"Bunda, aku punya ide bagus. Kita jual rumah ini, terus kabur ke luar kota."
Mentari sedang pusing karena ulah Ranggi. Sekarang dia harus mendengar rencana Sasi yang kalau dipikir-pikir, boleh juga. Mentari seketika tertawa."Kamu senang kita jadi kaya mendadak?" tanya Mentari."Senang, dong, Bunda, apalagi aku sudah punya tabungan seratus juta lebih."Mentari lantas memukul lengan Sasi memakai tempat pensil milik gadis itu."Ranggi benar-benar gila." Mentari membaca lagi sertifikat rumah ini. Tertera nama lengkapnya di sana."Bucin itu. Terima sajalah, Bun. Aku yakin Om Ranggi juga bersedia dadanya dibelah buat diambil jantungnya."Mentari kembali tertawa. Jika sudah seperti ini, dia bisa apa? Ranggi tidak akan menyerah sampai Mentari menerimanya."Jadi Bunda harus mengiyakan lamaran Ranggi?""Tidak harus, sih, Bun. Tapi coba Bunda pikirkan lagi. Di luar sana masih sangat banyak perempuan yang lebih muda, juga cantik. Om Ranggi malah mengejar cinta Bunda sampai rela memberikan segalanya."Konon, perempuan jika sulit didapat, justru semakin membuat pria penasaran. Bagaimana jika Ranggi hanya ingin memuaskan rasa penasarannya saja? Setelah dia berhasil memperoleh apa yang dia inginkan, Mentari akan langsung dicampakkan.Satu-satunya cara untuk membuktikan hal itu adalah membuat Ranggi merasa menang. Maka dari itu Mentari tidak boleh memberikan hatinya sampai Ranggi terbukti tulus mencintainya.Paguyuban Istri Takut Ditinggal Suami juga sudah mulai meragukan ucapan Ranggi waktu itu. Mereka mendesak Mentari segera mengabarkan kapan tanggal pernikahannya akan dilangsungkan.Baiklah. Mentari akan membuat keputusan. Namun, sebelum itu, Mentari tetap harus berdoa meminta petunjuk dulu. Setelah hatinya yakin, Mentari baru memberi tahu Ranggi perihal jawabannya."Wah, Mbak Tari serius?" Ranggi berseru heboh. Dia sampai berdiri dengan kedua tangan mengampu bobot tubuhnya di meja.Mentari mengangguk. "Serius, Ranggi.""Akhirnya!" teriak pria itu sambil menonjok udara.Ranggi lalu melakukan sujud syukur. Mentari menunggunya dengan sabar. Akan tetapi, dua menit kemudian, Ranggi belum juga bangun."Ranggi," panggil Mentari.Tidak ada jawaban."Ranggi!" Mentari menaikkan intonasi suaranya."Apa jangan-jangan kena serangan jantung?" Sasi membungkuk di dekat Ranggi. Namun, justru dia yang dibuat jantungan saat Ranggi tiba-tiba berlutut.Mentari juga tidak kalah terkejut. Dia terperangah melihat wajah Ranggi yang banjir air mata.Sasi spontan menepuk jidat. "Lebay banget, deh, Om!""Kamu tidak tahu perasaanku, Sasi!" Pria itu menjawab di sela isak tangis. "Akhirnya setelah belasan purnama ...."Mentari mendengkus. "Kalau nangisnya sudah selesai, mari kita bicarakan soal persiapan."Ranggi kembali duduk di sofa, kemudian berujar, "Aku kebagian biayanya saja. Untuk urusan lainnya, aku serahkan ke Mbak Tari.""Pokoknya semua orang harus tahu Bunda menikah dengan laki-laki muda ganteng dan sukses. Pestanya harus meriah," ucap Sasi berapi-api.Namun, Mentari justru menginginkan yang sebaliknya. "Bunda mau pernikahan yang biasa saja.""Mana boleh?" Saking bersemangat, Sasi sampai menggebrak meja. "Bunda harus merasakan jadi ratu sehari.""Aku setuju dengan Sasi."Keduanya lantas melakukan high five jarak jauh."Sayang uangnya."Ranggi sontak menyahut, "Uangku tidak ada artinya dibanding kebahagiaan Mbak Tari."Sasi sontak bersiul.Mereka memutuskan menyewa WO. Pernikahan akan dilangsungkan setelah Sasi menerima surat kelulusan. Namun, sebelum itu, Mentari harus bertemu dengan satu-satunya keluarga Ranggi yang ada di kota ini. Reta, keponakannya.Reta masih berusia 17 tahun. Dia berada di bawah pengasuhan