"Jangan bermain api jika kamu tidak mau terbakar bersamanya."Begitulah petuah ayahku sebelum beliau meninggal. Jika mengingat itu jantungku seakan berdenyut ngilu.Ayah benar!Seharusnya aku tak bermain api karena sekarang aku tak tahu bagaimana memadamkan asapnya. Seharusnya dulu aku tak sempat membuka hati karena sekarang aku bingung mengobatinya.Semalam setelah permintaan ibunya Athar yang membuatku sakit hati. Tanpa berpikir panjang dan berdiskusi dengan Mamah, aku langsung menghubungi Athar untuk menolak lamarannya. [Athar, saya harap kamu mundur dan berhenti mengatakan ingin melamar saya. Kalau pun terjadi, hubungan ini akan sulit lebih baik kita berhenti.] Begitulah isi penolakanku pada Athar tadi malam.Sungguh, aku tidak bisa mentoleransi lagi. Aku tidak sudi dituduh macam-macam sama keluarga Athar.Menanggapi penolakanku itu, tentu saja Athar langsung tak terima. Lelaki itu berulang kali mengirimi aku pesan dan menelepon bagaikan orang yang hilang akal.[Mbak. Kenapa Mbak
Aku memijit kening yang terasa berat. Jujur, meski aku sudah berusaha untuk fokus rasanya tetap saja gagal. Berkas, angka-angka dan kerjaan yang menumpuk sama sekali tak bisa mengalihkan konsentrasi yang terpecah.Galau! Aku sedang galau. Kondisi hatiku yang tidak terlalu bagus ini semua diakibatkan karena kepikiran Athar. Tak bisa dipungkiri dari mulai omongan hingga ekspresinya saat tadi meninggalkan ruang meeting bersama manajer cantik itu membuat perasaanku gundah.Wajahnya yang tampak dingin dan semua sikapnya yang berubah membuatku merasa bersalah dan cemburu. Dia tak lagi memanggilku menyapa dengan ramah, seperti ingin menunjukan kalau dia marah.Oalah! Ruwet! Ruwet!Kenapa aku jadi frustasi sendiri? Bukankah ini keputusanku untuk menolaknya?"Nia?"Di tengah-tengah konflik batin yang sedang kualami, tiba-tiba ada panggilan yang mengarah ke padaku.Aku terperangah, seperti dibangunkan dari lamunan. "Eh, ya apa?" tanyaku kaget pada Danil. Dia adalah teman satu timku."Kamu ditun
Mobil Athar berhenti di salah satu pemakaman umum. Lelaki itu dengan wajah dingin meminta aku turun dari mobilnya."Kenapa kita ke kuburan? Kamu mau nyari setan?" tanyaku heran. Sungguh, aku tidak memahami jalan pikiran Athar. Tadi dia bilang mau membawaku ke keluarganya tapi nyatanya malah ke kuburan.Bukannya menjawab, sebaliknya Athar melengos. "Udahlah, turun saja! Nanti juga Mbak tahu," sergahnya menyebalkan.Jujur, aku ingin sekali membantah tapi akhirnya aku menyerah. Aku bergegas mengekori Athar yang sedang berjalan lurus di atas jalan setapak yang berada di tengah-tengah pemakaman.Selama aku mengikuti langkah panjang Athar, perasaanku jadi gak karuan. Apalagi kondisi sangat hening, sepi dan berangin. Aku bergidik seraya melihat sekelilingku yang dipenuhi kuburan dan tanaman bunga Kamboja yang menebarkan aroma khasnya.Diam-diam aku berdoa semoga gak ada makhluk yang tak kasat mata mengikuti. Takut banget kalau pulang dari sini ketempelan.Nauzubillah! Amit-amit!"Pak Athar
Berondong Devil:[Kania, saya tunggu jawaban kamu. Saya harap kamu berubah pikiran.]Sebuah notifikasi pesan dari Athar menghiasi layar ponselku sekali lagi. Namun, dikarenakan aku masih tidak memiliki jawaban dan bingung, aku memutuskan tak menjawabnya. Aku juga bahkan mengabaikan sampai menghindari Athar selama ini demi menjaga hatiku yang cenat-cenut gak karuan.Seusai pembicaraan kami kemarin di depan pusara ibunya, aku meminta pada Athar untuk memberiku waktu. Aku butuh mencerna semua permasalahan yang ada.Jujur, setelah mendengar pengakuannya bahwa kalau dia dan Anita merupakan saudara tiri, sepulangnya aku sangat syok. Rasanya aku bak memakan buah simalakama, dimakan sakit gak dimakan pun sakit, aku merasa berdiri di tepi jurang sekarang. Di satu sisi, kuakui kalau aku merasa kalau ucapan Athar ada benarnya, baik disadari atau tidak aku dan dia sama-sama terluka oleh keluarga Anita. Aku benci tapi tak bisa. Aku marah tapi nyatanya aku masih punya hati untuk tak memutus semua
