Share

BAB 3

Aвтор: Vieyan Opit
last update Последнее обновление: 2023-06-29 09:59:05

Ajeng mematung, satu tangannya masih memegang gagang pintu. Apa yang dilihat tidak sesuai dengan yang dipikirkan oleh perempuan itu. Himawan tidak sedang terbaring lemah.

"Papa menipuku lagi?" seru Ajeng. Kesal melihat papanya duduk di sofa sambil bersenda gurau.

"Di mana kamu menemukannya, Bian?" Himawan sengaja tidak memedulikan pertanyaan Ajeng.

"Di rumah Stella," jawab Bian, terpaksa dia berbohong. Satu tangannya kemudian menempel di punggung Ajeng, mendorong tubuh perempuan itu pelan agar lebih masuk lagi ke dalam.

Ajeng terpaksa melepaskan gagang pintu dan kakinya maju beberapa langkah.

Meskipun masih kesal kepada Bian, tapi dia bersyukur. Laki-laki itu tidak berkata jujur mengenai kejadian di hotel bersama dengan Steven. Padahal dia sudah bersiap ingin menginjak kaki Bian, jika saja laki-laki itu menceritakan sejujurnya.

"Syukurlah, kamu tidak bersama Steven," balas Himawan, tanpa memandang wajah puterinya.

"Sekarang kalian berdua duduklah, segera tanda tangani ini." Himawan menambahkan.

"Tanda tangan?" tanya Ajeng. Lalu menatap Himawan penuh tanda tanya.

"Sebenarnya aku sudah menikahkanmu dengan Bian,” jawab Himawan.

"Apa? Bagaimana bisa?" seru Ajeng syok sekaligus bingung. Dia menatap Bian dan Himawan secara bergantian.

Seorang laki-laki dengan baju batik yang duduk bersama Himawan mulai angkat bicara. Pertama dia menyapa Ajeng dengan ramah, kemudian mengenalkan dirinya dengan nama Sabda.

Sabda selaku orang dari kantor urusan agama, membenarkan kalau Himawan sudah menikahkan Ajeng dengan Bian dua hari yang lalu, saat Ajeng masih liburan di Singapura.

Pernikahan itu sah secara agama dan negara, meskipun hanya dihadiri oleh Himawan, Bian dan dua orang saksi. Satu saksi dari perempuan, satu saksi dari pihak laki-laki.

Ajeng membuka mulutnya lebar, tapi tidak dapat berkata-kata. Dirinya terlalu syok. Tidak tahu kalau pernikahannya dianggap sah meskipun tanpa kehadirannya.

"Tega sekali Papa melakukan ini padaku? Papa licik sekali!" Terlihat air mata Ajeng sudah mengambang. Terpaksa berkata kasar kepada papanya sendiri karena tega menikahkan tanpa persetujuannya.

Bukan seperti ini yang diharapkan oleh Ajeng. Dia sudah memimpikan sendiri bagaimana pernikahannya kelak. Menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri. Ajeng juga memimpikan pesta pernikahan yang sangat mewah dan megah. Dan, kini impian itu sudah direnggut oleh papanya sendiri.

"Ajeng benci sama Papa!" teriak Ajeng. Air matanya pecah. Ajeng pun berlari keluar dari kamar rawat inap Himawan.

"Tunggu, Ajeng? Dengarkan penjelasan Papa!" seru Himawan. Laki-laki itu berdiri hendak menyusul puterinya. Apalah daya, penyakit jantung yang di deritanya membuat kondisi badannya lemah.

"Jangan banyak bergerak dulu, Himawan. Kamu masih belum sepenuhnya pulih." Dokter Anwar mengingatkan. Dia adalah dokter spesialis jantung yang menangani Himawan.

"Biar saya yang menyusul Ajeng," sahut Bian.

"Kuserahkan kepadamu, Bian. Jangan sampai Ajeng pergi lagi." Himawan berkata dengan nada yang lemah.

"Aku tahu ini salah. Tapi aku lakukan semua demi anakku," ucap Himawan sedih. Dokter Anwar maupun Sabda meyakinkan Himawan, kalau Bian pasti bisa membujuk dan menjelaskan pada Ajeng.

Bian berlari keluar, mencari keberadaan Ajeng. Jauh di lubuk hati, Bian merasa kasihan kepada Ajeng. Perempuan itu dipaksa menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya. Jika itu dirinya tentu akan merasakan hal yang sama.

