Se connecter"Kesempatan itu tidak akan datang tanpa sebab. Tetapi karena ada yang mengikat.” (Astika Buana - Dimanjakan Sang Majikan Tampan) Apapun keadaannya, selalu semangat dan bahagia, ya. Love sekebon.
“Kamu masuk pagi?” Mata Erika menyelidik wanita di depannya memegang lap piring.Dari rumah Ethan, dia langsung meluncur ke hotel dan bergegas ke restoran. Tidak dipedulikan ajakan Ethan untuk makan pagi. Dia ingin memastikan sesuatu. Namun, yang ada di pikirannya tidak terbukti.“Iya, Non. Ini sedang menyiapkan peralatan makan sebelum ditata di meja.”“Kenapa kamu masuk pagi?”“Ada yang harus saya cek sebelum Mbok Ayu cuti. Saya bertugas bersama Komang dan Lasmi.”Erika menghela napas, merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi apa? Kecurigaannya tidak dibuktikan dengan fakta. Setahu dia, hanya wanita ini yang diperhatikan Ethan. Jadi, kalau bukan Cahya, siapa yang menemani Ethan di dalam mobil?“Non Erika pesan minuman atau makanan?”Mata Erika menatap Cahya. Entah kenapa ketika berhadapan dengan wanita ini, kekesalan muncul tanpa ada alasan. Erika hanya merasa terusik dan ketika wanita ini tersenyum dia merasa diejek.“Kasih saya coklat panas dan croisant tanpa isi.”Cahya mengangguk
"Kak Ethan! Kak...!" Suara Erika tenggelam di belokan gerbang. Ethan tidak menginjak rem, dia justru semakin tancap gas.Tangan Cahya menebah dada, menenangkan degup jantung. Menyimpan dalam kekawatiran dengan menunjukkan senyuman kepada Keira yang menatapnya sambil berkerut. "Papi tidak lihat Aunty Erika?" tanya Keira terlihat penasaran."Lihat.""Kok tidak berhenti?" "Kamu kan harus sekolah, Sayang. Tahu kan, Aunty kamu kalau cerita tidak ada rem nya. Bisa-bisa kamu terlambat," jawab Ethan sambil menoleh sekilas ke arah anaknya.Keira mencembik, tangannya memeluk lengah Cahya. "Padahal Keira mau cerita ke Aunty kalau punya Ibu Aya.""JANGAN!" teriak Ethan dan Cahya bersamaan.Gadis kecil itu semakin mengerutkan dahi. Dia menoleh ke arah Cahya dan ayahnya bergantian. Dalam pikirannya, apa yang salah kalau dia mengatakan kalau sudah ada Ibu Aya? Bukankah seharusnya senang karena ada yang menggantikan Mami Ica? Cahya menggelengkan kepala ketika Ethan menatapnya. Wanita itu tidak ta
Ruang indah itu tercipta kembali. Cahya luruh di dalam pelukan sang majikan yang tidak mampu dia abaikan.Bertolak dari tempat makan malam, mobil mereka berhenti di tepi pantai. Seakan kurang puas menikmati malam, kebersamaan pun berlanjut.Tangan Ethan merengkuh kepala wanita itu untuk barsandar di bahunya. Mengaitkan jemari untuk tetap tinggal di pangkuan. “Tanganmu begitu kuat, Aya. Aku suka.”Ibu jari Ethan mengusap-usap telapak tangan Cahya. Lalu dia mengamati garis tangan, kemudian membandingkan dengan miliknya.“Begitulah tangan pekerja. Kasar,” jawab Cahya tanpa berniat menarik tangan.“Bukan kasar, tetapi terlihat kalau kamu cekatan dalam segala hal.”Kali ini, usapan merambah pada punggung tangan. Kemudian menyusuri bulu-bulu halus yang menghiasai kulit putih kekuningan. Membandingkan miliknya yang putih kemerahan.“Kamu tidak memakai perhiasan? Bukankah wanita menyukai itu?”Cahya tersenyum. “Meskipun suka, tetapi saya tidak pernah memikirkan itu.”“Sayang sekali. Tangan k
Biasanya jadi waitress melayani, sekarang justru dilayani.Seumur-umur Cahya tidak pernah membayangkan akan dilayani seperti ini. Ingin pun tidak, karena lebih memilih tidak membuang uang sekadar untuk mengisi perut. Untuk apa mengeluarkan uang yang cukup untuk makan dua bulan?“Makan itu tidak hanya mengisi makanan ke dalam perut. Ini yang harus kamu pelajari dari sudut pandang pembeli,” ucap Ethan setelah makanan mulai disajikan.Pertama appetizer. Cahya menatap hidangan di depannya yang begitu indah. Potongan tipis yang melingkar berbentuk bunga. Cantik, kecil, dan terlihat mahal.“Makan.”“Baik, Tuan.”Cahya mencari rasa yang dia kenal. Seperti mentimun, lobak, dan saus sedikit asam begitu unik. Rasa segar pecah saat mengunyah makanan ini.“Menurut kamu bagaimana?”“Cantik di mata, dan di mulut terasa segar,” jawab Cahya. Kemudian menambahkan tetapi dalam hati. ‘Plus kering di kantong.’“Good. Konsep makanan tetap sama. Pertama sasarannya mata, baru setelahnya indra perasa.” Sang m
“Segala sesuatu itu lebih baik ditanyakan daripada dipikir sendiri, tetapi itu salah.” Ethan memalingkan wajah ke Cahya.Lampu merah meleluasakan dia untuk mengamati tingkah wanita di sampingnya. Meskipun tetap diam, tetapi gerakan jari-jarinya menandakan ada bergolakan. Seperti maling yang ketahuan, jantung Cahya pun berdegup kencang.Sampai lampu menyala hijau, wanita ayu itu tetap diam. Dia mungkin masih membutuhkan ruang dan waktu untuk melepaskan diri dari emosi, pikir Ethan. Pandangan mata Cahya bergerak ke belakang. Mobil yang dia tumpangi melewati jalan menuju ke rumah."Tuan, kita akan kemana?" "Ternyata kamu masih bisa bersuara." Ethan tersenyum kecil tanpa menjawab pertanyaan. Mobil mewah berwarna hitam itu meluncur, sementara isi kepala Cahya mulai mencerna penjelasan Ethan tentang kejadian tadi. Memang terlihat mereka seperti bermesraan. Akan tetapi melihat posisinya, bukankah itu justru menandakan penyerangan?Pikirannya menyelidik dalam. Lelaki di sampingnya ini pun
Setelah waktu pulang tiba, mereka berkemas.“Mbak Cahya aku antar, ya? Aku bawa motor sendiri.” Komang menunjuk sepeda motor merah.“Tumben.”“Suami ngantar tamu ke Jawa.”Dia memang diantar jemput suaminya yang kesehariannya sopir ojek mobil online. Padahal dia bisa naik motor sendiri. Namun, tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa suami.“Yuk! Sekalian kita jalan-jalan ke Kuta. Aku lama tidak kelayapan sendiri. Lumayan menikmati jadi nak bujang ketika suami pergi,” ucap Komang sambil tertawa.“Jangan gitu, nak e. Suami cari duit malah jalan-jalan.”“Ya kan memang yang tugasnya buang duit itu istri. Ayok!”“Hmm… tidak deh, Mbok. Aku ingin cepat pulang saja. Istirahat.”“Yah….” Akhirnya Komang menyerah. Dia memakai helm dan bersiap untuk berangkat. Saat mesin motor menyala…“Aku ikut, dah,” seru Cahya tiba-tiba. Tanpa menunggu jawaban dia langsung duduk di belakang. “Berangkat sekarang aja. Yuk!”Komang merasa heran, tetapi dia tetap tanjap gas. Sedangkan Cahya menunduk, menyembunyika







