LOGINBiasanya jadi waitress melayani, sekarang justru dilayani.Seumur-umur Cahya tidak pernah membayangkan akan dilayani seperti ini. Ingin pun tidak, karena lebih memilih tidak membuang uang sekadar untuk mengisi perut. Untuk apa mengeluarkan uang yang cukup untuk makan dua bulan?“Makan itu tidak hanya mengisi makanan ke dalam perut. Ini yang harus kamu pelajari dari sudut pandang pembeli,” ucap Ethan setelah makanan mulai disajikan.Pertama appetizer. Cahya menatap hidangan di depannya yang begitu indah. Potongan tipis yang melingkar berbentuk bunga. Cantik, kecil, dan terlihat mahal.“Makan.”“Baik, Tuan.”Cahya mencari rasa yang dia kenal. Seperti mentimun, lobak, dan saus sedikit asam begitu unik. Rasa segar pecah saat mengunyah makanan ini.“Menurut kamu bagaimana?”“Cantik di mata, dan di mulut terasa segar,” jawab Cahya. Kemudian menambahkan tetapi dalam hati. ‘Plus kering di kantong.’“Good. Konsep makanan tetap sama. Pertama sasarannya mata, baru setelahnya indra perasa.” Sang
“Segala sesuatu itu lebih baik ditanyakan daripada dipikir sendiri, tetapi itu salah.” Ethan memalingkan wajah ke Cahya.Lampu merah meleluasakan dia untuk mengamati tingkah wanita di sampingnya. Meskipun tetap diam, tetapi gerakan jari-jarinya menandakan ada bergolakan. Seperti maling yang ketahuan, jantung Cahya pun berdegup kencang.Sampai lampu menyala hijau, wanita ayu itu tetap diam. Dia mungkin masih membutuhkan ruang dan waktu untuk melepaskan diri dari emosi, pikir Ethan. Pandangan mata Cahya bergerak ke belakang. Mobil yang dia tumpangi melewati jalan menuju ke rumah."Tuan, kita akan kemana?" "Ternyata kamu masih bisa bersuara." Ethan tersenyum kecil tanpa menjawab pertanyaan. Mobil mewah berwarna hitam itu meluncur, sementara isi kepala Cahya mulai mencerna penjelasan Ethan tentang kejadian tadi. Memang terlihat mereka seperti bermesraan. Akan tetapi melihat posisinya, bukankah itu justru menandakan penyerangan?Pikirannya menyelidik dalam. Lelaki di sampingnya ini pun
Setelah waktu pulang tiba, mereka berkemas.“Mbak Cahya aku antar, ya? Aku bawa motor sendiri.” Komang menunjuk sepeda motor merah.“Tumben.”“Suami ngantar tamu ke Jawa.”Dia memang diantar jemput suaminya yang kesehariannya sopir ojek mobil online. Padahal dia bisa naik motor sendiri. Namun, tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa suami.“Yuk! Sekalian kita jalan-jalan ke Kuta. Aku lama tidak kelayapan sendiri. Lumayan menikmati jadi nak bujang ketika suami pergi,” ucap Komang sambil tertawa.“Jangan gitu, nak e. Suami cari duit malah jalan-jalan.”“Ya kan memang yang tugasnya buang duit itu istri. Ayok!”“Hmm… tidak deh, Mbok. Aku ingin cepat pulang saja. Istirahat.”“Yah….” Akhirnya Komang menyerah. Dia memakai helm dan bersiap untuk berangkat. Saat mesin motor menyala…“Aku ikut, dah,” seru Cahya tiba-tiba. Tanpa menunggu jawaban dia langsung duduk di belakang. “Berangkat sekarang aja. Yuk!”Komang merasa heran, tetapi dia tetap tanjap gas. Sedangkan Cahya menunduk, menyembunyika
“Cukup, Erika! Jangan bikin ribut!”Teriakan Ethan tidak menyurutkan, justru memantik kemarahan Erika. Wanita itu mendengkus sambil menatap Cahya penuh kebencian.“Tidak! Orang seperti dia kalau dibiarkan akan semakin belagu! Dia salah!” Sekarang Erika justru menatap Ethan. Ada rasa tidak terima di sana.Ethan menghela napas panjang. Sorot matanya melunak. “Mengerti. Tetapi tidak harus dengan kekerasan, kan? Dia pun tidak salah seratus persen karena dia melaksanakan tu__”“Kamu membela dia, Kak? Perempuan ini salah! Lepaskan!” Wanita itu mendesis. Perlahan tangannya terbebas dari genggaman Ethan.Erika menyeringai.PLAK!Tangan kanan terayun.Sedangkan tangan satunya meraih gelas berisi jus alpukat, dan ….BYUR….Seketika, dari ujung kepala Cahya basah. Wanita malang itu hanya bisa menahan napas ketika aliran melewati wajahnya. Tubuhnya gemetar dengan posisi sama. Kedua tangan membawa nampan yang penuh dengan makanan pesanan Erika.“Gila kamu, Erika!”Ethan mengambil alih nampan dan me
“Hei! Melamun, ya!”“Eh, Mbok Komang. Kaget aku.”Komang mensejajari Cahya dan menyenggolkan lengannya. “Mikiran apa, sih. Sampai tidak dengar aku panggil-panggil.”Cahya menoleh. “Iya?”“Lagi tremor karena diomelin Bos, ya?”“Mbok Komang lihat?”“Iya. Kamu mengangguk-angguk sedangkan Bos Ethan gini-gini,” celetuk Komang sambil memperagakan gerakan Ethan yang menunjuk-nunjuk. “Apes kamu. Baru sampai sudah ketangkap.”Dahi Cahya mengernyit. Dalam hati dia berkesimpulan kalau teman kerjanya ini tidak melihatnya keluar dari mobil Ethan.Sampai detik ini, yang teman-temannya tahu sebatas dia adalah karyawan yang diseleksi langsung oleh Bu Hanum. Tidak lebih. Termasuk dimana Cahya tinggal dan apa tugasnya.“Nasib buruk, ya, Mbok,” sahut Cahya sambil tersenyum lega.“Memang iya. Kok, Mbak tahu?”“Heh?!”Langkah Cahya semakin berat mendengar penjelasan Komang berikutnya. Teman kerjanya itu menceritakan kalau dulu ada temannya yang mendapat celaka gara-gara berbicara lama dengan Ethan.“Apala
Ethan mengambil beberapa buku dari rak yang menjulang berisi jajaran buku-buku tebal. Diperhatikan sebentar, kemudian beberapa yang ditukar.“Untuk menambah wawasanmu, kamu harus banyak membaca. Sengaja saya pilihkan yang terjemahan. Kalau bahasa Inggris, bisa-bisa kamu setahun baru selesai baca.”Tumpukan buku diletakkan tepat di depan Cahya. Wanita itu menilik judul yang terlihat di punggung buku. Hanya satu buku yang berkaitan dengan restoran, sedangkan lainnya tentang marketing, leader, psikologi, dan selebihnya seputar kehidupan.“Semua ini, Tuan?”“Iya. Seorang supervisor di tempatku harus ini nya berisi,” jarinya menunjuk kening, “saya tidak mau perwakilan restoranku kurang pintar. Apalagi memalukan.”Mata wanita itu memperhatikan sang majikan, tetapi isi kepalanya berpikir lain. Setahu dia, Mbok Ayu supervisor tidak jenius seperti Einstein. Meskipun saat berbincang dengannya, terlihat Mbok Ayu orang yang dewasa dan bijaksana dibandingkan karyawan lainnya.“Kamu nantinya sebagai







