Share

BAB 6

Penulis: Vieyan Opit
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-03 06:35:57

Bian berkacak pinggang sembari geleng-geleng kepala, melihat Ajeng yang masih tertidur pulas meski matahari mulai meninggi. Laki-laki itu berniat ingin membangunkan untuk sarapan. Bian kasihan, sejak kemarin perut istrinya belum terisi sama sekali, saat membuat jus pun justru dijahili olehnya.

Tangannya bersiap menyentuh bahu Ajeng, membuat perempuan itu bangun. Tapi terhenti ketika melihat ekspresi Ajeng yang terlihat sedih, sedetik kemudian berganti senyuman.

"Apa dia sedang bermimpi?" gumam Bian. Tanpa sadar bibirnya ikut tertarik ke belakang. Melihat Ajeng tersenyum dengan kedua mata tertutup seperti itu menimbulkan rasa yang berbeda di dalam hati Bian.

Paras Ajeng yang memang sudah cantik sejak lahir, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan.

Namun, Bian segera menyadarkan diri tidak ingin terlalu larut.

"Bangun!" Bian bernada agak tinggi.

"Bangun tuan putri!" Bian semakin meninggikan suaranya. Dan akhirnya berhasil membuat Ajeng bangun.

"Apaan sih! Berisik!" protes Ajeng sembari mengucek kedua matanya.

"Ambilkan aku baju di lemari om Himawan. Lemarinya dikunci dan kuncinya enggak tahu di mana," titah Bian. Dia belum terbiasa memanggil Himawan dengan sebutan papa.

Ajeng meregangkan badannya sebentar kemudian membuka mata. Betapa terkejutnya melihat Bian ternyata bertelanjang dada dan hanya berbalut handuk di bagian bawahnya.

"Kamu ngapain enggak pakai baju, Bian!" seru Ajeng. Perempuan itu terperanjat, langsung melompat turun dari ranjang. Kedua tangannya spontan menutupi wajah.

"Enggak dengar apa yang barusan aku bilang?" balas Bian santai.

"Harusnya sebelum mandi tuh cari baju dulu!" protes Ajeng. Kakinya melangkah perlahan ke samping. Lewat sela-sela jari dia memutari Bian yang berdiri di depannya, hingga sampai di dekat pintu.

"Tunggu di situ!" Ajeng berteriak sambil lari menuju kamar papanya.

Bian melihat tubuh bagian bawahnya, jarinya menggaruk-garuk dahi meskipun tidak gatal, kemudian tertawa sendiri. merasa dirinya konyol, bisa-bisanya menghampiri Ajeng dengan tampilan seperti itu.

Sedikit rasa malu, tapi Bian segera menepisnya. Toh wajar karena Ajeng sudah menjadi istrinya, melihatnya telanjang pun sah-sah saja.

Ajeng melangkahkan kaki menuju meja kecil yang ada di dekat jendela. Di atasnya terdapat vas bunga kecil berwarna putih, kunci lemari papanya ada di situ. Sebenarnya juga heran sendiri kenapa lemari papanya selalu dikunci.

"Mengganggu saja. Mana tadi lagi mimpi sama papa, malah dibangunin," gerutu Ajeng. Tangannya mulai memasukkan kunci. Lalu memilah-milah baju yang menurutnya pas untuk Bian.

"Ngapain juga ke kamarku enggak pakai baju. Apa sengaja? Dasar mesum!"

"Siapa yang mesum?" Tiba-tiba Bian sudah berdiri tepat di belakang Ajeng.

Perempuan itu terkejut dengan kedatangan Bian, sontak membalikkan badan. Sayangnya, ajeng justru melihat pemandangan yang tidak di inginkan. Wajahnya tepat berada di dada Bian dan spontan langsung memejamkan kedua matanya.

Sementara Bian, tanpa canggung masih diam di tempat. Kedua tangannya memilih baju di lemari. Posisi Bian seperti sedang mengungkung Ajeng.

Perempuan itu mematung, tidak bisa berkutik. Jantungnya langsung berdebar kala ujung hidungnya menyentuh dengan kulit dada milik Bian, meskipun hanya sepersekian detik, membuat Ajeng menahan napas.

Di dalam hati dia terus mengumpat karena Bian sengaja membuat posisi seperti itu untuk mengunci dirinya.

"Jangan-jangan kamu yang mesum, ya. Dari tadi sepertinya kamu senang melihatku bertelanjang dada seperti itu!" ucap Bian menggoda.

Reflek Ajeng membuka mata dan ternyata Bian sudah memakai kaos warna hitam milik papanya. Kaos itu terlihat berbeda saat melekat di tubuh Bian. Sangat pas dan cocok, bentuk tubuh Bian juga terlihat proporsional karena di lengannya terlihat sedikit ketat.