Tapi mau bagaimana lagi, Bian harus melakukan pernikahan itu. Selain menuruti kemauan Himawan, Bian juga mempunyai tujuan lain terhadap Himawan dan Ajeng.

"Ajeng! Berhenti!" seru Bian, sembari berlari menyusul Ajeng. Beruntung perempuan itu belum terlalu jauh dari kamar rawat inap Himawan.

Yang dipanggil menoleh sebentar. Kemudian mempercepat langkah, sengaja menghindar karena ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit.

Siapa sangka Ajeng justru menabrak perawat yang sedang mendorong pasien menggunakan kursi roda. Dirinya terjatuh hingga terduduk di lantai. Salahnya sendiri, berjalan dengan kepala menunduk. Ajeng terlalu sibuk mengusap air mata, sampai tidak sadar apa yang ada di depannya.

"Maaf," ucap Ajeng pada di perawat. Dia masih belum beranjak dari posisinya.

"Anda tidak apa-apa?" tanya si perawat karena khawatir. Ajeng terlihat sangat kacau.

Bian yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri Ajeng.

"Kamu enggak apa-apa, Ajeng?" Bian mengulurkan tangan, berusaha membantu Ajeng berdiri.

"Jangan sentuh aku!" Ajeng menampik tangan Bian. Perawat yang ditabrak tadi memilih pergi karena tidak ingin ikut campur.

"Ikut denganku! Aku akan menjelaskan semuanya." Bian berusaha membujuk.

"Pergi sana! Kamu sama saja sama papa." Ajeng berseru keras. Tidak peduli orang di sekitar memperhatikan mereka berdua.

"Kenapa tidak menolak permintaan papa! Kamu sengaja ya? Jangan-jangan mau menguasai harta papaku," tuduh Ajeng.

"Ajeng!" seru Himawan dari balik kursi rodanya. Dengan didorong dokter Anwar, Himawan menghampiri puterinya.

"Papamu tidak bohong, dia benar-benar sakit. Jantung koroner, kamu tahu penyakit itu kan, Ajeng?" Dokter Anwar lebih dulu menjelaskan. Dia khawatir, perselisihan Himawan dengan Ajeng akan semakin memperburuk kondisinya.

Penjelasan Dokter Anwar membuat Ajeng sedikit mereda. Namun tentang pernikahannya, dia masih belum menerima. Himawan berusaha membujuk Ajeng dan mengajaknya berbicara empat mata dan itu berhasil.

Ajeng berdiri dan perlahan menghampiri Himawan.

"Biar aku saja yang mendorong Papa.“ Ajeng mengambil alih kursi roda.

Bian dan dokter Anwar, membiarkan ayah dan anak itu berbicara dari hati ke hati.

Ajeng membawa Himawan ke bagian belakang rumah sakit, di sana ada taman kecil yang memang dibuat untuk duduk santai. Baik pasien maupun keluarga pasien.

"Maafkan Papa. Mungkin keputusan ini berat bagimu. Papa hanya ingin pergi dengan tenang." Himawan lebih dulu berbicara.

"Papa sengaja pengen cepet mati, ya?" Ajeng bersungut, tangannya masih sibuk mengusap pipinya yang basah karena air mata.

Himawan sama sekali tidak marah. Dia justru tersenyum lalu mengusap puncak kepala putrinya.

"Papa terlalu sibuk mengurus bisnis, hingga tidak memperhatikan pola makan. Jika terlalu stres, Papa justru memilih melampiaskan pada rokok. Bian sudah sering menasihati, tapi papa sendiri tidak pernah menghiraukannya. Dan lihat sekarang, penyakit ini pemberian Tuhan agar papa lebih menghargai hidup."

"Kenapa Papa enggak cerita sama Ajeng, sih. Sejak kapan sakit kaya gini?" Seketika Ajeng menyesal tidak pernah memperhatikan orang tuanya. Dia sibuk dengan dunianya sendiri. Yang dia tahu hanya meminta uang untuknya belanja dan liburan keluar negeri.

"Papa tidak ingin kamu menjadi kepikiran." Himawan memosisikan tubuhnya menghadap Ajeng. Kedua netranya menatap penuh kasih dan tangannya menggenggam erat tangan Ajeng.

