Share

BAB 4

Penulis: Vieyan Opit
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-29 20:27:26

Pandangan Bian beralih ke Himawan yang menuju ke arahnya menggunakan kursi roda. Pun demikian dengan Danu.

“Himawan, sahabatku. Lama tidak berjumpa.” Sapa Danu dengan senyum lebar.

“Baik,” jawab Himawan singkat. Sejujurnya tidak begitu senang bertemu kembali dengan Danu.

Bertemunya kembali dengan Danu, mengingatkan Himawan akan kehilangan kedua orang tua Bian. Mereka meninggal dalam peristiwa kebakaran sepuluh tahun yang lalu di pabrik furniture milik Himawan.

Kala itu, Danu yang ingin dimintai keterangan, tiba-tiba menghilang. Ternyata laki-laki itu pergi ke Singapura dan memiliki usaha di sana hingga sekarang.

“Baik, bagaimana? Kamu saja duduk di kursi roda begini.” Ucapan Danu yang terdengar mengejek, membuat Ajeng kesal. Perempuan itu maju satu langkah, ingin menegur.

Namun, Himawan menahan dengan tangannya.

“Om Danu jauh-jauh dari Singapura ingin menjenguk om Himawan,” Bian menerangkan.

“Terima kasih sudah menjenguk. Tapi aku ingin istirahat.” Himawan menunjukkan ekspresi malas.

“Baiklah kalau begitu. Kita bisa ngobrol lain kali. Semoga keadaanmu lekas membaik.” Danu memegang bahu Himawan, melempar senyuman yang sulit diartikan. Himawan membalas dengan tatapan tidak suka.

Danu pun berpamitan kepada Himawan. Sebelum pergi, lebih dulu memuji Ajeng yang tumbuh semakin cantik. Tangannya menepuk-nepuk bahu Ajeng, membuatnya risih.

Ajeng sama sekali tidak membalas pujian Danu dan melengos begitu saja. Memilih mendorong papanya masuk ke dalam kamarnya kembali.

“Dokter Anwar pamit karena ada meeting bersama pengurus rumah sakit. Kata beliau, sebentar lagi akan ada perawat yang mengecek tekanan darah Om Himawan,” jelas Bian setelah mereka bertiga masuk kembali ke kamar.

“Di mana kamu bertemu dengan Danu?” tanya Himawan penasaran.

Setahunya Bian tidak pernah berhubungan dengan Danu.

“Sebenarnya beberapa hari yang lalu orang kantor menghubungi saya. Om Danu mencari Om Himawan dan beliau meninggalkan nomor telepon. Saya menghubunginya sekaligus memberitahu beliau kalau Om dirawat di sini,” jelas Bian.

“Ada apa? Sepertinya Om Himawan tidak senang bertemu kembali dengan om Danu,” imbuh Bian.

“Tidak apa-apa. Hanya saja, kami sudah lama tidak berkomunikasi, terasa aneh saja,” elak Himawan. Sebenarnya dia tidak ingin Bian terlalu dekat dengan Danu.

Ajeng memilih diam tapi tetap menyimak. Seingatnya Danu dulu pernah bekerja dengan papanya.

Sejujurnya Ajeng juga tidak menyukai kehadiran Danu tadi. Cara laki-laki itu menatap papanya terlihat mencurigakan.

“Sebaiknya kamu jangan terlalu dekat dengannya.”

“Kenapa, Om?” Bian mengangkat satu alisnya.

“Tidak apa-apa. Kamu belum mengenal bagaimana dia” balas Himawan tanpa panjang lebar. Bian membalas dengan anggukan kecil.

“Maaf tadi saya pergi ke kantin sebentar.” Pak Sabda masuk kembali ke kamar rawat inap Himawan.

Laki-laki itu langsung duduk di sofa, lalu mengingatkan kembali mengenai penandatanganan surat nikah Bian dan Ajeng.

“Ah, iya. Aku sampai lupa.” Himawan menimpali.

Bian meraih tangan Ajeng agar duduk bersamanya. Mau tidak mau Ajeng harus menurut meski dengan sangat terpaksa. Butuh waktu beberapa detik perempuan itu mau mengambil pena yang sudah disiapkan. Setelah itu pun Ajeng masih mengatur dirinya, menghela napas dengan panjang dan menatap kertas putih di depannya.

Berbeda dengan Bian yang hanya butuh hitungan detik untuk membubuhkan tanda tangan pada surat nikah.

