Dinikahi Asisten Papa

Dinikahi Asisten Papa

Oleh:  Vieyan Opit  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
23Bab
480Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Setelah kematian papanya, Ajeng merasa sangat tersiksa dengan pernikahannya. Bian yang dikenal sebagai laki-laki baik dan bersikap lembut, rupanya tidak berlaku untuk Ajeng. Belakangan, Ajeng dibuat syok dengan pengakuan Bian. Laki-laki itu sengaja ingin membuat Ajeng sengsara setelah menikah dengannya. Ajeng lantas mencari tahu apa alasan Bian melakukan hal itu kepadanya?

Lihat lebih banyak
Dinikahi Asisten Papa Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
SetyaAiWidi
semangat, semangaaattt... 🤍🤍🤍
2023-08-04 00:24:20
0
23 Bab
BAB 1
“Pokoknya aku enggak mau menikah sama Bian. Dia kan Cuma asisten Papa, enggak selevel sama aku!” seru Ajeng sembari melipat kedua tangannya di dada. Tidak terima dijodohkan dengan pegawai papanya. “Harus! Keputusan papa tidak bisa diganggu gugat lagi, Ajeng. Bian adalah lelaki yang tepat untuk kamu,” tegas Himawan. “Papa kok gitu, sih? Yang mau menikah kan aku.” Ajeng berulang kali mengembuskan napas dengan kasar. Dadanya naik turun, menahan kesal. “Menikah dengan Bian atau semua fasilitas kamu akan papa tarik!” ancam Himawan. Sudah cukup dirinya memanjakan Ajeng. Himawan ingin agar anaknya bisa berubah. Untuk itu, dia meminta Bian untuk menjadi suami Ajeng. Himawan berharap Bian bisa membimbing dan mengubah sikap Ajeng menjadi lebih baik. “Papa mengancamku? Oke, silakan! Kita lihat saja, Papa atau aku yang menang.” Ajeng balik mengancam. Dia percaya kalau ucapan papanya hanya gertakan saja. Selama ini Ajeng sudah sering diancam seperti itu, dan nyatanya tidak pernah terjadi. Aje
Baca selengkapnya
BAB 2
Ajeng syok, ketika mendapati dirinya terbangun di kamar hotel. Lebih terkejut lagi ada Steven yang berlutut tepat di samping ranjang, tempatnya berbaring. Wajah laki-laki itu babak belur. "Steven?" Ajeng terperanjat, langsung melompat dari ranjang. Perempuan berambut panjang itu lega, semua baju masih melekat di badannya. Tepat di belakang Steven, berdiri Bian. Laki-laki yang merupakan asisten papa Ajeng itu, menatap marah pada Steven. Kedua tangannya di samping, mengepal kuat-kuat. "Maafkan aku, Ajeng. Aku tidak bermaksud untuk —“ "Enggak usah banyak alasan. Dasar laki-laki mesum!" Bian mencengkeram ujung rambut Steven kemudian menariknya. Steven pun memekik kesakitan. Melihat pemandangan itu, Ajeng sampai menutup mulut dengan kedua tangannya. Bian lalu menyeret Steven ke arah pintu. Sementara Ajeng, masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Tangannya mengurut pelipis karena masih terasa pusing. Meskipun masih dalam keadaan bingung, perempuan itu sudah bisa menyimpulkan apa yang
Baca selengkapnya
BAB 3
Ajeng mematung, satu tangannya masih memegang gagang pintu. Apa yang dilihat tidak sesuai dengan yang dipikirkan oleh perempuan itu. Himawan tidak sedang terbaring lemah. "Papa menipuku lagi?" seru Ajeng. Kesal melihat papanya duduk di sofa sambil bersenda gurau. "Di mana kamu menemukannya, Bian?" Himawan sengaja tidak memedulikan pertanyaan Ajeng. "Di rumah Stella," jawab Bian, terpaksa dia berbohong. Satu tangannya kemudian menempel di punggung Ajeng, mendorong tubuh perempuan itu pelan agar lebih masuk lagi ke dalam. Ajeng terpaksa melepaskan gagang pintu dan kakinya maju beberapa langkah. Meskipun masih kesal kepada Bian, tapi dia bersyukur. Laki-laki itu tidak berkata jujur mengenai kejadian di hotel bersama dengan Steven. Padahal dia sudah bersiap ingin menginjak kaki Bian, jika saja laki-laki itu menceritakan sejujurnya. "Syukurlah, kamu tidak bersama Steven," balas Himawan, tanpa memandang wajah puterinya. "Sekarang kalian berdua duduklah, segera tanda tangani ini." Hima
