kamu memang pria sejati. Aku sudah bekerja di bidang ini sangat lama. Aku sudah melihat banyak pasangan yang meninggalkan pasangannya saat menghadapi bahaya besar dan banyak pria juga yang mengkhianati wanitanya saat situasinya genting.""Tapi, kamu malah masih bisa melindungi wanitamu dengan begitu baik di saat seperti ini, kelihatan jelas kamu ini memang pria sejati."Setelah mengatakan itu, pria paruh baya itu tersenyum. "Karena kita semua ini pria sejati, aku juga nggak akan bertele-tele lagi. Penyewa kami bilang pilihannya hanya dua, berikan wanitamu pada k

  • Dimanja Suami Pembawa Sial   Bab 840

    Setelah mengatakan itu, Sean langsung melepaskan jaketnya dan melemparkannya pada Tiffany. "Pakai ini."Pandangan Tiffany langsung gelap karena tertutup jaket itu. Begitu kepalanya keluar dari dalam jaket itu, Sean sudah mulai bertarung dengan orang-orang itu. Dia panik sampai tidak mengenakan jaket itu dengan benar dan langsung mengeluarkan ponselnya dengan tergesa-gesa untuk menelepon Chaplin.Namun, sebelum Tiffany sempat menelepon, pria mesum yang wajahnya sudah babak belur karena tadi dihajar Sean langsung merebut ponsel Tiffany. "Mau panggil bantuan ya? Gadis cantik, lihatlah, ada berapa banyak saudaraku?"Saat mengangkat kepalanya, Tiffany langsung kaget saat melihat tenda warung kaki lima itu sudah dikepung dari segala arah dengan rapat. Semua orang itu bahkan membawa senjata. Dia secara refleks mundur satu langkah, lalu menatap pria mesum itu. "Kalian ini ...."Kelihatan jelas, orang-orang ini datang dengan persiapan. Jika hanya iseng menggoda seorang wanita saat sedang makan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status