“Lupa sama tanda tangan sendiri, ya? Perlu aku bantu?” Seloroh Bian dan menambah kekesalan Ajeng.

Perempuan itu memberikan lirikan yang tajam pada Bian. Kemudian, akhirnya menandatangani surat nikahnya dengan Bian. Saat ini dia sudah tidak bisa menangis lagi. Matanya melirik Himawan sekilas.

‘Sabar, Ajeng. Kamu melakukan ini untuk papamu. Jangan jadi anak durhaka.’ Ajeng menghibur dirinya sendiri.

“Sah, ya. Tolong simpan surat ini dengan baik. Saya doakan rumah tangga kalian terbina dengan baik dan langgeng.” Pak Sabda mengulurkan surat nikah kepada Ajeng dan Bian. Sekaligus mendoakan. Setelah tugasnya selesai, Pak Sabda berpamitan.

“Rumah tangga apaan? Nikahnya aja dipaksa kaya gini,” celetuk Ajeng. Meskipun pelan, apa yang diucapkannya jelas terdengar oleh tiga laki-laki yang ada di ruangan itu.

Himawan geleng-geleng kepala, mendengar ucapan Ajeng barusan. Laki-laki paruh baya itu kini lega karena telah menitipkan Ajeng kepada Bian. Himawan yakin, Bian akan membimbing puterinya menjadi lebih baik. Kini dirinya sudah tidak khawatir, jika sewaktu-waktu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

“Kalau begitu pulanglah bersama Bian,” ucap Himawan.

“Papa ngusir Aku?” Ajeng bersungut. Melirik Bian lagi dengan tajam.

“Bukan begitu Ajeng. Papa mau istirahat di sini. Lagipula kamu kan sekarang jadi istrinya Bian. Papa hanya ingin memberi kalian berdua waktu. Atau kalian mau bulan mau dulu? Ke mana? Biar Papa pesankan tiket.” Himawan sangat antusias.

“Siapa juga yang mau bulan mau sama dia,” sengit sembari melipat kedua tangannya di dada, kemudian memalingkan wajahnya.

“Tidak usah ke mana-mana, Om. Di rumah justru asyik, bisa seharian di kamar enggak ada yang mengganggu.” Bian sengaja memberikan tatapan menggoda kepada Ajeng.

“Idih!” Ajeng memasang ekspresi jijik.

“Ya sudah, ajak Ajeng pulang dulu biar dia juga istirahat. Dan kamu, Bian. Jangan panggil Om lagi.”

“Iya, Om. Eh, Papa,” balas Bian nyengir.

“Ayo pulang!” Bian menarik tangan Ajeng. Memaksanya keluar dari kamar Himawan.

Ajeng tidak dapat memberontak karena genggaman Bian terlalu kuat.

“Bisa enggak jalannya pelan-pelan. Kamu tuh kaya narik sapi, tahu!” Ajeng kewalahan mengikuti langkah Bian. Rambutnya yang panjang sampai berkibar.

“Soalnya aku takut kalau sapinya kabur lagi. Jadi mesti cepet-cepet bawa dia kembali ke kandang,” ledek Bian.

“Apa? Kamu ngatain aku sapi?” Ajeng tidak terima. Napasnya terengah-engah karena berbicara sambil berjalan.

“Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sapi,” balas Bian tanpa menoleh ke belakang. Rasanya Ajeng ingin memukul kepala Bian atau menendang pantatnya. Laki-laki itu tidak ada manis-manisnya sedikit. Ajeng ragu, apakah nanti bisa tahan dengan Bian.

Tanpa disuruh oleh Bian, Ajeng masuk ke dalam mobil lebih dulu. Perempuan itu melipat kedua tangannya di dada lalu menyenderkan tubuhnya dan memejamkan mata.

‘Lebih baik aku tidur saja. Daripada melihat muka Bian yang nyebelin banget,’ gerutu Ajeng dalam hati.

Bian tidak ingin mengganggu Ajeng. Lebih baik melihatnya tidur daripada mendengar ocehannya sepanjang perjalanan pulang.

Ajeng tidak benar-benar terlelap, dia hanya malas berbicara dengan Bian. Sampai akhirnya di tengah perjalanan, Ajeng mendengar Bian menerima panggilan dari rumah sakit.

Dokter Anwar mengabarkan kalau Himawan tiba-tiba dalam keadaan buruk.

“Ada apa dengan papa?” Ajeng refleks membuka mata.

