Dokter mengangguk serius, "Maafkan saya karena tidak menyadari hal ini sejak awal. Memang sulit membedakan gejala penyakit liver dan racun ini."
Wajah Stella langsung memucat saat mendengar bahwa ayahnya terkena racun, sebuah fakta yang sangat berbeda dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. "Bukankah hasil tes sebelumnya menunjukkan penyakit liver? Kenapa sekarang menjadi terkena racun?" Stella bertanya dengan kebingungan. "Aku bisa menuntut kalian jika kalian bekerja seperti ini," tambahnya dengan nada bicara penuh emosi. Dokter mencoba menenangkan Stella, “Maaf, Nona. Tolong tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan memberikan penjelasan.” Stella masih bingung dan emosional, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Nafasnya naik turun dengan cepat, menunjukkan amarah yang membara. Setelah cukup tenang, Stella berkata, "Cepat katakan. Jika penjelasanmu tidak masuk akal, aku tidak ragu untuk melaporkan rumah sakit ini." Dokter mengangguk cepat, "Baik, saya akan menjelaskan kepada Anda." "Awalnya saya mengira ayah Anda menderita penyakit hati, tetapi setelah berdiskusi dengan tim medis rumah sakit, direktur laboratorium, kepala apoteker, dan staf lainnya, kami menyimpulkan bahwa terdapat racun di tubuhnya." Stella mendengarkan dengan cermat setiap kata dokter, tidak ingin melewatkan detail apa pun. Namun, ekspresinya menunjukkan keraguan yang mendalam, dan dia tampak tidak yakin apakah akan mempercayai penjelasan dokter. "Karena racun ini bergerak ke arah hati dan mengganggu kinerja hati, maka racun ini disebut racun penghambat hati," jelas dokter dengan penuh perhatian. Dokter melanjutkan, “Racun ini sangat mematikan. Meski berkembang lambat, akibatnya bisa fatal. Tuan Yuan seharusnya sudah mengetahui efek racun ini sejak awal.” Stella mengerutkan kening ke arah dokter, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Kekagetan di wajahnya terlihat jelas, pasalnya penjelasan dokter mengenai racun yang sangat mematikan itu membuatnya semakin khawatir dengan keadaan ayahnya. Stella termenung memikirkan hal itu. Meskipun sulit dipercaya, namun ini nyata. “Bagaimana ayahku bisa terkena racun? Apakah dia tertular dari sesuatu?” tanyanya pada dirinya sendiri. Dokter itu melipat kedua tangannya di atas meja dan berkata, “Racun tidak seperti virus yang datang dengan sendirinya atau menular. Racun datang, pasti ada sumbernya.” Stella menatap dokter itu, keningnya berkerut, dan bertanya, “Lalu dari mana racun itu berasal? Apakah dari makanan?” Dokter itu menghela nafas dan menegakkan duduknya. “Tidak ada makanan yang benar-benar mengandung racun mematikan. Racun semacam ini biasanya dibuat dengan sengaja untuk melukai korban. Apakah Tuan Yuan pernah menyinggung seseorang dalam beberapa tahun terakhir?” tanya dokter itu kepadanya. Stella merenung dan berpikir. Selama hidup bersama ayahnya, dia tidak pernah melihatnya menyinggung siapapun. Meskipun keluarga Yuan adalah keluarga terkaya di kota Berlin, Roman Yuan tidak pernah bersikap angkuh. Bahkan, dia cenderung menjalin hubungan baik dengan orang lain. Jadi, siapa yang mungkin dia singgung? Setelah menyadarkan diri dari lamunannya, Stella berkata, “Aku tidak pernah melihat ayahku memiliki musuh. Dia tidak pernah menyinggung siapapun selama ini. Aku tahu, baginya, menjalin kerjasama lebih penting daripada berkonflik.” Dokter terdiam sejenak, bahkan dia juga bingung dengan masalah ini. Ini pertama kalinya dia menangani pasien dengan racun mematikan. “Kalau begitu, nanti Anda bisa bertanya langsung padanya.” Stella mengangguk. Dokter itu mengambil berkas di mejanya dan membukanya. “Jadi masalah yang sebenarnya ingin saya bicarakan adalah ini.” Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas dan menunjukkannya pada Stella. “Ini adalah hasil laboratorium dan rapat dengan para dokter laboratorium mengenai penyakit Tuan Yuan. Anda bisa membacanya dengan detail,” ucap dokter itu. Stella pun membaca dengan cermat, dan ternyata memang benar bahwa penyakit ayahnya bukanlah penyakit liver, melainkan racun hati. “Lalu apa obat untuk menangkal racun ini, Dok? Apakah ayahku bisa sembuh?” Stella menatap dokter dengan penuh kekhawatiran. Dokter itu terlihat ragu-ragu seolah ingin mengatakan sesuatu. Stella kemudian berkata, “Katakan saja, Dok. Tak perlu khawatir tentang biayanya. Berapapun jumlah yang diperlukan untuk penawar racun penyumbat hati, selama ayahku bisa sembuh, uang bukanlah masalah besar bagiku.” Dokter itu tersenyum mendengar kata-kata Stella. Bagaimana mungkin dia tidak tahu tentang keluarga Yuan di Berlin? Sebuah keluarga terkemuka dengan aset miliaran, siapa yang tidak mengenal mereka? “Tanpa Anda mengatakannya, saya tentu sudah mengetahui latar belakang Anda, Nona. Tapi masalahnya, saya sendiri tidak bisa menjamin apakah obat untuk racun penyumbat hati itu bisa ditemukan atau tidak,” kata dokter itu sambil membenarkan posisi duduknya. Dokter itu melanjutkan, “Dan kesembuhannya, bergantung pada takdir.” Air mata Stella mulai menggenang, dan kemudian menetes di pipinya yang lembut seperti sutra. Kepedihan dan kesedihan yang ia alami saat ini melebihi segalanya. “Apakah keluarga Yuan tahu tentang hal ini?” tanya Stella sambil menyeka air matanya. Dokter menggelengkan kepalanya, “Saya baru menemukan racun ini setelah melakukan diskusi dengan para dokter dan kepala laboratorium. Dan belum bertemu dengan mereka selain Anda.” Stella menganggukkan kepalanya, “Jangan memberitahu mereka tentang hal ini.” “Baik, Nona,” jawab dokter itu. Keduanya berbicara sejenak untuk membahas kelanjutan, sebelum akhirnya Stella keluar meninggalkan ruangan pribadi dokter itu. Stella berjalan menuju kursi tunggu yang ada di sana. Dia duduk dan merenung, memikirkan segala hal yang telah terjadi. “Siapa yang tega meracuni ayahku? Semasa hidupnya, ia tidak pernah menyinggung siapapun. Tapi tetap saja, ada orang yang berusaha untuk menyingkirkannya,” kata Stella dalam hati, penuh kebingungan dan rasa sedih. Di dunia ini, Stella hanya memiliki ayahnya saja. Kepergian ibunya sejak kecil membuatnya seperti burung yang terbang dengan satu sayap. Entah bagaimana nasibnya jika ayahnya benar-benar tidak bisa diselamatkan. Stella menghela nafas panjang dan bangkit untuk masuk ke ruangan di mana ayahnya dirawat. Di dalam ruangan itu, Roman tampak termenung. Tatapannya kosong tanpa arti. Saat mendengar pintu terbuka, ia tersadar dari lamunannya. Pandangannya segera tertuju pada Stella yang masuk ke ruangan. “Stella,” panggilnya dengan senyuman. Stella tidak mengatakan apapun. Dia hanya berjalan mendekat dengan lesu. Duduk di tepi ranjang, memandang ayahnya dengan perasaan campur aduk. “Ayah...” Stella memulai, suaranya penuh dengan kekhawatiran dan emosi yang sulit diungkapkan. “Iya, putriku. Ada apa?” Roman bertanya dengan penuh perhatian saat Stella duduk di sampingnya. Stella tampak ragu antara mengatakan yang sesungguhnya atau tidak. Bagaimanapun juga, yang diketahui Roman hanyalah penyakit liver yang dideritanya. Ternyata, kondisinya lebih berbahaya dari yang mereka ketahui. Meski pelan, namun mematikan. "Bagaimana keadaan ayah saat ini? Apakah masih sakit?" tanyanya dengan perasaan khawatir. Roman tersenyum dan menggelengkan kepala, "Tidak, sekarang sudah lebih baik." Pandangan Stella tertuju pada senyuman ayahnya. Entah kapan lagi dia akan melihat senyuman hangat itu. “Ayah pernah menginginkan sesuatu, tapi belum sempat memberitahuku. Apa sebenarnya yang Ayah inginkan? Biarkan Stella mencarinya,” kata Stella dengan lembut. Dia menggenggam tangan ayahnya, dan Roman membalasnya dengan menggenggamnya lebih erat. “Ayah tidak menginginkan apa pun sekarang. Tapi satu hal yang Ayah inginkan adalah melihatmu menikah sebelum Ayah benar-benar pergi,” ujar Roman dengan tulus. Mendengar hal ini, Stella tentu saja terkejut. “Menikah?” tanya Stella dengan bingung. Permintaan konyol macam apa ini?Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung
Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem
Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka
Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja
Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil
Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu