Share

05. Dipertemukan

Author: Noorie
last update Last Updated: 2023-10-13 08:41:43

Selama ini Sasi hanya tahu jika Mentari sudah bercerai dengan ayahnya saat gadis itu masih sangat kecil. Hubungan keduanya tidak direstui, lalu memutuskan kawin lari. Namun, pada akhirnya mereka menyerah dengan keadaan. Sang ayah sudah menikah lagi dan tinggal di luar negeri.

Sasi memercayai hal itu. Dia tidak bertanya lagi soal ayahnya seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, Reta yang mendesak Mentari agar memperlihatkan bukti perceraian mereka membuat Sasi ingin mengetahuinya juga.

"Bunda?" Anak itu menunggu Mentari memberi jawaban.

Mentari menghela napas sambil memejam sesaat. "Akta perceraiannya tidak tahu ketinggalan di mana. Keseringan pindah membuat Bunda sering melupakan barang," jawabnya.

"Artinya Tante janda cerai, kan? Bilang begitu saja susah banget," ucap Reta.

Tidak bisa dipungkiri jika Mentari kurang menyukai kemenakan Ranggi itu. Mentari mengatatkan rahang, menahan kesal. Sementara Ranggi hanya mengatupakan kedua tangannya dengan wajah memelas.

"Tante mungkin berpikir aku cerewet. Tapi, aku melakukan ini demi Om Ranggi. Orang tua dan kakak perempuan yang harus mengurusnya sudah meninggal. Jadi aku yang turun tangan," sambung gadis itu.

Ranggi langsung menyahut. "Mengurus? Apa tidak kebalik?"

Reta sontak pura-pura mengorek kuping menggunakan jari kelingkingnya.

Akhirnya mereka bisa pergi makan malam setelah sempat terjadi ketegangan. Mentari sekarang bisa menyimpulkan jika Reta sebenarnya baik, hanya saja memiliki mulut yang terkadang tidak bisa dijaga.

Reta menyarankan Sasi untuk melanjutkan sekolah di SMA-nya. Dia adalah murid populer, sehingga tidak ada yang akan berani mengganggu Sasi. Reta berjanji Sasi akan berada di bawah perlindungannya.

Mentari cukup lega mendengar hal itu. Sama seperti Mentari, sebagian siswi di sekolah Sasi memusuhinya dengan alasan beragam yang sama sekali bukan kesalahan Sasi.

Makan malam itu seharusnya berjalan lancar. Reta dan Sasi sibuk membicarakan soal sekolah, sementara Ranggi dan Mentari membahas pernikahan mereka. Namun, keempat orang itu seketika merapatkan mulut saat seseorang datang ke meja mereka.

"Ada perlu apa, Mas?" tanya Ranggi.

Pria itu tidak menyahut. Tatapannya justru terkunci kepada Mentari yang juga melebarkan mata.

"Tari," panggilnya dingin. "Akhirnya kita bisa bertemu."

"Kalian saling mengenal?" Ranggi bertanya lagi seraya menoleh calon istrinya. Keterkejutan tampak jelas di wajah perempuan itu.

"Om siapa? Mantan suami Tante Tari?" Reta menebak asal.

"Saya Bentala, kakak sepupunya," jawab pria itu.

"Oalah, sepupu." Reta menghela napas.

Setelah mengatasi keterkejutannya, Mentari bangkit dari kursi. "Kita bicara di tempat lain saja, Kak," ucapnya.

"Kenapa harus di tempat lain? Apa kalian akan membicarakan rahasia yang tidak boleh kita dengar?" Reta menyela sebelum keduanya benar-benar pergi.

Di bawah meja Ranggi menendang pelan kaki keponakannya. Reta itu memang terlalu blakblakan tanpa peduli situasi dan kondisi. Ranggi tidak bisa mengontrol apa saja yang akan keluar dari mulut tajam anak itu.

"Tidak apa-apa, Mbak. Silakan saja," ucap Ranggi.

Mentari tersenyum. "Terima kasih," gumamnya.

Mentari dan Bentala lantas pergi ke luar restoran.

"Benar itu sepupu Tante Tari?" Reta bertanya kepada Sasi.

Sasi mengangguk. "Kayaknya iya."

"Kayaknya?" Reta mengernyit dalam.

"Bunda pernah cerita kalau Bunda punya kakak sepupu. Tapi, aku belum pernah ketemu sampai barusan."

"Kenapa, tuh?" Reta semakin penasaran.

"Konflik keluarga," jawab Sasi.

***

"Kenapa kamu pergi secara tiba-tiba, Tari?"

Bentala akhirnya menghancurkan hening yang sempat memerangkap keduanya.

"Aku sudah memberikan alasan di surat yang aku tinggalkan," jawab Mentari. Pandangannya lurus menatap jalanan di depan.

Dalam suratnya, Mentari menulis jika dia tidak ingin menjadi beban untuk Nawang dan Bentala. Harsya, ibunya Mentari adalah adik angkat Nawang. Harsya meninggal karena jadi korban perampokan saat Mentari masih kecil. Setelah itu Mentari tinggal bersama Nawang.

"Kepergian kamu justru menambah beban pikiran kami. Ibu sampai jatuh sakit."

"Bagaimana kabar Tante Nawang sekarang?"

"Beliau masih berharap kamu pulang."

Mentari lega. Setidaknya Nawang masih ada. Sebenarnya Mentari juga tidak ingin pergi. Namun, keadaan membuat dia harus meninggalkan keluarganya.

"Temuilah Ibu," pinta Ben sedikit memelas. "Sudah enam belas tahun Ibu merindukan kamu."

