Share

BAB 4

Pandangan Bian beralih ke Himawan yang menuju ke arahnya menggunakan kursi roda. Pun demikian dengan Danu.

“Himawan, sahabatku. Lama tidak berjumpa.” Sapa Danu dengan senyum lebar.

“Baik,” jawab Himawan singkat. Sejujurnya tidak begitu senang bertemu kembali dengan Danu.

Bertemunya kembali dengan Danu, mengingatkan Himawan akan kehilangan kedua orang tua Bian. Mereka meninggal dalam peristiwa kebakaran sepuluh tahun yang lalu di pabrik furniture milik Himawan.

Kala itu, Danu yang ingin dimintai keterangan, tiba-tiba menghilang. Ternyata laki-laki itu pergi ke Singapura dan memiliki usaha di sana hingga sekarang.

“Baik, bagaimana? Kamu saja duduk di kursi roda begini.” Ucapan Danu yang terdengar mengejek, membuat Ajeng kesal. Perempuan itu maju satu langkah, ingin menegur.

Namun, Himawan menahan dengan tangannya.

“Om Danu jauh-jauh dari Singapura ingin menjenguk om Himawan,” Bian menerangkan.

“Terima kasih sudah menjenguk. Tapi aku ingin istirahat.” Himawan menunjukkan ekspresi malas.

“Baiklah kalau begitu. Kita bisa ngobrol lain kali. Semoga keadaanmu lekas membaik.” Danu memegang bahu Himawan, melempar senyuman yang sulit diartikan. Himawan membalas dengan tatapan tidak suka.

Danu pun berpamitan kepada Himawan. Sebelum pergi, lebih dulu memuji Ajeng yang tumbuh semakin cantik. Tangannya menepuk-nepuk bahu Ajeng, membuatnya risih.

Ajeng sama sekali tidak membalas pujian Danu dan melengos begitu saja. Memilih mendorong papanya masuk ke dalam kamarnya kembali.

“Dokter Anwar pamit karena ada meeting bersama pengurus rumah sakit. Kata beliau, sebentar lagi akan ada perawat yang mengecek tekanan darah Om Himawan,” jelas Bian setelah mereka bertiga masuk kembali ke kamar.

“Di mana kamu bertemu dengan Danu?” tanya Himawan penasaran.

Setahunya Bian tidak pernah berhubungan dengan Danu.

“Sebenarnya beberapa hari yang lalu orang kantor menghubungi saya. Om Danu mencari Om Himawan dan beliau meninggalkan nomor telepon. Saya menghubunginya sekaligus memberitahu beliau kalau Om dirawat di sini,” jelas Bian.

“Ada apa? Sepertinya Om Himawan tidak senang bertemu kembali dengan om Danu,” imbuh Bian.

“Tidak apa-apa. Hanya saja, kami sudah lama tidak berkomunikasi, terasa aneh saja,” elak Himawan. Sebenarnya dia tidak ingin Bian terlalu dekat dengan Danu.

Ajeng memilih diam tapi tetap menyimak. Seingatnya Danu dulu pernah bekerja dengan papanya.

Sejujurnya Ajeng juga tidak menyukai kehadiran Danu tadi. Cara laki-laki itu menatap papanya terlihat mencurigakan.

“Sebaiknya kamu jangan terlalu dekat dengannya.”

“Kenapa, Om?” Bian mengangkat satu alisnya.

“Tidak apa-apa. Kamu belum mengenal bagaimana dia” balas Himawan tanpa panjang lebar. Bian membalas dengan anggukan kecil.

“Maaf tadi saya pergi ke kantin sebentar.” Pak Sabda masuk kembali ke kamar rawat inap Himawan.

Laki-laki itu langsung duduk di sofa, lalu mengingatkan kembali mengenai penandatanganan surat nikah Bian dan Ajeng.

“Ah, iya. Aku sampai lupa.” Himawan menimpali.

Bian meraih tangan Ajeng agar duduk bersamanya. Mau tidak mau Ajeng harus menurut meski dengan sangat terpaksa. Butuh waktu beberapa detik perempuan itu mau mengambil pena yang sudah disiapkan. Setelah itu pun Ajeng masih mengatur dirinya, menghela napas dengan panjang dan menatap kertas putih di depannya.

Berbeda dengan Bian yang hanya butuh hitungan detik untuk membubuhkan tanda tangan pada surat nikah.

“Lupa sama tanda tangan sendiri, ya? Perlu aku bantu?” Seloroh Bian dan menambah kekesalan Ajeng.

Perempuan itu memberikan lirikan yang tajam pada Bian. Kemudian, akhirnya menandatangani surat nikahnya dengan Bian. Saat ini dia sudah tidak bisa menangis lagi. Matanya melirik Himawan sekilas.

‘Sabar, Ajeng. Kamu melakukan ini untuk papamu. Jangan jadi anak durhaka.’ Ajeng menghibur dirinya sendiri.

“Sah, ya. Tolong simpan surat ini dengan baik. Saya doakan rumah tangga kalian terbina dengan baik dan langgeng.” Pak Sabda mengulurkan surat nikah kepada Ajeng dan Bian. Sekaligus mendoakan. Setelah tugasnya selesai, Pak Sabda berpamitan.

