“Paket kamar pengantin?!”
Suara Nayla terdengar tinggi, penuh kejutan mendengar Evan yang tiba-tiba meminta kamar hotel dengan paket kamar pengantin baru. Evan hanya merespon dengan senyum tipis.
Nayla merasakan debaran yang sangat kencang di dadanya, wajahnya memerah karena rasa malu. Dia mulai berpikir, kalau Evan mungkin sudah siap untuk melanjutkan malam pertama mereka yang sempat tertunda.
Sesampainya di hotel, Nayla dan Evan memasuki kamar pengantin yang telah dipesan. Kamar itu dihiasi dengan berbagai bunga dan lilin yang menambah kesan romantis.
“Evan, mau mandi dulu? Aku bantu, ya?” tanya Nayla dengan nada lembut.
Evan menghela napas panjang dan mengangguk, menerima tawaran Nayla.
“Nanti Tommy akan membawa pakaian untuk kita.”
Evan berpesan sambil menyerahkan tongkat penuntunnya pada Nayla.
“Iya, nanti aku akan siapkan pakaianmu,” jawab Nayla.
Nayla membantu Evan duduk di tepi tempat tidur. Sebelum membantu Evan lebih lanjut, Nayla membenahi dirinya sendiri dengan melepaskan pakaian dan mengenakan bathrobe di depan Evan.
Nayla langsung mengajak dengan semangat.
“Ayo!”
Nayla bersiap membantu Evan melepaskan jasnya. Lalu membantunya berjalan menuju kamar mandi untuk mandi sambil melanjutkan dengan nada tegas.
“Kali ini tidak ada alasan, Evan. Aku janji, tidak akan ada kesalahan lagi.”
“Terakhir kali, kamu justru menyentuh tempat yang tidak seharusnya,” sahut Evan dengan nada sinis.
Nayla tercekat, teringat insiden yang membuat Evan marah dan mengusirnya dari kamar mandi. Dan dia langsung melontarkan bantahan dengan gugup.
“Itu ... itu karena aku belum tahu.”
Evan tersenyum sinis sambil melangkah maju.
Begitu mereka berada di kamar mandi, Nayla segera melepaskan pakaian Evan dan membantunya duduk di dalam bathtub.
“Kamu nggak mau ikut masuk juga?”
Meski datar, pertanyaan itu membuat wajah Nayla tersipu malu.
“Maksudmu?” balas Nayla dengan ragu-ragu.
Dia sebenarnya sudah paham maksud Evan, tapi bertanya kembali tak ada salahnya untuk memastikan.
“Mandi bersama lebih efisien, bisa menghemat waktu,” jawab Evan santai.
Nayla terdiam sejenak, mencerna ucapan suaminya. Setelah itu, dia mengangguk pelan dan melepaskan handuk bajunya. Kini hanya menyisakan pakaian dalamnya saja. Karena Nayla berpikir, kalau dia tidak perlu lagi malu-malu di depan suaminya yang buta.
“Kita juga bisa melakukannya disini, kalau kamu mau.”
Evan dengan sengaja menggoda. Jakunnya terlihat bergerak saat dia menelan ludah.
Nayla terkejut, lalu memprotes. “Apa? Masa di kamar mandi, Evan?!”
Meskipun Nayla ingin memenuhi kewajibannya pada Evan setelah mereka menikah, ide melakukannya di kamar mandi tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
Evan hanya merespon dengan senyuman licik tanpa berkata apa-apa lagi. Nayla sempat mendengus kesal, namun akhirnya dia juga masuk ke dalam bathtub dan mulai menggosok tubuh Evan dengan lembut.
“Evan, apa yang kamu bicarakan dengan Paman Alex dan Kane tadi?”
Nayla lanjut bertanya sambil tangannya terus bergerak menggosok tubuh Evan.
“Kenapa kamu tanya? Kamu ngerti apa tentang bisnis?”
Evan menjawab dengan acuh tak acuh.
Gerakan tangan Nayla langsung berhenti sejenak. Mendengar kata-kata Evan, perasaan rendah dirinya kembali muncul.
Seolah-olah Evan menyadari perasaan Nayla, dia melanjutkan untuk meralat kembali ucapannya.
“Kamu lulusan bisnis. Mendapat gelar S2 di usia yang relatif muda dan juga sebagai lulusan terbaik. Itu menunjukkan kalau kamu pasti tahu banyak tentang bisnis.”
Nayla terkejut mendengar penuturan Evan. Dia tidak menyangka kalau Evan tahu banyak tentang dirinya. Dengan nada penasaran Nayla langsung bertanya.
“Evan, darimana kamu tahu? Apa kamu selama ini diam-diam mencari informasi tentangku?”
