Tujuh tahun kehilangan penglihatan membuat Agni hidup dalam kegelapan, akan tetapi dia tidak merasakan frustrasi dalam menjalani hidup yang keras.
Agni adalah wanita yang hebat, dia selalu tersenyum walaupun semua orang tahu derita yang dia alami sangat menyakitkan. Dia hanya mengandalkan tongkat dan insting pendengaran serta penciuman. Walaupun hidup sendiri, tapi banyak orang yang peduli padanya. Sebut saja Reynar. Reynar juga membantu mengembangkan bakat Agni dalam bermain biola, gitar, bernyanyi, hingga pernah memenangkan kontes biola. Reynar jugalah yang membayar lunas biaya sewa rumah tinggal Agni. Sedangkan Agni tidak tahu apa alasan Reynar membayar lunas sewa rumahnya. Yang jelas bagi Agni, Reynar sangat berjasa dalam hidup Agni. Sedangkan Nyonya Leikha, ibunda Reynar juga tidak protes ataupun keberatan. Wanita paruh baya itu juga selalu mendukung Agni. Dia termasuk wanita tua yang cerewet menasehati untuk tetap bertahan hidup di tengah keras dan kejamnya dunia ini. Meskipun hidup Agni gelap dan berat, dia bersyukur dikelilingi orang-orang yang sayang dan peduli padanya. Seperti siang itu Agni berniat menngunjungi sebuah tempat di dekat gang kumuh. Dia mengunjungi tempat itu dua kali dalam seminggu untuk mengajari anak-anak jalanan ilmu pasti, baca tulis, dan ilmu pengetahuan. "Selamat siang anak-anak ...." "Kak Agni sudah datang." Sambut anak-anak yang sangat antusias. Mereka pun membantu Agni untuk duduk. Anak-anak yang berjumlah kurang lebih tiga puluhan itu berbaris rapi dan sangat antusias di depan Agni untuk diraba wajah mereka sekaligus tanda bahwa mereka tidak absen hari itu. Saat meraba mereka Agni sedikit mengerutkan keningnya karena merasa ada keanehan pada wajah anak-anak jalanan. Tidak semuanya, walau hanya beberapa saja, tapi Agni sangat peka. Di tempat duduk masing-masing ada beberapa anak yang berbisik-bisik. "Semoga Kak Agni tidak menyadarinya. Jika sampai Kak Agni menyadarinya, kita bisa kena marah." "Jawab jujur. Tadi di antara kalian ada yang luka dan ada yang badannya sedikit panas. Apa ada yang mengganggu kalian?" cerca Agni dengan wajah sedikit khawatir. Semua anak-anak diam. Mereka tidak ada yang berani untuk berbicara. "Baiklah. Jika tidak ada yang ingin bercerita dengan jujur, maka dari itu kakak tidak akan datang kemari lagi untuk selamanya," ancam Agni. Dan semua anak-anak protes. Mereka berteriak dan memohon pada Agni untuk tidak meninggalkan mereka semua, karena mereka masih sangat membutuhkan figur seorang ibu yang mereka dapat dari Agni. "Du-dua hari kemarin ada kelompok preman yang datang dan memukuli kami tanpa sebab. Mereka juga merampas uang hasil dari kami mengamen dan beberapa dagangan kami juga diambil dengan paksa. Kami tidak mampu melawan karena jumlah mereka sangat banyak." "Hah? Kelompok preman siapa?" tanya Agni. "Kelompok preman dari seberang sana," jelas seorang anak dengan nada lirih. "Hei ... kenapa kau memberitahu hal ini pada Kak Agni. Apa kau ingin kita semua dipukuli lagi?" Telinga Agni sangat peka. Walaupun mereka berbicara pelan. "Siapa yang berani memukul kalian?" "Sudah Kak Agni, jangan diteruskan lagi. Lebih baik kita belajar saja. Kak Agni tidak perlu peduli pada kami. Hal ini wajar jika terjadi pada kami sebagai anak jalanan dan sudah biasa," jelas salah seorang anak dengan nada bergetar menahan tangis. Agni bisa merasakan situasi yang mereka hadapi. Mereka berusaha tegar meskipun mereka rapuh, mereka berusaha berani meskipun mereka sebenarnya takut. Agni pun tak kuasa menahan tangis. Ada perasaan takut juga pada dirinya karena tempat kumuh yang Agni datangi termasuk dalam wilayah mereka dan dia berharap hari itu juga tidak akan terjadi apa-apa pada mereka semua. "Aku yakin suatu saat kalian semua akan menjadi orang sukses walaupun kalian semua bernasib kurang beruntung. Kerasnya hidup ini, jadikanlah motivasi untuk berjuang agar sukses di masa depan." Agni memberi nasihat pada mereka semua. "Kak Agni, kami tidak berharap menjadi orang sukses. Yang kami harapkan untuk saat ini adalah tidak kelaparan dan bisa bertahan hidup. Bahkan sebagian dari kami ada yang tidak sanggup bertahan hidup dan akhirnya meninggal. Kami tidak ingin punya mimpi yang terlalu tinggi. Sebagai anak-anak yang tidak diinginkan oleh orang tua kami atau