Home / Romansa / Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta / BAB 4 Antara Permintaan Terakhir Dan Cita-cita

Share

BAB 4 Antara Permintaan Terakhir Dan Cita-cita

last update Last Updated: 2024-05-15 12:12:23

“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus.

Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut.

Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini.

Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.”

Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus.

“Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan.

Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan mencintaimu sebesar cinta ayahmu padamu. Dengan cara ini, ayah bisa lebih tenang. Jadi pikirkan dan pertimbangkan baik-baik.”

Stella merenung sejenak, meresapi kata-kata ayahnya.

Dia menatap ayahnya dalam diam.

Penerimaan memang sulit, namun penolakan akan sangat menyakitkan.

Dia memikirkannya dan sulit menemukan jawaban untuk sementara waktu.

“Baiklah, aku akan memberitahu jawabannya nanti.”

Roman tersenyum dan mengangguk.

Apapun keputusan yang diambil putrinya, dia sepertinya siap menerimanya.

Di malam yang tenang, sebuah Mercedes-Benz A-Class meluncur dengan elegan melalui pusat kota.

Saat mencapai sebuah kafe, mobil itu berbelok dengan gesit dan dengan keahlian yang mengagumkan parkir di tempat yang sempurna.

Ketika pintu mobil terbuka, cahaya kecil dari kafe yang berdekatan memperlihatkan siluet seorang wanita misterius.

Dengan langkah yang penuh keyakinan, gadis itu muncul dari dalam mobil. Kakinya yang halus keluar dengan lembut, menyentuh tanah dengan keanggunan.

Dibungkus dalam sepatu hak tinggi yang menyempurnakan langkahnya, dia melangkah menuju pintu kafe dengan langkah yang anggun dan penuh pesona.

Sorot matanya yang tajam memancarkan kepercayaan diri, dan senyumnya yang lembut menambah keindahan malam itu.

"Stella," panggil dari gadis di ujung sana memecah keheningan malam itu. Dengan senyum hangat, Stella mendekatinya tanpa ragu.

"Tumben sekali mengajakku bertemu di malam seperti ini. Ada apa?" tanya Livy sambil menatapnya dengan rasa ingin tahu.

Stella duduk di seberangnya, menyeimbangkan tubuhnya dengan santai. "Aku ingin merepotkanmu dengan membagi keluh kesahku," ucapnya sambil menatap Livy dengan tatapan serius.

Gadis di seberangnya adalah Livy, sahabatnya sejak mereka duduk di sekolah tingkat kedua. Dalam tatapannya terpancar kehangatan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Livy memandang Stella dengan penuh kekhawatiran, mengerutkan keningnya. "Ada apa lagi, Stella? Masalah apa yang bisa menghampirimu?"

Sebagai nona keluarga Yuan, Stella tentu saja hidup dengan kenyamanan dan kelebihan yang melimpah. Setiap masalah yang muncul, selalu terselesaikan dengan mudah. Jadi apa yang membuatnya gelisah sekarang?

Saat itu, seorang pelayan mendekati mereka dengan ramah. Tanpa ragu, keduanya memesan kopi kesukaan mereka.

Setelah pergi, Stella menghela nafas, memperhatikan ekspresi Livy dengan penuh perasaan.

"Sebenarnya, aku sedang menghadapi masalah yang cukup rumit. Aku merasa seperti terjebak di antara tebing yang terjal. Rasanya sulit untuk menemukan keseimbangan saat ini."

Livy memandang Stella dengan serius. Selama berteman dengannya, Stella tidak pernah terlihat begitu bingung. Livy hampir tidak percaya jika Stella mengalami kesedihan dalam hidupnya hingga pada titik ini.

"Coba katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu berselisih dengan saudara-saudaramu lagi?" tanya Livy, mencoba mencari tahu akar masalahnya.

Stella diam sejenak, mencerna pertanyaan Livy dengan hati-hati. Namun, setelah beberapa saat, dia menggelengkan kepalanya.

"Lebih dari itu. Ini tentang ayahku dan aku," akhirnya dia menjawab dengan suara yang agak bergetar.