Ranggi sejak ibunya meninggal. Sedangkan ayah gadis itu sama sekali tidak diceritakan oleh Ranggi. Mentari juga tidak bertanya lebih jauh."Reta, ya? Salam kenal," ucap Mentari ramah sambil mengulurkan tangan.Gadis itu menjabat tangan Mentari. Melalui sorot matanya dia terlihat jelas sedang memperhatikan Mentari dari kepala sampai kaki."Secara fisik masih masuk untuk seorang janda yang punya anak kelas tiga SMP," ujar Reta santai seraya manggut-manggut. "Berapa umur Tante?""Hei!" Ranggi langsung berseru."Saya 34 tahun," jawab Mentari."Itu artinya Tante masih remaja saat punya anak."Ranggi sontak membekap mulut keponakannya. "Maaf, Mbak," ucap pria itu penuh penyesalan.Ranggi bilang jika Reta tidak akan mempermasalahkan babat, bebet, dan bobot. Namun, mulut gadis itu ternyata tajam juga.Mentari memang masih 18 tahun saat dia mendapati dirinya tengah mengandung. Apa yang terjadi saat itu tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, Mentari tidak pernah menyesali keberadaan Sasi yang sekarang menjadi penguatnya."Tante itu janda cerai, atau janda ditinggal mati?" tanya Reta yang lagi-lagi membuat Ranggi harus menutup mulutnya.Paman dan keponakan itu lalu beradu pandang. Mereka seolah sedang berdebat lewat sorot mata. Reta akhirnya bisa membebaskan diri setelah menyodok perut Ranggi dengan sikunya."Om harus tahu masa lalu perempuan yang akan Om nikahi," ucap gadis itu."Aku tidak perlu tahu. Aku akan menerimanya apapun itu," balas Ranggi sengit."Bagaimana kalau ada masalah di masa lalu yang muncul lagi di masa sekarang? Minimal Om harus tahu, jadi Om sudah siap menghadapinya. Kalau bucin itu jangan keterlaluan bodohnya, dong, Om!"Ucapan Reta barusan berhasil membuat Mentari terperanjat. Ada beberapa masalah yang memang Mentari tinggalkan tanpa penyelesaian di masa lalu. Mentari terus berlari ke depan, tidak sekalipun menoleh ke belakang. Dia hanya berharap masalah itu tidak berhasil mengejarnya."Masalah apa? Jangan overthinking dan paranoid!" kata Ranggi."Baiklah, lupakan soal masalah. Jawab dulu pertanyaanku yang tadi." Reta kembali menatap Mentari dengan tatapan menyelidiknya. "Seharusnya, sih, mudah. Kalau Tante kesusahan, artinya memang ada sesuatu.""Aduh, bocil satu ini!" Wajah Ranggi memerah menahan malu."Siapa tahu Tante Tari itu statusnya masih jadi istri orang yang kabur kayak di novel-novel.""Tidak mungkinlah! Makanya jangan kebanyakan baca novel.""Diam dulu, deh, Om. Kenapa juga Tante belum jawab?" Reta memicing curiga.Mentari menelan ludah. Faktanya, pertanyaan itu memang sulit. Dia harus menjawab apa? Janda cerai, atau janda mati? Bagaimana jika Mentari itu bukan keduanya?"Bunda, jawab saja," ucap Sasi pelan sambil mengelus lengan Mentari."Kalau janda cerai aku pengin lihat akta cerainya. Kalau janda mati aku juga pengin lihat akta kematian mantan suaminya," pinta Reta."Reta, please." Ranggi memelas."Tidak usah berpura-pura, Om. Aku tahu Om sebenarnya juga penasaran.""Memangnya kalau bercerai atau meninggal, ada aktanya, ya?" tanya Sasi polos.Reta sontak mengerutkan kening. "Iyalah! Kamu baru tahu?"Sasi mengangguk. Dia lalu mendongak menatap Mentari. "Bunda punya akta perceraian dengan Ayah, kan?"Selama ini Sasi hanya tahu jika Mentari sudah bercerai dengan ayahnya saat gadis itu masih sangat kecil. Hubungan keduanya tidak direstui, lalu memutuskan kawin lari. Namun, pada akhirnya mereka menyerah dengan keadaan. Sang ayah sudah menikah lagi dan tinggal di luar negeri.Sasi memercayai hal itu. Dia tidak bertanya lagi soal ayahnya seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, Reta yang mendesak Mentari agar