Bisa-bisanya Ranggi mengaku sebagai calon suami Mentari di hadapan orang lain!
"Kalau mau ngomong itu, ya, dipikir dululah, Ranggi," ucap Mentari kesal."Mau bagaimana lagi, Mbak? Aku teringat ucapan Sasi yang bilang kalau Mbak harus menikah biar tidak dicurigai terus." Ranggi membela diri."Om Ranggi sudah melakukan hal yang benar, Bun. Buktinya mereka langsung pergi," kata Sasi.Ini lagi! Mentari mendengkus.Anak itu melanjutkan, "Lagian, Om Ranggi bilangnya calon. Calon itu, kan, belum tentu jadi suami.""Jangan bilang begitulah, Calon Anak." Ranggi seketika melayangkan protes. "Doakan aku biar jadi ayah sambungmu."Namun, gara-gara jawaban Ranggi yang asal bicara itu Mentari justru mendapat teror lain. Kali ini dari sekumpulan lelaki hidung belang yang sering meminta Mentari menjadi istri kedua. Beberapa bahkan ada yang bersedia meninggalkan istri pertama mereka.Akun media sosial khusus bisnis dessert-nya dibombardir oleh pesan dari mereka yang meminta penjelasan.[Tari, benar kamu mau menikah? Lelaki mana yang berhasil merebut kamu dari Abang?][Mentari, Akang kurang apa sampai kamu memilih laki-laki lain?][Sayang, Mas akan menceraikan si Buntelan Kentut saat ini juga kalau kamu memang tidak mau jadi istri kedua Mas.]Dengan sangat terpaksa Mentari harus mem-privat medsosnya untuk sementara waktu, padahal akun itu sangat berguna sebagai sarana promosi."Bunda, coba lihat ini," ucap Sasi sambil menuruni tangga dari ruang tamu ke dapur. Anak itu lalu menunjukkan layar ponselnya. "Berita soal Bunda yang mau menikah menggonjang-ganjingkan grup RT."Mentari menyipit membaca pesan demi pesan yang sedang menggibahi dirinya. Tidak sedikit dari mereka terkejut karena 'calon suami' Mentari masih terlihat muda. Sebagian ada yang menuduh jika Mentari memakai guna-guna.Beberapa ada yang membela jika Mentari tidak perlu menggunakan ajian atau apapun. Tentu saja yang membela Mentari adalah kaum pria. Mereka sontak diserbu emak-emak barbar."Kamu belum keluar dari grup itu? Kita sudah bukan warga sana," kata Mentari."Ini juga baru mau keluar, Bun. Tapi karena Bunda yang jadi topik hangat, aku penasaranlah.""Keluar dari grup itu sekarang juga," pinta Mentari tegas.Sasi langsung memberi hormat tangan di kening. "Siap laksanakan, Bunda."Mentari menghela napas. Apa ada perempuan semerana Mentari karena kecantikannya? Tahu begini Mentari ingin jadi biasa-biasa saja. Mungkin hidupnya sedikit lebih tenang.Wajah Mentari memang tidak seperti pribumi. Dia memiliki garis kaukasia dari ayahnya yang pulang ke negeri asal dan tidak pernah kembali lagi.Kecantikannya itu tentu diwariskan kepada sang putri. Makanya sekarang Mentari sedikit cemas. Banyak anak yang naksir dan menyatakan cinta kepada Sasi. Mentari sudah mewanti-wanti agar Sasi lebih berhati-hati."Tolak mereka secara halus. Orang zaman sekarang ngeri-ngeri." Mentari selalu memberi nasihat seperti itu."Bunda, ponselnya nyala, tuh." Sasi menunjuk benda yang tergeletak di meja makan.Mentari segera mengelap tangannya ke celemek yang sedang dia kenakan. Ada sebuah chat dari pelanggan yang hendak memesan dessert-nya."Sejak kita pindah, Bunda semakin kebanjiran orderan," kata Sasi, "Om Ranggi berjasa banget."Pria itu memang membantu memasarkan dessert Mentari ke penghuni kompleks yang lain."Bunda, apa, sih, kurangnya Om Ranggi?" tanya putrinya sambil mencomot buah strawberry yang sudah dibelah dua, kemudian memakannya.Mentari yang sedang menata buah strawberry ke dalam cup berisi bolu dan cream cheese menjawab, "Ranggi tidak kurang apa-apa. Makanya dia pantas dengan perempuan yang lebih baik.""Jadi Bunda merasa lebih buruk dan tidak pantas untuk