Share

BAB 7

Author: Vieyan Opit
last update Last Updated: 2023-08-04 21:34:57

Seketika Ajeng merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas.

Lutut seakan tidak kuat menopang berat badannya sendiri.

Jika saja tidak menguatkan diri, pasti saat itu juga sudah pingsan di tempat.

Baru beberapa menit tadi Ajeng bermimpi tentang papanya. Dan kini harus mendengar kabar duka dari rumah sakit.

Kondisi Himawan semakin lemah dan tidak tertolong lagi. Himawan pergi untuk selamanya.

“Bagaimana bisa?” Ajeng berucap lirih sambil berlinang air mata.

“Kehendak Tuhan,” jawab Bian singkat.

Sama sekali bukan kata-kata yang ingin didengar oleh Ajeng.

Ajeng berharap setidaknya Bian menghibur dirinya atau memberi kata-kata penyemangat.

“Sebaiknya kamu istirahat di rumah. Aku akan ke rumah sakit untuk mengurus semuanya,” ucap Bian.

“Tidak! Aku harus ikut ke rumah sakit. Aku ingin memastikan sendiri kalau papa benar-benar meninggal,” protes Ajeng, kemudian mengusap pipinya yang basah.

Perempuan itu mendahului Bian melangkah keluar dari rumah.

Bian beralih menatap sepiring nasi goreng yang ditinggalkan oleh Ajeng. Sebenarnya dia berniat meminta Ajeng untuk makan lebih dulu sebelum pergi ke rumah sakit.

Tampaknya berita duka ini membuat Ajeng melupakan segalanya.

Meskipun kematian Himawan merupakan skenario dari Bian dan Danu. Tetapi dirinya tidak menduga kalau Danu akan mempercepat hal ini.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Bian pun memilih diam. Sesekali hanya melirik Ajeng yang memalingkan wajahnya menatap keluar jendela.

Bian tahu kalau Ajeng diam-diam sedang menangis.

Sesampainya di rumah sakit. Ajeng justru tidak segera turun saat Bian meminta untuk turun.

Perempuan itu memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas dengan panjang. Barulah dia keluar saat Bian membukakan pintu untuknya.

Dengan langkah setengah berlari Ajeng menuju ke kamar rawat inap Himawan.

Terlihat dokter dan beberapa perawat sudah menanti kedatangan Ajeng dan Bian.

Ajeng langsung berlari masuk ke dalam untuk melihat papanya.

“Maaf, Ajeng kami sudah berusaha. Tapi takdir berkata lain,” ucap dokter Sabda. Raut wajahnya juga terlihat sendu. Dia sendiri bahkan merasa aneh karena kondisi Himawan semula sudah membaik.

Namun, saat pagi tadi dirinya melakukan kunjungan Himawan ternyata sudah tidak bernyawa.

“Papa?” Ajeng terisak, langsung memeluk tubuh Himawan.

Ajeng menangis tersedu, mengguncang-ngguncang tubuh Himawan.

“Bukankah Papa ingin mengadakan pesta pernikahanku? Curang! Kenapa Papa malah pergi. Apa takut aku meminta lebih?” Ajeng terdengar seperti sedang memarahi papanya.

“Bangun nggak?” seru Ajeng. Dokter Sabda mendekati Ajeng.

Laki-laki itu mengusap-usap lengan Ajeng, memintanya untuk mengikhlaskan kepergian Himawan.

Namun, Ajeng menampik tangan Sabda dan kembali berseru meminta papanya untuk membuka mata bahkan dengan suara yang lebih keras lagi.

Ajeng semakin terisak. Bian yang melihat hal itu menjadi tidak tega. Dirinya teringat saat dulu melepas kepergian kedua orang tuanya. Memang berat dan sulit dipercaya, ditinggalkan oleh orang terkasih. Rasanya seakan dunia tidak adil.

Bian mendekati Ajeng. Bermaksud menenangkan istrinya.

Namun, tiba-tiba Ajeng memegangi kepalanya. Tubuhnya semakin condong ke samping, dan ternyata pingsan.

Dokter Sabda yang berada di dekat Ajeng langsung menangkap tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Astaga, kenapa badan Ajeng panas begini,” ucap Dokter Sabda setelah memegang pipi Ajeng.

“Biar aku baringkan dia di sofa.” Bian mengambil alih tubuh Ajeng.

“Jangan! Sebaiknya kita rawat Ajeng. Sepertinya demam. Mungkin dia syok,” balas Dokter Sabda. Dokter yang menangani Himawan itu mengkhawatirkan Ajeng.

“Suster? Siapkan kamar di sebelah,” imbuh Dokter Sabda.

“Baik, dok. Mari,” balas si perawat.

Bian buru-buru mengangkat tubuh Ajeng. Dan pergi ke kamar sebelah.

Dibantu oleh perawat yang menyiapkan ranjang untuk Ajeng, Bian kemudian membaringkan Ajeng di sana.

Bian menatap iba pada Ajeng. Jari-jarinya membelai pipi Ajeng dan memang benar, badan istrinya panas.

“Maafkan aku Ajeng,” ucap Bian lirih.

“Suster? Tolong rawat istri saya.” Bian berpesan kepada perawat. Kemudian bergegas keluar untuk mengurus surat kepulangan Himawan.

Dibantu oleh Dokter Sabda, Bian mengurus semuanya hal yang diperlukan untuk mengurus jenazah Himawan.

“Aku harap kamu menjaga Ajeng dengan baik. Anak itu .... “ Dokter Sabda memberi jeda, menghela napas sebentar.

“Dia akan butuh waktu menerima kepergian papanya,” lanjutnya.

“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuan Anda selama om Himawan dirawat di sini,” balas Bian.

“Om? “ Dokter Sabda mengerutkan kening.

Bian tersenyum. “Maksud saya papa. Maaf saya memang belum terbiasa.” Bian mengoreksi.

“Tidak apa. Pokoknya titip Ajeng, Bian.” Dokter Sabda menepuk-nepuk pundak Bian.

Setelah semua urusan di rumah sakit selesai. Bian mengurus pemakaman Himawan. Karena memang mendadak Bian tidak memberitakan kematian Himawan kepada seluruh rekan kerjanya.

Yang terpenting acara pemakaman segera dilaksanakan hari itu juga dan segera selesai.

Di acara pemakaman tentu saja ada Danu di sana. Laki-laki itu dengan kemampuan aktingnya, mampu memperlihatkan wajah yang sendu dan merasa kehilangan.

Namun setelah semua tamu pergi. Bibir Danu mengembang dan terlihat puas karena akhirnya Himawan untuk pergi selama-lamanya.

“Terima kasih sudah datang di acara pemakaman om Himawan.”

Bian menyalami semua tamu dan rekan bisnis Himawan yang datang.

Sebagian mengirim karangan bunga ke rumah sebagai bentuk rasa belang sungkawa.

Bian sengaja tidak menunggu Ajeng sadar. Mungkin karena terpukul dan memang sedang dalam keadaan sakit. Ajeng belum juga membuka mata. Badannya semakin panas dan tubuhnya sedikit lemah.

Bian berkonsultasi dengan dokter dan meminta Ajeng dirawat di rumah saja. Dan dokter mengizinkan Ajeng di bawa pulang. Sakit yang saat ini di alami Ajeng mungkin karena rasa terpukul.

Dokter Sabda berharap Bian bisa merawat dan menjaga Ajeng.

“Mulai saat ini, aku yang pegang kendali, Ajeng.” Ucap Bian. Setelah membawa Ajeng ke kamarnya.

Bian kemudian turun untuk menemui Danu yang menunggu di ruang tamu.

“Hei, Bian.” Danu menghambur memeluk Bian.

“Selamat, akhirnya kamu bisa memiliki semuanya,” ucap Danu, tangannya menepuk-nepuk punggung Bian.

“Rencanamu memang luar biasa. Apalagi dengan menikahi anaknya Himawan,” imbuh Danu setelah melepas pelukannya.

“Semua atas bantuan om Danu juga. Terima kasih sudah menceritakan yang sebenarnya. Tapi ... bagaimana om Danu bisa membuat om Himawan tiba-tiba kondisinya menjadi lemah seperti itu hingga akhirnya meninggal?” Bian penasaran.

Danu tertawa keras. Laki-laki itu menggeleng pelan. Lalu kedua tangannya menyentuh bahu Bian.

“Kamu sendiri yang bilang kalau nyawa dibalas dengan nyawa. Tapi kenapa kamu seolah tidak tega dan menyesal setelah semua ini terjadi,” ucap Danu.

“Bukan begitu hanya saja .... “ Bian menjeda perkataannya. Memang tidak dapat dipungkiri kalau perkataan Danu ada benarnya.

Melihat Ajeng di rumah sakit tadi. Rasa bersalah Bian muncul.

“Sudahlah. Bukankah ini impas. Kamu kehilangan kedua orang tuamu karena Himawan. Dan kini anaknya juga harus merasakan apa yang pernah kamu rasakan. Begitu juga dengan usaha furniture beserta pabriknya. Kedua orang tuamu juga ikut andil. Tapi, Himawan justru mengusainya.” Danu sengaja menceritakan keburukan Himawan.

Tentunya demi kepentingannya juga.

Sebenarnya Danulah yang ingin mengambil alih perusahaan Himawan karena dendam. Dan oleh karena itu dia mencari sekutu yaitu Bian.

