“Evan, sebaiknya kita pulang.”
Kaki Nayla berjinjit menyetarakan tingginya dengan Evan, berbisik memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia merasa semakin tidak nyaman berada di tengah keluarga Evan yang penuh ketegangan, ditambah dengan ejekan yang diterimanya dari Serin dan Auliana. Evan menoleh pada Nayla, kemudian mengangguk mengiyakan. Keduanya hendak melanjutkan langkah untuk pergi. Namun, Auliana langsung mencegah mereka. “Evan, kamu tidak menolak pengajuan Kane untuk mendapatkan posisi tetap di perusahaan, kan?!” Nayla mencoba angkat bicara. “Evan–” Tapi Evan langsung mengkode untuk berhenti bicara. Tangan Evan terangkat, dengan raut wajahnya yang terlihat begitu dingin namun tegas. Nayla menelan ludahnya, tak berani lagi untuk bicara. “Aku sudah bilang, Bibi bisa tanyakan itu pada Kane.” Evan menyahut dingin. “Ma, nanti aku jelaskan,” pungkas Kane. Kane merasa kalau Evan tidak bisa dipaksa untuk bicara sekarang-sekarang ini. Membiarkan mereka pergi adalah pilihan yang tepat. Evan dan Nayla akhirnya pergi meninggalkan kediaman Daviandra. Nayla menggandeng lengan Evan dengan lembut, meskipun masih ada rasa yang mengganjal di hatinya. Nayla merasa memang sudah sebaiknya mereka pulang lebih cepat. “Kane, jawab ibu. Bagaimana hasil pembicaraan kalian di dalam?” tanya Auliana mendesak. Setelah kepergian Evan dan Nayla, Auliana masih menuntut jawaban atas pertanyaannya dari Kane. Kane melirik pada Serin, lalu kembali menatap ibunya dan berbicara dengan tenang. “Kita bicarakan ini di dalam,” ajak Kane. Sementara dalam perjalanan pulang, Nayla dan Evan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Keduanya hampir tidak saling bicara sama lain. Sampai Evan akhirnya angkat suara untuk memecah keheningan. “Maafkan mereka.” “Hah?” Nayla langsung menoleh pada Evan. Dia terkejut sejenak, tak mengerti maksud Evan. Hingga akhirnya Nayla paham, kalau Evan sedang mengkhawatirkannya. “Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa diejek seperti itu,” jawab Nayla dengan nada acuh tak acuh. Meski sebenarnya dia sangat tersinggung, karena sudah sering mendapat tekanan dan hinaan dari keluarganya sendiri. Hal itu membuatnya merasa tidak terlalu terganggu saat diejek oleh keluarga Evan. “Sepertinya kamu sudah terbiasa menahan diri, ya?” tanya Evan. Mendengar itu, Nayla balik bertanya. “Menahan diri untuk apa?” Evan tidak menjawab. Dia kembali diam, meninggalkan banyak pertanyaan di dalam benak Nayla. ‘Tumben sekali dia perhatian seperti itu? Biasanya sikapnya selalu dingin.’ Saat Nayla tenggelam dalam rasa herannya pada Evan, tiba-tiba Evan memerintahkan Tommy yang duduk di kursi depan mobil. Dan perintah itu membuat mata Nayla membelalak kaget saat mendengarnya. “Tommy, carikan hotel di sekitar sini.” Nayla langsung memprotes, “Loh, bukannya kita langsung pulang?” Evan hanya diam sejenak, memastikan bahwa Tommy sudah menjalankan perintahnya. Tommy menoleh ke belakang. "Saya akan segera pesan hotel, Tuan.” Evan mengangguk pelan sambil menghela napas berat, tanpa merespons protes Nayla. Karena tak mendapat respon dari Evan, Nayla mulai gelisah memikirkan malam pertama mereka yang gagal. ‘Apa Evan berencana melakukannya di hotel?’ batinnya, kemudian melanjutkan kembali. 'Ya Tuhan! Bagaimana ini? Aku bahkan tidak membawa baju ganti untuk malam ini.’ Dalam diam, Nayla berusaha mengambil inisiatif tentang mempersiapkan diri agar malamnya di hotel bersama Evan akan berhasil. Nayla mendekatkan wajahnya ke Evan, menutup mulutnya, dan berbisik pada suaminya. “Evan, apa kamu mau aku bersiap untuk malam ini?” Evan, yang mendengar bisikan Nayla, menelan ludahnya. Wajah dan daun telinganya memerah, entah karena malu atau marah. “Kenapa? Kamu masih kesal karena semalam tidak jadi?” Kali ini suara Evan cukup keras sehingga terdengar oleh Tommy dan sopir yang duduk di kursi depan. Mendengar itu, Nayla langsung melihat ke depan, memastikan kalau kedua orang di depan mereka tak memahami perkataan Evan. Padahal, Nayla sudah memberi isyarat agar cukup berbisik saat membahas masalah ranjang mereka. “Evan, pelankan suaramu. Aku malu!” bisik Nayla dengan polosnya. Wajahnya langsung memerah karena rasa malu sekaligus kesal. Namun, Evan hanya memberikan senyuman tipis yang penuh arti tanpa merespon lebih lanjut. Nayla merengut kesal. Dia berpikir, berbicara dengan Evan yang begitu irit bicara. “Aku seperti bicara dengan tembok!” keluh Nayla dengan kesal. Mendengar keluhan itu, alis Evan berkerut, menahan rasa geli yang muncul di telinganya. Ada rasa gemas sekaligus ingin tertawa mendengar dirinya disamakan dengan tembok. Evan tersenyum tipis, sengaja menggoda Nayla. “Jadi Nyonya Daviandra ini, ceritanya sedang merajuk, ya?” Nayla kali ini memilih untuk tidak menjawab lagi. Dia ingin menunjukkan bahwa dia pun bisa bersikap seperti Evan. Dia memalingkan ke samping, menatap pemandangan jalanan dari balik kaca mobil. Evan, menyadari kekesalan Nayla, hanya bisa mengukir senyum tipis. Kemudian, dia meminta Tommy untuk mengubah pesanan kamar hotel. “Tommy, pesan paket kamar pengantin baru untuk hotelnya.”“Aku benar-benar takut, Evan. Sungguh, aku takut.”Nayla terisak di dalam pelukan suaminya. Tak kuasa menahan rasa takut kehilangan ibunya.“Sudah sayang, kamu yang tenang, ya. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja, kok,” bujuk Evan.Nayla mengangguk mengiyakan. Dia semakin membenamkan wajahnya di dada Evan.Sesampainya mereka di rumah. Nayla langsung melangkah masuk begitu saja, meninggalkan Evan di belakangnya. “Bu, tolong, Evan masih di belakang. Kamu samperin dia, ya,” pinta Nayla pada Rasti.Rasti mengangguk. “Baik, Nyonya.”Sementara Rasti segera menghampiri Evan. Nayla melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Dia menghela napas panjang, begitu membuka pintu.“Ya Tuhan … bagaimana ini? Bagaimana kalau Ibu tidak segera mendapatkan donor ginjal?” gumam Nayla, masih terbebani pikirannya mengenai Nasyila.Nayla melangkah masuk, menuju ke tempat tidur. Helaan napasnya berat, dadanya terasa sesak, dan pikirannya begitu kalut, ditambah tubuhnya yang terasa sangat lelah.Begitu sampai
“Untuk saat ini, donor ginjal tidak tersedia di rumah sakit ini.Dokter itu menjawab sambil memasang raut wajah menyesal.Nayla menatap dokter dengan tatapan nanar.“Lalu, bagaimana Dok? Apa yang harus saya lakukan?” tanya Nayla penuh desakan.Dokter itu menunduk sejenak, tampak berpikir keras.“Kami akan berusaha mencari donor ginjal secepatnya. Tapi, terus terang, Nyonya Nayla, waktu kita sangat terbatas. Kondisi ibu Anda bisa memburuk kapan saja,” balas sang Dokter.Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang kembali mendesak keluar. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Apa tidak ada rumah sakit lain yang memiliki donor ginjal?” tanya Nayla kembali.“Kami sudah menghubungi beberapa rumah sakit besar di negara kita, tapi hasilnya nihil. Semua rumah sakit juga sedang kekurangan donor ginjal,” jawab dokter dengan nada menyesal.Nayla terduduk lemas di kursi tunggu. Dunianya terasa runtuh seketika. Ibunya membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya, tapi rumah sakit tidak memi