memperlihatkan bukti perceraian mereka membuat Sasi ingin mengetahuinya juga."Bunda?" Anak itu menunggu Mentari memberi jawaban.Mentari menghela napas sambil memejam sesaat. "Akta perceraiannya tidak tahu ketinggalan di mana. Keseringan pindah membuat Bunda sering melupakan barang," jawabnya."Artinya Tante janda cerai, kan? Bilang begitu saja susah banget," ucap Reta.Tidak bisa dipungkiri jika Mentari kurang menyukai kemenakan Ranggi itu. Mentari mengatatkan rahang, menahan kesal. Sementara Ranggi hanya mengatupakan kedua tangannya dengan wajah memelas."Tante mungkin berpikir
"Tari, kamu menganggap kami ini apa? Kenapa kamu tidak mengatakan apa pun?"Nawang menangis tersedu-sedu setelah mengetahui fakta jika Mentari pergi dari rumahnya karena ingin menyembunyikan kehamilan. Nawang sedikit kecewa karena Mentari memilih minggat alih-alih terbuka kepadanya."Apa yang harus Tante katakan kepada ibumu?"Sang adik angkat, Harsya, sudah menitipkan Mentari kepadanya. Nawang menganggap Mentari seperti putrinya sendiri. Mengetahui Mentari menjalani kehidupan yang sulit, Nawang tidak memiliki keberanian jika dia bertemu dengan Harsya di akhirat nanti.Sementara itu Mentari tetap bergeming. Dia tidak menyangka rahasia ini terbongkar juga. Pagi-pagi Bentala dan Nawang sudah datang berkunjung hanya untuk mengonfirmasi hal ini. Mentari belum sempat bertanya dari mana mereka tahu soal itu dan alamat rumahnya karena Nawang lebih dulu menyerangnya dengan pertanyaan."Tari, laki-laki bejat mana yang sudah menyusahkan hidupmu?" N
"Kak Ben ... tolong ... jangan."Bentala seketika membuka kelopak matanya. Dia tidak sedang bermimpi, melainkan mengingat sesuatu yang selalu dia yakini sebagai mimpi. Bunga tidur yang anehnya tidak bisa Bentala lupakan meskipun kilasan itu samar dan hanya sebagian."Tapi, suara Tari begitu nyata," ucapnya.Bentala segera menggeleng mengenyahkan keyakinan itu. Bermimpi menyentuh Mentari adalah hal yang sangat memalukan. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi tetap saja. Mentari sudah seperti adiknya sendiri.Ya, adik. Kenyataan yang membuat Bentala bimbang bertahun silam.Rasa sayangnya kepada Mentari bukan rasa sayang dari kakak kepada adiknya. Bentala menyadari hal itu. Namun, hubungan mereka tidak bisa berkembang, terlebih Bentala sudah dijodohkan dengan anak perempuan sahabat ayahnya. Jika Bentala menolak, maka ikatan persahabatan dua keluarga akan dipertaruhkan."Mas Tala!"Pria itu menoleh. Dia lalu
"Sasi putriku, kan, Tari? Kami memiliki banyak kesamaan," ucap Bentala. "Kamu tidak perlu menyembunyikannya. Sasi berhak tahu siapa ayahnya, terlebih aku sudah ada di sini.""Apa Kak Ben akan memberi tahu Sasi kalau dia lahir di luar pernikahan?" tanya Mentari. Dadanya terasa sesak saat mengatakan hal itu."Bukankah itu sama saja? Kamu membuat tokoh fiksi menjadi ayahnya Sasi. Kamu membuatnya dalam kebingungan karena Sasi sudah mengendus kebohongan kamu."Perempuan itu membelalak. Kasihan sekali putrinya. Mentari sengaja membuat kebohongan seperti itu demi menyelamatkan nama baiknya dan Sasi. Berpura-pura menjadi janda saja dia sering dipandang rendah, apalagi jika mereka tahu Mentari memiliki anak tanpa menikah."Tari?"Mentari menghela napas panjang. Dia sudah berusaha agar fakta ini tidak terungkap. Namun, Sasi dan Bentala ditakdirkan untuk mengetahui identitas masing-masing."Iya. Sasi darah daging Kak Ben," jawab Mentari pas