Stella akhirnya mulai menceritakan masalahnya pada Livy. Dia membuka hatinya, menjelaskan konflik yang sedang terjadi di dalam keluarganya.

“Apa yang kau katakan? Menikah?" Livy terbelalak saat mendengar Stella mengucapkan kata-kata itu.

Stella hanya mengangguk pasrah sambil menghela nafas tak berdaya.

Tepat pada saat itu, seorang pelayan datang untuk mengantarkan minuman mereka. Setelah menyajikan, ia segera pergi meninggalkan mereka.

Livy memandang Stella dengan bingung. Dia menatapnya dengan alis yang meruncing.

"Stella, bukankah ayahmu yang melarangmu untuk berpacaran hingga menyelesaikan pendidikanmu? Tapi kenapa dia sekarang memintamu untuk menikah?"

Stella hanya melamun, membiarkan pikirannya melayang di udara. Setelah beberapa saat, ia menjawab, "Kata dokter, penyakit ayahku cukup serius. Dia mungkin tidak akan hidup lama. Jadi, sebagai permintaan terakhirnya, dia meminta aku untuk segera menikah."

Stella menatap ke atas, menahan air matanya agar tidak jatuh.

Livy menatap Stella tidak percaya.

Jadi, selama ini, Stella tidak fokus pada kuliah karena ini?

“Stella, kenapa kamu tidak pernah memberitahuku sebelumnya? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Jadi, kamu sering datang terlambat ke kelas dan tidak fokus selama pelajaran karena hal ini?”

Stella menganggukkan kepalanya, meminum sedikit kopinya, tubuhnya terasa lemas.

“Aku tidak punya waktu untuk menghubungimu. Yang ada di pikiranku hanya ayah dan penyakitnya. Bahkan tidur pun tidak tenang,” ujarnya.

Livy menganggukkan kepala, memahami kondisi sahabatnya.

Dari bertahun-tahun menjadi sahabat, baru kali ini Livy melihat Stella benar-benar sedih dan tampak kehilangan harapan.

Biasanya, gadis cantik itu bahagia dan ceria di setiap harinya, meskipun ada masalah yang menimpanya.

Namun malam ini sangat berbeda.

Stella menceritakan seluruh kejadian dan perasaannya, membuat situasi hatinya menjadi lebih tenang.

“Stella, jika aku berada di posisimu, aku akan memilih untuk memenuhi permintaan terakhir itu. Kita tidak pernah tahu kapan kita bisa membuat mereka merasa senang lagi,” saran Livy.

Stella memandangnya dengan serius sejenak. Dia kemudian kembali meminum kopinya, mencoba memikirkannya dengan baik.

Di sisi lain, di rumah sakit, Roman masih terjaga. Dia berbaring memandang ke atas, sepertinya sedang merenungkan sesuatu.

Tidak lama kemudian, ponsel di dekatnya berdering. Roman segera meraihnya dan menjawab panggilan itu.

"Bagaimana?" tanya Roman begitu panggilan terhubung.

"Saya sudah menemukan orang yang Anda cari, tuan," kata seseorang di ujung panggilan.

Roman tampak terbelalak dan tersenyum, seolah-olah melihat tumpukan uang kertas setinggi gunung di hadapannya.

"Benarkah? Apakah kamu mengambil gambarnya?" tanya Roman.

"Saya sedang mengirimkannya kepada Anda. Silakan Anda lihat," jawab suara dari ujung panggilan.

Roman tersenyum dan mengangguk. Dia menunggu foto masuk dan segera membukanya. Setelah melihatnya, dia memandangnya dengan serius.

"Benar, ini orang yang aku cari."

Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka, dan Jiwan masuk ke dalam kamar bersama istrinya.

Melihat kedatangan mereka, Roman melirik sejenak dan menganggukkan kepalanya.

Dia segera berbicara dengan penelpon menggunakan nada lirih, "Bagus, tetap awasi dia dan tunggu instruksi selanjutnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti."

Roman mengakhiri panggilan dan Jiwan mendekat sambil bertanya, "Kakak tertua, bagaimana kondisimu?"

Roman tersenyum kepadanya, “Sudah lebih baik.”

