Beranda / Romansa / Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta / BAB 5 Tidak Perlu Khawatir

Share

BAB 5 Tidak Perlu Khawatir

Penulis: Kelvin Prayoga
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-15 12:12:29

Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan.

Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.”

Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut.

"Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?"

Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat."

Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya.

Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang.

Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya.

"Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat.

Roman menggeleng dan tersenyum. Dia mengambil ponselnya, mengirimkan pesan singkat, lalu duduk tegak.

Wajah Roman tampak sedikit pucat, meski dia tidak mengatakan bahwa dia merasa sakit.

"Ayah, apa tujuan kedatangan Paman Jiwan Apakah dia hanya mengunjungimu?" tanya Stella.

Roman meletakkan ponselnya dan memandang putrinya.

"Ya, dia mengunjungiku. Mereka juga membawa oleh-oleh. Jika kamu mau, ambillah," kata Roman.

Stella memandang meja tanpa berkata apa-apa. Dia kemudian melihat ayahnya yang hendak kembali berbaring, lalu segera membantunya.

"Stella, apakah kamu sudah memikirkan permintaan ayah?" Roman bertanya, membuat Stella membeku. Dia bingung bagaimana menjawabnya.

"Sebelum saya menjawab, bolehkah saya menanyakan sesuatu?" Stella bertanya, memperoleh anggukan dan persetujuan dari Roman.

"Yang aku tahu, ayah punya banyak teman. Bahkan dimanapun aku berada, semua orang pasti kenal dengan ayah. Apakah ayah tidak pernah punya musuh?" Stella menanyakan pertanyaan yang membuat Roman tertawa kecil, seolah dia tahu maksud dari pertanyaan putrinya.

Roman kemudian menjawab, "Nak, dalam hidup kita pasti membutuhkan bantuan orang lain. Bahkan jika kamu menjadi ratu, bisakah kamu sendirian? Tentu saja pasti ada orang di sekitar kita."

Stella hanya diam, menunggu jawaban lebih lanjut dari ayahnya.

Roman memandang Stella dengan serius, "Musuh tidak memberikan dampak positif. Hal tersebut justru akan berdampak buruk bagi kita. Sebisa mungkin, jangan memiliki musuh dalam hidup kita," ucapnya, menyampaikan pesan tersirat untuk putrinya.

Stella diam sejenak, merenungkan kata-kata itu. Dia mengangguk pelan, "Apakah bisa menjamin jika ayah tidak memiliki musuh? Bagaimana jika perkataan atau tindakan yang ayah buat pernah menyinggung perasaan orang lain? Dan dia membenci ayah dalam diam," tanyanya, wajahnya menjadi serius.

Roman memahami maksud putrinya. Dia menghela nafas, diam untuk sementara waktu, lalu berkata, "Tugas kita hanyalah berusaha menjadi orang baik, dan lebih baik dari hari kemarin. Selama kita tidak bermaksud menyinggung siapapun, sekalipun ada yang tersinggung, paling tidak kita melakukannya tanpa sengaja. Jadi, kita hanya perlu lebih berhati-hati. Selebihnya tidak perlu terlalu dipikirkan."

Posisi Roman di kota Berlin sangat tinggi, dan pengaruh yang dibuatnya cukup besar.

Mungkin ada beberapa yang tidak mengenal wajahnya, tapi siapa yang tidak mengenal namanya?

Dengan posisi seperti itu, tentu banyak yang iri padanya.

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang hal ini?" tanya Roman saat Stella tersadar dari lamunannya.

Stella bingung menjelaskan, "Aku... Ah, aku hanya bertanya saja, ayah. Tidak ada hal penting," kata dia cepat.

Roman mengangguk, "Lalu, apakah kamu sudah mempertimbangkan soal pernikahanmu?" tanyanya.

Suasana langsung terhenti saat Roman mengatakan itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia mendengarkan ini.

Wajah Stella penuh keraguan, bingung bagaimana harus menjawab.

"Ayah, aku tidak punya pacar untuk dinikahi. Bukankah ayahku melarangku berpacaran sampai aku menyelesaikan pendidikanku? Jadi, aku tidak memiliki pacar, artinya tidak bisa menikah sekarang," jelas Stella.

Roman melihat jam di dinding ruangan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia kemudian menatap Stella, sedikit tersenyum.

"Jadi maksudmu, kamu mau menikah, hanya saja belum mempunyai calon suami?"

Stella memejamkan matanya dan mengangguk.

Ingatannya kembali saat dia berada di kafe bersama Livy.

Livy berkata, "Begini saja. Jika ayahmu menanyakan kesiapanmu. Maka jawab saja kamu siap namun belum mempunyai pacar."

Kening Stella berkerut, "Apakah itu bekerja Bagaimana jika ayahku mencarikannya untukku?"

Livy mendekatkan duduknya, dan menepuk pundak Stella dengan lembut.

"Saat ini ayahmu sedang sakit. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan pasangan untukmu? Sekalipun dia mencari untukmu, dengan koneksi ayahmu yang baik, kamu seharusnya bisa menemukan suami yang mapan."

Stella hanya menyesap kopinya perlahan, sembari memikirkan saran dari Livy.

Kemudian dia menoleh ke arah Livy dan berkata, "Aku tidak mau jika seperti itu. Aku tidak kenal, maka tidak ada kata cinta. Dan pernikahan tanpa cinta, tak jauh berbeda dengan lagu tanpa melodi."

Livy menatapnya dengan kening berkerut, dia mengambil cangkir yang dipegang Stella dan menciuminya.

"Eh?" Stella bingung menatapnya.

Livy menyentuh kening Stella dan menatapnya dengan bingung, membuat Stella semakin bingung.

"Ada apa denganmu? Kamu tidak mabuk, kan?" tanya Livy.

Stella menggelengkan kepalanya, "Tentu tidak. Kaulah yang mabuk, bertingkah seperti ini."

Keduanya bertatapan sejenak, kemudian Livy mengambil gelasnya dan meminum kopinya.

"Aku pikir kamu sedang mabuk hingga membicarakan soal cinta. Padahal kamu sendiri tidak tahu apa itu cinta," kata Livy.

Ingatan itu bergema di benaknya, dan dia tersenyum sedikit saat memikirkan hal ini.

Orang waras mana yang tidak tahu tentang cinta?

Roman memandang Stella yang sedang tersenyum melamun, juga tersenyum.

"Jika belum memiliki pacar, kamu tidak perlu khawatir. Selama kamu mau, ayah bisa mencarikannya untukmu," ucap Roman, membuyarkan lamunan Stella.

Senyumnya memudar saat dia menatap ayahnya dengan bingung. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

"Kamu tidak perlu khawatir jika ayah mencarikannya untukmu. Seorang ayah pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, sehingga tak perlu dipikirkan lagi. Masalah ini telah teratasi," kata Roman sambil mengangguk.

"Ayah, tapi…" Stella ingin menolak, namun roman melambaikan tangannya, "Sudah, jangan protes. Besok ayah akan memperkenalkannya padamu," katanya tegas.

Stella ingin mengatakan sesuatu, tetapi tatapan ayahnya sepertinya meyakinkannya akan keputusan ini.

Melihat kondisi ayahnya yang seperti ini dan kesempatan hidupnya yang tak lama lagi, Stella hanya bisa menghela nafas pasrah dan menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Terkadang kita harus menerima bahwa ada momen di mana keputusan sudah diambil dan tidak bisa diubah lagi.

Mau tidak mau, Stella harus menerimanya. "Sudahlah, malam sudah semakin larut. Pergilah tidur dan beristirahat, masalah besok kita bicarakan lagi," kata Roman kepada putrinya.

Stella pun menganggukkan kepalanya dan segera berjalan menuju sofa yang ada di sebelah sana untuk tidur.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 39 Pewaris Keluarga Fang

    Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 38 Kediaman Keluarga Fang

    Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 37 Pergi Ke Kota Falone

    Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 36 Wilayah Barat Kota Falone

    Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 35 Tempat Impian

    Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 34 Tidak Tahan Lagi

    Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status