Share

04. Dipertanyakan

"Bunda, aku punya ide bagus. Kita jual rumah ini, terus kabur ke luar kota."

Mentari sedang pusing karena ulah Ranggi. Sekarang dia harus mendengar rencana Sasi yang kalau dipikir-pikir, boleh juga. Mentari seketika tertawa.

"Kamu senang kita jadi kaya mendadak?" tanya Mentari.

"Senang, dong, Bunda, apalagi aku sudah punya tabungan seratus juta lebih."

Mentari lantas memukul lengan Sasi memakai tempat pensil milik gadis itu.

"Ranggi benar-benar gila." Mentari membaca lagi sertifikat rumah ini. Tertera nama lengkapnya di sana.

"Bucin itu. Terima sajalah, Bun. Aku yakin Om Ranggi juga bersedia dadanya dibelah buat diambil jantungnya."

Mentari kembali tertawa. Jika sudah seperti ini, dia bisa apa? Ranggi tidak akan menyerah sampai Mentari menerimanya.

"Jadi Bunda harus mengiyakan lamaran Ranggi?"

"Tidak harus, sih, Bun. Tapi coba Bunda pikirkan lagi. Di luar sana masih sangat banyak perempuan yang lebih muda, juga cantik. Om Ranggi malah mengejar cinta Bunda sampai rela memberikan segalanya."

Konon, perempuan jika sulit didapat, justru semakin membuat pria penasaran. Bagaimana jika Ranggi hanya ingin memuaskan rasa penasarannya saja? Setelah dia berhasil memperoleh apa yang dia inginkan, Mentari akan langsung dicampakkan.

Satu-satunya cara untuk membuktikan hal itu adalah membuat Ranggi merasa menang. Maka dari itu Mentari tidak boleh memberikan hatinya sampai Ranggi terbukti tulus mencintainya.

Paguyuban Istri Takut Ditinggal Suami juga sudah mulai meragukan ucapan Ranggi waktu itu. Mereka mendesak Mentari segera mengabarkan kapan tanggal pernikahannya akan dilangsungkan.

Baiklah. Mentari akan membuat keputusan. Namun, sebelum itu, Mentari tetap harus berdoa meminta petunjuk dulu. Setelah hatinya yakin, Mentari baru memberi tahu Ranggi perihal jawabannya.

"Wah, Mbak Tari serius?" Ranggi berseru heboh. Dia sampai berdiri dengan kedua tangan mengampu bobot tubuhnya di meja.

Mentari mengangguk. "Serius, Ranggi."

"Akhirnya!" teriak pria itu sambil menonjok udara.

Ranggi lalu melakukan sujud syukur. Mentari menunggunya dengan sabar. Akan tetapi, dua menit kemudian, Ranggi belum juga bangun.

"Ranggi," panggil Mentari.

Tidak ada jawaban.

"Ranggi!" Mentari menaikkan intonasi suaranya.

"Apa jangan-jangan kena serangan jantung?" Sasi membungkuk di dekat Ranggi. Namun, justru dia yang dibuat jantungan saat Ranggi tiba-tiba berlutut.

Mentari juga tidak kalah terkejut. Dia terperangah melihat wajah Ranggi yang banjir air mata.

Sasi spontan menepuk jidat. "Lebay banget, deh, Om!"

"Kamu tidak tahu perasaanku, Sasi!" Pria itu menjawab di sela isak tangis. "Akhirnya setelah belasan purnama ...."

Mentari mendengkus. "Kalau nangisnya sudah selesai, mari kita bicarakan soal persiapan."

Ranggi kembali duduk di sofa, kemudian berujar, "Aku kebagian biayanya saja. Untuk urusan lainnya, aku serahkan ke Mbak Tari."

"Pokoknya semua orang harus tahu Bunda menikah dengan laki-laki muda ganteng dan sukses. Pestanya harus meriah," ucap Sasi berapi-api.

Namun, Mentari justru menginginkan yang sebaliknya. "Bunda mau pernikahan yang biasa saja."

"Mana boleh?" Saking bersemangat, Sasi sampai menggebrak meja. "Bunda harus merasakan jadi ratu sehari."

"Aku setuju dengan Sasi."

Keduanya lantas melakukan high five jarak jauh.

"Sayang uangnya."

Ranggi sontak menyahut, "Uangku tidak ada artinya dibanding kebahagiaan Mbak Tari."

Sasi sontak bersiul.