“Maaf, Bu. Ibu nunggu lama, ya?”Nayla masuk ke dalam mobil, menatap Nasyila dengan khawatir. Disusul, Evan juga masuk ke dalam. Kali ini, Evan duduk di kursi depan, samping Tommy yang menyetir mobil mereka.“Nggak apa-apa, Nay. Ibu senang, kok, karena akhirnya Ibu bisa pergi,” balas Nasyila dengan lembut.Nayla menghela napas lega, kemudian menyunggingkan senyuman kaku. “Syukurlah, untung Evan datang.” Nayla menoleh ke depan, melihat suaminya yang duduk di kursi depan mobil, selalu kembali tersenyum.“Lain kali, jangan datang ke sini sendirian, ya, sayang,” peringat Evan dengan nada dingin. “Aku khawatir, kamu tidak bisa menangani mereka sendirian.”Nayla menghela napas panjang, kemudian tertunduk lesu.“Maafin aku, Evan. Pikiranku terlalu kacau, aku tidak berpikir sampai kesana,” keluh Nayla dengan nada sedih.Evan menghela napas berat. Dia mengerti, kenapa istrinya bisa memiliki pikiran yang cukup kotor. ‘Pasti kamu masalah di hotel,’ pikir Evan.“Maaf, aku sudah membebanimu den
“Kamu berani mengancam ayah mertuamu sendiri, Evan?!”Marissa langsung ikut angkat bicara dengan nada tinggi. Tatapannya tajam, menatap Evan tanpa rasa takut. Evan tersenyum sinis. Semakin lama, dia semakin paham bagaimana karakter masing-masing dari anggota keluarga istrinya. “Kalau memang itu diperlukan. Apa boleh buat?” sahut Evan dengan entengnya. Ghavin mendengus kesal. Mencoba mengontrol emosinya. Karena dia tahu, menantunya Evan tidak akan mudah ditundukkan seperti putrinya, Nayla. Dia harus menghadapinya dengan hati-hati. “Bukan begitu maksud Papa, Evan. Tapi, kamu juga kan seorang suami. Harusnya kamu tahu kan posisi Papa?” Ghavin mencoba menjelaskan dengan tenang dan lembut. “Bagaimana perasaan kamu, tiba-tiba istrimu sendiri dibawa tanpa seizinmu?”Evan tertunduk sesaat sambil tersenyum sinis. Dia merasa kalau perkataan ayah mertuanya itu sama sekali tidak masuk akal. Karena, sama sekali tidak mencerminkan tindakannya sendiri. “Enteng sekali Anda berbicara seperti itu,
“Tidak bisa! Kamu nggak bisa pergi dari sini. Aku tidak akan mengizinkanmu, Nasyila!”Ghavin melotot tajam. Menentang keras rencana Evan dan Nayla membawa Nasyila tinggal di rumah mereka.Nayla maju selangkah lebih dekat kepada ayahnya. Wajahnya terangkat, seolah menantang sama ayah dengan penuh keberanian. “Kenapa, Pa? Kenapa Papa nggak mau kalau aku ajak Ibu untuk tinggal di rumah kami?” tanya Nayla dengan nada menantang. Ghavin mendengus kesal. Tatapan tajamnya kini berarah kepada Nayla. “Nggak! Pokoknya Papa nggak bakal mengizinkan kalian membawa Ibu kalian pergi dari sini!” pungkas Ghavin menegaskan.Mendengar itu, Evan terdiam namun tatapannya menusuk tajam ke arah ayah mertuanya. Auranya terasa mencekam, sekaligus dingin, namun penuh otoritas. “Anda mengizinkan atau tidak, kami tetap akan membawa Ibu pergi dari sini!” Evan pun ikut mengambil keputusan dengan tegas. Membuat Ghavin tercengang menatapnya.“Kenapa? Anda keberatan, Tuan Ghavin?” Lanjut Evan bertanya dengan penu
“Kalian mau kemana?”Adelia dan Marissa seketika menghadang Nayla, dan Evan yang keluar bersama dengan Nasyila.“Mau dibawa kemana, dia?” tanya Adelia kembali mendesak.Nayla yang berdiri tegap, menelan ludahnya sambil melayangkan tatapan tajam kearah mereka berdua.“Aku mau bawa Ibu ke rumah sakit. Lalu, Ibu bakalan tinggal bareng kami.” Sejenak, Nayla melirik pada Nasyila. Lalu balik lagi menatap Adelia dan Marissa dengan tatapan tajam. “Kalau kalian mencoba menghalangiku. Aku pastikan, akhirnya nggak akan baik untuk kalian berdua,” lanjut Nayla mengancam.Adelia tertawa sinis, lalu melipatkan kedua tangannya di dada. Mengangkat wajahnya dengan angkuh. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin yang menusuk, dengan tangannya yang menunjuk tajam ke arah Nasyila.“Oh, jadi kamu mau bawa beban itu keluar dari rumah ini?” tanya Adelia dengan merendahkan, penuh sindiran terselubung. Nayla yang berdiri tak jauh dari situ, dadanya naik-turun menahan amarah, mendengus keras. Tatapannya membar