“Kamu kira, aku tidak akan memastikan latar belakang calon istriku?”
Evan membalas dengan nada dingin, sambil mengarahkan tangan Nayla ke bagian tubuhnya yang perlu digosok.
Nayla melanjutkan menggosok tubuh Evan, sambil tertunduk, merenungkan bagaimana dia tidak pernah mendapatkan kesempatan oleh ayahnya untuk ikut mengurus perusahaan keluarga, meskipun dia adalah lulusan terbaik di jurusan bisnis.
“Kamu yakin sudah siap?”
Evan bertanya setelah mereka selesai mandi untuk memastikan kesiapan Nayla. Kini mereka berdua di atas ranjang.
Nayla menjawab dengan yakin. “Aku siap, Evan. Siap menjalankan kewajibanku sebagai istrimu.”
Evan tersenyum tipis, lalu merangkul pinggang Nayla dan mengangkatnya ke pangkuannya. Tangan Evan bergerak lembut meraba wajah Nayla, kemudian meraih tengkuknya untuk mendekatkan wajah mereka berdua. Sebuah ciuman lembut mendarat di bibir Nayla, membuat jantungnya berdebar kencang.
Akhirnya, dia merasakan ciuman dari suaminya.
Begitu mereka berhenti berciuman, Evan berkata, “Aku laki-laki. Biar aku yang memulai lebih dulu.”
Nayla membalas dengan anggukan pelan.
Evan semakin intens dalam melakukannya, membuat Nayla merasakan setiap sentuhan lembut dari tangan suaminya. Tiba-tiba, Nayla menjerit dengan Ekspresi muka Nayla mencerminkan campuran rasa terkejut dan sedikit kesakitan.
“Evan! Pelan-pelan!”
“Adelia?!”Nayla terkejut saat menoleh ke arah suara sinis itu, yang ternyata berasal dari saudara tirinya, Adelia.“Bu Adelia?”Bahkan, sekretaris yang sebelumnya bersikap tidak sopan kepada Nayla, langsung menyambut hormat pada Adelia.Adelia menarik garis senyum tipis. Dengan langkah anggun dan gaya formal yang justru terkesan sensual dan menggoda, dia mendekati Nayla dan Evan. Adelia langsung menatap Evan dengan tatapan memperhatikan. Lalu dia bergumam dengan nada yang lembut.“Oh, ternyata ini suamimu, Tuan Evan Daviandra?” Nayla melirik ke arah Evan, berusaha menahan kesal karena tatapan Adelia jelas sengaja menggoda suaminya.Meskipun Adelia tahu tentang Evan, tapi dia tidak sempat bertemu dengannya sebelumnya. Bahkan, di acara pernikahan Nayla dan Evan yang diatur begitu singkat, dia sama sekali tidak hadir di acara pernikahan itu karena sedang berlibur ke luar negeri.Belum sempat Nayla memberikan respon, Adelia kembali berkomentar sambil tersenyum sinis. “Kalau saja kamu
“Iya, sayang!”Nayla menekankan kata 'sayang' dengan serius, menunjukkan kesungguhannya dalam memanggil Evan dengan panggilan itu. Hening sejenak terdengar dari balik telepon, sebelum akhirnya Evan kembali bersuara. “Waktumu hanya satu jam. Aku akan sampai dalam satu jam.”“Hah?!”Nayla terkejut mendengar itu. Dia sama sekali tidak menyangka urusan Evan akan selesai secepat itu.“Kalau begitu, aku akan bersiap-siap dulu! Dah ....”Nayla segera menutup telepon. Dia langsung mempersiapkan diri sebelum Evan tiba di rumah. Baru saja selesai bersiap, tiba-tiba Rasti mengetuk pintu dan masuk ke kamar. “Nyonya, Tuan Evan sudah menunggu di mobil.”Mendengar itu, Nayla menjerit panik. “Astaga! Cepat sekali dia datang!”Rasti langsung berinisiatif untuk membantu Nayla dengan merekomendasikan tas pilihannya. Dia menyodorkan tas merah terang yang kontras dengan warna outfit Nayla.“Ini tasnya, Nyonya.”Melihat tas itu, kening Nayla refleks mengkerut keheranan dengan tas yang dipilihkan Rasti
