Share

BAB 6

Bian berkacak pinggang sembari geleng-geleng kepala, melihat Ajeng yang masih tertidur pulas meski matahari mulai meninggi. Laki-laki itu berniat ingin membangunkan untuk sarapan. Bian kasihan, sejak kemarin perut istrinya belum terisi sama sekali, saat membuat jus pun justru dijahili olehnya.

Tangannya bersiap menyentuh bahu Ajeng, membuat perempuan itu bangun. Tapi terhenti ketika melihat ekspresi Ajeng yang terlihat sedih, sedetik kemudian berganti senyuman.

"Apa dia sedang bermimpi?" gumam Bian. Tanpa sadar bibirnya ikut tertarik ke belakang. Melihat Ajeng tersenyum dengan kedua mata tertutup seperti itu menimbulkan rasa yang berbeda di dalam hati Bian.

Paras Ajeng yang memang sudah cantik sejak lahir, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan.

Namun, Bian segera menyadarkan diri tidak ingin terlalu larut.

"Bangun!" Bian bernada agak tinggi.

"Bangun tuan putri!" Bian semakin meninggikan suaranya. Dan akhirnya berhasil membuat Ajeng bangun.

"Apaan sih! Berisik!" protes Ajeng sembari mengucek kedua matanya.

"Ambilkan aku baju di lemari om Himawan. Lemarinya dikunci dan kuncinya enggak tahu di mana," titah Bian. Dia belum terbiasa memanggil Himawan dengan sebutan papa.

Ajeng meregangkan badannya sebentar kemudian membuka mata. Betapa terkejutnya melihat Bian ternyata bertelanjang dada dan hanya berbalut handuk di bagian bawahnya.

"Kamu ngapain enggak pakai baju, Bian!" seru Ajeng. Perempuan itu terperanjat, langsung melompat turun dari ranjang. Kedua tangannya spontan menutupi wajah.

"Enggak dengar apa yang barusan aku bilang?" balas Bian santai.

"Harusnya sebelum mandi tuh cari baju dulu!" protes Ajeng. Kakinya melangkah perlahan ke samping. Lewat sela-sela jari dia memutari Bian yang berdiri di depannya, hingga sampai di dekat pintu.

"Tunggu di situ!" Ajeng berteriak sambil lari menuju kamar papanya.

Bian melihat tubuh bagian bawahnya, jarinya menggaruk-garuk dahi meskipun tidak gatal, kemudian tertawa sendiri. merasa dirinya konyol, bisa-bisanya menghampiri Ajeng dengan tampilan seperti itu.

Sedikit rasa malu, tapi Bian segera menepisnya. Toh wajar karena Ajeng sudah menjadi istrinya, melihatnya telanjang pun sah-sah saja.

Ajeng melangkahkan kaki menuju meja kecil yang ada di dekat jendela. Di atasnya terdapat vas bunga kecil berwarna putih, kunci lemari papanya ada di situ. Sebenarnya juga heran sendiri kenapa lemari papanya selalu dikunci.

"Mengganggu saja. Mana tadi lagi mimpi sama papa, malah dibangunin," gerutu Ajeng. Tangannya mulai memasukkan kunci. Lalu memilah-milah baju yang menurutnya pas untuk Bian.

"Ngapain juga ke kamarku enggak pakai baju. Apa sengaja? Dasar mesum!"

"Siapa yang mesum?" Tiba-tiba Bian sudah berdiri tepat di belakang Ajeng.

Perempuan itu terkejut dengan kedatangan Bian, sontak membalikkan badan. Sayangnya, ajeng justru melihat pemandangan yang tidak di inginkan. Wajahnya tepat berada di dada Bian dan spontan langsung memejamkan kedua matanya.

Sementara Bian, tanpa canggung masih diam di tempat. Kedua tangannya memilih baju di lemari. Posisi Bian seperti sedang mengungkung Ajeng.

Perempuan itu mematung, tidak bisa berkutik. Jantungnya langsung berdebar kala ujung hidungnya menyentuh dengan kulit dada milik Bian, meskipun hanya sepersekian detik, membuat Ajeng menahan napas.

Di dalam hati dia terus mengumpat karena Bian sengaja membuat posisi seperti itu untuk mengunci dirinya.

"Jangan-jangan kamu yang mesum, ya. Dari tadi sepertinya kamu senang melihatku bertelanjang dada seperti itu!" ucap Bian menggoda.

Reflek Ajeng membuka mata dan ternyata Bian sudah memakai kaos warna hitam milik papanya. Kaos itu terlihat berbeda saat melekat di tubuh Bian. Sangat pas dan cocok, bentuk tubuh Bian juga terlihat proporsional karena di lengannya terlihat sedikit ketat.

Untuk beberapa saat Ajeng mengagumi ketampanan laki-laki yang berdiri di depanya itu. Jantung bahkan kembali berdebar dan kali ini lebih kencang.

"Bengong! Baru sadar kalau punya suami gantengnya kaya gini?" Bian menjentikkan jari tepat di wajah Ajeng. Perempuan itu pun tersadar.

"Idih, kepedean." Ajeng mengelak.

"Terus ngapain tadi bengong? Mau sekalian lihat aku pakai celana?" Bian perlahan melangkah maju, tangannya bersiap melepas handuk yang menutupi bagian bawahnya.

Ajeng ketakutan dan langsung berlari meninggalkan Bian.

"Dasar mesum!" teriaknya sambil berlari.