Istri Jiwan meletakkan oleh-oleh yang dibawanya ke atas meja. "Apa kau sendirian? Dimana Stella? Kenapa dia tidak menemanimu?”

Roman mencoba untuk bangkit dengan bantuan Jiwan. Dia duduk dan bersandar pada bantal. “Stella sedang keluar sebentar. Mungkin dia akan kembali tak lama lagi,” katanya.

Dia memandang Jiwan dan bertanya, “Bagaimana dengan Grup Yuan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 39 Pewaris Keluarga Fang

    Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 38 Kediaman Keluarga Fang

    Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 37 Pergi Ke Kota Falone

    Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 36 Wilayah Barat Kota Falone

    Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 35 Tempat Impian

    Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 34 Tidak Tahan Lagi

    Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 33 Masakan Aksa

    Stella menatap Aksa dengan sinis, kemudian mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak olehnya.Ternyata, aroma makanan yang diciumnya tadi adalah masakan Aksa?Tanpa menoleh, Aksa berkata, "Jangan khawatir, aku akan memberimu makanan. Duduklah dan tunggu aku selesai." Stella dengan ekspresi kesal menatap Aksa dan menggerutu, "Bertanya tidak boleh. Bahkan melihat sendiri pun tidak boleh? Orang macam apa kamu ini, kenapa kamu pelit sekali?"Aksa menoleh ke arah Stella, dan menatapnya dalam diam.Kening Stella berkerut, menatapnya dengan bingung, "Kenapa menatapku?""Akhirnya kamu menyadari apa yang aku rasakan selama ini," kata Aksa tersenyum sinis.Stella menatapnya penuh emosi, menggertakkan giginya dengan geram, hampir merasa ingin meremas wajah Aksa. Namun, akhirnya Stella memutuskan untuk pergi dan duduk di meja makan sambil terus menggerutu, "Kenapa dia begitu menyebalkan? Hari-harinya selalu membuatku kesal."Beberapa saat kemudian, Stella kembali dengan membawa dua m

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 32 Tidak Bisa Tidur

    Pada pukul dua belas malam, Stella merasa sangat sulit untuk tidur. Kondisi ini sangat tidak biasa baginya karena biasanya ia selalu berada di kamar yang nyaman. Stella telah mencoba berbagai cara untuk memejamkan mata, namun rasa kantuknya tidak kunjung datang. Rasanya seperti malam yang panjang dan sunyi baginya, di mana pikirannya terus berputar tanpa henti."Astaga, mengapa aku begitu sulit tidur? Rumah yang sempit tanpa pendingin ruangan membuatku merasa tidak nyaman," gumam Stella pada dirinya sendiri. Dia duduk dan menatap ke lantai, di mana Aksa terlihat tertidur pulas tanpa kesulitan apapun."Dia sangat mudah tertidur. Mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana, sehingga tidak terganggu," pikir Stella dengan sedikit nada sinis.Stella kembali berbaring dan memejamkan matanya, tapi dia tetap tidak bisa tidur. Berbagai posisi sudah ia coba, namun rasa kantuk yang tak kunjung datang justru membuatnya merasa tersiksa. Tak lama kemudian Aksa terbangun dan melihat

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 31 Pergi Dari Rumah

    Aksa berjalan ke arah keduanya dengan pelan, mendengarkan perdebatan mereka baik-baik. Stella mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah yang membara di dalam dirinya."Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Bisnis ini adalah warisan Kakek yang dikelola dengan baik oleh ayahku setelah kamu menghancurkannya. Kamu tidak punya hak untuk mengendalikannya lagi!" seru Stella dengan suara gemetar karena emosi.Jiwan tertawa kecil, mendengar ucapan Stella. Seakan-akan, dia hanya bermain dengan keponakan bayinya."Oh, Stella. Kamu masih terlalu naif. Dunia bisnis itu kejam, dan hanya yang kuat yang akan bertahan. Jika kamu tidak bisa mempertahankan bisnis ini, maka aku yang akan melakukannya."Aksa yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mulai berpikir lebih dalam. Ternyata, keluarga Yuan yang ia kenal, tidak sedamai yang ia kira. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan yang selama ini ia abaikan."Paman Jiwan," Aksa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas, "a

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status