Bian terkesiap karena mengira Ajeng benar-benar tidur.

“Kita harus kembali ke rumah sakit!” ucap Bian lalu memutar balik ke arah rumah sakit.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah sakit, karena mereka memang baru setengah perjalanan.

“Bagaimana bisa papa jadi seperti ini? Tadi waktu kami tinggal papa baik-baik saja.” Ajeng cemas dan ketakutan melihat kondisi papanya yang tiba-tiba memburuk.

Hidungnya dipasangi selang oksigen dan monitor detak jantung terus berbunyi.

“Kami juga tidak tahu, Ajeng. Waktu perawat datang Pak Himawan sudah tersungkur di lantai sembari memegangi dadanya. Aku harap kalian tenang dulu, kami akan berusaha semaksimal mungkin,” jelas dokter Sabda.

“Bian! Tolong bawa Ajeng keluar dulu!” titah dokter Anwar

Bian pun membawa Ajeng keluar agar dokter Anwar dan perawat bisa maksimal memberikan perawatan kepada Himawan.

“Papa?” Ajeng menitikkan air mata. Saking takutnya, dia mondar mandir sembari meremas ujung-ujung bajunya.

Sementara Bian pamit untuk menerima panggilan. Dan entah ada firasat apa, Ajeng mengikuti Bian secara diam-diam. Perempuan itu kesal ingin tahu Bian mendapat panggilan dari siapa. Sampai harus mengabaikan papanya dan memilih menerima panggilan itu.

Ajeng bersembunyi di balik tembok, ketika Bian memulai pembicaraan di telepon. Perempuan itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, bersiap mendengarkan.

“Apa ini termasuk rencanamu? Membuat Om Himawan dalam kondisi buruk? Aku ingin tahu, apa yang kamu lakukan kepadanya?” tanya Bian kepada si penelpon.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 23 - Merawat Bian

    Ajeng terkejut melihat Bian tiba-tiba pingsan di depannya. "Bian? Bangun! Pagi-pagi nggak usah bercanda, deh!" Ajeng mengguncang-ngguncang tubuh Bian, tapi tidak ada respon. Ajeng kemudian menempelkan tangan ke dahi Bian."Astaga, panas banget badannya," ucap Ajeng panik. Tanpa ragu Ajengmembawa Bian ke dalam kamar. Susah payah Ajeng memapah Bian lalu membaringkannya di tempat tidur. Kemudian berusaha menghubungi Mba Ratri untuk meminta bantuan, tapi tidak diangkat. Ajeng semakin khawatir karena Bian menggigau. "Tenang, Ajeng. Tenang." Ajeng menenangkan dirinya sendiri agar tidak semakin panik.Perempuan itu memutuskan untuk mencari informasi di internet, mengenai penanganan dan pertolongan pertama pada orang yang mengalami demam tinggi.Selesai membaca semua informasi, Ajeng keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk merebus air.Ajeng kembali menghubungi Mba Ratri dan hasilnya masih nihil, tidak ada jawaban. "Oke, aku bisa sendiri." Ajeng meyakinkan dirinya.Setelah airn

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 22- Kejutan dari Bian

    "Sengaja mau nunjukin kekuasaan kamu, ya? Atau biar kelihatan kaya suami yang sayang sama istrinya?" Ajeng berucap dengan nada sinis. Ajeng tidak terima saat Bian tiba-tiba muncul, menurutnya Berlagak sangat peduli, menawarkan kepadanya agar memilih apa saja yang ingin dibeli. "Kemarin katamu aku ini kejam, aku ini enggak ngerti perasaan kamu. Sekarang aku mau nurutin apa yang kamu malah dibilang sok peduli. Jadi orang yang konsisten," balas Bian dengan perasaan kesal. Padahal niatnya memang baik, tapi Ajeng salah mengartikan.Bian memang berniat meninggalkan Ajeng dan kembali ke kantor, tapi mengurungkan niatnya karena merasa khawatir dan memutuskan mengikuti Ajeng.Timbul iba di hati Bian saat melihat Ajeng menatap sebuah dress. Dan Bian yakin Ajeng sangat menyukai dress tersebut karena terus menatapnya. "Ya kalau ngerti aku harusnya tuh kasih uang. Kartu kreditku jangan diblokir. Ngenes banget sih hidup aku, punya suami kagak pernah kasih uang," sinis Ajeng. Perempuan itu menghe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 21 - Ajeng Merajuk

