Setelah makan siang, Bronson mulai bersiap membawa semua orang pergi ke Cartoon City. Meskipun Tiffany sangat ingin mengganti baju dan gaya rambutnya, semua orang tidak setuju.Bronson berkata, "Kamu kelihatan cantik banget seperti ini."Sean berujar, "Jangan diganti, sesekali merasa muda lagi itu bagus juga."Arlo mendengus. "Hmph, ganti baju itu merepotkan. Bu Tiffany, jangan buat ribet!"Arlene memelas, "Huhu .... Mama jangan ganti ya. Mama kelihatan cantik banget kayak Arlene!"Tiffany sungguh kehabisan kata-kata menghadapi empat orang yang tidak bisa dilawannya ini. Walaupun dalam hati agak kesal, Tiffany hanya bisa menurut. Dengan memakai gaun putri dan rambut dikepang dua, dia naik ke mobil.Cartoon City tidak jauh dari hotel tempat Bronson menginap, jadi keluarga kecil itu sampai dalam waktu singkat.Sesampainya di sana, Tiffany menggendong Arlene, Sean menggandeng tangan Arlo, dan Bronson berjalan di belakang mereka. Melihat anak-anak di hadapannya, senyuman kecil muncul di su
"Adikku masak untuk istrinya, aku punya suami yang masak untukku, kenapa aku harus marah?" Selesai berkata begitu, Sanny mendongak memandang Conan. "Makanannya sudah siap belum? Aku lapar."Conan tertegun sejenak. "Su ... sudah."....Di hotel, saat Sean meletakkan hidangan terakhir di atas meja, Bronson baru saja selesai mengepang rambut Tiffany. Dua kuncir kepang yang persis dengan Arlene.Meskipun Tiffany sudah berusia 25 tahun, wajah bulatnya yang imut seperti boneka membuatnya tampak seperti siswi SMA yang berusia belasan tahun saat dikepang seperti itu.Untuk menyempurnakan penampilan tersebut, Bronson bahkan mengambil gaun kecil yang sudah disiapkan sebelumnya dan menyuruh Tiffany memakainya."Sayang." Dengan gaun putih model putri dan rambut dikepang dua, Tiffany berdiri malu-malu di depan Sean dan menatapnya. "Aku kelihatan ... kekanak-kanakan nggak sih?"Saat berusia 16 atau 17 tahun, dia bahkan belum pernah memakai gaun seperti ini. Waktu itu, dia hidup di desa. Penghasilan
"Awasi dulu saja." Sean menelepon Conan dan menghela napas pelan. "Sisanya kita bicarakan nanti. Aku lagi sibuk sekarang."Di seberang telepon, Conan mengernyit. "Kamu sibuk apa lagi? Bukannya semua urusan di kantor sudah selesai?""Urusan kantor memang sudah beres." Sean tersenyum tipis, suaranya terdengar dalam dan agak bangga. "Sekarang aku sibuk urusan rumah.""Urusan rumah?" Suara Conan langsung meninggi. "Apa ada masalah di rumah?""Bukan begitu." Satu tangan Sean memegang ponsel, tangan lainnya memanaskan wajan. Dia memasukkan sayuran yang sudah dipotong ke dalam wajan panas.Suara tumisan pun terdengar. Dia tersenyum ringan dan meneruskan, "Aku lagi sibuk masak buat ayah mertuaku, istriku, dan anak-anakku. Jadi ya sibuk."Di seberang sana, Conan termangu sejenak. "Kamu ... kamu masak?" Nada suaranya semakin naik. "Kamu bisa masak? Bukannya dulu waktu aku minta kamu masakin bubur buat Sanny, kamu bilang kamu nggak bisa masak?"Sean tertawa pelan. "Aku cuma masak untuk istriku. S
Air mata Tiffany akhirnya tak terbendung lagi. Selama bertahun-tahun ini bersama Bronson, meskipun dia tidak pernah mengeluh, rasa tertekan itu tetap ada.Kini, dia akhirnya bisa melepaskan semuanya. Bagaimana mungkin dia tidak menangis karena bahagia?"Sudah, sudah! Jangan nangis lagi dong!" Saat ini, Arlene yang rambutnya dikepang dua berjalan mendekat dengan langkah goyah. Satu tangannya menggenggam lengan baju Tiffany, satu lagi menarik ujung pakaian Bronson."Mama, tadi Kakek bilang mau kepang rambut Mama. Katanya, waktu Mama seumuran dengan Arlene, Kakek belum pernah kepangin rambut Mama. Mama masih mau nggak dikepangin sama Kakek?"Sambil berbicara, si kecil menggelengkan kepalanya untuk membuat kedua kuncirnya bergoyang. "Mama, lihat deh, rambut Arlene bagus banget, 'kan? Kakek jago kepangin rambut! Mau coba nggak?"Tiffany tertegun sesaat. Dia refleks melirik ke arah Arlene, lalu menoleh memandang Bronson. Beberapa detik kemudian, hatinya terasa hangat. "Mau!"Setelah berkata
"Nggak ... nggak perlu minta maaf."Bronson merendahkan suaranya, berbicara dengan nada yang hanya bisa didengar oleh Sean dan dirinya, "Kalau saja semalam kamu nggak membuatku melihat dengan jelas siapa sebenarnya Cathy, mungkin aku ...."Kalimat selanjutnya tak sanggup dia ucapkan."Pokoknya." Bronson mengangkat kepala, menatap Sean dengan penuh rasa terima kasih. "Aku bukan orang yang nggak bisa membedakan benar dan salah. Aku tahu apa yang kamu lakukan adalah demi kebaikanku.""Aku ini orang yang selalu menganggap penting perasaan dan hubungan. Tapi justru karena itu, aku malah mengabaikan putri kandungku ...."Dia menarik napas dalam-dalam, menatap Sean dengan sungguh-sungguh. "Terima kasih karena sudah membuatku sadar betapa besarnya kesalahanku selama ini."Melihat pria paruh baya di hadapannya berkata dengan begitu serius, Sean hanya tersenyum tipis. "Kalau Tiffany tahu kamu berpikir seperti ini, dia pasti sangat senang. Faktanya, begitu tahu kejadian semalam, reaksi pertama Ti
"Karena rambut panjang itu cantik, tapi kadang sangat merepotkan menyisirnya."Setelah mengatakan itu, Arlene menoleh dan menatap Bronson dengan serius. "Kakek, sisir rambutku dengan baik ya. Nanti kalau ketemu Mama, aku akan bilang Kakek sangat jago menyisir rambut. Mama pasti akan minta kamu menyisir rambutnya juga."Setelah itu, Arlene berkata sambil bertepuk tangan sendiri, "Arlene memang pintar sekali."Arlo berkata, "Aku merasa kamu nggak pintar."Arlene yang cemberut baru saja ingin mengatakan sesuatu, tetapi pintu kamar tiba-tiba diketuk. Namun, sebelum Bronson sempat berbicara, dia sudah meniru gaya Bronson dan mulai memerintah Arlo. "Arlo, pergi buka pintunya. Aku dan Kakek sedang sibuk."Arlo melirik ke arah Arlene dengan ekspresi kesal, tetapi dia tetap meletakkan rubik di tangannya dan segera pergi membuka pintu.Terlihat Tiffany dan Sean yang berdiri di luar pintu sambil membawa banyak hadiah dan makanan."Arlo!"Tiffany meletakkan barang bawaannya, lalu menggendong Arlen