Untuk beberapa saat Ajeng mengagumi ketampanan laki-laki yang berdiri di depanya itu. Jantung bahkan kembali berdebar dan kali ini lebih kencang.

"Bengong! Baru sadar kalau punya suami gantengnya kaya gini?" Bian menjentikkan jari tepat di wajah Ajeng. Perempuan itu pun tersadar.

"Idih, kepedean." Ajeng mengelak.

"Terus ngapain tadi bengong? Mau sekalian lihat aku pakai celana?" Bian perlahan melangkah maju, tangannya bersiap melepas handuk yang menutupi bagian bawahnya.

Ajeng ketakutan dan langsung berlari meninggalkan Bian.

"Dasar mesum!" teriaknya sambil berlari.

Bian menutup pintu kamar sembari mengulum senyum. Laki-laki itu geleng-geleng kepala. Gemas dengan sikap Ajeng jika sedang kesal. Perempuan itu justru terlihat cantik dan imut. Bian sudah sangat hafal dengan ekspresi yang dibuat istrinya. dahulu pun juga seperti itu. Saat Bian ditugaskan untuk menjemput atau pun mengantar Ajeng dan perempuan itu sebenarnya tidak setuju. Ajeng selalu membuat eksprsi kesal yang sama seperti saat ini. Secara tidak langsung, saat ini Bian sedang memuji kecantikan istrinya itu.

Sedangkan Ajeng masih terus menggerutu tentang Bian hingga sampailah di dapur. Sengaja menuju ke tempat itu untuk mencari atau membuat sesuatu yang bisa dimakan. Tempo hari jus alpukat buatannya sudah dihabiskan oleh Bian, tidak di sisakan sama sekali. Ajeng memegangi perutnya, mulai terasa sangat perih.

Matanya berbinar kala mencium aroma wangi dari meja makan. Ajeng segera menuju ke meja bundar dengan taplak warna cokelat tua. Ada dua piring nasi goreng di sana dan masih hangat.

"Hmmm, enak." Tanpa aba-aba Ajeng menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Siapa yang masak ini? Enggak mungkin Bian, kan?" Ajeng berbicara sendiri.

Baru bersiap ingin duduk, Bian sudah muncul dan memberi perintah untuk membuatkan kopi.

"Aku sudah memasak nasi goreng untukmu. Sekarang buatkan aku kopi!" ucap Bian kemudian duduk.

Ajeng mengembuskan napas dengan kasar. Dia terpaksa berdiri lagi dan menuju dapur untuk membuatkan kopi.

"Gulanya satu sendok saja!" seru Bian dari balik meja makan.

"Dasar tukang perintah!" Ajeng mencebik. Tangannya mulai mengambil bubuk kopi hitam di stoples kecil yang berjajar rapi di rak dapur.

Ajeng memutar kepalanya, menatap Bian sebentar. Perempuan itu mengulum senyum, diam-diam tangannya menjumput garam dan memasukkan ke dalam cangkir.

"Kopi rasa garam." Ajeng cekikikan sendiri. Kemudian mulai menuangkan air panas ke dalam cangkir, mengadukannya pelan-pelan. Namun keberuntungan sedang tidak berpihak pada Ajeng. Saat hendak memberikan kopi kepada Bian, kakinya tersandung kaki kursinya sendiri.

Kopi panas itu pun jatuh dan menyiram kaki Ajeng.

"Ah, panas!" pekik Ajeng karena merasakan perih di kaki.

Dengan sigap Bian melesat ke sisi Ajeng.

"Kamu itu bisanya apa sih, Ajeng? Ngangkat kopi aja enggak pecus," seru Bian.

Ajeng merengut karena Bian justru memarahinya, padahal dirinya juga tidak sengaja.

Tidak disangka Bian langsung menggendong Ajeng ala bride style, membawa perempuan itu ke kamar mandi yang di dekat dapur.

"Mau ngapain?" protes Ajeng.

"Diam!" balas Bian sembari menurunkan Ajeng.

Bian lalu menghidupkan kran dan membasuh kaki Ajeng yang tersiram air panas tadi.

"Enggak usah banyak protes, kamu nurut aja," ucap Bian.

Ajeng pun menurut, meskipun sebenarnya terkejut dengan perlakuan Bian terhadapnya. Padahal dia mengira kalau Bian akan terus-terusan memarahinya.

Ajeng menatap Bian yang masih sibuk membasuh kakinya.

'Dasar orang aneh, apa dia punya dua kepribadian? Tadi marah-marah. Sekarang sok peduli,' ucap Ajeng dalam hati.

Setelah selesai membasuh kaki Ajeng, Bian kembali menggendong membawanya ke ruang keluarga. Bian mendudukkan istrinya di sana.