“Hmmm, sepertinya kamu juga merasa kehilangan ayah mertuamu itu. Sebaiknya aku pulang saja dulu, tenangnya dirimu. Jangan lupa, apa yang kita lakukan ini baru permulaan.” Danu menatap Bian serius.

Kemudian pamit untuk pulang.

Bian mengantarkan Danu sampai ke depan rumah. Dia masih berdiri di teras hingga mobil Danu keluar dari gerbang.

Setelah itu Bian kembali masuk.

Namun, dirinya terkejut saat mendapati Ajeng sudah berdiri di ruang tamu. Menatapnya penuh benci. Tangannya memegang pisau.

“Dasar laki-laki brengsek! Tidak tahu terima kasih! Jadi kamu sengaja membunuh papaku?” seru Ajeng, kemudian berlari ke arah Bian dengan membawa pisau yang siap ditusukkan.

Dengan sigap Bian mencengkeram tangan Ajeng.

“Gila kamu Ajeng!” pekik Bian.

“Kamu yang gila. Kenapa tega bunuh papa?” Ajeng berseru tidak mau kalah.

Bian tidak tahu rupanya Ajeng menguping pembicaraannya dengan Danu.

“Kamu harusnya malu. Selama ini papa udah merawat kamu. Sudah kuduga, kamu punya niat tidak baik sama aku dan papa.” Ajeng berucap sambil terisak. Dia meronta, ingin melepaskan tangan Bian yang mencengkeramnya. Ajeng berniat ingin membuat Bian terluka dengan pisau yang dia bawa.

Bian mendorong Ajeng. Menjatuhkan tubuh istrinya ke kursi sofa.

“Ya, aku yang membunuh om Himawan? Itu adil karena papamu juga membunuh kedua orang tuaku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 23 - Merawat Bian

    Ajeng terkejut melihat Bian tiba-tiba pingsan di depannya. "Bian? Bangun! Pagi-pagi nggak usah bercanda, deh!" Ajeng mengguncang-ngguncang tubuh Bian, tapi tidak ada respon. Ajeng kemudian menempelkan tangan ke dahi Bian."Astaga, panas banget badannya," ucap Ajeng panik. Tanpa ragu Ajengmembawa Bian ke dalam kamar. Susah payah Ajeng memapah Bian lalu membaringkannya di tempat tidur. Kemudian berusaha menghubungi Mba Ratri untuk meminta bantuan, tapi tidak diangkat. Ajeng semakin khawatir karena Bian menggigau. "Tenang, Ajeng. Tenang." Ajeng menenangkan dirinya sendiri agar tidak semakin panik.Perempuan itu memutuskan untuk mencari informasi di internet, mengenai penanganan dan pertolongan pertama pada orang yang mengalami demam tinggi.Selesai membaca semua informasi, Ajeng keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk merebus air.Ajeng kembali menghubungi Mba Ratri dan hasilnya masih nihil, tidak ada jawaban. "Oke, aku bisa sendiri." Ajeng meyakinkan dirinya.Setelah airn

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 22- Kejutan dari Bian

    "Sengaja mau nunjukin kekuasaan kamu, ya? Atau biar kelihatan kaya suami yang sayang sama istrinya?" Ajeng berucap dengan nada sinis. Ajeng tidak terima saat Bian tiba-tiba muncul, menurutnya Berlagak sangat peduli, menawarkan kepadanya agar memilih apa saja yang ingin dibeli. "Kemarin katamu aku ini kejam, aku ini enggak ngerti perasaan kamu. Sekarang aku mau nurutin apa yang kamu malah dibilang sok peduli. Jadi orang yang konsisten," balas Bian dengan perasaan kesal. Padahal niatnya memang baik, tapi Ajeng salah mengartikan.Bian memang berniat meninggalkan Ajeng dan kembali ke kantor, tapi mengurungkan niatnya karena merasa khawatir dan memutuskan mengikuti Ajeng.Timbul iba di hati Bian saat melihat Ajeng menatap sebuah dress. Dan Bian yakin Ajeng sangat menyukai dress tersebut karena terus menatapnya. "Ya kalau ngerti aku harusnya tuh kasih uang. Kartu kreditku jangan diblokir. Ngenes banget sih hidup aku, punya suami kagak pernah kasih uang," sinis Ajeng. Perempuan itu menghe

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 21 - Ajeng Merajuk

    Tatapan Bian kepada Ajeng kali ini agak berbeda. Ada sedikit rasa kagum dan heran karena istrinya mau membaur dengan karyawan pabrik."Aku tidak salah lihat, kan?" gumam Bian, geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis.Bukannya segera menghampiri, Bian justru terpaku melihat Ajeng yang tanpa sungkan membaur dan bercengkerama dengan para karyawan itu. Hingga Bian tidak sadar telah larut dan membuat kembali teringat akan kejadian semalam. Saat Ajeng dengan berani membuat sisi laki-lakinya muncul. "Bian? Sini!" Ajeng berteriak seraya melambaikan tangan.Bian tersentak mendengar Ajeng memanggil namanya. Sadar bahwa dirinya tidak seharusnya mengingat hal seperti itu di siang hari dan di tempat kerja."Ngapain kamu di sini? Ganggu pekerjaan mereka aja!" Bian sengaja menegur di depan para karyawan. Sebenarnya hal itu dilakukan karena merasa salah tingkah sendiri."Siapa yang gangguin? Mereka sendiri yang ngajakin aku, kok," balas Ajeng tidak terima."Ini, kamu ngajakin mereka buat makan. Pa

  • Dinikahi Asisten Papa   Bab 20 – Tidak Akan Terjadi

    Ajeng merasa skeptis terhadap niat Danu yang ingin mengajak kerja sama. Dia merasa bahwa Danu hanya ingin menguasai perusahaan papanya dan mengambil alih kendali yang seharusnya menjadi miliknya.Dengan tidak menyetujui kerja sama, Ajeng merasa bahwa tindakan ini adalah langkah yang tepat untuk melindungi perusahaan papanya. Dia tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang yang tidak bisa dipercaya.Bian sendiri cukup terkejut dengan kehadiran Ajeng yang tidak disangka. Ditambah lagi dengan rasa kesal karena Ajeng mendadak ikut campur dalam perbincangannya dengan Danu. Meskipun begitu, Bian memahami alasan di balik penolakan Ajeng, namun tetap berpendapat bahwa kerja sama dengan Danu dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan."Ini kesempatan besar bagi perusahaan kita, Ajeng?" tegas Bian"Aku tidak percaya pada orang itu, Bian. Ngajakin kerja sama? Tapi Aku lebih merasa dia hanya ingin menguasai perusahaan papa," sengit Ajeng."Kamu tahu apa, Ajeng? Aku yang bertanggun

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 19- Secepat Itu Lupa?

    “Mba Ratri orang mana? Kok Bian bisa minta Mba Ratri kerja di sini?” Ajeng melempar pertanyaan kepada Ratri yang masih sibuk mencuci piring di dapur. Ratri tidak langsung menjawab dan justru tersenyum geli. Wajar jika Ajeng menginterogasi dirinya. mungkin Bian belum bercerita mengenai siapa dirinya.“Sebenarnya udah lama saya kerja sama mas Bian, Mba. Dulu kedua orang tua saya yang jadi kepercayaan orang tuanya mas Bian. Buat ngurus rumah sama ngurus mas Bian. Tapi, setelah orang tuanya mas Bian meninggal, orang tua saya buka usaha sendiri, kulineran gitu,” jelas Ratri. “Lah, jadi pembantu kok turun temurun sih,” celetuk Ajeng. Sedetik kemudian dia sadar kalau kata-katanya kurang pantas. Namun, Ratri sama sekali tidak tersinggung. Jauh sebelum Ajeng datang ke rumah itu, rupanya Bian sudah menceritakan mengenai Ajeng termasuk kepribadiannya.“Bukan turun temurun sih, Mba. Lebih tepatnya balas budi aja. Saya bisa sekolah dan orang tua saya sampai bisa beli rumah sendiri ya karen

  • Dinikahi Asisten Papa   BAB 18- Permainan cinta Ajeng

    Bian mematung saat Ajeng melingkarkan tangan di lehernya. Awalnya Bian mengira kalau istrinya itu hanya menggertak, ternyata di luar dugaan. Ajeng cukup nekat menempelkan bibirnya ke bibir Bian. Bukan hanya kecupan biasa, melainkan sapuan lembut yang mampu membuat sekujur tubuh Bian menegang.Jika hanya sekali, Bian masih memaklumi. Tapi rupanya Ajeng lebih berani dari dugaan Bian. Istrinya itu lebih dulu memulai permainan yang tidak disangka oleh Bian. Ajeng semakin menarik kepala Bian untuk lebih dekat lagi kepadanya. Sementara Ajeng tidak enggan membuat dirinya sama sekali tidak berjarak dengan Bian.Awalnya Bian hanya mencoba mengikuti permain Ajeng. Namun, tidak sangka dirinya semakin larut. Bagai harimau yang dibangunkan dari tidurnya. Sisi lain dari diri Bian memaksa muncul.“Takut?” Ajeng menarik wajahnya sebentar. Memberi jeda pada permainannya yang tidak dibalas oleh Bian. Perempuan itu masih dengan posisi kepala miring memberikan senyuman smrik pada Bian.Ditantang sepe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status