“Jangan bilang, kalau kamu juga menyelidiki tentang Adelia?!”Suara Nayla seketika meninggi penuh keterkejutan.“Besok aku akan menemanimu.”Evan membalas tanpa mau menjawab pertanyaan Nayla. Dia merasa kalau istrinya itu terlalu lugu dan bodoh. Padahal dia sudah menjelaskan sebelumnya kalau Evan sudah memastikan latar belakang calon Nayla.Nayla tersenyum mendengar perkataan Evan, seketika rasa terkejutnya menghilang. Dia berharap, besok tidak hanya berkunjung ke kantor ayahnya, tapi juga bisa sekaligus singgah ke rumah orang tuanya. Evan dan Nayla akhirnya berbaring untuk tidur. Kali ini, Evan tidak membelakangi Nayla. Tangan kekarnya meraih pinggang ramping Nayla, merapatkan tubuh mereka untuk saling berpelukan. Meskipun terasa canggung, Nayla membalas pelukan Evan, dan mereka melewati sisa malam itu dalam pelukan hangat satu sama lain.Keesokan harinya, Nayla membantu Evan bersiap untuk pulang ke rumah.“Tommy sudah menunggu kita di lobby,” kata Nayla sambil merapikan dasi di leh
“Ini sakit sekali!”Nayla merintih, menahan sakit di bawah tubuh kekar Evan. Setelah Evan mencapai puncak kepuasannya, dia menggulingkan tubuhnya ke sisi kiri Nayla sambil menghela napas panjang.Evan lalu bertanya sambil mengatur napasnya yang masih terengah-engah.“Apa kamu mau langsung mandi?”Nayla menoleh ke samping, menatap Evan dengan sudut matanya yang berair, lalu mengangguk.“Apa kamu juga mau mandi, Evan?”Evan menggeleng pelan. “Kamu saja.”Dia lalu berbaring miring membelakangi Nayla.Nayla terdiam menatap punggung lebar Evan, dengan selimut yang menutupi setengah badan mereka.“Kalau begitu aku mandi dulu,” kata Nayla.Dia bangkit dari tempat tidurnya.“Aaah .…”Nayla menjerit pelan saat menapakkan kaki di lantai, rasa nyeri menusuk bagian bawah tubuhnya. Mendengar itu, Evan mengernyit penuh perhatian, lalu berbalik menghadap Nayla.“Kamu kenapa?” tanya Evan dengan nada heran.“Ti-tidak, aku tidak apa-apa, Evan.”Nayla mengelak, berusaha menyembunyikan sakit yang dirasa
“Paket kamar pengantin?!”Suara Nayla terdengar tinggi, penuh kejutan mendengar Evan yang tiba-tiba meminta kamar hotel dengan paket kamar pengantin baru. Evan hanya merespon dengan senyum tipis. Nayla merasakan debaran yang sangat kencang di dadanya, wajahnya memerah karena rasa malu. Dia mulai berpikir, kalau Evan mungkin sudah siap untuk melanjutkan malam pertama mereka yang sempat tertunda.Sesampainya di hotel, Nayla dan Evan memasuki kamar pengantin yang telah dipesan. Kamar itu dihiasi dengan berbagai bunga dan lilin yang menambah kesan romantis. “Evan, mau mandi dulu? Aku bantu, ya?” tanya Nayla dengan nada lembut. Evan menghela napas panjang dan mengangguk, menerima tawaran Nayla.“Nanti Tommy akan membawa pakaian untuk kita.”Evan berpesan sambil menyerahkan tongkat penuntunnya pada Nayla. “Iya, nanti aku akan siapkan pakaianmu,” jawab Nayla.Nayla membantu Evan duduk di tepi tempat tidur. Sebelum membantu Evan lebih lanjut, Nayla membenahi dirinya sendiri dengan melepask
“Evan, sebaiknya kita pulang.” Kaki Nayla berjinjit menyetarakan tingginya dengan Evan, berbisik memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia merasa semakin tidak nyaman berada di tengah keluarga Evan yang penuh ketegangan, ditambah dengan ejekan yang diterimanya dari Serin dan Auliana.Evan menoleh pada Nayla, kemudian mengangguk mengiyakan. Keduanya hendak melanjutkan langkah untuk pergi.Namun, Auliana langsung mencegah mereka. “Evan, kamu tidak menolak pengajuan Kane untuk mendapatkan posisi tetap di perusahaan, kan?!”Nayla mencoba angkat bicara. “Evan–”Tapi Evan langsung mengkode untuk berhenti bicara. Tangan Evan terangkat, dengan raut wajahnya yang terlihat begitu dingin namun tegas.Nayla menelan ludahnya, tak berani lagi untuk bicara.“Aku sudah bilang, Bibi bisa tanyakan itu pada Kane.” Evan menyahut dingin.“Ma, nanti aku jelaskan,” pungkas Kane.Kane merasa kalau Evan tidak bisa dipaksa untuk bicara sekarang-sekarang ini. Membiarkan mereka pergi adalah pilih