"Diam di sini," ucapnya, setelah itu naik ke lantai atas meninggalkan Ajeng sebentar. Beberapa menit kemudian kembali turun dengan membawa handuk kecil dan salep.

Bian kemudian duduk di samping Ajeng. Tanpa banyak kata, laki-laki itu mengangkat kedua kaki Ajeng dan diletakkan di pahanya.

"Mau ngapain?" protes Ajeng dan hendak menurunkan kakinya kembali.

"Diam! Nurut aja kenapa, sih?" Bian menahan kaki Ajeng untuk tetap di pahanya. Lalu mengelap dengan handuk agar kering, kemudian mengoleskan salep.

"Untung ada salep luka bakar," gumam Bian.

Ajeng terus menatap Bian dan semakin heran dengan perhatian suami barunya itu. Namun, di sisi lain Ajeng tersentuh dengan sikap Bian.

"Sudah! Lain kali jangan ceroboh!" Bian kembali bersikap dingin kepada Ajeng. Dia bahkan melepas kaki Ajeng dengan kasar.

"Kamu tuh punya kepribadian ganda, ya?" Ajeng geleng-geleng kepala.

Bian meninggalkan Ajeng karena telepon di rumah berbunyi. Laki-laki itu segera mengangkatnya.

Ajeng yang penasaran mengikuti Bian.

"Ya, dengan kediaman Himawan," ucap Bian setelah mengangkat gagang telepon. Raut wajahnya tampak serius mendengar penjelasan dari orang di seberang sana.

Beberapa menit kemudian, Bian menarik mundur salah satu sudut bibirnya. Ekspresinya terlihat sedikit semringah.

"Dari siapa?" tanya Ajeng yang sudah berdiri di samping Bian.

"Dari rumah sakit," jawab Bian, lalu menoleh menatap Ajeng. Dan langsung mengubah ekspresinya menjadi sendu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 23 - Merawat Bian

    Ajeng terkejut melihat Bian tiba-tiba pingsan di depannya. "Bian? Bangun! Pagi-pagi nggak usah bercanda, deh!" Ajeng mengguncang-ngguncang tubuh Bian, tapi tidak ada respon. Ajeng kemudian menempelkan tangan ke dahi Bian."Astaga, panas banget badannya," ucap Ajeng panik. Tanpa ragu Ajengmembawa Bian ke dalam kamar. Susah payah Ajeng memapah Bian lalu membaringkannya di tempat tidur. Kemudian berusaha menghubungi Mba Ratri untuk meminta bantuan, tapi tidak diangkat. Ajeng semakin khawatir karena Bian menggigau. "Tenang, Ajeng. Tenang." Ajeng menenangkan dirinya sendiri agar tidak semakin panik.Perempuan itu memutuskan untuk mencari informasi di internet, mengenai penanganan dan pertolongan pertama pada orang yang mengalami demam tinggi.Selesai membaca semua informasi, Ajeng keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk merebus air.Ajeng kembali menghubungi Mba Ratri dan hasilnya masih nihil, tidak ada jawaban. "Oke, aku bisa sendiri." Ajeng meyakinkan dirinya.Setelah airn

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 22- Kejutan dari Bian

    "Sengaja mau nunjukin kekuasaan kamu, ya? Atau biar kelihatan kaya suami yang sayang sama istrinya?" Ajeng berucap dengan nada sinis. Ajeng tidak terima saat Bian tiba-tiba muncul, menurutnya Berlagak sangat peduli, menawarkan kepadanya agar memilih apa saja yang ingin dibeli. "Kemarin katamu aku ini kejam, aku ini enggak ngerti perasaan kamu. Sekarang aku mau nurutin apa yang kamu malah dibilang sok peduli. Jadi orang yang konsisten," balas Bian dengan perasaan kesal. Padahal niatnya memang baik, tapi Ajeng salah mengartikan.Bian memang berniat meninggalkan Ajeng dan kembali ke kantor, tapi mengurungkan niatnya karena merasa khawatir dan memutuskan mengikuti Ajeng.Timbul iba di hati Bian saat melihat Ajeng menatap sebuah dress. Dan Bian yakin Ajeng sangat menyukai dress tersebut karena terus menatapnya. "Ya kalau ngerti aku harusnya tuh kasih uang. Kartu kreditku jangan diblokir. Ngenes banget sih hidup aku, punya suami kagak pernah kasih uang," sinis Ajeng. Perempuan itu menghe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 21 - Ajeng Merajuk

    Tatapan Bian kepada Ajeng kali ini agak berbeda. Ada sedikit rasa kagum dan heran karena istrinya mau membaur dengan karyawan pabrik."Aku tidak salah lihat, kan?" gumam Bian, geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis.Bukannya segera menghampiri, Bian justru terpaku melihat Ajeng yang tanpa sungkan membaur dan bercengkerama dengan para karyawan itu. Hingga Bian tidak sadar telah larut dan membuat kembali teringat akan kejadian semalam. Saat Ajeng dengan berani membuat sisi laki-lakinya muncul. "Bian? Sini!" Ajeng berteriak seraya melambaikan tangan.Bian tersentak mendengar Ajeng memanggil namanya. Sadar bahwa dirinya tidak seharusnya mengingat hal seperti itu di siang hari dan di tempat kerja."Ngapain kamu di sini? Ganggu pekerjaan mereka aja!" Bian sengaja menegur di depan para karyawan. Sebenarnya hal itu dilakukan karena merasa salah tingkah sendiri."Siapa yang gangguin? Mereka sendiri yang ngajakin aku, kok," balas Ajeng tidak terima."Ini, kamu ngajakin mereka buat makan. Pa

  • Dinikahi Asisten Papa   Bab 20 – Tidak Akan Terjadi

    Ajeng merasa skeptis terhadap niat Danu yang ingin mengajak kerja sama. Dia merasa bahwa Danu hanya ingin menguasai perusahaan papanya dan mengambil alih kendali yang seharusnya menjadi miliknya.Dengan tidak menyetujui kerja sama, Ajeng merasa bahwa tindakan ini adalah langkah yang tepat untuk melindungi perusahaan papanya. Dia tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang yang tidak bisa dipercaya.Bian sendiri cukup terkejut dengan kehadiran Ajeng yang tidak disangka. Ditambah lagi dengan rasa kesal karena Ajeng mendadak ikut campur dalam perbincangannya dengan Danu. Meskipun begitu, Bian memahami alasan di balik penolakan Ajeng, namun tetap berpendapat bahwa kerja sama dengan Danu dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan."Ini kesempatan besar bagi perusahaan kita, Ajeng?" tegas Bian"Aku tidak percaya pada orang itu, Bian. Ngajakin kerja sama? Tapi Aku lebih merasa dia hanya ingin menguasai perusahaan papa," sengit Ajeng."Kamu tahu apa, Ajeng? Aku yang bertanggun

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 19- Secepat Itu Lupa?

    “Mba Ratri orang mana? Kok Bian bisa minta Mba Ratri kerja di sini?” Ajeng melempar pertanyaan kepada Ratri yang masih sibuk mencuci piring di dapur. Ratri tidak langsung menjawab dan justru tersenyum geli. Wajar jika Ajeng menginterogasi dirinya. mungkin Bian belum bercerita mengenai siapa dirinya.“Sebenarnya udah lama saya kerja sama mas Bian, Mba. Dulu kedua orang tua saya yang jadi kepercayaan orang tuanya mas Bian. Buat ngurus rumah sama ngurus mas Bian. Tapi, setelah orang tuanya mas Bian meninggal, orang tua saya buka usaha sendiri, kulineran gitu,” jelas Ratri. “Lah, jadi pembantu kok turun temurun sih,” celetuk Ajeng. Sedetik kemudian dia sadar kalau kata-katanya kurang pantas. Namun, Ratri sama sekali tidak tersinggung. Jauh sebelum Ajeng datang ke rumah itu, rupanya Bian sudah menceritakan mengenai Ajeng termasuk kepribadiannya.“Bukan turun temurun sih, Mba. Lebih tepatnya balas budi aja. Saya bisa sekolah dan orang tua saya sampai bisa beli rumah sendiri ya karen

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 18- Permainan cinta Ajeng

    Bian mematung saat Ajeng melingkarkan tangan di lehernya. Awalnya Bian mengira kalau istrinya itu hanya menggertak, ternyata di luar dugaan. Ajeng cukup nekat menempelkan bibirnya ke bibir Bian. Bukan hanya kecupan biasa, melainkan sapuan lembut yang mampu membuat sekujur tubuh Bian menegang.Jika hanya sekali, Bian masih memaklumi. Tapi rupanya Ajeng lebih berani dari dugaan Bian. Istrinya itu lebih dulu memulai permainan yang tidak disangka oleh Bian. Ajeng semakin menarik kepala Bian untuk lebih dekat lagi kepadanya. Sementara Ajeng tidak enggan membuat dirinya sama sekali tidak berjarak dengan Bian.Awalnya Bian hanya mencoba mengikuti permain Ajeng. Namun, tidak sangka dirinya semakin larut. Bagai harimau yang dibangunkan dari tidurnya. Sisi lain dari diri Bian memaksa muncul.“Takut?” Ajeng menarik wajahnya sebentar. Memberi jeda pada permainannya yang tidak dibalas oleh Bian. Perempuan itu masih dengan posisi kepala miring memberikan senyuman smrik pada Bian.Ditantang sepe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status