lebih tepatnya adalah anak yang dibuang dan tidak dibutuhkan, mimpi untuk menjadi orang sukses sudah terkubur lama." "Hei, kalian tidak boleh berbicara seperti itu. Kalian tidak sendirian. Aku pun tidak punya siapa-siapa. Aku juga hidup sendirian, tapi aku mencoba bertahan hidup dan berjalan ke depan. Karena hidup untuk masa depan bukan untuk masa lalu, bukankah begitu?" Semua anak terdiam untuk sesaat. Mereka merenungi kalimat yang baru saja diucapkan oleh Agni. Semua anak-anak jalanan itu memiliki nasib yang berbeda-beda. Ada yang dibuang oleh kedua orang tuanya, ada yang anak broken home, ada yang kabur dari rumah dan memilih untuk menggelandang karena menurutnya bebas tanpa kekangan. Baik Agni dan ketiga puluh anak jalanan memiliki nasib yang sama. Hidup sendiri tanpa keluarga yang mengharuskan mereka harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Tak terasa hari itu sesi pertemuan yang seharusnya untuk belajar justru dipakai untuk saling curhat. "Sepertinya hari sudah mulai malam. Aku harus pulang." Agni meraba mencari tongkatnya. Klontang!! Bunyi sebuah kaleng kosong yang mengenai sebuah batu. Agni merasakan kehadiran seseorang. Hidungnya mulai merasakan bau alkohol dan rokok yang sangat menyengat menusuk hidung. Agni mengernyitkan dahi saat tahu jika dia dan anak-anak jalanan dalam bahaya. Itulah kenapa feeling Agni sangat kuat. Rasa takut yang dia rasakan tadi dan inilah ketakutan yang sebenarnya. Anak-anak terlihat takut dan merapatkan semua tubuh mereka. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, cantik." Pria bertato dengan mata merah dan pakaian lusuh mendekati Agni, "Begitu sulit untuk mendekatimu, tapi hari ini justru kau datang ke kandang macan," lanjutnya. "Berhenti! Jangan sakiti Kak Agni!" teriak anak-anak jalanan itu. "Diam kalian semua!" bentaknya dengan nada tinggi melengking. "Tolong, kecilkan suara kalian dan jangan ganggu anak-anak yang tidak bersalah itu. Cara kalian tidak baik mengganggu anak-anak yang lemah dan menjadi pecundang dengan mengganggu wanita buta sepertiku ini." Agni dengan tatapan kosong masih mencoba untuk tenang. "Ha ha ha ... memang kenapa? Aku mengganggu mereka karena aku menjadikan mereka sebagai umpan agar aku bisa bertemu denganmu di sini, karena aku sudah lama mengincarmu. Bukankah bagus kau berada di sini sekarang dan aku tidak susah payah mencarimu. Kali ini aku tidak akan melepaskanmu." Pria itu dengan sigap memegangi kedua pipi Agni hendak mencium paksa, tetapi Agni mencegahnya dengan menahan dengan kedua tangannya. Air mata Agni tidak bisa ditahan lagi, wanita itu benar-benar ketakutan. Anak-anak jalanan itu melempari pria bertato dengan batu atau benda sejenisnya yang mereka temukan di sana. Aksi itu membuat si pria bertato murka. "Tunggu apa lagi. Kalian cepat bunuh anak-anak jalanan yang berani menggangguku!" teriaknya pada keempat anak buahnya.Kedua kaki Irene gemetaran. Manakala dia mendengar suara Yosua. Antara takut dan bingung ingin membalikkan badannya atau tidak."Aduh, apa dia curiga padaku? Apa mungkin aku ketahuan? Ah, mana mungkin sih, aku kan sudah menyamar dan samaran ku benar-benar sempurna," cicitnya pelan."Nyonya, maaf. Sapu tangan anda jatuh." Yosua membantu mengambil benda tersebut. "Nyonya ...."Irene membalikkan badan sambil membenarkan kacamata bulatnya. Wanita itu tersenyum saat beradu pandang dengan Yosua.Netra hitam Irene berusaha untuk tidak beradu pandang dengan Yosua. Kedua mata itu turun ke bawah dan memperhatikan sebuah kain yang sedang dipegang oleh Yosua."Terima kasih, tuan." Irene meraih sapu tangan tersebut. Kemudian dia berlalu dari sana.Samar-samar Yosua mengerutkan kedua alisnya. Pria itu merasakan familiar pada wanita itu."Wanita itu———seperti tidak asing bagiku, tapi siapa dan di mana aku pernah bertemu dengannya?" Bertanya pada dirinya sendiri.Namun, memori Yosua tidak mampu mengi