Mereka memutuskan menyewa WO. Pernikahan akan dilangsungkan setelah Sasi menerima surat kelulusan. Namun, sebelum itu, Mentari harus bertemu dengan satu-satunya keluarga Ranggi yang ada di kota ini. Reta, keponakannya.

Reta masih berusia 17 tahun. Dia berada di bawah pengasuhan Ranggi sejak ibunya meninggal. Sedangkan ayah gadis itu sama sekali tidak diceritakan oleh Ranggi. Mentari juga tidak bertanya lebih jauh.

"Reta, ya? Salam kenal," ucap Mentari ramah sambil mengulurkan tangan.

Gadis itu menjabat tangan Mentari. Melalui sorot matanya dia terlihat jelas sedang memperhatikan Mentari dari kepala sampai kaki.

"Secara fisik masih masuk untuk seorang janda yang punya anak kelas tiga SMP," ujar Reta santai seraya manggut-manggut. "Berapa umur Tante?"

"Hei!" Ranggi langsung berseru.

"Saya 34 tahun," jawab Mentari.

"Itu artinya Tante masih remaja saat punya anak."

Ranggi sontak membekap mulut keponakannya. "Maaf, Mbak," ucap pria itu penuh penyesalan.

Ranggi bilang jika Reta tidak akan mempermasalahkan babat, bebet, dan bobot. Namun, mulut gadis itu ternyata tajam juga.

Mentari memang masih 18 tahun saat dia mendapati dirinya tengah mengandung. Apa yang terjadi saat itu tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, Mentari tidak pernah menyesali keberadaan Sasi yang sekarang menjadi penguatnya.

"Tante itu janda cerai, atau janda ditinggal mati?" tanya Reta yang lagi-lagi membuat Ranggi harus menutup mulutnya.

Paman dan keponakan itu lalu beradu pandang. Mereka seolah sedang berdebat lewat sorot mata. Reta akhirnya bisa membebaskan diri setelah menyodok perut Ranggi dengan sikunya.

"Om harus tahu masa lalu perempuan yang akan Om nikahi," ucap gadis itu.

"Aku tidak perlu tahu. Aku akan menerimanya apapun itu," balas Ranggi sengit.

"Bagaimana kalau ada masalah di masa lalu yang muncul lagi di masa sekarang? Minimal Om harus tahu, jadi Om sudah siap menghadapinya. Kalau bucin itu jangan keterlaluan bodohnya, dong, Om!"

Ucapan Reta barusan berhasil membuat Mentari terperanjat. Ada beberapa masalah yang memang Mentari tinggalkan tanpa penyelesaian di masa lalu. Mentari terus berlari ke depan, tidak sekalipun menoleh ke belakang. Dia hanya berharap masalah itu tidak berhasil mengejarnya.

"Masalah apa? Jangan overthinking dan paranoid!" kata Ranggi.

"Baiklah, lupakan soal masalah. Jawab dulu pertanyaanku yang tadi." Reta kembali menatap Mentari dengan tatapan menyelidiknya. "Seharusnya, sih, mudah. Kalau Tante kesusahan, artinya memang ada sesuatu."

"Aduh, bocil satu ini!" Wajah Ranggi memerah menahan malu.

"Siapa tahu Tante Tari itu statusnya masih jadi istri orang yang kabur kayak di novel-novel."

"Tidak mungkinlah! Makanya jangan kebanyakan baca novel."

"Diam dulu, deh, Om. Kenapa juga Tante belum jawab?" Reta memicing curiga.

Mentari menelan ludah. Faktanya, pertanyaan itu memang sulit. Dia harus menjawab apa? Janda cerai, atau janda mati? Bagaimana jika Mentari itu bukan keduanya?

"Bunda, jawab saja," ucap Sasi pelan sambil mengelus lengan Mentari.

"Kalau janda cerai aku pengin lihat akta cerainya. Kalau janda mati aku juga pengin lihat akta kematian mantan suaminya," pinta Reta.

"Reta, please." Ranggi memelas.

"Tidak usah berpura-pura, Om. Aku tahu Om sebenarnya juga penasaran."

"Memangnya kalau bercerai atau meninggal, ada aktanya, ya?" tanya Sasi polos.

Reta sontak mengerutkan kening. "Iyalah! Kamu baru tahu?"

Sasi mengangguk. Dia lalu mendongak menatap Mentari. "Bunda punya akta perceraian dengan Ayah, kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status