Bian menutup pintu kamar sembari mengulum senyum. Laki-laki itu geleng-geleng kepala. Gemas dengan sikap Ajeng jika sedang kesal. Perempuan itu justru terlihat cantik dan imut. Bian sudah sangat hafal dengan ekspresi yang dibuat istrinya. dahulu pun juga seperti itu. Saat Bian ditugaskan untuk menjemput atau pun mengantar Ajeng dan perempuan itu sebenarnya tidak setuju. Ajeng selalu membuat eksprsi kesal yang sama seperti saat ini. Secara tidak langsung, saat ini Bian sedang memuji kecantikan istrinya itu.

Sedangkan Ajeng masih terus menggerutu tentang Bian hingga sampailah di dapur. Sengaja menuju ke tempat itu untuk mencari atau membuat sesuatu yang bisa dimakan. Tempo hari jus alpukat buatannya sudah dihabiskan oleh Bian, tidak di sisakan sama sekali. Ajeng memegangi perutnya, mulai terasa sangat perih.

Matanya berbinar kala mencium aroma wangi dari meja makan. Ajeng segera menuju ke meja bundar dengan taplak warna cokelat tua. Ada dua piring nasi goreng di sana dan masih hangat.

"Hmmm, enak." Tanpa aba-aba Ajeng menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Siapa yang masak ini? Enggak mungkin Bian, kan?" Ajeng berbicara sendiri.

Baru bersiap ingin duduk, Bian sudah muncul dan memberi perintah untuk membuatkan kopi.

"Aku sudah memasak nasi goreng untukmu. Sekarang buatkan aku kopi!" ucap Bian kemudian duduk.

Ajeng mengembuskan napas dengan kasar. Dia terpaksa berdiri lagi dan menuju dapur untuk membuatkan kopi.

"Gulanya satu sendok saja!" seru Bian dari balik meja makan.

"Dasar tukang perintah!" Ajeng mencebik. Tangannya mulai mengambil bubuk kopi hitam di stoples kecil yang berjajar rapi di rak dapur.

Ajeng memutar kepalanya, menatap Bian sebentar. Perempuan itu mengulum senyum, diam-diam tangannya menjumput garam dan memasukkan ke dalam cangkir.

"Kopi rasa garam." Ajeng cekikikan sendiri. Kemudian mulai menuangkan air panas ke dalam cangkir, mengadukannya pelan-pelan. Namun keberuntungan sedang tidak berpihak pada Ajeng. Saat hendak memberikan kopi kepada Bian, kakinya tersandung kaki kursinya sendiri.

Kopi panas itu pun jatuh dan menyiram kaki Ajeng.

"Ah, panas!" pekik Ajeng karena merasakan perih di kaki.

Dengan sigap Bian melesat ke sisi Ajeng.

"Kamu itu bisanya apa sih, Ajeng? Ngangkat kopi aja enggak pecus," seru Bian.

Ajeng merengut karena Bian justru memarahinya, padahal dirinya juga tidak sengaja.

Tidak disangka Bian langsung menggendong Ajeng ala bride style, membawa perempuan itu ke kamar mandi yang di dekat dapur.

"Mau ngapain?" protes Ajeng.

"Diam!" balas Bian sembari menurunkan Ajeng.

Bian lalu menghidupkan kran dan membasuh kaki Ajeng yang tersiram air panas tadi.

"Enggak usah banyak protes, kamu nurut aja," ucap Bian.

Ajeng pun menurut, meskipun sebenarnya terkejut dengan perlakuan Bian terhadapnya. Padahal dia mengira kalau Bian akan terus-terusan memarahinya.

Ajeng menatap Bian yang masih sibuk membasuh kakinya.

'Dasar orang aneh, apa dia punya dua kepribadian? Tadi marah-marah. Sekarang sok peduli,' ucap Ajeng dalam hati.

Setelah selesai membasuh kaki Ajeng, Bian kembali menggendong membawanya ke ruang keluarga. Bian mendudukkan istrinya di sana.

"Diam di sini," ucapnya, setelah itu naik ke lantai atas meninggalkan Ajeng sebentar. Beberapa menit kemudian kembali turun dengan membawa handuk kecil dan salep.

Bian kemudian duduk di samping Ajeng. Tanpa banyak kata, laki-laki itu mengangkat kedua kaki Ajeng dan diletakkan di pahanya.

"Mau ngapain?" protes Ajeng dan hendak menurunkan kakinya kembali.

"Diam! Nurut aja kenapa, sih?" Bian menahan kaki Ajeng untuk tetap di pahanya. Lalu mengelap dengan handuk agar kering, kemudian mengoleskan salep.

"Untung ada salep luka bakar," gumam Bian.

Ajeng terus menatap Bian dan semakin heran dengan perhatian suami barunya itu. Namun, di sisi lain Ajeng tersentuh dengan sikap Bian.

"Sudah! Lain kali jangan ceroboh!" Bian kembali bersikap dingin kepada Ajeng. Dia bahkan melepas kaki Ajeng dengan kasar.

"Kamu tuh punya kepribadian ganda, ya?" Ajeng geleng-geleng kepala.

Bian meninggalkan Ajeng karena telepon di rumah berbunyi. Laki-laki itu segera mengangkatnya.

Ajeng yang penasaran mengikuti Bian.

"Ya, dengan kediaman Himawan," ucap Bian setelah mengangkat gagang telepon. Raut wajahnya tampak serius mendengar penjelasan dari orang di seberang sana.

Beberapa menit kemudian, Bian menarik mundur salah satu sudut bibirnya. Ekspresinya terlihat sedikit semringah.

"Dari siapa?" tanya Ajeng yang sudah berdiri di samping Bian.

"Dari rumah sakit," jawab Bian, lalu menoleh menatap Ajeng. Dan langsung mengubah ekspresinya menjadi sendu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status