Jauh di lubuk hatinya, dia juga merindukan Nawang. Namun, apa tidak masalah jika Mentari menemui orang-orang di masa lalunya? Bersinggungan lagi dengan mereka berisiko membuka sesuatu yang selama ini Mentari sembunyikan.

"Tari?"

Mentari menghela napas berat. "Kalian masih tinggal di rumah yang dulu?"

"Tentu saja. Ibu tidak mau pindah karena takut kamu kebingungan saat memutuskan pulang."

Mentari menahan air matanya agar tidak menetes. Dia selalu tahu jika Nawang menyayanginya seperti anak sendiri. Maka dari itu Mentari memilih pergi karena tidak ingin menempatkan beliau dalam posisi yang sulit.

"Aku akan menyempatkan diri menemui Tante Nawang," tutur Mentari.

"Aku boleh tahu siapa mereka?"

Maksud Bentala pasti Ranggi dan anak-anak.

"Calon suamiku dan keponakannya."

"Jadi kamu mau menikah? Ibu pasti senang jika menyaksikan pernikahan kamu nanti."

Mentari mendongak menatap lawan bicaranya. Sorot mata pria itu selalu tidak bisa diartikan.

Mentari lantas mengangguk. Dia kembali ke meja Ranggi setelah menyelesaikan urusannya dengan Bentala. Pria itu ternyata pemilik restoran ini.

"Maaf membuat kalian menunggu," ucap Mentari. Ranggi dan Sasi belum makan, sedangkan Reta sudah menghabiskan setengah hidangannya.

"Tidak ada masalah, kan, Mbak?" tanya Ranggi.

Pria itu tidak sedang menuntut Mentari kembali mengatakan apa yang Mentari bicarakan dengan Bentala. Dia hanya ingin memastikan jika semuanya baik-baik saja.

"Tidak. Kak Ben hanya meminta saya menemui Tante Nawang, ibunya."

"Bunda akan pergi?"

"Iya."

Mungkin tidak apa-apa jika Mentari pergi ke sana sendirian. Bagaimanapun juga Mentari tidak ingin mereka tahu soal Sasi. Namun, Mentari lupa bahwa hidup tidak selalu sesuai dengan rencana manusia.

Pertemuannya dengan Nawang berjalan haru. Mentari masih bisa merasakan kasih sayang dari perempuan paruh baya tersebut. Mentari menghabiskan waktu bernostalgia bersama tantenya itu. Dia tidak tahu jika Sasi di luar sana bertemu juga dengan Bentala.

"Kamu putri Tari?" tanya Bentala dengan mata membelalak.

Sasi sengaja datang ke restoran itu lagi. "Iya, Om."

Wajah gadis itu memang mirip Mentari.

"Jadi, pernikahan yang dimaksud Tari kemarin itu pernikahan keduanya?"

Sasi mengangguk ragu. "Om ... tidak tahu?"

"Tidak."

"Tapi Om pasti tahu pacar Bunda dulu. Bunda bilang, Bunda sempat dilarang pacaran."

Bentala menggeleng. "Setahu Om, Tari tidak punya pacar. Baik Om, atau Ibu tidak pernah melarang Tari pacaran."

Sasi mengangguk lagi.

"Berapa umur kamu?" tanya Bentala.

"Lima belas, Om."

Bentala lantas menghitung mundur usia gadis di hadapannya dengan kepergian Mentari dulu. Dia langsung mendapat kesimpulan. Mentari sedang hamil saat melarikan diri.

Sekarang semuanya sudah jelas. Mentari tidak mungkin meninggalkan rumah hanya karena tidak ingin menjadi beban, apalagi Mentari langsung menghilang seperti ditelan bumi.

"Laki-laki mana yang berani menghamili Tari?" Bentala membatin. Dia spontan mengepalkan tangan.

Bentala merasa gagal menjadi seorang kakak karena membiarkan adiknya berjuang sendirian selama bertahun-tahun.

Bentala lalu menatap Sasi. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata saat tahu jika gadis itu adalah putrinya Tari. "Kamu sengaja menemui Om karena ingin tahu masa lalu ibumu?" tanyanya.

"Iya, Om. Kalau aku tanya langsung ke Bunda, Bunda pasti sedih. Aku jadi tidak tega."

Selama ini Sasi pura-pura percaya dengan semua ucapan ibunya karena tahu ada luka yang akan kembali basah jika Mentari mengatakan yang sebenarnya. Sasi tidak menginginkan hal itu, meskipun dia sangat penasaran ketika menemukan sesuatu yang janggal.

Soal akta perceraian, misalnya. Sasi benar-benar baru tahu tentang itu. Dia lantas mencarinya di internet untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Akta perceraian didapat jika kedua pasangan bercerai secara hukum, sedangkan Mentari pernah mengatakan jika dia dan ayah Sasi hanya menikah siri.

Mentari juga mengaku tidak kembali kepada keluarganya karena keluarganya marah lantaran Mentari memilih kawin lari. Namun, Bentala justru tidak tahu menahu soal itu.

"Kalau masa lalu sebelum ibu kamu pergi, Om bisa ceritakan. Tapi, setelah itu Om benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kepada ibumu."

"Termasuk ayahku?"

"Termasuk ayahmu."

Setelah mendengar kisah hidup Mentari dari Bentala, Sasi mulai ragu jika Ardi adalah ayahnya. Entahlah siapa yang benar. Namun, jika Ardi adalah tokoh fiksi karangan Mentari, lantas siapa ayah Sasi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Berondong Bucin   100

    "Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And

  • Dinikahi Berondong Bucin   99

    Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."

  • Dinikahi Berondong Bucin   98

    "Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin

  • Dinikahi Berondong Bucin   97

    "Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku

  • Dinikahi Berondong Bucin   96

    "Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya

  • Dinikahi Berondong Bucin   95

    Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status