“Rumah tangga apaan? Nikahnya aja dipaksa kaya gini,” celetuk Ajeng. Meskipun pelan, apa yang diucapkannya jelas terdengar oleh tiga laki-laki yang ada di ruangan itu.

Himawan geleng-geleng kepala, mendengar ucapan Ajeng barusan. Laki-laki paruh baya itu kini lega karena telah menitipkan Ajeng kepada Bian. Himawan yakin, Bian akan membimbing puterinya menjadi lebih baik. Kini dirinya sudah tidak khawatir, jika sewaktu-waktu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

“Kalau begitu pulanglah bersama Bian,” ucap Himawan.

“Papa ngusir Aku?” Ajeng bersungut. Melirik Bian lagi dengan tajam.

“Bukan begitu Ajeng. Papa mau istirahat di sini. Lagipula kamu kan sekarang jadi istrinya Bian. Papa hanya ingin memberi kalian berdua waktu. Atau kalian mau bulan mau dulu? Ke mana? Biar Papa pesankan tiket.” Himawan sangat antusias.

“Siapa juga yang mau bulan mau sama dia,” sengit sembari melipat kedua tangannya di dada, kemudian memalingkan wajahnya.

“Tidak usah ke mana-mana, Om. Di rumah justru asyik, bisa seharian di kamar enggak ada yang mengganggu.” Bian sengaja memberikan tatapan menggoda kepada Ajeng.

“Idih!” Ajeng memasang ekspresi jijik.

“Ya sudah, ajak Ajeng pulang dulu biar dia juga istirahat. Dan kamu, Bian. Jangan panggil Om lagi.”

“Iya, Om. Eh, Papa,” balas Bian nyengir.

“Ayo pulang!” Bian menarik tangan Ajeng. Memaksanya keluar dari kamar Himawan.

Ajeng tidak dapat memberontak karena genggaman Bian terlalu kuat.

“Bisa enggak jalannya pelan-pelan. Kamu tuh kaya narik sapi, tahu!” Ajeng kewalahan mengikuti langkah Bian. Rambutnya yang panjang sampai berkibar.

“Soalnya aku takut kalau sapinya kabur lagi. Jadi mesti cepet-cepet bawa dia kembali ke kandang,” ledek Bian.

“Apa? Kamu ngatain aku sapi?” Ajeng tidak terima. Napasnya terengah-engah karena berbicara sambil berjalan.

“Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sapi,” balas Bian tanpa menoleh ke belakang. Rasanya Ajeng ingin memukul kepala Bian atau menendang pantatnya. Laki-laki itu tidak ada manis-manisnya sedikit. Ajeng ragu, apakah nanti bisa tahan dengan Bian.

Tanpa disuruh oleh Bian, Ajeng masuk ke dalam mobil lebih dulu. Perempuan itu melipat kedua tangannya di dada lalu menyenderkan tubuhnya dan memejamkan mata.

‘Lebih baik aku tidur saja. Daripada melihat muka Bian yang nyebelin banget,’ gerutu Ajeng dalam hati.

Bian tidak ingin mengganggu Ajeng. Lebih baik melihatnya tidur daripada mendengar ocehannya sepanjang perjalanan pulang.

Ajeng tidak benar-benar terlelap, dia hanya malas berbicara dengan Bian. Sampai akhirnya di tengah perjalanan, Ajeng mendengar Bian menerima panggilan dari rumah sakit.

Dokter Anwar mengabarkan kalau Himawan tiba-tiba dalam keadaan buruk.

“Ada apa dengan papa?” Ajeng refleks membuka mata.

Bian terkesiap karena mengira Ajeng benar-benar tidur.

“Kita harus kembali ke rumah sakit!” ucap Bian lalu memutar balik ke arah rumah sakit.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah sakit, karena mereka memang baru setengah perjalanan.

“Bagaimana bisa papa jadi seperti ini? Tadi waktu kami tinggal papa baik-baik saja.” Ajeng cemas dan ketakutan melihat kondisi papanya yang tiba-tiba memburuk.

Hidungnya dipasangi selang oksigen dan monitor detak jantung terus berbunyi.

“Kami juga tidak tahu, Ajeng. Waktu perawat datang Pak Himawan sudah tersungkur di lantai sembari memegangi dadanya. Aku harap kalian tenang dulu, kami akan berusaha semaksimal mungkin,” jelas dokter Sabda.

“Bian! Tolong bawa Ajeng keluar dulu!” titah dokter Anwar

Bian pun membawa Ajeng keluar agar dokter Anwar dan perawat bisa maksimal memberikan perawatan kepada Himawan.

“Papa?” Ajeng menitikkan air mata. Saking takutnya, dia mondar mandir sembari meremas ujung-ujung bajunya.

Sementara Bian pamit untuk menerima panggilan. Dan entah ada firasat apa, Ajeng mengikuti Bian secara diam-diam. Perempuan itu kesal ingin tahu Bian mendapat panggilan dari siapa. Sampai harus mengabaikan papanya dan memilih menerima panggilan itu.

Ajeng bersembunyi di balik tembok, ketika Bian memulai pembicaraan di telepon. Perempuan itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, bersiap mendengarkan.

“Apa ini termasuk rencanamu? Membuat Om Himawan dalam kondisi buruk? Aku ingin tahu, apa yang kamu lakukan kepadanya?” tanya Bian kepada si penelpon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status