“Dia di ruangannya?” Nayla menatap pelayan dengan mata yang berbinar-binar, seolah ingin memastikan kabar itu benar. Pelayan itu mengangguk pelan, tanpa kata. Senyum Nayla langsung merekah, penuh semangat yang tak terbendung. “Evan!” seru Nayla.Langkahnya ringan saat dia menyusup masuk ke ruang Evan. Di dalam, Evan yang sedang duduk terkejut mendengar suara itu, cepat menoleh ke arah Nayla. “Nayla.” Suara Evan pelan. Namun, raut wajahnya penuh keterkejutan.Senyum Nayla merekah sesaat, lalu mengendur perlahan ketika melihat Evan meraba wajahnya tanpa bisa melihat. Dia tahu, tak ada gunanya menunjukkan ekspresinya sekarang. “Sayang, kamu sudah pulang?” tanya Evan.Tangannya meraba-raba mencoba mencari tangan Nayla. Nayla mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan lembut. “Iya, aku sudah pulang, Evan,” ucap Nayla.Dia membimbing Evan kembali ke kursi dengan hati-hati. Mata Evan tetap menelusuri ruang di sekitar mereka.“Bagaimana kata dokter Viranda? Apa semuanya baik-baik s
“Evan … kamu ….”“Syuutt … kamu istirahat saja, Nay. Jangan bergerak dulu.”Evan duduk di samping tempat tidur Nayla, jari-jarinya perlahan menyisir rambut yang terbungkus perban tebal. Matanya menatap tajam tapi penuh lembut, seolah ingin menyuntikkan kekuatan lewat tatapannya. “Nay ...” Evan kembali bersuara dengan nada pelan, seolah takut membuyarkan suasana tenang di ruang rawat itu. Nayla mengerang pelan, suara seraknya pecah. “Bagaimana operasinya?” tanya Nayla.Tersirat kecemasan yang tersimpan di balik kelopak mata yang mulai berkaca. Evan tersenyum tipis, senyum yang jarang tampak, kini terlihat jelas dan lebih ramah, lebih hangat dari biasanya. “Tenang saja, Nay. Operasinya lancar. Semua akan baik-baik saja,” ujar Evan, nada suaranya mengalir lembut.Nayla menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca, seolah beban di dadanya sedikit terangkat. Dia menatap langit-langit putih yang dingin, tubuhnya masih terikat perban, tapi hatinya mulai merasakan harapan.Evan mengan
“Baiklah, lakukan saja, Dokter!”Evan mengangguk setuju, raut wajahnya begitu antusias. Lalu, dia melirik pada Nayla, dan kembali menganggukkan kepalanya. Nayla pun membalas anggukkan kepala.Hari berikutnya tiba dengan cepat. Nayla, dengan hati berdebar-debar, bersiap untuk operasi ulang, untuk perbaikan wajahnya. Kali ini, bukan Vania yang setia mendampinginya, melainkan Evan. Tangan Evan menggenggam erat tangan Nayla, mencoba memberikannya dukungan. Hingga akhirnya, Nayla memasuki ruang operasi setelah dibuat tidak sadar menggunakan obat bius. Suasana tegang menyelimuti ruangan operasi, hanya diselingi suara monitor detak jantung yang berdetak teratur.“Kita mulai sekarang,” kata Viranda sambil mengangguk mantap.Dia ditemani dengan tim medisnya yang handal, memulai operasi. Dengan ketelitian dan keahliannya, Viranda memeriksa kembali luka bekas cengkraman Auliana. Luka tersebut ternyata lebih dalam daripada yang terlihat sebelumnya, menyebabkan kerusakan jaringan yang cukup signif
“Evan!”“Evan!”“Kamu tidak bisa memperlakukan bibi seperti ini, Evan!”Auliana menjerit histeris, saat dia diseret keluar ruangan dengan paksa oleh Tommy. Nayla meringis ngeri, mendengar jeritan Auliana. Namun, dia sedikit merasa lega, karena Auliana dijauhkan darinya.“Evan!”Jeritan Auliana masih terdengar nyaring, sekalipun pintu ruangan sudah tertutup rapat.Nayla langsung menatap Evan dengan khawatir. “Evan, apa semuanya akan baik-baik saja? Aku khawatir, masalah akan tambah besar, kalau kamu memperlakukan bibi Auliana seperti itu.Evan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. Tatapannya masih tertuju pada pintu yang tertutup rapat, tempat jeritan Auliana masih samar-samar terdengar. Dia tahu, tindakannya barusan terlalu keras. Tapi, kesabarannya sudah habis. Auliana, dengan segala drama dan manipulasinya, telah melewati batas.“Aku tahu, Nayla,” jawab Evan, suaranya berat. “Tapi aku tidak bisa terus membiarkannya. Dia sudah sangat keterlaluan! Apalagi, dia berani menyakitimu
“Percuma saja! Sekalipun kamu memperbaiki wajahmu yang buruk itu, Evan tetap tidak bisa melihatmu. Dia kan buta!”Senyuman sinis dan penuh ejekan itu kembali diukir oleh Auliana. Seolah-olah, dia ingin menemukan titik kepuasan tersendiri saat menghina Nayla.“Tolong jangan menghina suamiku, Bi! Apa pantas, Bibi menghina keponakan Bibi sendiri, seperti itu?!”Nayla membalas dengan nada suara yang tinggi. Dadanya terasa bergemuruh, saat rasa kesal menyeruak begitu saja setelah mendengar hinaan Auliana.“Bibi bebas menghinaku sesuka hati, Bibi! Tapi tidak dengan suamiku! Aku tidak akan tinggal diam, Bi!” lanjut Nayla menegaskan.Tawa Auliana pecah keras, menggema memenuhi ruang rawat VVIP yang hening. Dia menertawakan keberanian Nayla yang berani melawan hinaannya.“Ternyata kamu semakin berani, ya? Mulai nunjukin taring untuk menggigit aku!” hardik Auliana sambil bibirnya bergetar, wajahnya tiba-tiba memerah oleh kesal yang susah ditahan. “Selama ini kamu cuma pura-pura polos di depan
“Bagaimana keadaanmu, Nay?”Evan bertanya dengan nada lembut dan penuh perhatian, sementara Tommy memapahnya mendekat pada Nayla.Dengan senyuman yang sumringah, dan mata yang berbinar-binar penuh kebahagiaan, Nayla menjawab penuh semangat.“Keadaanku sudah jauh lebih baik, Evan.”Evan menghela napas lega mendengarnya. Dia duduk di kursi lain yang sudah disiapkan Tommy di samping tempat tidur Nayla.“Tapi, Evan ….” Nayla menggantung kalimatnya sebentar, menatap Evan dengan serius.“Ada apa?” tanya Evan, mengangkat sebelah alisnya.Nayla melemparkan pandangan singkat ke arah Vania, bibirnya tercekat sedikit, ragu menyelimuti pikirannya. Vania hanya mengangguk pelan, memberi isyarat agar Nayla jujur pada Evan. “Ibu, besok dia harus cuci darah di rumah sakit. Boleh nggak, Tommy yang jemput ibu setelah cuci darah, terus bawa ke sini?” tanya Nayla dengan ragu-ragu.Nayla mengerjap, menunduk sejenak, matanya menatap Evan dengan gugup. “Aku rindu sekali sama ibu. Sudah lama aku nggak sempa