공유

BAB 2

Ajeng syok, ketika mendapati dirinya terbangun di kamar hotel. Lebih terkejut lagi ada Steven yang berlutut tepat di samping ranjang, tempatnya berbaring. Wajah laki-laki itu babak belur.

"Steven?" Ajeng terperanjat, langsung melompat dari ranjang. Perempuan berambut panjang itu lega, semua baju masih melekat di badannya.

Tepat di belakang Steven, berdiri Bian. Laki-laki yang merupakan asisten papa Ajeng itu, menatap marah pada Steven. Kedua tangannya di samping, mengepal kuat-kuat.

"Maafkan aku, Ajeng. Aku tidak bermaksud untuk —“

"Enggak usah banyak alasan. Dasar laki-laki mesum!" Bian mencengkeram ujung rambut Steven kemudian menariknya. Steven pun memekik kesakitan.

Melihat pemandangan itu, Ajeng sampai menutup mulut dengan kedua tangannya. Bian lalu menyeret Steven ke arah pintu.

Sementara Ajeng, masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Tangannya mengurut pelipis karena masih terasa pusing. Meskipun masih dalam keadaan bingung, perempuan itu sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi kepadanya. Dan langsung melempar tatapan benci pada Steven.

"Aku hanya tidak ingin kamu dimiliki laki-laki lain, Ajeng." Steven masih berusaha membela diri.

"Diam, brengsek!" Bian memberikan satu pukulan kuat di wajah Steven, hingga membuat sudut bibir laki-laki itu berdarah.

Caci dan makian terus keluar dari mulut Bian. Dia sangat marah dan tidak terima pada Steven, karena berlaku kurang ajar pada Ajeng, yang dianggap sebagai calon istrinya.

"Stev, teganya kamu?" ucap Ajeng. Suara bergetar dan mulai menitikkan air mata.

"Dengarkan penjelasanku dulu." Steven ingin maju mendekati Ajeng.

"Tidak perlu!" Bian menarik baju bagian belakang Steven dan membawanya keluar dari kamar hotel.

Ajeng tidak bisa berkata-kata, dia memilih memalingkan wajahnya. Enggan menatap kepergian Steven. Tangisnya semakin pecah.

Lelaki yang selalu dia banggakan di depan papanya. Bahkan diharapkan untuk menjadi suaminya. Kini, pupus karena Steven ternyata laki-laki berengsek. Ingin merenggut kesuciannya. Beruntung saat ini Ajeng bangun masih dengan baju yang melekat di badannya.

"Jangan sampai aku melihat wajahmu lagi! Akan kubuat kau seperti butiran debu!" Bian memperingati, hidungnya kembang-kempis. Rasanya ingin membuat Steven lebih babak belur lagi. Tapi Bian tahu tempat, tidak mau membuat keributan di hotel.

Setelah melempar Steven keluar dari kamar, Bian kembali masuk ke dalam. Dia melihat Ajeng menangis sesenggukan. Perempuan itu duduk di bawah ranjang dengan memeluk kedua kakinya.

"Cengeng banget, sih. Laki-laki kaya gitu kamu tangisi!" sinis Bian, meskipun sebenarnya dia merasa kasihan.

"Kamu tuh!" Ajeng mengangkat kepalanya perlahan.

"Bukannya nanyain keadaan sama perasaanku gimana. Malah marah-marah!" kesal Ajeng. Bibir bawahnya sedikit maju sambil sesenggukan.

"Justru aku senang. Ini namanya kamu kena karma. Bukannya om Himawan sudah bilang, kalau dia enggak suka sama Steven. Terbukti kan dia laki-laki macam, apa?" Bian mencebik.

Ajeng mengerutkan alisnya. Rasa kesalnya semakin bertambah.

"Beruntung om Himawan memintaku ngikutin kamu. Coba kalau enggak, Stevan pasti udah —"

"Bian!" Ajeng berdiri, rahangnya mengeras dan satu tangannya mengepal. Ingin rasanya dia memukul Bian yang terus mencelanya.

"Terus aja, terus hina aku. Bilang sana sama papa, kalau aku tidur sama Steven. Puas? Tukang mengadu." Ajeng mengusap air mata di pipinya dengan kasar.

Bian memilih tidak menanggapi kemarahan Ajeng. Karena sudah paham, semakin ditanggapi, Ajeng justru semakin tidak mau mengakui kesalahannya.

"Buruan ikut aku!" Bian meraih pergelangan tangan Ajeng.

"Siapa kamu berani nyuruh aku!" Ajeng menampik tangan Bian. Meskipun Ajeng merasa sedih dan kecewa pada Steven. Tapi saat ini, Ajeng lebih kesal lagi pada Bian.

Asisten papanya itu sering kali bersikap sok memerintah. Bukan hanya itu, Bian juga sering mengikuti bahkan memantau dirinya. Kemudian melaporkan pada papanya.

"Aku, calon suami kamu," jawab Bian lirih. Kemudian kakinya satu langkah maju ke depan.

"Memangnya siapa yang mau nikah sama kamu!" Ajeng menaikkan dagunya. Dia ingin menunjukkan siapa yang lebih berkuasa, dibanding Bian yang hanya pegawai papanya.

Bian masih terus melangkahkan kakinya hingga memaksa Ajeng melangkah mundur.

"Kamu pikir aku mau nikah sama kamu?" Bian sedikit menundukkan wajahnya, menyejajarkan dengan wajah Ajeng. Perempuan itu terkejut karena Bian terlalu dekat sampai terduduk di pinggir ranjang.

"Kalau bukan karena Om Himawan yang terus memohon kepadaku. Aku juga enggak mau nikah sama perempuan sepertimu."

"Perempuan sepertiku?" Ajeng tidak terima merasa diremehkan.