Om Ranggi? Apa karena Bunda lebih tua? Dari dulu sudah banyak pernikahan beda usia.""Bagi seorang janda yang punya anak itu agak susah. Ayah sambung tidak wajib menafkahi anak bawaan istrinya.""Tapi Om Ranggi baik ke aku.""Sekarang. Nanti siapa yang tahu? Kalau pun Ranggi bersedia, bagaimana dengan orang tuanya? Keluarganya yang lain? Apa mereka mau menerima kamu?"Sasi tampak merenungi ucapan Mentari. Keduanya lalu diam dengan pikiran masing-masing. Namun, tidak sampai satu detik karena di depan pintu dapur suara Ranggi mendadak terdengar."Kedua orang tuaku sudah meninggal dari dulu, Mbak," ungkap pria itu dari luar, "Satu-satunya kakak perempuanku juga meninggal tiga tahun yang lalu. Sedangkan om dan tanteku semuanya ada di kota lain.""Om Ranggi?" Sasi lekas beranjak membuka pintu dapur. "Sejak kapan Om Ranggi ada di sini?""Ranggi, saya tahu ini rumah kamu. Tapi, bukan berarti kamu bisa menguntit kami seperti ini," ucap Mentari dingin."Aku tidak menguntit, Mbak. Sumpah. Aku baru ke sini, terus tidak sengaja dengar obrolan kalian." Ranggi mengangkat kedua tangannya seperti seseorang yang hendak ditangkap polisi.Mentari menghela napas. "Lantas ada perlu apa kamu ke sini?"Pria itu justru cengengesan. "Kangen Mbak Tari," jawabnya, yang membuat Mentari langsung memutar bola mata."Masuk, Om."Ranggi tentu senang dipersilakan masuk. Dia langsung menarik salah satu kursi makan, lalu mendudukinya. "Oh, lagi buat pesanan, ya, Mbak. Aku saja nanti yang antar.""Daripada sibuk kelayapan jadi kurir dadakan, sebaiknya kamu mengurus kafe dan distro kamu," kata Mentari menolak."Mbak tidak usah khawatir dengan bisnisku. Sambil merem juga aku bisa mengurusnya," sahut Ranggi jemawa, "Ayo, lanjutkan obrolan yang tadi, soal pernikahan kita.""Saya tidak bilang akan menikah dengan kamu," ucap Mentari cepat."Bunda takut Om Ranggi tidak mau membiayai hidupku," tutur Sasi setelah mengambil air minum untuk menyediakan pria itu."Hari ini juga aku akan membuatkan tabungan atas nama Sasi.""Sasi sudah punya tabungan," jawab Mentari seraya memasukkan strawberry dessert cup ke dalam dus kemas."Kalau begitu aku minta nomor rekeningnya. Akan aku transfer sekarang juga."Mentari mengangkat sebelah alis. Dia lalu tersenyum meremehkan. "Berapa, sih, yang akan dikirim pria itu?" batinnya.Mentari lalu memberi tahu nomor rekening milik Sasi yang memang dikhususkan untuk pendidikannya hingga kuliah nanti."Sudah, Mbak," ucap Ranggi, kemudian menunjukkan bukti transaksi.Mentari seketika membelalak."Sekarang segini dulu. Nanti akan aku tambah lagi setiap bulan," sambung Ranggi."100 juta? Om tidak sayang uang? Apa jangan-jangan itu uang haram?" tanya Sasi.Dia ikut melotot melihat nominal yang menurutnya sangat besar. Memegang satu juta di tangannya langsung saja jarang. Lumayan bisa membeli ponsel keluaran terbaru."Halal, dong, Sasi.""Kamu gila, Ranggi," ujar Mentari."Membuat seribu candi atau membendung sebuah sungai juga aku rela, Mbak. Apa, sih, yang tidak buat Mbak Tari?" Ranggi menaik turunkan alisnya."Tidak perlu candi atau sungai, Om. Rumah ini juga bisa.""Sasi!" Mentari langsung menatap tajam.Gadis itu justru membuat tanda damai menggunakan jarinya. "Bercanda, Bunda.""Kalau Mbak Tari mau, aku bisa mengubah kepemilikan rumah ini," ucap Ranggi seolah apa yang dia katakan sama sekali bukan masalah besar."Tidak. Tidak perlu." Mentari cepat-cepat menukas. Dia lumayan panik. Ranggi ternyata sudah tidak waras.Namun, beberapa hari setelahnya, Ranggi kembali menemui Mentari untuk memberi tahu jika rumah yang ditempatinya itu sudah atas nama Mentari Harsaya."Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah