Share

BAB 7

Seketika Ajeng merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas.

Lutut seakan tidak kuat menopang berat badannya sendiri.

Jika saja tidak menguatkan diri, pasti saat itu juga sudah pingsan di tempat.

Baru beberapa menit tadi Ajeng bermimpi tentang papanya. Dan kini harus mendengar kabar duka dari rumah sakit.

Kondisi Himawan semakin lemah dan tidak tertolong lagi. Himawan pergi untuk selamanya.

“Bagaimana bisa?” Ajeng berucap lirih sambil berlinang air mata.

“Kehendak Tuhan,” jawab Bian singkat.

Sama sekali bukan kata-kata yang ingin didengar oleh Ajeng.

Ajeng berharap setidaknya Bian menghibur dirinya atau memberi kata-kata penyemangat.

“Sebaiknya kamu istirahat di rumah. Aku akan ke rumah sakit untuk mengurus semuanya,” ucap Bian.

“Tidak! Aku harus ikut ke rumah sakit. Aku ingin memastikan sendiri kalau papa benar-benar meninggal,” protes Ajeng, kemudian mengusap pipinya yang basah.

Perempuan itu mendahului Bian melangkah keluar dari rumah.

Bian beralih menatap sepiring nasi goreng yang ditinggalkan oleh Ajeng. Sebenarnya dia berniat meminta Ajeng untuk makan lebih dulu sebelum pergi ke rumah sakit.

Tampaknya berita duka ini membuat Ajeng melupakan segalanya.

Meskipun kematian Himawan merupakan skenario dari Bian dan Danu. Tetapi dirinya tidak menduga kalau Danu akan mempercepat hal ini.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Bian pun memilih diam. Sesekali hanya melirik Ajeng yang memalingkan wajahnya menatap keluar jendela.

Bian tahu kalau Ajeng diam-diam sedang menangis.

Sesampainya di rumah sakit. Ajeng justru tidak segera turun saat Bian meminta untuk turun.

Perempuan itu memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas dengan panjang. Barulah dia keluar saat Bian membukakan pintu untuknya.

Dengan langkah setengah berlari Ajeng menuju ke kamar rawat inap Himawan.

Terlihat dokter dan beberapa perawat sudah menanti kedatangan Ajeng dan Bian.

Ajeng langsung berlari masuk ke dalam untuk melihat papanya.

“Maaf, Ajeng kami sudah berusaha. Tapi takdir berkata lain,” ucap dokter Sabda. Raut wajahnya juga terlihat sendu. Dia sendiri bahkan merasa aneh karena kondisi Himawan semula sudah membaik.

Namun, saat pagi tadi dirinya melakukan kunjungan Himawan ternyata sudah tidak bernyawa.

“Papa?” Ajeng terisak, langsung memeluk tubuh Himawan.

Ajeng menangis tersedu, mengguncang-ngguncang tubuh Himawan.

“Bukankah Papa ingin mengadakan pesta pernikahanku? Curang! Kenapa Papa malah pergi. Apa takut aku meminta lebih?” Ajeng terdengar seperti sedang memarahi papanya.

“Bangun nggak?” seru Ajeng. Dokter Sabda mendekati Ajeng.

Laki-laki itu mengusap-usap lengan Ajeng, memintanya untuk mengikhlaskan kepergian Himawan.

Namun, Ajeng menampik tangan Sabda dan kembali berseru meminta papanya untuk membuka mata bahkan dengan suara yang lebih keras lagi.

Ajeng semakin terisak. Bian yang melihat hal itu menjadi tidak tega. Dirinya teringat saat dulu melepas kepergian kedua orang tuanya. Memang berat dan sulit dipercaya, ditinggalkan oleh orang terkasih. Rasanya seakan dunia tidak adil.

Bian mendekati Ajeng. Bermaksud menenangkan istrinya.

Namun, tiba-tiba Ajeng memegangi kepalanya. Tubuhnya semakin condong ke samping, dan ternyata pingsan.

Dokter Sabda yang berada di dekat Ajeng langsung menangkap tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Astaga, kenapa badan Ajeng panas begini,” ucap Dokter Sabda setelah memegang pipi Ajeng.

“Biar aku baringkan dia di sofa.” Bian mengambil alih tubuh Ajeng.

“Jangan! Sebaiknya kita rawat Ajeng. Sepertinya demam. Mungkin dia syok,” balas Dokter Sabda. Dokter yang menangani Himawan itu mengkhawatirkan Ajeng.

“Suster? Siapkan kamar di sebelah,” imbuh Dokter Sabda.

“Baik, dok. Mari,” balas si perawat.

Bian buru-buru mengangkat tubuh Ajeng. Dan pergi ke kamar sebelah.

Dibantu oleh perawat yang menyiapkan ranjang untuk Ajeng, Bian kemudian membaringkan Ajeng di sana.

Bian menatap iba pada Ajeng. Jari-jarinya membelai pipi Ajeng dan memang benar, badan istrinya panas.

“Maafkan aku Ajeng,” ucap Bian lirih.

“Suster? Tolong rawat istri saya.” Bian berpesan kepada perawat. Kemudian bergegas keluar untuk mengurus surat kepulangan Himawan.

Dibantu oleh Dokter Sabda, Bian mengurus semuanya hal yang diperlukan untuk mengurus jenazah Himawan.

“Aku harap kamu menjaga Ajeng dengan baik. Anak itu .... “ Dokter Sabda memberi jeda, menghela napas sebentar.

“Dia akan butuh waktu menerima kepergian papanya,” lanjutnya.