"Enggak bisa kerja, sukanya habisin duit orang tua. Ah dan lagi, gampang ketipu sama laki-laki hidung belang kaya Steven." Bian menyeringai.

Ajeng mengangkat satu tangannya, hendak melayangkan tamparan pada laki-laki yang dianggapnya belagu. Bian sigap lebih dulu menahan tangan Ajeng. Tanpa Ajeng duga, satu tangan Bian mendorong bahunya. Membuat Ajeng jatuh dalam posisi tidur.

"Kamu mau apa!" Ajeng hendak bangun. Tapi kedua tangan Bian mencengkeram pergelangan tangan Ajeng. Kini posisi Bian tepat di atas Ajeng.

"Lepasin!" Ajeng memberontak.

"Dengar! Saat ini om Himawan ada di rumah sakit. Kepergianmu kemarin membuat penyakit jantungnya kambuh. Kalau kamu masih peduli dan sayang sama papa kamu. Sekarang ikut aku ke rumah sakit." Bian berkata penuh penekanan.

"Sandiwara lagi? Supaya aku pulang?" ucap Ajeng tidak percaya.

"Apa aku terlihat sedang bersandiwara?" Bian menatap Ajeng semakin dalam.

Mereka berdua saling diam. Ajeng membalas tatapan Bian, seperti tidak ada kebohongan di dalam sana. Beberapa pertanyaan pun muncul di kepala Ajeng. Kapan papanya mempunyai penyakit jantung, kenapa dia tidak tahu kalau papanya punya penyakit jantung.

Ajeng semakin larut. Tanpa sadar dirinya justru mengagumi wajah Bian yang ternyata memang tampan. Hidung mancung, bibirnya tipis, dan garis rahangnya sangat tegas, membuat Bian terlihat sangat manly. Persis seperti yang dia dengar daro para pegawai wanita papanya. Mereka suka menggosipkan Bian dan mengidolakan laki-laki itu sebagai suami idaman.

"Bi-bisa lepasin tangannku? Sakit," pinta Ajeng dengan tergagap karena jantungnya berdebar kencang. Bisa-bisanya terpesona oleh Bian, disaat memikirkan papanya.

Bian pun melepaskan tangan Ajeng dan kembali ke posisi tegak.

"Mau ikut enggak?" tanya Bian. Diam-diam mengatur napas karena juga berdebar saat wajahnya berdekatan dengan Ajeng. Bagaimanapun dia harus bersikap tenang.

"Iya-iya," jawab Ajeng.

Bian lebih dulu keluar dari kamar, disusul Ajeng dalam jarak yang agak jauh. Perempuan itu masih irama detak jantungnya.

Sesampainya mereka di tempat parkir. Kekesalan Ajeng kembali muncul.

"Tunggu! Jadi beneran kamu yang bawa mobilku?" Ajeng berkacak pinggang. Jengkel mobil kesayangannya benar dibawa oleh Bian.

"Buruan masuk!" balas Bian tanpa menghiraukan pertanyaan Ajeng.

Ajeng mendengkus kasar. "Beneran, ini bukan akal-akalan papa sama kamu, kan?" Ajeng kembali ragu.

Bian tidak mengatakan apa pun, dia hanya memberikan tatapan datar pada Ajeng sebelum masuk ke dalam mobil. Ajeng berdiri di luar mobil cukup lama, tapi akhirnya dia ikut masuk juga.

"Kalau kamu masih menganggap ini sandiwara lebih baik kamu keluar dari mobil!" seru Bian. Tatapan yang begitu dingin justru kembali membuat Ajeng berdebar. Kenapa laki-laki itu terlihat memesona saat memberikan tatapan kepadanya.

"Berhenti menatapku seperti itu! Buruan ke rumah sakit!" Ajeng memilih memalingkan wajahnya, menatap jendela mobil.

Tanpa menyita banyak waktu, Bian menghidupkan mesin mobil. Dengan keahliannya menyetir mobil, Bian mampu melalui padatnya jalan raya dan sampai di rumah sakit tanpa halangan.

Ajeng keluar dari mobil lebih dulu. Masih dengan perasaan yang kesal dan curiga. Dia kembali melontarkan pertanyaan pada Bian.

"Kapan papa punya penyakit jantung? Kok aku enggak tahu? Enggak pernah lihat pas kambuh?"

"Miris banget, sih! Anak sendiri enggak tahu kalau orang tuanya sakit." Bian mencibir Ajeng.

"Kamu tuh, ya!" Ajeng mengepalkan kedua tangannya. Rasa kesal dan jengkelnya berlipat-lipat ganda.

Bian jalan lebih dulu tanpa menghiraukan Ajeng yang kesulitan menyusulnya. Bian menahan tawa, kala melirik lewat ekor matanya. Bagaimana ekspresi Ajeng yang kesal karena kesulitan ingin menyejajarkan langkahnya. Dan Bian sengaja melebarkan langkahnya sehingga Ajeng tertinggal.

Tinggi badan Ajeng yang lebih pendek dari Bian, memang membuatnya kesulitan untuk menyusul laki-laki itu.

"Sudah sampai. Buruan masuk! Om Himawan udah nunggu kamu!" Bian tiba-tiba berhenti di pintu yang bertuliskan kamar vip nomor lima.

Ajeng terpaksa ikut berhenti dan menyimpan dulu rasa kesalnya. Perempuan itu lebih dulu membuka pintu, segera ingin mengecek kondisi papanya.

Namun siapa sangka. Himawan justru duduk di kursi sofa dengan seorang dokter dan satu orang lagi yang tidak dikenalnya.

"Nah, ini dia pengantinnya datang," ucap Himawan dengan senyuman yang lebar.

Sambutan Himawan membuat Ajeng langsung mematung di depan pintu.

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status