"Halo, Mbak Tari." Ranggi menyapa hangat.Pria itu sudah lebih dulu memberi tahu Mentari perihal kedatangannya ke rumah. Namun, tetap saja Mentari sedikit terkejut saat mendapati Ranggi di hadapannya. Mungkin karena sejak kemarin dia memikirkan Ranggi."Di luar saja, ya, Ranggi. Sasi sedang tidak ada.""Oh, dia belum pulang?"Mentari menggeleng. Tadi Sasi izin ingin menemui Bentala di restoran.Mentari lantas kembali ke dalam untuk membawakan tamunya minuman dan camilan. Keduanya duduk di anak tangga. Tidak bersisian. Ranggi berada tiga langkah di bawah dari posisi Mentari."Hal apa yang ingin kamu bicarakan itu?" tanya Mentari sambil menggenggam cangkir berisi teh rosemary."Bukannya Mbak Tari yang memiliki sesuatu untuk dikatakan kepadaku?" Ranggi justru balik bertanya."Saya?" Mentari tampak heran. Jelas karena dalam pesannya Ranggi mengatakan jika dia ingin membicarakan sesuatu."Iya, Mbak. Soal ren
"Tante menyayangkan keputusan kamu, Tari," ujar Nawang.Jangan tanya seperti apa reaksinya saat Nawang tahu yang membuat Mentari hamil adalah putranya sendiri. Nawang sangat marah, bahkan tidak ragu menampar Bentala. Yang bisa meredakan emosinya saat itu adalah Sasi."Kenapa kamu tidak membiarkan Ben bertanggung jawab?"Mentari meraih kedua tangan Nawang. Dia lalu tersenyum. "Kak Ben bertanggung jawab saja kepada Sasi. Tari sudah memilih Ranggi, Tante."Nawang menghela napas. Meskipun Nawang sangat ingin Bentala yang menikahi Mentari agar bisa menjaga dan membahagiakannya. Akan tetapi, Nawang tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya berharap pria pilihan Mentari memang tepat untuknya.Mentari lalu menoleh Sasi yang masih berwajah masam."Bulanku, kamu menyaksikan sendiri sebesar apa cinta Ranggi pada Bunda, kan?"Sasi tidak menjawab. Anak itu justru membuang muka."Restui Bunda, ya, Sayang."Mentari yang sudah memakai gaun pengantin memeluk putrinya dan mendaratkan kecupan singkat di pipi
"Sudah boleh mengatakan hal selain nama kamu, kan?" tanya Mentari setelah hari berganti menurut perhitungan masehi.Dengan mata terpejam Ranggi menjawab, "Mbak sudah mengucapkan hal lain saat bertanya."Mentari tertawa pelan. "Artinya boleh, kan?"Pria itu membuka kelopak matanya, lalu menggeleng. "Belum, Mbak. Waktu subuh saja masih sangat lama."Ya ampun! Mentari menghela napas lelah. "Saya sudah tidak memiliki tenaga, Ranggi."Ranggi mengangguk. Tangannya terulur mengusap kening Mentari yang berkeringat. "Istirahat sebentar. Nanti kita lanjut lagi," ucap pria itu, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan.Mentari sudah lelah. Namun, dia tidak melontarkan protes. Dia membiarkan Ranggi memeluknya erat. Mentari bisa merasakan cinta dan kasih sayang yang besar dari sana. Sebuah rasa yang tidak pernah Mentari dapatkan dari pria yang sudah ditemuinya selama ini.Ranggi bukan pria hidung belang yang hanya tergoda karena kemole
"Sunshine, aku minta maaf," ucap Ranggi benar-benar merasa bersalah.Mentari mendengkus. Dia meletakkan secara kasar plastik segitiga berisi krim warna hijau ke meja. "Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Tidak usah pakai cium-cium segala! Dekorasinya jadi hancur, kan?" Perempuan itu menatap sang suami dengan sorot mata marah.Ranggi sontak terperangah. Dia tidak menyangka Mentari akan semarah itu. "Kamu tinggal memperbaikinya, Sunshine."Jawaban Ranggi justru membuat Mentari semakin kesal. Bagaimana tidak? Perempuan itu sedang membuat daun di bagian atas kue. Akan tetapi, karena Ranggi menyenggolnya, krim warna hijau itu mengenai bagian pinggir kue yang sudah dilapisi krim putih dan ada hiasan krim lain berwarna pink."Memperbaiki tidak semudah merusaknya, Ranggi!" kata Mentari ketus. "Sasi bahkan tidak pernah mengacau seperti ini." Perempuan itu bergumam. Namun, Ranggi masih bisa mendengarnya.Ranggi berdecak. Kenapa Mentari harus membandi