Share

BAB 5

Ajeng risau dan takut dengan kondisi papanya, yang tiba-tiba memburuk. Dia bersikukuh untuk tetap berada di rumah sakit. Bian berusaha menenangkan dan berhasil membujuk Ajeng untuk pulang bersamanya.

“Kamu tenang saja, Dokter Abdi adalah dokter terbaik di rumah sakit itu. Papamu pasti mendapat perawatan yang terbaik,” ucap Bian begitu mereka masuk ke dalam mobil.

“Yakin tu dokter enggak akan mencelakai papa?” sinis Ajeng. Terus terang dia menaruh curiga pada Bian. Karena percakapannya dengan seseorang tadi terdengar ganjil. Mungkin saja laki-laki yang baru menjadi suaminya itu, ada kaitannya dengan kesehatan papanya.

Bian menoleh menatap Ajeng dan perempuan itu balas menatapnya. Mereka berdua saling diam sejenak.

“Capek. Buruan pulang!” Ajeng mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin Bian curiga kepadanya.

Dalam perjalanan, Ajeng dan Bian sempat berdebat ke mana mereka akan pulang. Ajeng bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Sama halnya dengan Bian yang juga ingin mengajak Ajeng untuk ke rumahnya.

Sudah menjadi hal yang wajar bukan, setelah menikah mempelai perempuan pulang ke rumah mempelai laki-laki.

“Bisa nggak ngalah dulu?” seru Ajeng kemudian memutar bola matanya dengan malas.

“Untuk menikah saja aku udah dipaksa sama papaku. Dan sekarang juga mau maksa aku buat pulang ke rumahmu?” sengit Ajeng. Kedua tangannya dilipat di dada.

Benar apa kata Ajeng. Saat ini perempuan itu sedang tidak bisa berkutik. Mau sekarang atau nanti, toh Bian tetap harus membawa Ajeng ke rumahnya. Maka dari itu, untuk sekarang Bian mengalah membiarkan Ajeng pulang ke rumahnya sendiri.

Begitu memasuki garasi rumah, Ajeng tampak girang. Rasanya seperti sudah berhari-hari meninggalkan rumah bak istana baginya.

“Bi Atik? Buatin jus Alpukat!” teriak Ajeng begitu memasuki ruang tamu.

“Bi Atik enggak ada. Kamu buat sendiri saja,” sahut Bian yang tiba-tiba sudah berada di belakang Ajeng.

“Ngapain kamu ikut masuk?” sewot Ajeng, tidak suka dengan keberadaan Bian di sana.

“Lupa? Aku sekarang menantu di rumah ini.” Bian tidak kalah sewot.

Ajeng melengos, menganggap keberadaan Bian tidak ada.

“Mang Adi? Buatin–“

“Mang Adi juga enggak ada!” Bian memotong sebelum Ajeng menyelesaikan ucapannya.

Ajeng menatap heran Bian.

“Aku yang meminta mereka berdua agar pulang kampung. Mulai sekarang jika butuh sesuatu kamu kerjakan sendiri.” Bian memberi penjelasan sebelum Ajeng bertanya lebih lanjut.

“What?” Ajeng berkacak pinggang. Mulutnya membuka lebar. Heran dan kesal, belum ada satu hari Bian menjadi suaminya. Laki-laki itu sudah sok berkuasa.

“Siapa kamu seenaknya—“

“Ah, katanya tadi mau buat jus, kan? Sekalian buatkan untukku. Aku mau ke kamar om Himawan dulu, ambil dokumen. “ Lagi Bian memotong ucapan Ajeng. Laki-laki itu membalikkan badan, menuju ke kamar Himawan di lantai atas.

“Kamu ...” Ajeng meneriaki Bian. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat seolah sedang meremas tubuh suami barunya itu.

Bian tersenyum penuh kemenangan. Tanpa Ajeng ketahui,

Himawan memang sudah memberikan wewenang kepada Bian atas rumah itu. Dia boleh melakukan apa saja dan memberikan perintah kepada semua yang bekerja di rumah Himawan. Termasuk dua pembantu yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah itu, Bi Atik dan Mang Adi.

Ajeng jelas tidak terima dengan Bian yang bersikap bak bos di rumahnya. Dia berniat mendatangi laki-laki itu untuk membuat perhitungan.

Akan tetapi, perutnya lebih dulu protes. Sedari pagi bangun dari hotel, lalu pergi ke rumah sakit. Hingga sore ini Ajeng sama sekali belum makan. Apa boleh buat, hal itu menuntunnya untuk pergi ke dapur lebih dulu. Mencari sesuatu yang bisa dipakai mengganjal perut.

Melihat tudung saji di meja makan, Ajeng semringah. Sayang, tidak ada apa-apa di baliknya. Hanya ada mangkuk kosong yang di tumpuk dengan rapi. Ajeng lalu beralih ke lemari pendingin. Kebetulan ada buah favoritnya, alpukat.

“Gimana cara bikin jusnya?” Ajeng berdecak kesal. Satu tangannya masih memegang pintu lemari pendingin.

Selama ini Ajeng terbiasa dilayani, bahkan untuk membuat jus saja dia tidak tahu bagaimana caranya.

Bian diam-diam mengawasi dari jauh. Masuk ke dalam kamar Himawan hanya alibi. Sengaja ingin mengerjai Ajeng saja.

“Masa sih, bikin jus saja tidak bisa.” Ajeng lalu mengambil satu alpukat dan mengupasnya. Memutuskan untuk membuat jus sendiri. Butuh waktu la baginya untuk mengupas buah itu, sampai jarinya tergores oleh pisau.