Baca selengkapnya
BAB 4
Pandangan Bian beralih ke Himawan yang menuju ke arahnya menggunakan kursi roda. Pun demikian dengan Danu. “Himawan, sahabatku. Lama tidak berjumpa.” Sapa Danu dengan senyum lebar. “Baik,” jawab Himawan singkat. Sejujurnya tidak begitu senang bertemu kembali dengan Danu. Bertemunya kembali dengan Danu, mengingatkan Himawan akan kehilangan kedua orang tua Bian. Mereka meninggal dalam peristiwa kebakaran sepuluh tahun yang lalu di pabrik furniture milik Himawan. Kala itu, Danu yang ingin dimintai keterangan, tiba-tiba menghilang. Ternyata laki-laki itu pergi ke Singapura dan memiliki usaha di sana hingga sekarang. “Baik, bagaimana? Kamu saja duduk di kursi roda begini.” Ucapan Danu yang terdengar mengejek, membuat Ajeng kesal. Perempuan itu maju satu langkah, ingin menegur. Namun, Himawan menahan dengan tangannya. “Om Danu jauh-jauh dari Singapura ingin menjenguk om Himawan,” Bian menerangkan. “Terima kasih sudah menjenguk. Tapi aku ingin istirahat.” Himawan menunjukkan ekspresi
Baca selengkapnya
BAB 5
Ajeng risau dan takut dengan kondisi papanya, yang tiba-tiba memburuk. Dia bersikukuh untuk tetap berada di rumah sakit. Bian berusaha menenangkan dan berhasil membujuk Ajeng untuk pulang bersamanya. “Kamu tenang saja, Dokter Abdi adalah dokter terbaik di rumah sakit itu. Papamu pasti mendapat perawatan yang terbaik,” ucap Bian begitu mereka masuk ke dalam mobil. “Yakin tu dokter enggak akan mencelakai papa?” sinis Ajeng. Terus terang dia menaruh curiga pada Bian. Karena percakapannya dengan seseorang tadi terdengar ganjil. Mungkin saja laki-laki yang baru menjadi suaminya itu, ada kaitannya dengan kesehatan papanya. Bian menoleh menatap Ajeng dan perempuan itu balas menatapnya. Mereka berdua saling diam sejenak. “Capek. Buruan pulang!” Ajeng mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin Bian curiga kepadanya. Dalam perjalanan, Ajeng dan Bian sempat berdebat ke mana mereka akan pulang. Ajeng bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Sama halnya dengan Bian yang juga ingin mengajak Ajeng unt
Baca selengkapnya
BAB 6
Bian berkacak pinggang sembari geleng-geleng kepala, melihat Ajeng yang masih tertidur pulas meski matahari mulai meninggi. Laki-laki itu berniat ingin membangunkan untuk sarapan. Bian kasihan, sejak kemarin perut istrinya belum terisi sama sekali, saat membuat jus pun justru dijahili olehnya. Tangannya bersiap menyentuh bahu Ajeng, membuat perempuan itu bangun. Tapi terhenti ketika melihat ekspresi Ajeng yang terlihat sedih, sedetik kemudian berganti senyuman. "Apa dia sedang bermimpi?" gumam Bian. Tanpa sadar bibirnya ikut tertarik ke belakang. Melihat Ajeng tersenyum dengan kedua mata tertutup seperti itu menimbulkan rasa yang berbeda di dalam hati Bian. Paras Ajeng yang memang sudah cantik sejak lahir, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. Namun, Bian segera menyadarkan diri tidak ingin terlalu larut. "Bangun!" Bian bernada agak tinggi. "Bangun tuan putri!" Bian semakin meninggikan suaranya. Dan akhirnya berhasil membuat Ajeng bangun. "Apaan sih! Berisik!" protes Ajen
Baca selengkapnya
BAB 7
