Share

BAB 3

Ajeng mematung, satu tangannya masih memegang gagang pintu. Apa yang dilihat tidak sesuai dengan yang dipikirkan oleh perempuan itu. Himawan tidak sedang terbaring lemah.

"Papa menipuku lagi?" seru Ajeng. Kesal melihat papanya duduk di sofa sambil bersenda gurau.

"Di mana kamu menemukannya, Bian?" Himawan sengaja tidak memedulikan pertanyaan Ajeng.

"Di rumah Stella," jawab Bian, terpaksa dia berbohong. Satu tangannya kemudian menempel di punggung Ajeng, mendorong tubuh perempuan itu pelan agar lebih masuk lagi ke dalam.

Ajeng terpaksa melepaskan gagang pintu dan kakinya maju beberapa langkah.

Meskipun masih kesal kepada Bian, tapi dia bersyukur. Laki-laki itu tidak berkata jujur mengenai kejadian di hotel bersama dengan Steven. Padahal dia sudah bersiap ingin menginjak kaki Bian, jika saja laki-laki itu menceritakan sejujurnya.

"Syukurlah, kamu tidak bersama Steven," balas Himawan, tanpa memandang wajah puterinya.

"Sekarang kalian berdua duduklah, segera tanda tangani ini." Himawan menambahkan.

"Tanda tangan?" tanya Ajeng. Lalu menatap Himawan penuh tanda tanya.

"Sebenarnya aku sudah menikahkanmu dengan Bian,” jawab Himawan.

"Apa? Bagaimana bisa?" seru Ajeng syok sekaligus bingung. Dia menatap Bian dan Himawan secara bergantian.

Seorang laki-laki dengan baju batik yang duduk bersama Himawan mulai angkat bicara. Pertama dia menyapa Ajeng dengan ramah, kemudian mengenalkan dirinya dengan nama Sabda.

Sabda selaku orang dari kantor urusan agama, membenarkan kalau Himawan sudah menikahkan Ajeng dengan Bian dua hari yang lalu, saat Ajeng masih liburan di Singapura.

Pernikahan itu sah secara agama dan negara, meskipun hanya dihadiri oleh Himawan, Bian dan dua orang saksi. Satu saksi dari perempuan, satu saksi dari pihak laki-laki.

Ajeng membuka mulutnya lebar, tapi tidak dapat berkata-kata. Dirinya terlalu syok. Tidak tahu kalau pernikahannya dianggap sah meskipun tanpa kehadirannya.

"Tega sekali Papa melakukan ini padaku? Papa licik sekali!" Terlihat air mata Ajeng sudah mengambang. Terpaksa berkata kasar kepada papanya sendiri karena tega menikahkan tanpa persetujuannya.

Bukan seperti ini yang diharapkan oleh Ajeng. Dia sudah memimpikan sendiri bagaimana pernikahannya kelak. Menikah dengan laki-laki pilihannya sendiri. Ajeng juga memimpikan pesta pernikahan yang sangat mewah dan megah. Dan, kini impian itu sudah direnggut oleh papanya sendiri.

"Ajeng benci sama Papa!" teriak Ajeng. Air matanya pecah. Ajeng pun berlari keluar dari kamar rawat inap Himawan.

"Tunggu, Ajeng? Dengarkan penjelasan Papa!" seru Himawan. Laki-laki itu berdiri hendak menyusul puterinya. Apalah daya, penyakit jantung yang di deritanya membuat kondisi badannya lemah.

"Jangan banyak bergerak dulu, Himawan. Kamu masih belum sepenuhnya pulih." Dokter Anwar mengingatkan. Dia adalah dokter spesialis jantung yang menangani Himawan.

"Biar saya yang menyusul Ajeng," sahut Bian.

"Kuserahkan kepadamu, Bian. Jangan sampai Ajeng pergi lagi." Himawan berkata dengan nada yang lemah.

"Aku tahu ini salah. Tapi aku lakukan semua demi anakku," ucap Himawan sedih. Dokter Anwar maupun Sabda meyakinkan Himawan, kalau Bian pasti bisa membujuk dan menjelaskan pada Ajeng.

Bian berlari keluar, mencari keberadaan Ajeng. Jauh di lubuk hati, Bian merasa kasihan kepada Ajeng. Perempuan itu dipaksa menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya. Jika itu dirinya tentu akan merasakan hal yang sama.

Tapi mau bagaimana lagi, Bian harus melakukan pernikahan itu. Selain menuruti kemauan Himawan, Bian juga mempunyai tujuan lain terhadap Himawan dan Ajeng.

"Ajeng! Berhenti!" seru Bian, sembari berlari menyusul Ajeng. Beruntung perempuan itu belum terlalu jauh dari kamar rawat inap Himawan.

Yang dipanggil menoleh sebentar. Kemudian mempercepat langkah, sengaja menghindar karena ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit.

Siapa sangka Ajeng justru menabrak perawat yang sedang mendorong pasien menggunakan kursi roda. Dirinya terjatuh hingga terduduk di lantai. Salahnya sendiri, berjalan dengan kepala menunduk. Ajeng terlalu sibuk mengusap air mata, sampai tidak sadar apa yang ada di depannya.