    Tatapan Bian kepada Ajeng kali ini agak berbeda. Ada sedikit rasa kagum dan heran karena istrinya mau membaur dengan karyawan pabrik."Aku tidak salah lihat, kan?" gumam Bian, geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis.Bukannya segera menghampiri, Bian justru terpaku melihat Ajeng yang tanpa sungkan membaur dan bercengkerama dengan para karyawan itu. Hingga Bian tidak sadar telah larut dan membuat kembali teringat akan kejadian semalam. Saat Ajeng dengan berani membuat sisi laki-lakinya muncul. "Bian? Sini!" Ajeng berteriak seraya melambaikan tangan.Bian tersentak mendengar Ajeng memanggil namanya. Sadar bahwa dirinya tidak seharusnya mengingat hal seperti itu di siang hari dan di tempat kerja."Ngapain kamu di sini? Ganggu pekerjaan mereka aja!" Bian sengaja menegur di depan para karyawan. Sebenarnya hal itu dilakukan karena merasa salah tingkah sendiri."Siapa yang gangguin? Mereka sendiri yang ngajakin aku, kok," balas Ajeng tidak terima."Ini, kamu ngajakin mereka buat makan. Pa

  • Dinikahi Asisten Papa   Bab 20 – Tidak Akan Terjadi

    Ajeng merasa skeptis terhadap niat Danu yang ingin mengajak kerja sama. Dia merasa bahwa Danu hanya ingin menguasai perusahaan papanya dan mengambil alih kendali yang seharusnya menjadi miliknya.Dengan tidak menyetujui kerja sama, Ajeng merasa bahwa tindakan ini adalah langkah yang tepat untuk melindungi perusahaan papanya. Dia tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang yang tidak bisa dipercaya.Bian sendiri cukup terkejut dengan kehadiran Ajeng yang tidak disangka. Ditambah lagi dengan rasa kesal karena Ajeng mendadak ikut campur dalam perbincangannya dengan Danu. Meskipun begitu, Bian memahami alasan di balik penolakan Ajeng, namun tetap berpendapat bahwa kerja sama dengan Danu dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan."Ini kesempatan besar bagi perusahaan kita, Ajeng?" tegas Bian"Aku tidak percaya pada orang itu, Bian. Ngajakin kerja sama? Tapi Aku lebih merasa dia hanya ingin menguasai perusahaan papa," sengit Ajeng."Kamu tahu apa, Ajeng? Aku yang bertanggun

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 19- Secepat Itu Lupa?

    “Mba Ratri orang mana? Kok Bian bisa minta Mba Ratri kerja di sini?” Ajeng melempar pertanyaan kepada Ratri yang masih sibuk mencuci piring di dapur. Ratri tidak langsung menjawab dan justru tersenyum geli. Wajar jika Ajeng menginterogasi dirinya. mungkin Bian belum bercerita mengenai siapa dirinya.“Sebenarnya udah lama saya kerja sama mas Bian, Mba. Dulu kedua orang tua saya yang jadi kepercayaan orang tuanya mas Bian. Buat ngurus rumah sama ngurus mas Bian. Tapi, setelah orang tuanya mas Bian meninggal, orang tua saya buka usaha sendiri, kulineran gitu,” jelas Ratri. “Lah, jadi pembantu kok turun temurun sih,” celetuk Ajeng. Sedetik kemudian dia sadar kalau kata-katanya kurang pantas. Namun, Ratri sama sekali tidak tersinggung. Jauh sebelum Ajeng datang ke rumah itu, rupanya Bian sudah menceritakan mengenai Ajeng termasuk kepribadiannya.“Bukan turun temurun sih, Mba. Lebih tepatnya balas budi aja. Saya bisa sekolah dan orang tua saya sampai bisa beli rumah sendiri ya karen

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 18- Permainan cinta Ajeng

    Bian mematung saat Ajeng melingkarkan tangan di lehernya. Awalnya Bian mengira kalau istrinya itu hanya menggertak, ternyata di luar dugaan. Ajeng cukup nekat menempelkan bibirnya ke bibir Bian. Bukan hanya kecupan biasa, melainkan sapuan lembut yang mampu membuat sekujur tubuh Bian menegang.Jika hanya sekali, Bian masih memaklumi. Tapi rupanya Ajeng lebih berani dari dugaan Bian. Istrinya itu lebih dulu memulai permainan yang tidak disangka oleh Bian. Ajeng semakin menarik kepala Bian untuk lebih dekat lagi kepadanya. Sementara Ajeng tidak enggan membuat dirinya sama sekali tidak berjarak dengan Bian.Awalnya Bian hanya mencoba mengikuti permain Ajeng. Namun, tidak sangka dirinya semakin larut. Bagai harimau yang dibangunkan dari tidurnya. Sisi lain dari diri Bian memaksa muncul.“Takut?” Ajeng menarik wajahnya sebentar. Memberi jeda pada permainannya yang tidak dibalas oleh Bian. Perempuan itu masih dengan posisi kepala miring memberikan senyuman smrik pada Bian.Ditantang sepe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 17- KESEPAKATAN