"Selama ini Papa tidak pernah meminta apa pun darimu, bukan? Papa selalu menuruti semua kemauanmu. Sekarang gantian kamu yang menuruti kemauan papa. Tolong mengerti, hanya Bian yang papa percaya untuk menjagamu dan juga perusahaan.” Himawan berbicara dengan lembut.

Ajeng membalas tatapan papanya dengan perasaan yang bercampur aduk. Takut kehilangan papanya, rasa bersalah karena tidak tahu orang tuanya sakit tapi juga kesal dan marah tentang pernikahannya.

Keluarga Bian memang sangat dekat dengan Himawan. Apalagi sejak kedua orang tua Bian meninggal, Himawan juga ikut andil merawat Bian hingga lulus kuliah.

"Entahlah, Pa. Saat ini Ajeng masih belum bisa berpikir. Ajeng kecewa sama Papa." Ajeng menunduk, tidak lagi berani menatap Papanya.

"Lebih baik Papa kembali ke kamar. Di sini anginnya sedikit kencang." Ajeng berdiri, lalu mendorong Himawan membawanya keluar dari taman.

Himawan tersenyum lebar. Hari ini adalah kali pertama Ajeng menunjukkan perhatian dan rasa khawatir terhadapnya.

"Berhenti!" ucap Himawan tiba-tiba.

"Kenapa, Pa?" tanya Ajeng, sedikit bingung karena permintaan Himawan mendadak.

Ajeng pun mengikuti arah pandang Himawan. Papanya sedang menatap laki-laki yang bertubuh tinggi dan sedang berbincang dengan Bian di dekat kamarnya.

"Papa?" panggil Ajeng kemudian beralih ke sisi Himawan. Dia menatap wajah papanya.

Himawan seperti ketakutan dan juga terlihat khawatir. Namun, kedua tangannya mengepal kuat-kuat di paha.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 23 - Merawat Bian

    Ajeng terkejut melihat Bian tiba-tiba pingsan di depannya. "Bian? Bangun! Pagi-pagi nggak usah bercanda, deh!" Ajeng mengguncang-ngguncang tubuh Bian, tapi tidak ada respon. Ajeng kemudian menempelkan tangan ke dahi Bian."Astaga, panas banget badannya," ucap Ajeng panik. Tanpa ragu Ajengmembawa Bian ke dalam kamar. Susah payah Ajeng memapah Bian lalu membaringkannya di tempat tidur. Kemudian berusaha menghubungi Mba Ratri untuk meminta bantuan, tapi tidak diangkat. Ajeng semakin khawatir karena Bian menggigau. "Tenang, Ajeng. Tenang." Ajeng menenangkan dirinya sendiri agar tidak semakin panik.Perempuan itu memutuskan untuk mencari informasi di internet, mengenai penanganan dan pertolongan pertama pada orang yang mengalami demam tinggi.Selesai membaca semua informasi, Ajeng keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk merebus air.Ajeng kembali menghubungi Mba Ratri dan hasilnya masih nihil, tidak ada jawaban. "Oke, aku bisa sendiri." Ajeng meyakinkan dirinya.Setelah airn

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 22- Kejutan dari Bian

    "Sengaja mau nunjukin kekuasaan kamu, ya? Atau biar kelihatan kaya suami yang sayang sama istrinya?" Ajeng berucap dengan nada sinis. Ajeng tidak terima saat Bian tiba-tiba muncul, menurutnya Berlagak sangat peduli, menawarkan kepadanya agar memilih apa saja yang ingin dibeli. "Kemarin katamu aku ini kejam, aku ini enggak ngerti perasaan kamu. Sekarang aku mau nurutin apa yang kamu malah dibilang sok peduli. Jadi orang yang konsisten," balas Bian dengan perasaan kesal. Padahal niatnya memang baik, tapi Ajeng salah mengartikan.Bian memang berniat meninggalkan Ajeng dan kembali ke kantor, tapi mengurungkan niatnya karena merasa khawatir dan memutuskan mengikuti Ajeng.Timbul iba di hati Bian saat melihat Ajeng menatap sebuah dress. Dan Bian yakin Ajeng sangat menyukai dress tersebut karena terus menatapnya. "Ya kalau ngerti aku harusnya tuh kasih uang. Kartu kreditku jangan diblokir. Ngenes banget sih hidup aku, punya suami kagak pernah kasih uang," sinis Ajeng. Perempuan itu menghe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 21 - Ajeng Merajuk