"Maaf," ucap Ajeng pada di perawat. Dia masih belum beranjak dari posisinya.

"Anda tidak apa-apa?" tanya si perawat karena khawatir. Ajeng terlihat sangat kacau.

Bian yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri Ajeng.

"Kamu enggak apa-apa, Ajeng?" Bian mengulurkan tangan, berusaha membantu Ajeng berdiri.

"Jangan sentuh aku!" Ajeng menampik tangan Bian. Perawat yang ditabrak tadi memilih pergi karena tidak ingin ikut campur.

"Ikut denganku! Aku akan menjelaskan semuanya." Bian berusaha membujuk.

"Pergi sana! Kamu sama saja sama papa." Ajeng berseru keras. Tidak peduli orang di sekitar memperhatikan mereka berdua.

"Kenapa tidak menolak permintaan papa! Kamu sengaja ya? Jangan-jangan mau menguasai harta papaku," tuduh Ajeng.

"Ajeng!" seru Himawan dari balik kursi rodanya. Dengan didorong dokter Anwar, Himawan menghampiri puterinya.

"Papamu tidak bohong, dia benar-benar sakit. Jantung koroner, kamu tahu penyakit itu kan, Ajeng?" Dokter Anwar lebih dulu menjelaskan. Dia khawatir, perselisihan Himawan dengan Ajeng akan semakin memperburuk kondisinya.

Penjelasan Dokter Anwar membuat Ajeng sedikit mereda. Namun tentang pernikahannya, dia masih belum menerima. Himawan berusaha membujuk Ajeng dan mengajaknya berbicara empat mata dan itu berhasil.

Ajeng berdiri dan perlahan menghampiri Himawan.

"Biar aku saja yang mendorong Papa.“ Ajeng mengambil alih kursi roda.

Bian dan dokter Anwar, membiarkan ayah dan anak itu berbicara dari hati ke hati.

Ajeng membawa Himawan ke bagian belakang rumah sakit, di sana ada taman kecil yang memang dibuat untuk duduk santai. Baik pasien maupun keluarga pasien.

"Maafkan Papa. Mungkin keputusan ini berat bagimu. Papa hanya ingin pergi dengan tenang." Himawan lebih dulu berbicara.

"Papa sengaja pengen cepet mati, ya?" Ajeng bersungut, tangannya masih sibuk mengusap pipinya yang basah karena air mata.

Himawan sama sekali tidak marah. Dia justru tersenyum lalu mengusap puncak kepala putrinya.

"Papa terlalu sibuk mengurus bisnis, hingga tidak memperhatikan pola makan. Jika terlalu stres, Papa justru memilih melampiaskan pada rokok. Bian sudah sering menasihati, tapi papa sendiri tidak pernah menghiraukannya. Dan lihat sekarang, penyakit ini pemberian Tuhan agar papa lebih menghargai hidup."

"Kenapa Papa enggak cerita sama Ajeng, sih. Sejak kapan sakit kaya gini?" Seketika Ajeng menyesal tidak pernah memperhatikan orang tuanya. Dia sibuk dengan dunianya sendiri. Yang dia tahu hanya meminta uang untuknya belanja dan liburan keluar negeri.

"Papa tidak ingin kamu menjadi kepikiran." Himawan memosisikan tubuhnya menghadap Ajeng. Kedua netranya menatap penuh kasih dan tangannya menggenggam erat tangan Ajeng.

"Selama ini Papa tidak pernah meminta apa pun darimu, bukan? Papa selalu menuruti semua kemauanmu. Sekarang gantian kamu yang menuruti kemauan papa. Tolong mengerti, hanya Bian yang papa percaya untuk menjagamu dan juga perusahaan.” Himawan berbicara dengan lembut.

Ajeng membalas tatapan papanya dengan perasaan yang bercampur aduk. Takut kehilangan papanya, rasa bersalah karena tidak tahu orang tuanya sakit tapi juga kesal dan marah tentang pernikahannya.

Keluarga Bian memang sangat dekat dengan Himawan. Apalagi sejak kedua orang tua Bian meninggal, Himawan juga ikut andil merawat Bian hingga lulus kuliah.

"Entahlah, Pa. Saat ini Ajeng masih belum bisa berpikir. Ajeng kecewa sama Papa." Ajeng menunduk, tidak lagi berani menatap Papanya.

"Lebih baik Papa kembali ke kamar. Di sini anginnya sedikit kencang." Ajeng berdiri, lalu mendorong Himawan membawanya keluar dari taman.

Himawan tersenyum lebar. Hari ini adalah kali pertama Ajeng menunjukkan perhatian dan rasa khawatir terhadapnya.

"Berhenti!" ucap Himawan tiba-tiba.

"Kenapa, Pa?" tanya Ajeng, sedikit bingung karena permintaan Himawan mendadak.

Ajeng pun mengikuti arah pandang Himawan. Papanya sedang menatap laki-laki yang bertubuh tinggi dan sedang berbincang dengan Bian di dekat kamarnya.

"Papa?" panggil Ajeng kemudian beralih ke sisi Himawan. Dia menatap wajah papanya.

Himawan seperti ketakutan dan juga terlihat khawatir. Namun, kedua tangannya mengepal kuat-kuat di paha.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status