Share

05. Dipertemukan

Selama ini Sasi hanya tahu jika Mentari sudah bercerai dengan ayahnya saat gadis itu masih sangat kecil. Hubungan keduanya tidak direstui, lalu memutuskan kawin lari. Namun, pada akhirnya mereka menyerah dengan keadaan. Sang ayah sudah menikah lagi dan tinggal di luar negeri.

Sasi memercayai hal itu. Dia tidak bertanya lagi soal ayahnya seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, Reta yang mendesak Mentari agar memperlihatkan bukti perceraian mereka membuat Sasi ingin mengetahuinya juga.

"Bunda?" Anak itu menunggu Mentari memberi jawaban.

Mentari menghela napas sambil memejam sesaat. "Akta perceraiannya tidak tahu ketinggalan di mana. Keseringan pindah membuat Bunda sering melupakan barang," jawabnya.

"Artinya Tante janda cerai, kan? Bilang begitu saja susah banget," ucap Reta.

Tidak bisa dipungkiri jika Mentari kurang menyukai kemenakan Ranggi itu. Mentari mengatatkan rahang, menahan kesal. Sementara Ranggi hanya mengatupakan kedua tangannya dengan wajah memelas.

"Tante mungkin berpikir aku cerewet. Tapi, aku melakukan ini demi Om Ranggi. Orang tua dan kakak perempuan yang harus mengurusnya sudah meninggal. Jadi aku yang turun tangan," sambung gadis itu.

Ranggi langsung menyahut. "Mengurus? Apa tidak kebalik?"

Reta sontak pura-pura mengorek kuping menggunakan jari kelingkingnya.

Akhirnya mereka bisa pergi makan malam setelah sempat terjadi ketegangan. Mentari sekarang bisa menyimpulkan jika Reta sebenarnya baik, hanya saja memiliki mulut yang terkadang tidak bisa dijaga.

Reta menyarankan Sasi untuk melanjutkan sekolah di SMA-nya. Dia adalah murid populer, sehingga tidak ada yang akan berani mengganggu Sasi. Reta berjanji Sasi akan berada di bawah perlindungannya.

Mentari cukup lega mendengar hal itu. Sama seperti Mentari, sebagian siswi di sekolah Sasi memusuhinya dengan alasan beragam yang sama sekali bukan kesalahan Sasi.

Makan malam itu seharusnya berjalan lancar. Reta dan Sasi sibuk membicarakan soal sekolah, sementara Ranggi dan Mentari membahas pernikahan mereka. Namun, keempat orang itu seketika merapatkan mulut saat seseorang datang ke meja mereka.

"Ada perlu apa, Mas?" tanya Ranggi.

Pria itu tidak menyahut. Tatapannya justru terkunci kepada Mentari yang juga melebarkan mata.

"Tari," panggilnya dingin. "Akhirnya kita bisa bertemu."

"Kalian saling mengenal?" Ranggi bertanya lagi seraya menoleh calon istrinya. Keterkejutan tampak jelas di wajah perempuan itu.

"Om siapa? Mantan suami Tante Tari?" Reta menebak asal.

"Saya Bentala, kakak sepupunya," jawab pria itu.

"Oalah, sepupu." Reta menghela napas.

Setelah mengatasi keterkejutannya, Mentari bangkit dari kursi. "Kita bicara di tempat lain saja, Kak," ucapnya.

"Kenapa harus di tempat lain? Apa kalian akan membicarakan rahasia yang tidak boleh kita dengar?" Reta menyela sebelum keduanya benar-benar pergi.

Di bawah meja Ranggi menendang pelan kaki keponakannya. Reta itu memang terlalu blakblakan tanpa peduli situasi dan kondisi. Ranggi tidak bisa mengontrol apa saja yang akan keluar dari mulut tajam anak itu.

"Tidak apa-apa, Mbak. Silakan saja," ucap Ranggi.

Mentari tersenyum. "Terima kasih," gumamnya.

Mentari dan Bentala lantas pergi ke luar restoran.

"Benar itu sepupu Tante Tari?" Reta bertanya kepada Sasi.

Sasi mengangguk. "Kayaknya iya."

"Kayaknya?" Reta mengernyit dalam.

"Bunda pernah cerita kalau Bunda punya kakak sepupu. Tapi, aku belum pernah ketemu sampai barusan."

"Kenapa, tuh?" Reta semakin penasaran.

"Konflik keluarga," jawab Sasi.

***

"Kenapa kamu pergi secara tiba-tiba, Tari?"

Bentala akhirnya menghancurkan hening yang sempat memerangkap keduanya.

"Aku sudah memberikan alasan di surat yang aku tinggalkan," jawab Mentari. Pandangannya lurus menatap jalanan di depan.

Dalam suratnya, Mentari menulis jika dia tidak ingin menjadi beban untuk Nawang dan Bentala. Harsya, ibunya Mentari adalah adik angkat Nawang. Harsya meninggal karena jadi korban perampokan saat Mentari masih kecil. Setelah itu Mentari tinggal bersama Nawang.

"Kepergian kamu justru menambah beban pikiran kami. Ibu sampai jatuh sakit."

"Bagaimana kabar Tante Nawang sekarang?"

"Beliau masih berharap kamu pulang."

Mentari lega. Setidaknya Nawang masih ada. Sebenarnya Mentari juga tidak ingin pergi. Namun, keadaan membuat dia harus meninggalkan keluarganya.

"Temuilah Ibu," pinta Ben sedikit memelas. "Sudah enam belas tahun Ibu merindukan kamu."