“Aduh!” pekik Ajeng.

Bian hampir saja ingin menghampiri Ajeng. Mengecek apakah perempuan itu baik-baik saja. Sesungguhnya Bian tidak tega melihat Ajeng membuat jus sendiri. Mengingat istrinya itu adalah anak yang manja.

Namun, jika teringat akan dendam yang disimpan. Bian harus berlaku kejam pada Ajeng.

“Ah bodoh! Kenapa harus dikupas. Harusnya dibelah saja kemudian keruk dagingnya.” Ajeng memukul kepala sendiri. Baru sadar kalau caranya salah.

Bian sempat menahan tawa, melihat Ajeng menyadari kesalahannya. Tetapi cepat-cepat bersikap biasa saja, seolah tidak melihat kejadian tadi.

“Not badlah, buat jus sendiri.” Ajeng berbangga diri setelah berhasil.

Dia hendak menuangkan jus ke dalam gelas. Bukan sembarang gelas, melainkan gelas kesayangan miliknya. Dan ternyata gelas itu di tata di lemari bagian atas. Ajeng berjinjit berusaha meraih gelas tersebut tapi tangannya tidak sampai.

Bian melangkah maju, ingin membantu Ajeng. Tapi, perempuan itu lebih dulu berhasil menggapainya.

Sebuah insiden kecil terjadi. Tangan Ajeng meleset membawanya turun ke bawah, membuat gelasnya terjatuh.

Bian berlari, tangannya meraih gelas itu sebelum menyentuh lantai.

“Ceroboh!” ucap Bian. Ajeng terkesiap karena kehadiran Bian yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

“Mana?” Ajeng mengulurkan tangan.

Bukannya memberikan gelasnya pada Ajeng. Bian justru menuangkan jus untuknya sendiri kemudian meneguknya hingga habis.

“Makasih udah dibuatin.” Bian meletakkan gelas, lalu memberi seringaian.

“Bian!” teriak Ajeng. Karena sudah terlalu kesal, perempuan itu mengepalkan tangan, melayangkan tepat di wajah Bian.

Laki-laki itu dengan sigap menangkap pergelangan tangan Ajeng, mencengkeramnya dengan erat. Membuat Ajeng kesakitan.

“Jangan coba-coba melawanku! Atau kamu sendiri yang akan terluka!” Bian memberi peringatan. Ajeng sama sekali tidak takut, memberontak agar tangannya bisa lepas.

Bian semakin mempererat genggamannya.

“Jangan manja! Jangan jadi tukang perintah lagi! Karena aku yang akan memerintahmu!” Bian menatap Ajeng dengan serius.

Mendengar perkataan Bian. Ajeng semakin yakin, kalau laki-laki itu mempunyai niat yang tidak baik. Bian pasti punya maksud lain kenapa dia mau menikahinya. Apalagi kalau bukan harta papanya.

“Siapa yang mau menuruti perintahmu? Aku? Jangan harap!” Ajeng tersenyum miring, menatap benci pada suami barunya itu.

Dengan sekuat tenaga Ajeng menginjak kaki Bian, hingga akhirnya terpaksa melepas genggamannya.

Ajeng memberikan tatapan mengejek pada Bian. Kemudian melesat pergi dari dapur. Ajeng masuk ke dalam kamar, membanting pintunya dengan keras, sengaja agar Bian mendengar. Perempuan itu terpaksa menahan lapar karena belum jadi memasukkan apa pun ke dalam mulutnya. Ajeng meringkuk di ranjang miliknya. Mendekap guling kesayangan.

Saat itu juga rasa rindu kepada papanya sangat besar. Ajeng baru merasakan betapa dia sangat menginginkan papanya berada di sisinya saat ini. Ajeng merasa takut kalau Bian benar-benar memiliki rencana jahat, baik kepadanya maupun kepada papanya.

“Papa, cepat sembuh!” rengek Ajeng. Air matanya mengalir.

Sedangkan Bian masih berdiri di dapur, menatap gelas yang kosong miliknya. Jauh di lubuk hati, Bian merasa tidak seharusnya bersikap kasar kepada Ajeng. Hanya karena benci kepada Himawan, dia melampiaskan kepada anaknya.

Mau bagaimana lagi, tetap harus tega karena tujuannya memang membuat sengsara Ajeng. Agar setimpal dengan apa yang dirasakannya selama ini.

Mengingat kembali pertemuannya dengan Danu beberapa waktu yang lalu. Bian mengetahui sebuah fakta bahwa yang membuat orang tuanya meninggal adalah Himawan. Laki-laki yang kini menjadi mertuanya itu, sengaja menjebak kedua orang tuanya dalam peristiwa kebakaran sepuluh tahun yang lalu.

Hal itu dilakukan Himawan, agar bisa menguasai sepenuhnya kepemilikan pabrik furniture yang didirikan bersama orang tua Bian.

Bian sangat kecewa dan terluka. Orang yang selama ini dianggap sebagai penyelamat hidup ternyata adalah pembunuh kedua orang tuanya.

“Baiklah, Himawan. Kamu yang memulai semua ini,” gumam Bian. Dia melangkah jauh dari dapur. Setelah sampai di ruang tamu, Bian merogoh ponsel di saku celana dan menghubungi Danu. Matanya menatap kamar Ajeng yang berada di lantai dua.

“Om Danu? Lakukan sesuai rencana. Dia harus merasakan apa yang orang tuaku rasakan. Nyawa dibalas dengan nyawa,” ucap Bian. Satu tangannya mengepal kuat-kuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status