    Tatapan Bian kepada Ajeng kali ini agak berbeda. Ada sedikit rasa kagum dan heran karena istrinya mau membaur dengan karyawan pabrik."Aku tidak salah lihat, kan?" gumam Bian, geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis.Bukannya segera menghampiri, Bian justru terpaku melihat Ajeng yang tanpa sungkan membaur dan bercengkerama dengan para karyawan itu. Hingga Bian tidak sadar telah larut dan membuat kembali teringat akan kejadian semalam. Saat Ajeng dengan berani membuat sisi laki-lakinya muncul. "Bian? Sini!" Ajeng berteriak seraya melambaikan tangan.Bian tersentak mendengar Ajeng memanggil namanya. Sadar bahwa dirinya tidak seharusnya mengingat hal seperti itu di siang hari dan di tempat kerja."Ngapain kamu di sini? Ganggu pekerjaan mereka aja!" Bian sengaja menegur di depan para karyawan. Sebenarnya hal itu dilakukan karena merasa salah tingkah sendiri."Siapa yang gangguin? Mereka sendiri yang ngajakin aku, kok," balas Ajeng tidak terima."Ini, kamu ngajakin mereka buat makan. Pa

  • Dinikahi Asisten Papa   Bab 20 – Tidak Akan Terjadi

    Ajeng merasa skeptis terhadap niat Danu yang ingin mengajak kerja sama. Dia merasa bahwa Danu hanya ingin menguasai perusahaan papanya dan mengambil alih kendali yang seharusnya menjadi miliknya.Dengan tidak menyetujui kerja sama, Ajeng merasa bahwa tindakan ini adalah langkah yang tepat untuk melindungi perusahaan papanya. Dia tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang yang tidak bisa dipercaya.Bian sendiri cukup terkejut dengan kehadiran Ajeng yang tidak disangka. Ditambah lagi dengan rasa kesal karena Ajeng mendadak ikut campur dalam perbincangannya dengan Danu. Meskipun begitu, Bian memahami alasan di balik penolakan Ajeng, namun tetap berpendapat bahwa kerja sama dengan Danu dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan."Ini kesempatan besar bagi perusahaan kita, Ajeng?" tegas Bian"Aku tidak percaya pada orang itu, Bian. Ngajakin kerja sama? Tapi Aku lebih merasa dia hanya ingin menguasai perusahaan papa," sengit Ajeng."Kamu tahu apa, Ajeng? Aku yang bertanggun

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 19- Secepat Itu Lupa?

    “Mba Ratri orang mana? Kok Bian bisa minta Mba Ratri kerja di sini?” Ajeng melempar pertanyaan kepada Ratri yang masih sibuk mencuci piring di dapur. Ratri tidak langsung menjawab dan justru tersenyum geli. Wajar jika Ajeng menginterogasi dirinya. mungkin Bian belum bercerita mengenai siapa dirinya.“Sebenarnya udah lama saya kerja sama mas Bian, Mba. Dulu kedua orang tua saya yang jadi kepercayaan orang tuanya mas Bian. Buat ngurus rumah sama ngurus mas Bian. Tapi, setelah orang tuanya mas Bian meninggal, orang tua saya buka usaha sendiri, kulineran gitu,” jelas Ratri. “Lah, jadi pembantu kok turun temurun sih,” celetuk Ajeng. Sedetik kemudian dia sadar kalau kata-katanya kurang pantas. Namun, Ratri sama sekali tidak tersinggung. Jauh sebelum Ajeng datang ke rumah itu, rupanya Bian sudah menceritakan mengenai Ajeng termasuk kepribadiannya.“Bukan turun temurun sih, Mba. Lebih tepatnya balas budi aja. Saya bisa sekolah dan orang tua saya sampai bisa beli rumah sendiri ya karen

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 18- Permainan cinta Ajeng

    Bian mematung saat Ajeng melingkarkan tangan di lehernya. Awalnya Bian mengira kalau istrinya itu hanya menggertak, ternyata di luar dugaan. Ajeng cukup nekat menempelkan bibirnya ke bibir Bian. Bukan hanya kecupan biasa, melainkan sapuan lembut yang mampu membuat sekujur tubuh Bian menegang.Jika hanya sekali, Bian masih memaklumi. Tapi rupanya Ajeng lebih berani dari dugaan Bian. Istrinya itu lebih dulu memulai permainan yang tidak disangka oleh Bian. Ajeng semakin menarik kepala Bian untuk lebih dekat lagi kepadanya. Sementara Ajeng tidak enggan membuat dirinya sama sekali tidak berjarak dengan Bian.Awalnya Bian hanya mencoba mengikuti permain Ajeng. Namun, tidak sangka dirinya semakin larut. Bagai harimau yang dibangunkan dari tidurnya. Sisi lain dari diri Bian memaksa muncul.“Takut?” Ajeng menarik wajahnya sebentar. Memberi jeda pada permainannya yang tidak dibalas oleh Bian. Perempuan itu masih dengan posisi kepala miring memberikan senyuman smrik pada Bian.Ditantang sepe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 17- KESEPAKATAN