Seketika Ajeng merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas. Lutut seakan tidak kuat menopang berat badannya sendiri. Jika saja tidak menguatkan diri, pasti saat itu juga sudah pingsan di tempat. Baru beberapa menit tadi Ajeng bermimpi tentang papanya. Dan kini harus mendengar kabar duka dari rumah sakit. Kondisi Himawan semakin lemah dan tidak tertolong lagi. Himawan pergi untuk selamanya. “Bagaimana bisa?” Ajeng berucap lirih sambil berlinang air mata. “Kehendak Tuhan,” jawab Bian singkat. Sama sekali bukan kata-kata yang ingin didengar oleh Ajeng. Ajeng berharap setidaknya Bian menghibur dirinya atau memberi kata-kata penyemangat. “Sebaiknya kamu istirahat di rumah. Aku akan ke rumah sakit untuk mengurus semuanya,” ucap Bian. “Tidak! Aku harus ikut ke rumah sakit. Aku ingin memastikan sendiri kalau papa benar-benar meninggal,” protes Ajeng, kemudian mengusap pipinya yang basah. Perempuan itu mendahului Bian melangkah keluar dari rumah. Bian beralih menatap sepiring nasi goreng
Baca selengkapnya
BAB 8
Ajeng cukup terkejut dengan tindakan Bian kepadanya. Suaminya itu menghempaskan dirinya ke sofa. Kemudian mencengkeram pergelangan tangannyaTangan satunya lagi menahan tubuhnya, agar berjarak dengan Ajeng. Bian memang sengaja, agar Ajeng tidak menodongkan lagi pisau padanya. Netranya menatap marah pada Ajeng. Kini laki-laki itu ada di atas tubuh istrinya. Berseru dengan lantang, memberi tahu Ajeng mengenai orang tuanya. “Selama ini kamu tidak tahu, kan? Kalau om Himawan merawat karena merasa bersalah kepadaku. Kejadian di pabrik mebel sepuluh tahun yang lalu. Semua karena om Himawan. Dan kematian kedua orang tuaku juga rencana dari om Himawan,” jelas Bian. “Papa? Melakukan itu semua?” Kedua mata Ajeng melebar. Tidak menyangka mendengar cerita itu dari Bian. “Tidak mungkin. Papa tidak mungkin melakukan hal itu,” ucap Ajeng lirih. Tubuh lemas mendengar papanya dituduh menjadi pembunuh oleh Bian. Yang dia tahu selama ini, papanya bersahabat dekat dengan ora tua Bian. Itulah kenapa p
Baca selengkapnya
BAB 9
“Jangan harap kamu bisa punya anak dariku, Bian.” Ajeng berucap dalam hati. Rasanya dia ingin bersorak penuh kemenangan. Karena melihat ekspresi Bian yang terkejut setelah mendengar penjelasan dari pak Ridwan. Ajeng memang tidak pernah mau tahu tentang urusan pekerjaan papanya. Termasuk dengan pak Ridwan, Ajeng sendiri juga belum mengenalnya secara personal. Semuanya selaku diserahkan kepada Bian. Tapi, kali ini Ajeng merasa bangga dan berterima kasih. Papanya ternyata tidak menyerahkan perusahaannya begitu saja kepada Bian. “Saya juga mempunyai kewajiban untuk terus memantau kalian berdua. Karena pak Himawan memberikan kepercayaannya kepada saya. Untuk memastikan bahwa Ajeng selalu baik-baik saja,” ucap pak Ridwan. Setelah memberikan penjelasan panjang lebar. Pengacara pribadi Himawan itu pamit. “Saya percaya, Ajeng akan aman dan bahagia bersamamu, Bian.” Pak Ridwan menepuk pundak Bian. Kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat ke Bian. Pak Ridwan berbisik, “Percayalah.
Baca selengkapnya
BAB 10
Pagi ini Ajeng merasa kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik. Mau tidak mau, dia harus berterima kasih kepada Bian. Meskipun mulut suaminya itu sering berkata pedas dan kejam. Tapi soal makan Ajeng tidak pernah kekurangan. Ketrampilan memasak Bian memang harus diacungi jempol. Karena sudah terbiasa hidup sendiri sejak sekolah, Bian juga jadi terbiasa untuk memasak sendiri.“Tuh orang memang agak-agaknya bipolar deh. Kalau mau niat jahat kenapa nggak biarin aku mati kelaparan.” Ajeng bicara sendiri sambil mondar-mandir di kamarnya. “Waktu aku sakit juga dia mau merawat aku. Aneh, kan? Masa iya mau balas dendam, tapi masih simpati sama aku.” Kali ini Ajeng duduk dinpinggir ranjangnya. “Apa jangan-jangan ....” Ajeng menggeleng cepat. “No! Masa Bian suka sama aku? Dia kan udah bilang nikahin aku karena mau balas dendam? Ah, si Danu. Ya, Bian itu sebenarnya baik, tapi dihasut sama di Danu itu.” Ajeng berpindah ke dekat jendela. Sembari mengelus dagunya, Ajeng menduga-duga sendiri. Ka
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status