“Beritahu aku, apa yang Nayla lakukan di ruanganku?” Evan berdiri kaku di depan layar CCTV yang menampilkan sosok Nayla tengah membuka kotak kayu kecil di atas mejanya dengan gerakan hati-hati namun penuh rasa ingin tahu. Perlahan, Nayla membuka laptop milik Evan, matanya tertuju pada layar seolah mencari sesuatu yang sangat penting. Tommy dengan polosnya, langsung menjawab jujur sesuai dengan apa yang dilihatnya di layar monitor. Tanpa dia sadari kalau Evan sendiri saat ini sedang melihatnya. Dan perintah Evan barusan, hanya sekedar basa-basi untuk menutupi kepura-puraannya.“Nyonya membuka kotak kayu kecil yang ada di meja Tuan, dan juga membuka laptop Tuan,” jawab Tommy.Jantung Evan berdegup kencang, tangannya mengepal erat sampai urat-urat di punggung tangannya menonjol, menahan amarah dan kekhawatiran yang bergelora di dalam dada. Dengan suara dingin namun tegas, Evan kembali memerintahkan, “Kamu bisa pergi sekarang. Aku ingin sendiri di ruangan ini.” Tommy menatap Evan deng
“Tidak, Bi. Jangan panggil dokter. Aku tidak apa-apa, kok.”Nayla bangkit dari posisi telungkupnya, lalu menatap Rasti dengan matanya yang sembab. “Bibi nggak kasih tahu, Evan, kan?” tanya Nayla. Tatapannya langsung menyelidik tajam.Mata Rasti membelalak, menyadari kesalahannya. Dia langsung menunduk, tak berani menatap Nayla.“Maafkan saya, Nyonya. Karena saya sangat khawatir, jadinya saya langsung menelepon tuan, dan memberitahukan tentang kondisi Nyonya.” Rasti langsung berlutut di depan Nayla.Nayla menghela napas kasar, memalingkan wajahnya dari Rasti. Rasanya percuma kalau dia harus memarahi Rasti, karena dia tahu kalau Rasti hanya menjalankan perintah suaminya untuk segera melapor jika terjadi sesuatu dengannya.Nayla menatap tajam ke arah Bibi, lalu suaranya terdengar berat. “Ya sudah, Bibi bisa keluar sekarang. Aku ingin sendiri.”Sekilas matanya melirik ke arah Rasti, tapi segera dia alihkan pandangan, wajahnya menegang, seolah beban pikiran menyesak dadanya. Rasti menger
“Jadi, selama ini Evan masih belum bisa melupakan mantan tunangannya?”Nayla membaca terus surat itu, air matanya mulai menetes. Surat itu penuh dengan ungkapan cinta dan kerinduan yang mendalam kepada wanita yang bernama Anita. Evan menceritakan tentang mimpi-mimpi mereka, tentang rencana masa depan yang telah mereka rancang bersama. Dia menggambarkan Anita dengan detail yang begitu indah, seakan-akan Anita masih hidup di sampingnya.“Anita …” Nayla bergumam dengan nada getir, mengingat-ingat, seolah nama itu sangat familiar di telinga. “Anita? Apa yang dimaksud ini adalah Anita Rastanara? Model terkenal di negeri ini?”Nayla langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, menepis pikirannya itu.“Nggak mungkin Anita itu! Setahuku, Anita tidak pernah menjalin hubungan dengan Evan? Aku juga penggemarnya. Mana mungkin aku melewatkan kabar percintaannya.” Nayla berdialog sendiri, bergelut antara hati dan pikirannya.Nayla kembali fokus membaca surat itu sampai tuntas. Semakin jau
“Iya, Nek. Aku akan coba pertimbangkan saran. Nenek. Tapi … aku sendiri bingung, harus mulai dari mana?”Nayla menghela napas berat, dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Dia bingung, karena tidak memiliki banyak akses untuk bisa membantu Evan. Ini saja, dia menjadi CEO karena Evan yang menginginkannya. Selebihnya, Evan tidak terlalu terbuka kepadanya.“Iya, tapi kamu bisa usahakan itu semua, Nay. Nenek yakin, kamu pasti bisa,” kata Vania dari ujung sana.Nayla menyahut singkat. “Baik, Nek.”Setelah selesai, Nayla langsung menutup panggilan teleponnya dengan Vania. Dan dia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur yang empuk, merasakan lelah yang masih mendera setelah perjalanan jauh.Sejenak, Nayla menatap langit-langit kamarnya sesaat, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau dan juga lelah. Tubuhnya yang tadi terkulai lemas di ranjang kini berdiri tegak, langkah kakinya mantap menapaki lantai marmer kamarnya menuju pintu ruangan kerja Evan. “Aku harus tahu
“Berapa anak?!"Evan sedikit terkejut mendengarnya. Matanya menatap lurus ke arah Nayla dengan wajah polos namun serius. Nayla mengangguk cepat, seolah ingin memastikan bahwa Evan benar-benar mendengar dan memahami maksudnya. “Iya. Kamu mau punya berapa anak, Evan?” Nayla kembali mengulang pertanyaannya dengan dengan penuh keyakinan. “Bukannya kamu ingin kita segera punya anak?”Evan menghela napas panjang, tangannya yang tadinya santai kini mengepal erat. Dia mulai mempertimbangkan perkataan Nayla, sebelum akhirnya memberikan jawabannya. “Bagaimana kalau tiga? Dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Pasti akan seru.”Mendengar jawaban itu, ekspresi Nayla berubah, matanya berbinar seolah membayangkan masa depan mereka nanti, kalau dia memberikan dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. “Emm … kayaknya akan lebih baik kalau anak pertama dan kedua itu laki-laki, dan anak terakhir perempuan. Pastinya akan sangat menyenangkan, saat gadis kecil kita nanti, dijaga kedua kakak laki
“Sayang, kenapa kamu lama sekali, sih?”Evan berdiri di depan pintu kamar dengan tangan disilangkan di dada, wajahnya menunjukkan campuran antara kesal dan cemas. Matanya sesekali melirik jam di pergelangan tangan, seolah waktu berjalan terlalu lambat untuknya.Di di depan meja rias, Nayla duduk sambil menggumam kesal. Wajahnya yang sedikit memerah, rambut yang belum sepenuhnya tertata, dan riasan yang belum sempurna.“Sabarlah! Kamu tidak tahu, kalau wanita itu selalu memakan waktu yang lama untuk berdandan. Kenapa kamu sama sekali nggak ngerti, Evan?!” sahut Nayla dengan nada kesal. Evan menghela napas panjang, membiarkan dadanya naik turun berat.“Tapi ini sudah hampir dua jam, Nayla. Kalau terus begini, kita bisa terlambat!” ketus Evan sambil mengusap wajahnya, berusaha menahan rasa frustasi. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, sebelum Nayla akhirnya mengangguk pelan, berusaha mempercepat persiapannya. Karena, mereka berdua akan pergi untuk melakukan perjalanan bulan madu ber