"Mbak." Panggilan Athar yang lembut membuat aku mengerjap pelan. Saat itu aku tersadar kalau ketiduran dan mobil Athar sudah berada di depan rumahku yang jalannya sudah diperlebar hingga nyaman untuk parkir. "Eh, maaf saya ketiduran." ujarku seraya membenarkan posisi duduk seraya memegang kepala. Entah mengapa rasanya kepalaku sangat sakit, sepertinya ini karena aku terlalu syok atas insiden di kantin beberapa waktu lalu. Beruntung, Athar datang dan menghindarkanku dari cengkraman Hans. Masih terbayang aksi heroik Athar tadi hingga akhirnya aku diantai pulang. Athar tersenyum mafhum. "Gak apa-apa, saya paham Mbak pasti kelelahan dan masih syok gara-gara Hans."Aku menoleh pada Athar dan mata kami bertemu. Tatapan teduhnya membawa perasaanku serasa lebih baik. Aku jadi berpikir andai aku bertemu Athar lebih dulu dan bukan Hans, mungkin kejadian buruk ini tak akan terjadi. Andai, Athar bukanlah adik tiri dan bagian dari keluarga Yusuf Kalindra yang merupakan besan Bu Nur mungkin kepu
"Clar, kamu serius mau gabung sama kami?" Melihat Clara yang tiba-tiba hadir, Athar menegakkan tubuhnya dan jujur kurasakan hatiku bergetar tak nyaman. Bagiku, pandangan Athar selalu berbeda jika pada Clara, berasa ada manis-manisnya. Clara menyunggingkan senyum menggodanya kepada Athar dan lalu berjalan ke arah kami bak model catwalk."Ya, tentu saya ikut Thar jika diperbolehkan. Saya boleh gabung, kan?" tanya Clara. Tangan lentik gadis itu hampir meraih lengan Athar tapi pria itu buru-buru menghindar.Sekilas terlihat Clara kecewa karena Athar seolah menolaknya di depan para staf tapi dia mencoba menyamarkannya dengan senyuman. Diam-diam aku hanya bisa bersorak dalam hati karena akhirnya si genit kena getahnya. "Ehm, ya, boleh. Nanti kamu bisa bergabung. Kalau gitu rapatnya kita akhiri di sini, permisi!" Setelah pamit pada kami, Athar dengan gagahnya meninggalkan kumpulan para staf yang langsung heboh ngobrolin macam-macam.Ada yang ngobrolin mau pakai apa ke Pangandaran, mau mak
Siang ini aku berusaha keras untuk konsentrasi pada perkerjaan. Mencoba tidak memperdulikan perasaan aneh yang menggerogoti hati.Aku tahu sebagai wanita yang dilamar oleh si Bos, seharusnya aku mempertanyakan tentang kepastian omongan Clara. Sebelum patah hati dan berharap lebih, aku rasa hati ini wajar untuk memastikannya tapi lagi-lagi rasa gengsiku menahannya.Aku pikir mau cinta pertamanya Athar itu Clara kek, Tamara kek, Inul Daratista kek, atau Ayu Tingting pokoknya gak ada urusan. Aku kan belum sah jadi istrinya, bisa disangka posesif buta kalau aku bertanya. Belum jadi apa-apa udah repot, ih jijay!Alhasil, daripada gondok dan cemburu gak beralasan, aku memilih untuk lebih fokus ke pekerjaanku yang sempat tertunda yaitu membuat laporan bulanan.Lama. Aku terus berada di kubikel dan mengerjakan banyak hal sampai akhirnya tak terasa jam makan siang tiba. Beberapa orang di divisiku sudah mulai beranjak dari kubikelnya, begitu pun aku. Namun, saat aku baru berdiri tiba-tiba ponse
Mamah menyuruhku menikah lagi. Ini hal aneh yang terjadi hari ini. Aku tercengang, bibirku kelu dan diri ini membatu karena terkejut. Di saat sakit, Mamah malah memintaku menikah.Ini aneh. Sungguh, di luar ekspektasiku."A-apa, Mah? Me-menikah lagi?" tanyaku tercekat. "Kenapa Mamah tiba-tiba bilang gitu? Mah, tolong jangan memikirkan itu sekarang lebih baik Mamah pikirkan kesehatan Mamah," ucapku seraya memegang tangannya.Mamah tersenyum di balik alat penunjang pernafasannya seraya berkata pelan. "Mamah mungkin gak akan hidup lama, Sayang. Mamah ingin kamu bahagia, Mamah ingin melihat lelaki yang akan menjaga dan menjadi imam bagi kamu sebelum Mamah pergi Kania. Jika Mamah sudah melihatnya mungkin Mamah gak akan berat meninggalkan kamu sendiri," ujar Mamah membuat tangis yang sedang kutahan ambrol. Aku duduk seraya menggenggam tangan Mamah yang tak sekuat dulu. "Mah, Mamah jangan berpikir begitu. Umur Mamah insya Allah masih lama. Mamah gak boleh mendahului takdir. Kania ingin Mama