"Aku takut ... aku takut dengan kegelapan ini. Entahlah, aku juga bingung. Yos, apa kau akan tetap berada di sampingku?" tanya Agni dengan tatapan kosong entah dia sedang menatap siapa, padahal Yosua ada di depannya.Yosua mengulurkan tangannya dan memegang pipi kiri Agni. Mengusap pelan dan lembut."Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan melindungimu meski nyawaku adalah taruhannya," tegasnya."Yos ...." Tangannya menahan tangan Yosua saat Yosua hendak beranjak."Aku akan kembali. Aku hanya ingin mengambil air untukmu," ucap Yosua lembut dan melepaskan tangan itu.Padahal Yosua mengambil air tidak keluar dari kamar tersebut. Kamar itu sudah lengkap fasilitasnya. Razka benar-benar memperhatikan Yosua dan Agni."Yos ...." panggil Agni."Hmm ... sebentar aku aduk dulu," balasnya.Yosua melangkah dan duduk di samping Agni. Dia membantu memegang-kan gelas itu ke tangan Agni. Pria itu begitu telaten, p
Yosua berdiri di balkon dengan tangannya memegang batas besi. Dia berdiri sambil memikirkan sesuatu.Ternyata yang menjadi beban pikiran Yosua saat itu bukanlah Agni, melainkan tawaran dari dokter yang merawat Agni.'Aku harus bagaimana? Apa aku harus membicarakan dulu pada Agni, karena secara keseluruhan dia sedang tidak mengandung, jadi kemungkinan besar untuk melakukan hal itu tidak ada sanksi yang berbahaya,' batin Yosua.Lantas Yosua berjalan mondar-mandir di balkon dan hal itu menarik perhatian Razka yang baru saja melintas. Razka berdiri memperhatikan Yosua selama kurang lebih lima menit, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mendekati pria itu."Ehem ...." Suara deheman Razka mengejutkan Yosua yang sontak membuat pria itu menoleh ke arahnya. "Kau sedang ada masalah?" lanjutnya bertanya.Yosua membalikkan badannya dan menyandar pada dinding. Melipat kedua tangannya di ada serta menarik napas. "Tidak ada," jawab Yosua sing
"Thailand?" Reynar langsung membuka kedua matanya saat menyadari jika itu adalah suara Cakra. "Ya, kita harus berangkat sekarang," ujar Cakra menarik tangan Reynar. "Kau yakin sudah mendapatkan info yang akurat? Takutnya nanti kita hanya membuang waktu, energi, dan uang," balas Reynar. Cakra menatap Reynar yang masih malas-malasan berada di atas ranjangnya. Memang diakui Cakra, dia belum mendapatkan info yang akurat. Dia hanya diberitahu jika Yosua terbang ke Thailand, tapi dia belum tahu di mana Yosua tinggal di mana. Akhirnya Cakra duduk di sisi ranjang dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua pria itu menatap langit-langit kamar. Satunya berdecak dan satunya lagi menarik napas. "Rey, aku tahu ini semua membuat kita stres bahkan bisa dibilang depresi." Cakra terdiam dan suasana menjadi hening. Hal yang sama memang tengah dirasakan oleh Reynar. "Memang be
Anya terbangun dengan napas yang tidak beraturan. Dadanya terasa sesak dan dia terlihat sangat syok. Walaupun hanya mimpi, tapi terasa begitu nyata. Seolah gambaran demi gambaran yang memperlihatkan nasibnya. Ketakutan kembali menyerang Anya. Dia takut jika ke depannya nasibnya akan menjadi mengenaskan, tapi jika dia berhasil kabur pun, di luar sana nasibnya akan tetap mengenaskan yaitu menjadi buronan polisi. Anya meraupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Sesekali dia menenangkan dirinya sendiri. "Kenapa jalan hidupku harus seperti ini?" keluh Anya sambil memegang kepalanya yang terasa sakit. Tiba-tiba dia tersentak dan menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Dia menurunkan kedua kakinya ke lantai. "Aku harus kabur dari sini, tapi dari mana aku harus keluar dari ruangan ini? Tidak ada jendela sama sekali, hanya sebuah ventilasi udara itupun tidak bisa dilewati. Sedangkan pintu hanya
"Sial sekali nasibku ini!" rutuknya.Anya merutuk dirinya sendiri karena telah berbuat begitu jauh sehingga dirinya menjadi buronan polisi bahkan intel. Apalagi posisi Anya sekarang bisa dikatakan lebih mengenaskan. Dia tertahan di mansion besar milik Bhani yang tidak lain adalah saudara kembarnya Bhani. Bukan hanya sekedar tahanan, tapi Anya juga menjadi budak hasrat untuk Bhani.Anya tidak bisa berbuat banyak, karena untuk melarikan diri pun dia tidak bisa. Mansion besar itu sungguh dijaga dengan rapi di setiap sudut ruangan. Bahkan Anya pernah melihat seorang wanita yang hendak kabur dan tertangkap lagi, dia disiksa habis-habisan. Anya pun bergidik ngeri. "Ternyata dia lebih mengerikan dari Bhanu ataupun Yosua."Itulah yang terlihat nyata pada sosok Bhani Putranto. Bagi Anya sekarang, dia harus bisa menjaga sikap di depan Bhani.Anya menoleh ke belakang saat pintu kamar terbuka dan Bhani masuk ke dalam. "Makan ini. Kau harus punya banyak energi untuk nanti malam!" Setelah itu Bha