    Ajeng mondar-mandir dengan perasaan kesal dan marah. Di kamar Bian, kamar yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Ajeng terus mengomel tentang sikap Bian yang menurutnya tadi sangat kurang ajar. Laki-laki itu tanpa persetujuan dan tanpa bertanya lebih dulu, seenaknya mendaratkan bibir ke bibirnya. Meskipun peristiwa itu tidak berlangsung lama, dan hanya kecupan biasa. Ajeng merasa bahwa Bian sudah mengambil secuil dari dirinya. Bodohnya, kenapa tadi Ajeng tidak langsung marah dan justru melarikan diri. Perempuan itu sampai lupa tentang pinggangnya yang semula kesakitan. “Kamu enggak tahu bagaimana ekspresi Bian setelah menciumku. Dia tuh kaya mengejekku, Stella. Seolah dia sengaja ingin mempermalukanku.” Ajeng mengepalkan tangan, satu tangan memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga. Ajeng tidak menyia-nyiakan untuk berbagi cerita kepada Stella. “Terus-terus. Kamunya gimana?” balas Stella. Di seberang sana dia sedang menahan tawa mendengar cerita dari Ajeng. “Kok terus? Ya aku

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 16 - Ciuman Pertama

    “Sial! Kenapa juga tadi Bian mendengar perkataanku.” Ajeng bergumam dalam hati. Tidak menyangka kalau Bian tiba-tiba datang ke kamarnya dan mendengar percakapannya dengan Stella.Tapi, bukan Ajeng namanya kalau tidak pandai mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu memarahi Bian yang menguping pembicaraannya dengan Stella.“Aku tidak menguping. Sengaja lewat dan ada orang yang sebut-sebut namaku. Jadi aku mampir sebentar untuk menyimak.” Bian melipat kedua tangannya, lalu menyenderkan bahu ke pintu.“Itu namanya menguping!” Ajeng langsung mematikan panggilannya dengan Stella.“Se-sejak kapan kamu berdiri di situ?” Ajeng bertanya dengan nada tergagap. “Baru saja. Aku mau ngecek, apa kamu masih butuh barang lagi untuk di bawa?” Bian memilih membicarakan yang lain. Dia tidak memperpanjang masalah tadi. Meskipun tadi sebenarnya Bian mendengar semua ucapan Ajeng kepada Stella.“Enggak ada. Nanti kalau butuh lagi, aku bisa pulang untuk mengambilnya,” balas Ajeng.“Baiklah, kalau sudah tidak a

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 15 - PINDAH RUMAH

    Ajeng sempat mengira ada pencuri yang masuk ke rumahnya dan mengacak-ngacak kamarnya. Siapa sangka ternyata Bian tengah sibuk merapikan beberapa barang miliknya. Bian mengeluarkan semua baju Ajeng dari dalam lemari, menatanya di beberapa koper milik Ajeng. Sisanya lagi dimasukkan ke kardus. Semua sudah ditata dengan rapi dan diletakkan di ruang tamu. Bahkan semua peralatan make up dan skincare Ajeng yang ada di meja rias juga sudah dipacking Bian dengan rapi. “Bian! Mau kamu apakan barang-barangku?” pekik Ajeng. Perempuan itu marah besar karena Bian tanpa izin menyentuh semua barang-barangnya. “Enggak lihat aku sedang mengepak barang-barangmu? Sisanya kamu rapikan sendiri. Tapi aku rasa itu sudah cukup, kalau perlu yang lain kita bisa beli,” jawab Bian dengan santai. “Maksudnya apa? Kenapa aku harus mengepak sisanya dan kalau butuh yang lain bisa beli? Bisa enggak kamu kasih penjelasan!” tuntut Ajeng. Kedua tangannya berada di pinggang, menatap marah pada Bian. “Mulai hari ini, k

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status