Jauh di lubuk hatinya, dia juga merindukan Nawang. Namun, apa tidak masalah jika Mentari menemui orang-orang di masa lalunya? Bersinggungan lagi dengan mereka berisiko membuka sesuatu yang selama ini Mentari sembunyikan.

"Tari?"

Mentari menghela napas berat. "Kalian masih tinggal di rumah yang dulu?"

"Tentu saja. Ibu tidak mau pindah karena takut kamu kebingungan saat memutuskan pulang."

Mentari menahan air matanya agar tidak menetes. Dia selalu tahu jika Nawang menyayanginya seperti anak sendiri. Maka dari itu Mentari memilih pergi karena tidak ingin menempatkan beliau dalam posisi yang sulit.

"Aku akan menyempatkan diri menemui Tante Nawang," tutur Mentari.

"Aku boleh tahu siapa mereka?"

Maksud Bentala pasti Ranggi dan anak-anak.

"Calon suamiku dan keponakannya."

"Jadi kamu mau menikah? Ibu pasti senang jika menyaksikan pernikahan kamu nanti."

Mentari mendongak menatap lawan bicaranya. Sorot mata pria itu selalu tidak bisa diartikan.

Mentari lantas mengangguk. Dia kembali ke meja Ranggi setelah menyelesaikan urusannya dengan Bentala. Pria itu ternyata pemilik restoran ini.

"Maaf membuat kalian menunggu," ucap Mentari. Ranggi dan Sasi belum makan, sedangkan Reta sudah menghabiskan setengah hidangannya.

"Tidak ada masalah, kan, Mbak?" tanya Ranggi.

Pria itu tidak sedang menuntut Mentari kembali mengatakan apa yang Mentari bicarakan dengan Bentala. Dia hanya ingin memastikan jika semuanya baik-baik saja.

"Tidak. Kak Ben hanya meminta saya menemui Tante Nawang, ibunya."

"Bunda akan pergi?"

"Iya."

Mungkin tidak apa-apa jika Mentari pergi ke sana sendirian. Bagaimanapun juga Mentari tidak ingin mereka tahu soal Sasi. Namun, Mentari lupa bahwa hidup tidak selalu sesuai dengan rencana manusia.

Pertemuannya dengan Nawang berjalan haru. Mentari masih bisa merasakan kasih sayang dari perempuan paruh baya tersebut. Mentari menghabiskan waktu bernostalgia bersama tantenya itu. Dia tidak tahu jika Sasi di luar sana bertemu juga dengan Bentala.

"Kamu putri Tari?" tanya Bentala dengan mata membelalak.

Sasi sengaja datang ke restoran itu lagi. "Iya, Om."

Wajah gadis itu memang mirip Mentari.

"Jadi, pernikahan yang dimaksud Tari kemarin itu pernikahan keduanya?"

Sasi mengangguk ragu. "Om ... tidak tahu?"

"Tidak."

"Tapi Om pasti tahu pacar Bunda dulu. Bunda bilang, Bunda sempat dilarang pacaran."

Bentala menggeleng. "Setahu Om, Tari tidak punya pacar. Baik Om, atau Ibu tidak pernah melarang Tari pacaran."

Sasi mengangguk lagi.

"Berapa umur kamu?" tanya Bentala.

"Lima belas, Om."

Bentala lantas menghitung mundur usia gadis di hadapannya dengan kepergian Mentari dulu. Dia langsung mendapat kesimpulan. Mentari sedang hamil saat melarikan diri.

Sekarang semuanya sudah jelas. Mentari tidak mungkin meninggalkan rumah hanya karena tidak ingin menjadi beban, apalagi Mentari langsung menghilang seperti ditelan bumi.

"Laki-laki mana yang berani menghamili Tari?" Bentala membatin. Dia spontan mengepalkan tangan.

Bentala merasa gagal menjadi seorang kakak karena membiarkan adiknya berjuang sendirian selama bertahun-tahun.

Bentala lalu menatap Sasi. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata saat tahu jika gadis itu adalah putrinya Tari. "Kamu sengaja menemui Om karena ingin tahu masa lalu ibumu?" tanyanya.

"Iya, Om. Kalau aku tanya langsung ke Bunda, Bunda pasti sedih. Aku jadi tidak tega."

Selama ini Sasi pura-pura percaya dengan semua ucapan ibunya karena tahu ada luka yang akan kembali basah jika Mentari mengatakan yang sebenarnya. Sasi tidak menginginkan hal itu, meskipun dia sangat penasaran ketika menemukan sesuatu yang janggal.

Soal akta perceraian, misalnya. Sasi benar-benar baru tahu tentang itu. Dia lantas mencarinya di internet untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Akta perceraian didapat jika kedua pasangan bercerai secara hukum, sedangkan Mentari pernah mengatakan jika dia dan ayah Sasi hanya menikah siri.

Mentari juga mengaku tidak kembali kepada keluarganya karena keluarganya marah lantaran Mentari memilih kawin lari. Namun, Bentala justru tidak tahu menahu soal itu.

"Kalau masa lalu sebelum ibu kamu pergi, Om bisa ceritakan. Tapi, setelah itu Om benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kepada ibumu."

"Termasuk ayahku?"

"Termasuk ayahmu."

Setelah mendengar kisah hidup Mentari dari Bentala, Sasi mulai ragu jika Ardi adalah ayahnya. Entahlah siapa yang benar. Namun, jika Ardi adalah tokoh fiksi karangan Mentari, lantas siapa ayah Sasi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status