    Ajeng mondar-mandir dengan perasaan kesal dan marah. Di kamar Bian, kamar yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Ajeng terus mengomel tentang sikap Bian yang menurutnya tadi sangat kurang ajar. Laki-laki itu tanpa persetujuan dan tanpa bertanya lebih dulu, seenaknya mendaratkan bibir ke bibirnya. Meskipun peristiwa itu tidak berlangsung lama, dan hanya kecupan biasa. Ajeng merasa bahwa Bian sudah mengambil secuil dari dirinya. Bodohnya, kenapa tadi Ajeng tidak langsung marah dan justru melarikan diri. Perempuan itu sampai lupa tentang pinggangnya yang semula kesakitan. “Kamu enggak tahu bagaimana ekspresi Bian setelah menciumku. Dia tuh kaya mengejekku, Stella. Seolah dia sengaja ingin mempermalukanku.” Ajeng mengepalkan tangan, satu tangan memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga. Ajeng tidak menyia-nyiakan untuk berbagi cerita kepada Stella. “Terus-terus. Kamunya gimana?” balas Stella. Di seberang sana dia sedang menahan tawa mendengar cerita dari Ajeng. “Kok terus? Ya aku

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 16 - Ciuman Pertama

    “Sial! Kenapa juga tadi Bian mendengar perkataanku.” Ajeng bergumam dalam hati. Tidak menyangka kalau Bian tiba-tiba datang ke kamarnya dan mendengar percakapannya dengan Stella.Tapi, bukan Ajeng namanya kalau tidak pandai mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu memarahi Bian yang menguping pembicaraannya dengan Stella.“Aku tidak menguping. Sengaja lewat dan ada orang yang sebut-sebut namaku. Jadi aku mampir sebentar untuk menyimak.” Bian melipat kedua tangannya, lalu menyenderkan bahu ke pintu.“Itu namanya menguping!” Ajeng langsung mematikan panggilannya dengan Stella.“Se-sejak kapan kamu berdiri di situ?” Ajeng bertanya dengan nada tergagap. “Baru saja. Aku mau ngecek, apa kamu masih butuh barang lagi untuk di bawa?” Bian memilih membicarakan yang lain. Dia tidak memperpanjang masalah tadi. Meskipun tadi sebenarnya Bian mendengar semua ucapan Ajeng kepada Stella.“Enggak ada. Nanti kalau butuh lagi, aku bisa pulang untuk mengambilnya,” balas Ajeng.“Baiklah, kalau sudah tidak a

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 15 - PINDAH RUMAH

    Ajeng sempat mengira ada pencuri yang masuk ke rumahnya dan mengacak-ngacak kamarnya. Siapa sangka ternyata Bian tengah sibuk merapikan beberapa barang miliknya. Bian mengeluarkan semua baju Ajeng dari dalam lemari, menatanya di beberapa koper milik Ajeng. Sisanya lagi dimasukkan ke kardus. Semua sudah ditata dengan rapi dan diletakkan di ruang tamu. Bahkan semua peralatan make up dan skincare Ajeng yang ada di meja rias juga sudah dipacking Bian dengan rapi. “Bian! Mau kamu apakan barang-barangku?” pekik Ajeng. Perempuan itu marah besar karena Bian tanpa izin menyentuh semua barang-barangnya. “Enggak lihat aku sedang mengepak barang-barangmu? Sisanya kamu rapikan sendiri. Tapi aku rasa itu sudah cukup, kalau perlu yang lain kita bisa beli,” jawab Bian dengan santai. “Maksudnya apa? Kenapa aku harus mengepak sisanya dan kalau butuh yang lain bisa beli? Bisa enggak kamu kasih penjelasan!” tuntut Ajeng. Kedua tangannya berada di pinggang, menatap marah pada Bian. “Mulai hari ini, k

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status