“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuan Anda selama om Himawan dirawat di sini,” balas Bian.

“Om? “ Dokter Sabda mengerutkan kening.

Bian tersenyum. “Maksud saya papa. Maaf saya memang belum terbiasa.” Bian mengoreksi.

“Tidak apa. Pokoknya titip Ajeng, Bian.” Dokter Sabda menepuk-nepuk pundak Bian.

Setelah semua urusan di rumah sakit selesai. Bian mengurus pemakaman Himawan. Karena memang mendadak Bian tidak memberitakan kematian Himawan kepada seluruh rekan kerjanya.

Yang terpenting acara pemakaman segera dilaksanakan hari itu juga dan segera selesai.

Di acara pemakaman tentu saja ada Danu di sana. Laki-laki itu dengan kemampuan aktingnya, mampu memperlihatkan wajah yang sendu dan merasa kehilangan.

Namun setelah semua tamu pergi. Bibir Danu mengembang dan terlihat puas karena akhirnya Himawan untuk pergi selama-lamanya.

“Terima kasih sudah datang di acara pemakaman om Himawan.”

Bian menyalami semua tamu dan rekan bisnis Himawan yang datang.

Sebagian mengirim karangan bunga ke rumah sebagai bentuk rasa belang sungkawa.

Bian sengaja tidak menunggu Ajeng sadar. Mungkin karena terpukul dan memang sedang dalam keadaan sakit. Ajeng belum juga membuka mata. Badannya semakin panas dan tubuhnya sedikit lemah.

Bian berkonsultasi dengan dokter dan meminta Ajeng dirawat di rumah saja. Dan dokter mengizinkan Ajeng di bawa pulang. Sakit yang saat ini di alami Ajeng mungkin karena rasa terpukul.

Dokter Sabda berharap Bian bisa merawat dan menjaga Ajeng.

“Mulai saat ini, aku yang pegang kendali, Ajeng.” Ucap Bian. Setelah membawa Ajeng ke kamarnya.

Bian kemudian turun untuk menemui Danu yang menunggu di ruang tamu.

“Hei, Bian.” Danu menghambur memeluk Bian.

“Selamat, akhirnya kamu bisa memiliki semuanya,” ucap Danu, tangannya menepuk-nepuk punggung Bian.

“Rencanamu memang luar biasa. Apalagi dengan menikahi anaknya Himawan,” imbuh Danu setelah melepas pelukannya.

“Semua atas bantuan om Danu juga. Terima kasih sudah menceritakan yang sebenarnya. Tapi ... bagaimana om Danu bisa membuat om Himawan tiba-tiba kondisinya menjadi lemah seperti itu hingga akhirnya meninggal?” Bian penasaran.

Danu tertawa keras. Laki-laki itu menggeleng pelan. Lalu kedua tangannya menyentuh bahu Bian.

“Kamu sendiri yang bilang kalau nyawa dibalas dengan nyawa. Tapi kenapa kamu seolah tidak tega dan menyesal setelah semua ini terjadi,” ucap Danu.

“Bukan begitu hanya saja .... “ Bian menjeda perkataannya. Memang tidak dapat dipungkiri kalau perkataan Danu ada benarnya.

Melihat Ajeng di rumah sakit tadi. Rasa bersalah Bian muncul.

“Sudahlah. Bukankah ini impas. Kamu kehilangan kedua orang tuamu karena Himawan. Dan kini anaknya juga harus merasakan apa yang pernah kamu rasakan. Begitu juga dengan usaha furniture beserta pabriknya. Kedua orang tuamu juga ikut andil. Tapi, Himawan justru mengusainya.” Danu sengaja menceritakan keburukan Himawan.

Tentunya demi kepentingannya juga.

Sebenarnya Danulah yang ingin mengambil alih perusahaan Himawan karena dendam. Dan oleh karena itu dia mencari sekutu yaitu Bian.

“Hmmm, sepertinya kamu juga merasa kehilangan ayah mertuamu itu. Sebaiknya aku pulang saja dulu, tenangnya dirimu. Jangan lupa, apa yang kita lakukan ini baru permulaan.” Danu menatap Bian serius.

Kemudian pamit untuk pulang.

Bian mengantarkan Danu sampai ke depan rumah. Dia masih berdiri di teras hingga mobil Danu keluar dari gerbang.

Setelah itu Bian kembali masuk.

Namun, dirinya terkejut saat mendapati Ajeng sudah berdiri di ruang tamu. Menatapnya penuh benci. Tangannya memegang pisau.

“Dasar laki-laki brengsek! Tidak tahu terima kasih! Jadi kamu sengaja membunuh papaku?” seru Ajeng, kemudian berlari ke arah Bian dengan membawa pisau yang siap ditusukkan.

Dengan sigap Bian mencengkeram tangan Ajeng.

“Gila kamu Ajeng!” pekik Bian.

“Kamu yang gila. Kenapa tega bunuh papa?” Ajeng berseru tidak mau kalah.

Bian tidak tahu rupanya Ajeng menguping pembicaraannya dengan Danu.

“Kamu harusnya malu. Selama ini papa udah merawat kamu. Sudah kuduga, kamu punya niat tidak baik sama aku dan papa.” Ajeng berucap sambil terisak. Dia meronta, ingin melepaskan tangan Bian yang mencengkeramnya. Ajeng berniat ingin membuat Bian terluka dengan pisau yang dia bawa.

Bian mendorong Ajeng. Menjatuhkan tubuh istrinya ke kursi sofa.

“Ya, aku yang membunuh om Himawan? Itu adil karena papamu juga membunuh kedua orang tuaku!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status